Berbicara Dengan Penata Rias Film “Pengkhianatan G30S PKI”, Subarkah Hadisarjana
Kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Subarkah Hadisarjana tentang pengalamannya sebagai make up artist di film sejarah, kurangnya apresiasi terhadap penata rias dan posisi dunia seni di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wienda Novianty
Berawal dari ketertarikannya dengan dunia seni semenjak usia muda, Subarkah Hadisarjana pada akhirnya memiliki peran penting terhadap perkembangan seni tata rias dalam sejarah Indonesia semenjak keikutsertaannya dalam film “Pengkhianatan G30S PKI”. Dengan sederet pengalaman sebagai penata rias di industri perfilman, ia pun memperluas cakupan perannya sebagai pelaku seni dengan ikut berkecimpung di dunia seni peran sebagai seorang aktor film hingga teater. Melihat capaiannya sebagai seorang seniman di Indonesia, kami berbincang dengan Subarkah Hadisarjana tentang perannya sebagai penata rias di film “Pengkhianatan G30S PKI”, citra penata rias di masyarakat, dan peranan ruang-ruang kreatif teater seperti “Teator Koma” terhadap perkembangan dunia teatrikal di Indonesia.
Memiliki latar belakang di dunia seni rupa, bagaimana awal mula ketertarikan Anda terhadap bidang teater?
Saya itu dulu waktu kecil, senang dengan kesenian yang berbau performance yang artinya ada teater, tari, ada dalang. Dulu kalo ada sekolah dalang saya ingin masuk. Saya memang sangat menikmati di situ, sampai saya mundur di pelajaran lain karena dulu perhatian saya cuma di kesenian. Raport saya di SD sampai SMA itu lumayan seram, banyak nilai 2. Jadi sering dipanggil ke sekolah, dan sempat tidak naik 2 kali. Dianggap bodoh. Dianggep tidak mengerti. Tapi, saya tahu saya tidak bodoh. Saya senang dengan apa yang saya lakukan. Baru saat lulus SMA, saya ingin melanjutkan sekolah ke tempat yang ada gambarnya, melukis, ada teaternya. Ingin masuk ITB, tapi takut dengan hal-hal yang terlalu teknik. Terus mau ke Yogya, ada ASRI (sekarang ISI), tapi waktu itu belum ada jurusan teater. Lalu menemukan selebaran kampus IKJ, dan melihat bahwa seru ini sekolahnya. Ada jurusan tari, teater, film, musik, seni rupa. Akhirnya memilih untuk masuk ke situ.
Itu pun sempat bingung juga. Enaknya masuk jurusan apa, seni rupa kali ya. Masuk situ kemudian bingung lagi mau fokus kemana. Akhirnya memilih seni murni yang banyak berpusat di painting, melukis. Meski masuk di melukis, saat studio lain ada latihan teater, saya ikut. Saya ikut juga ikut tari, juga di studio film, bahkan sampai di tata rias. Saya selalu unggul di sana.
Di tata rias saya menikmati proses mengubah wajah orang. Dulu ada film “Mission Impossible”. Di film itu, saya kagum dengan bagaimana mereka bisa mengubah-ubah muka orang. Bisa berubah jadi tua, bisa berubah jadi hal-hal lain. Itu saya tes ke orang-orang dan saya selalu berhasil dalam mengubah mereka. Begitu saja kerjaan saya ketika itu. Di rumah, pembantu rumah tangga saya yang tua-tua saya minta suruh berjejer untuk saya dandani. Melihat begitu, bapak saya tidak mau mengurus saya, ibu sering dipanggil ke sekolah. Dibilang bahwa anaknya bermasalah. Saya tidak masalah dibilang begitu, karena saya senang.
Akhirnya begitu masuk IKJ saya menerapkan apa yang saya biasa lakukan di rumah. Saya mulai membantu anak teater. Juara. Bantu anak film, juara. Semua yang saya bantu juara. Saya sendiri juga meraih juara tata rias, nasional dua kali, untuk internasional sekali.
Kamu bantu negara, bikin film, G30S PKI.” Saya menjawab, “Waduh saya gak suka mas, saya masih mau kuliah.
