Menyulap Objek Keseharian Jadi Medium Eksplorasi di Dwipameran “Kaul” dan “Luang”
Menggunakan kaca, kabel, benang, stop kontak, sampai pensil kayu.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Deandra Aurlelia
Photo: Selasar Sunaryo & ROH
Dua seniman muda Luqi Lukman dan Maruto baru saja menggelar dwipameran “kaul” dan “luang” yang berlangsung pada 4 Juni 2021 sampai 4 Juli 2021 di Ruang Sayap dan Ruang B Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Pameran ini merupakan hasil kurasi Yacobus Ari R. (Bandung) dan Alvin Li (Shanghai).
Kedua ruang pameran ini memberi kesan yang bertolak belakang. Menginjakkan kaki di ruang “luang” ibarat dibuat overwhelmed dengan banyaknya karya seni yang mencoba mencuri perhatian kita, sementara “kaul” ibarat memberi kita ruang dan jarak untuk mendalami karya seni yang ada satu persatu. Rangkaian benda yang ditemukan di kedua ruangan pun rasanya tak asing; ada kaca, stop kontak, kursi plastik, kawat, senar gitar, dan pensil.
Meski kedua seniman ini datang dari latar belakang seni grafis, “kaul” dan “luang” memberi mereka kesempatan untuk keluar dari zona nyaman seorang seniman grafis. Setelah dipraktekannya dari bertahun-tahun silam, akhirnya eksplorasi penggunaan benda sehari-hari menjadi karya seni menemukan wujudnya di dwipameran ini.
Dalam pameran “kaul”, Luqi mempersembahkan tiga karya, yaitu gelumtbelngahaM, Tirkabudasurianggu, dan gisakunatig. Apa arti dari ketiga nama tersebut?
Luqi ternyata menggunakan gaya anagram untuk ketiga karyanya. gelumtbelngahaM ternyata berartikan “Lembut Dalam Tenang”, Tirkabudasurianggu berartikan “Bangkit Suci dari Ragu”, dan gisakunatig berartikan “Kuasa Tinggi”. Jika tidak dijelaskan, mungkin penikmat seni akan terus menerka-nerka apa arti dari tiga nama ini sebenarnya, sepanjang malam.
Benda-benda seperti kaca, kawat, dan baja, jadi bahan dominan di ketiga karya seni ini. gelumtbelngahaM sendiri berbentuk botol-botol kaca yang ditempel di dinding, sedangkan Tirkabudasurianggu bermain dengan rangkaian kawat yang dililit dan dijabarkan dari berbagai arah–tentu masih dengan media dinding. Sedangkan gisakunatig menggunakan pernak-pernik rumahan yang lebih simpel, seperti kabel, benang, dan paper clip.
Lain halnya dengan Maruto. Seluruh instalasi seni karyanya tidak ditata se-teratur Luqi; ibarat memberikan kesan ‘berantakan’ dan acak-acakan. Rangkaian ini terbagi menjadi lima bagian, yaitu Seyobon, Pikaji. Omebacebo, Herkur’, dan Bitrute. Partisi yang terdapat di ruangan ini pun sukses menambahkan perasaan sempit dan trapped.
Salah satu perbedaan yang signifikan jika membandingkan karya Luqi dan Maruto adalah tema Maruto yang mengarah ke dunia konstruksi, meski keduanya berkarya dengan objek sehari-hari. Untuk Seyobon, sebuah karya yang menyerupai kursi lipat hadir dengan dihiasi stop kontak, sundutan rokok, serta tumpahan cat. Sedangkan Pikaji memperkenalkan sisi playful dari Maruto di pameran ini, karena ia merangkai susunan kabel dan lampu untuk membentuk tulisan “gotcha!”. Frase ini kadang digunakan dalam konteks berterus terang kepada seseorang kalau ia selama ini sedang dikelabui; yang mungkin bukan kebetulan untuk Maruto. Mungkin ia ingin menyampaikan kalau ternyata arti-arti karya seninya ini jauh dari interpretasi yang kita punya di pikiran masing-masing.
Bisa dibilang Maruto sudah mengelabui para pengunjung dan apresiator seni dari instalasi pertamanya. Kursi lipat, objek simpel sehari-hari yang dimodifikasi menggunakan berbagai aksen tambahan itu nampaknya jadi sindiran untuk sifat manusia yang konsumtif dan serba eksklusif. Benda yang umum, jika diberi beberapa cipratan seni (tentu dengan embel-embel limited edition), pasti nilainya akan melambung tinggi dan keberadaannya diperebutkan. Seniman ini berhasil mengaplikasikan hasil observasinya secara akurat.
Di sisi lain pameran ini, Luqi tonjolkan kesederhanaan dan kerapihan. Meski begitu, tandanya Luqi justru memberi lebih banyak waktu dan ruang untuk para penikmat seni untuk berpikir sejenak dan berkontemplasi; mungkin juga berimajinasi, tentang apa yang seniman ini ingin sampaikan lewat rangkaian instalasinya.
Intinya, kedua seniman dari bidang seni grafis ini mampu keluar dari zona nyaman mereka dan bekerjasama membuat dwipameran yang bisa memuaskan apresiator seni. Keduanya mempunyai ketertarikan di objek sehari-hari; namun keduanya mengemas objek-objek ini sesuai cara dan gayanya masing-masing. Sebuah pameran yang balance, sebuah pameran yang dapat mencakup berbagai penikmat seni; bisa dibilang jika berkesempatan mengunjungi dwipameran “kaul” dan “luang” ini, rasa puasnya sama seperti killing two birds with one stone.