Marshella Just Things Goes on a Seoulful Trip!
Marshella Jastine mengeksplorasi kota Seoul dan membahas soal desain, makanan, dan kursi di episode pertama Just things.
Words by Whiteboard Journal
Marshella Jastine adalah seorang multidisciplinary creative director dan stylist berbasis di Jakarta dengan karya yang menyajikan ragam identitas unik dan dipadu dengan twist. Melalui praktiknya, ia terus mendorong batas-batas desain melalui eksplorasi dan eksperimen terhadap berbagai medium untuk menunjukkan visi kreatifnya.
Sebagai ibukota dari Korea Selatan, Seoul adalah metropolis yang menyatukan high technology, pop culture, dan tradisi. Untuk edisi pertama, kita akan menjelajahi Seoul melalui perspektif baru dan mengeksplorasi hal-hal under the radar.
Sebelumnya, salah satu alasan saya mengunjungi Seoul adalah karena I just needed to get a day off from work. Dan kebetulan, juga ada teman yang ingin pergi ke sana, jadi why not? Ini bukan kali pertama saya mengunjungi Seoul, tapi melalui trip ini, saya berharap bisa mendapatkan banyak inspirasi untuk proyek-proyek kedepan. Karena, jika berbicara soal style, Seoul dapat dibilang sangat trend-savvy dan terdepan di antara daerah-daerah lainnya. Maka dari itu, saya pun berharap kalau perjalanan ini dapat membuka mata saya pada hal-hal yang belum terekspos sebelumnya.
Pertama-tama, perjalanan kita di Seoul akan dimulai dengan topik soal design style yang membaurkan budaya, desain futuristik, dan elemen-elemen tradisional. Lewat perhatian khusus pada interior, material yang digunakan hingga suasana yang diciptakan dari penghidupan kembali daerah-daerah yang seharusnya ditanggalkan, kita akan mengeksplorasi area-area yang menyajikan cara pandang baru perihal industri kreatif di Seoul. Perjalanan pun berlanjut dan kita akan menyambangi daerah Seongsu-dong atau “The Brooklyn of Seoul” dengan sederet tempat yang mengadopsi gaya desain yang sama.
YOU CHAIR ME UP!
Saat berbicara soal design. Salah satu hal yang selalu menarik perhatian saya adalah jenis-jenis kursi yang ada di suatu ruangan. Kenapa kursi? Menurut saya, kursi adalah salah satu furnitur yang memiliki sentimental journey di sepanjang umurnya. Setiap rumah pasti memiliki berbagai macam kursi yang juga menjadi saksi dari cerita-cerita yang ada di rumah tersebut. Ditambah lagi, kursi yang dibangun secara baik pasti bisa bertahan dalam kurun waktu yang panjang dan juga bisa dijadikan item warisan keluarga. Apalagi, jika kursi tersebut adalah hasil karya designer, tentunya akan memiliki value lebih tinggi dan berpotensi untuk menjadi investment piece.
Dari perspektif fungsional, kursi hanyalah furnitur yang diperuntukan untuk tempat duduk. Tapi, furnitur ini pun diangkat menjadi elemen utama dalam estetika desain interior di Seoul. Di sini, terdapat banyak toko dan kafe yang menjual maupun mendesain jenis-jenis kursi yang tidak biasa. Mulai dari Niemeyer hingga Van Severen, desainer tua hingga muda, semua memiliki daya tarik masing-masing saat dipajang di ruang-ruang sekitar Seoul.
Ini menunjukkan sisi baru dari budaya Korea yang kita kenal, yaitu yang memberikan perhatian khusus terhadap estetika desain dari furnitur, khususnya lewat pemilihan kursi-kursi yang dapat memberikan nuansa berbeda dari suatu ruang.
VISITING “SEOUL’S BROOKLYN”, SEONGSU-DONG
Di perjalanan kali ini, saya memutuskan untuk mengunjungi daerah Seongsu-dong untuk pertama kalinya. Selain untuk mendapatkan experience baru, saya pun telah mendengar hal-hal menarik mengenai distrik ini. Sebelum menjadi distrik yang disebut sebagai “Seoul’s Brooklyn”, Seongsu-dong lebih dikenal sebagai salah satu sentra industri sepatu di Korea Selatan. Pada tahun 1980-an, daerah ini adalah destinasi utama bagi mereka yang ingin mendapatkan sepatu handmade. Walau awalnya hampir mengalami kebangkrutan di awal tahun 2000, industri sepatu di distrik ini pun berhasil bertahan di tengah persaingan ketat akibat dukungan dari pemerintah dan juga peningkatan dari kualitas produk yang ditawarkan.