Bagaimana proses saat Arifin C. Noer mengajak Anda untuk menjadi make up artist di film “Pengkhianatan G30S PKI” ?
Saya pertama bertemu Mas Arifin C. Noer saat saya juara lomba pantomim. Saya lalu dipanggil beliau, “Tolong dong kamu bantu saya”. Saya lalu bertanya, “Bantu apa Mas?”. Beliau menjawab, “Kamu bantu negara, bikin film, G30S PKI.” Saya menjawab, “Waduh saya gak suka mas, saya masih mau kuliah”. Waktu itu saya masih semester dua atau tiga. Masih belia.
Tapi kemudian IKJ dapat surat dari negara yang menyatakan bahwa saya harus membantu negara. Dari situ saya kemudian menurut. Waktu itu ada dua anak yang dipanggil, saya dan om Niko Sarjono, seorang pematung. Dua anak ini lalu dikirim ke Mas Arifin dalam misi membantu negara. Proses shooting film “Pengkhianatan G30S PKI” berjalan selama 2 tahun. Untuk film ini saya banyak bekerja saat malam hari. Waktu itu lokasi shooting di Mampang 41, itu pos film Perusahaan Film Negara (PFN) ketika itu, cabang dari yang di Otista. Saya bahkan sampai tinggal di situ.
Saat film keluar, ternyata filmnya meledak. Yang nonton banyak. Dari situ saya banyak mendapat tawaran. Termasuk diajak oleh Pak Dipo yang saat itu adalah direktur PFN. Selain itu, saya juga kemudian sering bekerja sama dengan Mas Arifin di Teater Kecil, yang isinya dulu ada Ratna Riantiarno juga Yayang C. Noer yang kemudian jadi istrinya. Tahu-tahu di Mampang saya diberi ruangan sendiri yang ber-AC. Padahal saat itu masih jadi barang mahal, Mas Arifin suka ikut ngadem di sana.
Saat melakukan tata rias film “Pengkhianatan G30SPKI”, membuat wajah pemain menyerupai karakter aslinya tentu menjadi kesulitan tersendiri. Proses apa yang Anda temukan paling sulit untuk bisa menghidupkan masing-masing tokoh?
Saya dulu penakut, sampai sekarang juga masih penakut sebenarnya. Lihat darah saya takut, tapi akhirnya saya bisa bikin darah.
Ini juga pengalaman yang mengasyikkan. Menghidupkan karakter itu bukan hal mudah, harus melalui beberapa tes make up. Saya dibantu dua asisten ketika itu. Satu dari Jogja, satu dari Solo. Anak seni rupa semua, karena tata rias make up itu saya anggap ini seni rupa kecil. Dalam saya proses pembuatan buku itu tata rias lebih banyak berbicara tentang kehidupan. Masalah kehidupan itu kan peristiwa-peristiwa manusia yang banyak terjadi di dunia ini. Nah, peristiwa itu kemudian menjadi karakter. Setiap orang memiliki karakter beda-beda. Itu mengharuskan saya untuk belajar banyak. Mulai dari psikologi, sosiologi, antropologi hingga anatomi.
Kalau special effects belajar sampai anatomi jenazah. Sampai dibuatkan surat khusus untuk datang ke rumah sakit sambil foto jenazah yang seharusnya tidak boleh difoto. Jadi saya kemana-mana bawa polaroid. Saya dulu penakut, sampai sekarang juga masih penakut sebenarnya. Lihat darah saya takut, tapi akhirnya saya bisa bikin darah. Pura-pura saja, seolah benar. Kadang-kadang bikin sendiri, tapi sempat juga memanggil ahli kimia untuk konsultasi. Saya beli banyak material dari Jerman yang juga sempat saya bawa ke Bu Martha Tilaar, karena beliau ahli dalam bidang make up.
Apakah ada kontrol khusus dari otoritas dalam hal make up atau penokohan?
Saat tes make up, Mas Arifin minta saran untuk siapa tokoh yang akan kita jadikan pemeran Suharto. Saya menyarankan nama Amoroso Katamsi sebagai pengisi peran tersebut, dan pilihan saya itu kemudian disetujui langsung oleh Suharto.
