Problema Nona: Sekolah Ibu
Toxic masculinity dan kepincangan perspektif kita.
Beberapa waktu yang lalu, ada wacana menggelikan tergulir dari seorang aktris medioker yang kebetulan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan gegabah dan kepala pongah, ia menciptakan “solusi” untuk tingkat perceraian yang dianggap tinggi. Idenya adalah untuk memberikan pelatihan bagi perempuan untuk menjadi istri yang lebih baik dalam nama “Sekolah Ibu”. Supaya ibu-ibu lebih bisa memahami suaminya, juga lebih jago urus anak. Sejak ide ini dikemukakan, sang artis kemudian diserang banyak kalangan – membuatnya kemudian memutuskan untuk minta maaf.
Harusnya masalah selesai di situ, tapi kita harus melihat lebih dalam lagi terhadap pemikiran ini. Karena ini menunjukkan bahwa ada yang salah di pola pikir sebagian di antara kita. Yang menarik adalah kemudian pemikiran semacam ini kembali muncul secara tersirat di debat pilpres pertama kemarin. Salah satu calon menafikkan prestasi menteri perempuan yang justru mendapat banyak pujian dari khalayak internasional. Di luar sana sama saja, saat sebuah brand pencukur merilis iklan yang mengajak pria untuk menghindari pola pikir toxic masculinity, banyak di antara pelanggannya yang menyambutnya dengan amarah. Hal-hal seperti ini mengingatkan kita bahwa kita semua memiliki pekerjaan rumah yang sangat panjang untuk “membenarkan” isi kepala kita saat kita membicarakan tentang perempuan.