Seperti sudut-sudut kota trendy pada umumnya, kedatangan sosok-sosok kreatif muda di distrik ini pun membuatnya semakin lama terasa seperti kota Williamsburg, New York. Pengrajin sepatu, penduduk lama, hingga seniman dan kreatif-kreatif muda tinggal dalam satu daerah dan sama-sama membangun ekosistem yang berkesinambungan. Salah satu tempat yang perlu dikunjungi adalah From SS, kompleks arcade dengan desain stylish yang terletak langsung di bawah Seongsu Station. Dibuka oleh Pemerintah Metropolitan Seoul pada tahun 2013, terdapat 7 toko sepatu buatan lokal dengan kualitas tinggi yang juga menjadi destinasi belanja pecinta sepatu.
Jika mencari makanannya yang trendy, Seongsu-dong adalah tempat yang tepat. Saat mengarah ke Ttukseom Station, terdapat banyak restoran dan chic cafe yang selalu dipadati dengan para kreatif muda. Burger joint, soup and pie cafe, dan Korean eatery yang chic pun dapat ditemukan di daerah ini. Dan pastinya, suatu daerah belum dapat disebut hip jika belum memiliki culture space tersembunyi yang dilengkapi dengan chic cafe dan ruang untuk pameran – temukan tempat ini di sebuah gang dekat Exit 2 Ttukseom Station.
THE PLACE WHERE CULTURE AND FUTURE MEETS: JEIL
“Jeil” yang berarti most dalam bahasa Inggris, adalah sebuah restoran dengan konsep yang memadukan seni, budaya dan kuliner di satu tempat. Yang menarik dari tempat ini adalah bagaimana mereka tetap mempertahankan facade-nya yang terlihat seperti toko tradisional, walau sebenarnya bagian dalamnya telah dirombak total. Secara interior, cukup terlihat simple yet modern dengan kitchen island berbahan aluminium yang menjadi centrepiece dari tempat ini. Terdapat juga meja panjang untuk para customer yang bisa mengakomodasi 20 orang. Secara keseluruhan, Jeil adalah restoran bernuansa intimate yang casual dan juga nyaman.
Sesampainya di sana, saya langsung disambut dan diarahkan menuju meja makan. Menu yang disediakan pun unik, dicetak dalam kertas daur ulang yang sangat on brand dengan ambiance restorannya. Pilihan makanan yang disajikan pun tidak banyak, hanya 10. Namun, akan dijelaskan secara lengkap oleh sang pemilik restoran. Setelah itu, saya pun diajak untuk mengikutinya ke bagian glass fridge untuk memilih jenis minuman/alkohol apa yang akan diminum saat bersantap nanti. Semua pilihannya terbuat dari bahan-bahan lokal dan telah terkurasi untuk dapat menjadi pairing yang tempat untuk makanan yang akan disajikan. Saya pun memilih makgeolli, rice wine tradisional asal Korea.
Hidangan saya datang dan saya pun terkesan dengan cara penyajiannya yang sangat menarik. Jenis-jenis hidangan Korea yang kita tahu pun dihidangkan dengan twist a la mereka, seperti pada Korean pancake yang biasanya menggunakan seafood dan leek, kali ini lebih seperti carrot rosti dengan dried prawn dan leek. Kombinasi rasa dan tekstur yang menarik, makanan ini terasa seperti hidangan tradisional Korea namun diberi sentuhan baru yang fresh.
Di Jeil, aspek seni pun ditunjukan melalui performance art oleh sang owner. Dekat dengan kitchen island dan meja makan, terdapat metal installation berupa tumpukan kepingan besi yang suatu saat akan diubah susunannya. Pertunjukkan ini pun saya lihat saat sedang menyantap makanan, ia jalan menuju instalasinya dan memindahkan beberapa kepingan ke tumpukan yang lain. Contoh dari instalasi yang responsif terhadap situasi di sekitarnya.
Lewat kunjungan saya ke Jeil, dining experience yang dibungkus dengan sentuhan traditional yet modern ini menunjukkan visi dan idealisme yang patut menjadi inspirasi – suatu pembelajaran yang dapat saya terapkan di praktik kedepannya.
–
Just things adalah seri column dari Marshella Jastine yang akan menjadi wadah bagi ragam temuan yang dijumpai semasa travelling hingga ide-ide kreatif lain miliknya. Nantikan episode selanjutnya bulan depan!