Yang kemudian harus dilakukan adalah membangun sosok Bung Karno. Yang mendaftar untuk bermain jadi Bung Karno itu ada 28 orang. Secara muka, mirip semua. Ada tukang becak, ada tukang bakmi. Tapi ini peran yang tidak mudah. Akhirnya saya melihat ada Mas Umar Kayam. Saya kemudian memilih beliau, karena saya memikirkan secara anatomis juga secara background bagus karena beliau mempunyai latar belakang yang mumpuni. Beliau cerdas untuk masalah-masalah G30S PKI.
Sebelum shooting scene Bung Karno bersama Mas Umar Kayam, Mas Arifin mengarahkan saya untuk brief secara naskah. Di naskah, isinya adegan-adegan bayangan Soekarno, long shot dan Soekarno dibalik tirai. Pokoknya gitu-gitu.
Saat datang ke lokasi shooting, Mas Umar Kayam rambutnya gondrong. Ia kemudian bertanya ke Mas Arifin bakal dibentuk jadi seperti apa dia di film ini, “Fin, Arifin! Aku mbok dijadiin opo ini?”. Mas Arifin kemudian mengarahkan Mas Kayam ke saya. Saya lalu mengajak Mas Umar Kayam masuk ke ruang makeup, di istana. Karena kita shooting di istana.
Saya make up Mas Kayam itu pelan-pelan. Sama asisten saya, saya ukur terus botakin, bikin alis, karena alis Bung Karno cukup tebal. Dua jam saya makeup beliau. Kemudian baru ganti kostum. Saat keluar, apa yang terjadi? Semua pembantu istana menangis sambil memanggil, “Bapaaak.. bapaaak”. Memang Mas Kayam bisa menghidupkan gaya Bung Karno, itu pembantu istana nangis semua. Masalah mirip atau tidak itu adalah hal yang saya takutkan. Dan ternyata saat shooting selain ada long shot ada juga scene close up. Jadi sempat deg-degan lagi, apalagi ini kan film sejarah. Saya bahkan sempat memanggil ahli akupuntur untuk membentuk perut Mas Kayam supaya semuanya digambarkan dengan benar. Tapi akhirnya itu jadi poin buat saya, sudah bisa membuat Soekarno.
Saya juga bikin jenazah. Bikin jenazah dari boneka, tiap hari. Saat itu saya masih ikut tinggal di rumah kakak saya di daerah Kebon Baru. Lumayan dekat dengan kantor PFN yang di Otista. Karena pekerjaan lumayan banyak, saya sering membawa pulang pekerjaan untuk dilanjutkan di rumah. Ada boneka jenazah itu saya masukkan ke peti, saya bawa pulang. Yang terjadi adalah kakak saya nangis-nangis ketakutan karena bentuk jenazah yang saya buat terlalu seram.
Semua pembantu istana menangis sambil memanggil, “Bapaaak.. bapaaak”. Memang Mas Kayam bisa menghidupkan gaya Bung Karno, itu pembantu istana nangis semua.
Hal yang sama juga terjadi saat saya eksperimen saat bikin darah. Mulai dari memadukan madu, kecap dan lain-lain. Suatu pagi, saya ditelpon satpam dan diminta untuk segera ke kantor. Ternyata pas sampai di ruang make up, pintunya bersimbah darah sampai keluar pintu. Para kru dan tim film mengira ada terjadi sesuatu di dalamnya, bahkan ada yang mengira telah terjadi pembunuhan. Pas dibuka, ternyata adonan darah yang saya buat dari madu meledak. Madu jaman dahulu – terutama yang asli kebetulan memang bisa meledak. Hal-hal seperti ini jadi lucu kalau diingat lagi.
Saat itu saya juga jadi senang beli peralatan-peralatan dokter. Termasuk belanja foto PKI, dan foto jendral-jendral yang dibunuh untuk riset. Tapi gara-gara ini saya sempat ditangkap. Saat itu masa sebelum pemilihan umum, kebetulan memang sedang banyak terjadi penangkapan. Saya ditangkap saat naik bajaj, “Ini kenapa kamu bawa-bawa foto tokoh PKI?” Untungnya kemudian Pak Dipo PFN telpon polisi tersebut. Ternyata saya dibebaskan oleh Pak Soedomo yang ketika itu menjabat panglima keamanan. Saya lantas dibuatkan surat sakti yang membuat saya disambut dimana-mana. Ke restoran itu disambut dengan, “Eh ayo, makan-makan”. Pernah sakti seperti itu saya (tertawa).
