“Abracadabra”, Kekosongan yang Memanjakan Mata

Film
10.01.20

“Abracadabra”, Kekosongan yang Memanjakan Mata

Menceritakan seorang pesulap yang menghadapi masalah rumit ketika triknya mengalami kegagalan.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Avicena Farkhan Dharma
Foto: Fourcolours Films

Bagi yang sudah menonton trailer film “Abracadabra”, rasanya sudah jelas kalau film ini akan banyak dipengaruhi oleh karya-karya Wes Anderson. Kami berkesempatan untuk hadir dalam gala premiere film produksi Fourcolours Films ini, dan dugaan tersebut tidak salah. Desain produksi, desain kostum, dan pewarnaan dalam film ini memang menyerupai beberapa film karya sutradara asal Houston, Texas tersebut. Lantas, apakah ekspektasi yang telah terbangun mampu dibayarkan oleh film karya Faozan Rizal ini?

Film yang diramaikan cast ternama seperti Butet Kartaredjasa dan Asmara Abigail ini bercerita tentang Lukman (Reza Rahadian), seorang pesulap yang hendak menampilkan pertunjukan terakhirnya sebelum pensiun. Keadaan menjadi runyam ketika trik Lukman mengalami kegagalan dan menimbulkan teka-teki yang harus dipecahkan. Seperti yang kita duga dalam trailer, salah satu unsur yang ditonjolkan film ini adalah keindahan visual produksi. Pujian patut diberikan kepada Vida Sylvia, production designer “Abracadabra” yang telah mengantongi 4 nominasi FFI untuk kategori Penata Artistik Terbaik. Tak hanya itu, desain kostum dan tone pewarnaan film ini juga sangat mengkomplemen artistik visual secara keseluruhan.  

Sayangnya, keindahan visual film ini justru membayangi naskah cerita yang terbengkalai. Terlalu banyak set-up yang dibiarkan mengambang tak terjawab di akhir film, meninggalkan perasaan mengganjal bagi penonton. Kedalaman dan pengembangan karakter yang bisa memperbaiki kualitas cerita juga tidak ditempa dengan apik, sehingga membuat cast yang diramu menjadi sia-sia. Belum lagi cast yang punya comedic presence seperti Imam Darto dan Ence Bagus justru tampil kurang jitu dikarenakan skrip yang kurang matang.

Berekspektasi atau tidak, film “Abracadabra” sepertinya ditujukan untuk penonton yang mengagungkan keindahan visual dibanding cerita. Meski demikian, di tengah iklim perfilman Indonesia yang haus akan kebaruan serta di tahun yang baru, keberanian untuk memproduksi film seperti “Abracadabra” cukup menyegarkan bagi mereka yang mencari opsi ketika menonton ke bioskop. Selain topik sulap yang masih belum lazim, desain produksi, kostum, dan tone pewarnaan film ini merupakan sebuah penyegaran yang patut diapresiasi. whiteboardjournal, logo