How Many More to Suffer? Kasus “Melati” Menekankan Pentingnya Akses Aborsi Aman untuk Wanita Indonesia
Kekurangan akses pada aborsi aman sudah terbukti menjadi salah satu dari lima penyebab utama kematian ibu mengandung, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Teks: Titania Celestine
Photo: @rhsupplies via Unsplash
Kurangnya akses wanita Indonesia pada sarana aborsi yang aman merupakan salah satu penyebab terbesar akan kematian ibu mengandung, selebihnya, hal tersebut kembali menjadi hal yang menambah jumlah korban kekerasan seksual di Indonesia.
Tiga fenomena yang menyumbang angka kematian ibu mengandung di Indonesia berupa aborsi yang tidak aman dan teruji secara klinis, kekerasan seksual, dan marriage by accident, yakni kehamilan yang tidak disengaja. Selain menjadi penyebab meningkatnya angka kematian wanita, kejadian-kejadian tersebut sebenarnya merupakan salah satu masalah kesehatan seksual dan reproduksi yang dianggap lazim, apalagi mengingat dampak lingkungan masyarakat yang membawa-bawa kepercayaan agama pada urusan politik dan hukum mengenai korban kekerasan seksual.
Baru-baru ini, kasus yang dipublikasikan Project Multatuli tentang “Melati” yang berumur 12 tahun merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahaya dari tiga fenomena diatas. “Melati”, seorang korban pemerkosaan yang ujungnya mengalami kehamilan, tidak diberikan akses terhadap aborsi aman dari pihak kepolisian setempat.
Hal ini tetap terjadi walaupun “Melati”, masih dibawah umur, mendapat tawaran akan proses aborsi yang aman oleh organisasi lokal, dan dinaungi oleh hukum yang memperbolehkan korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi yang sudah teruji klinis, aman, dan legal.
Sedihnya, “Melati” tidak akan menjadi korban terakhir yang mengalami hal ini. Data yang tersedia menunjukkan banyak sekali kasus teen pregnancy yang terjadi pada wanita muda Indonesia. Wanita yang masih dibawah umur (10-18 tahun) memiliki kemungkinan selamat lebih kecil daripada wanita dewasa yang mengalami kehamilan. Hal ini dikarenakan tubuh mereka yang masih underdeveloped belum siap untuk mengalami proses kehamilan dan melahirkan.
“Melati” bukanlah satu-satunya korban kekerasan seksual yang terpaksa menjalankan proses kehamilan dan kelahiran yang traumatis serta membahayakan bagi nyawa mereka. Pada tahun 2018 lalu, sebuah kasus wanita 15 tahun asal Lampung yang dikriminalisasi karena mencoba mengaborsi kehamilannya setelah diperkosa oleh kakak kandungnya, menciptakan sebuah public outrage dari kalangan warganet Indonesia.
Kekurangan akses pada aborsi aman sudah terbukti menjadi salah satu dari lima penyebab utama kematian ibu mengandung, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Selebihnya, ditemukan bukti bahwa kekurangan akses pada aborsi aman tidak mencegah atau menurunkan angka aborsi, hanya menjadikan proses tersebut membahayakan bagi nyawa wanita yang sedang mengandung.
Alasan lain dibalik kehamilan yang tidak disengaja yakni akses kepada alat kontrasepsi di Indonesia yang tidak tersebar secara merata. Sejumlah 11% wanita Indonesia yang sudah menikah, mengakui bahwa mereka tidak memiliki akses pada alat kontrasepsi yang lebih modern. Selain hal tersebut, kepercayaan masyarakat dan naungan hukum hanya memberikan akses alat kontrasepsi kepada pasangan yang sudah menikah secara legal.
Sejak tahun 2014, memang sudah ada hukum yang memberikan akses pada aborsi aman pada korban kekerasan seksual. Namun, tidak ditemukannya pekerja medis yang dilatih untuk memberikan layanan aborsi yang aman, dan tidak ada fasilitas yang ditetapkan sebagai sarana untuk melakukan aborsi yang aman.
Sebagai warga negara yang berempati, kita harus menggunakan contoh kasus “Melati” untuk memajukan sarana dan prasarana bagi korban kekerasan seksual untuk menjalani proses aborsi yang aman, melalui fasilitas yang terpercaya, dan personil kesehatan medis yang dapat menjalankan proses tersebut secara profesional.
Sebagai wanita Indonesia, kita harus berjuang lebih lanjut demi setiap hak dan kepentingan seluruh wanita di Indonesia, sehingga tidak harus ada lagi seorang “Melati” yang menderita dalam kesunyian – too heartbreaking to ignore.