Apakah ada cerita menarik selama membantu penggarapan film “Pengkhianatan G30S PKI”? Dan bagaimana sikap Anda terhadap kontroversi yang terjadi di film tersebut?
Saya pada waktu itu berpikir Arifin C Noer melacurkan diri dengan membuat film titipan. Mas Arifin C. Noer ‘kan bukan orang bodoh. Beliau orang pandai, sastrawan, budayawan. Dia adalah sosok yang memikirkan kata-kata sedetail mungkin. Beliau adalah seniman sejati. Dia menggunakan kesenimanannya untuk membuat film G30S PKI.
Saat saya mengobrol dengan Mas Arifin, saya kemudian paham bahwa beliau tidak sedang melacurkan diri di film ini. Dia membuat film yang benar. Tidak main-main itu. Kita melakukannya dengan otentik. Film ini sebenarnya jauh lebih serem. Tapi Mas Arifin C. Noer itu pintar sekali, dia banyak main simbol. Seperti kain merah di depan gambar sosok jendral. Ada kain merah. Itu mungkin yang dia coba sampaikan – meski tak bisa dibahas secara detail makna masing-masing simbolnya itu apa.
Pada tahun 80-an, film ini kalau tidak di-edit durasinya 11 jam. Setelah diedit jadi 7 jam. Karena apa, karena harus hati-hati dalam mengungkapkan sejarah. Akhirnya pas dirilis jadi 3.5 jam. Keliru kalau ada yang yang bilang Arifin bikin film sejarah tidak benar. Dia sutradara yang hebat menurut saya. Mas Arifin tuh karena orangnya sedetail itu. Apa yang kita lihat, pikirkan, kalo perlu tanya, perlu apa harus dicatat biar jelas. Setiap detail diperhatikan. Kita harus memainkan imajinasi hal hal yang peka hati sampai dengan rasa. Mas Arifin tuh selalu bilang “Pakai rasa, pakai rasa, pakai hati, pakai hati”.
Kemarin sempat ada wacana ada yang ingin membuat ulang film ini. Silahkan saja, tapi ingat bahwa ini proyek film yang mahal. Biayanya 2 milyar pada waktu itu. Sekarang mungkin harganya harus siap triliunan untuk mendapat film sebagus yang dulu kami buat.
Dikenal sebagai salah satu penata rias ternama di Indonesia, apa yang melatarbelakangi Anda untuk mulai menyelami dunia teatrikal terutama bidang tata rias ataupun busana?
Saat saya mengobrol dengan Mas Arifin, saya kemudian paham bahwa beliau tidak sedang melacurkan diri di film ini.
Jadi film G30S PKI kan sudah panjang sekali. Habis G30S PKI bikin film “Djakarta 1966” lagi bareng Mas Arifin. Belum lagi teater. Di teater, hampir sutradara-sutradara terkenal itu pernah mengajak saya bekerja bersama. Termasuk salah satunya Teguh Karya, beliau adalah salah satu senior yang cukup memperhatikan tata rias, dimana beliau bahkan pernah mengarahkan saya untuk belajar lebih lanjut tentang tata rias di Australia.
Orang butuh lebih apresiatif tentang tata rias. Sepele kelihatannya, tapi luar biasa setelah kita mempelajarinya. Ini yang saya dapatkan setelah belajar bersama Pak Teguh Karya, Pak Wahyu Sihombing, Mas Rendra, Mas Arifin, Mas Sardono W. Kusumo. Menyelam sambil minum air, saya disuruh main sekalian make up. Jadi merangkap gitu.
Sekarang saya mengajar di IKJ, sama Lasalle. Lasalle khusus ke make up murni. Dulu mengajar di Lasalle, muridnya cuma satu. Ngajarnya dari jam 9 – 4. Sekarang muridnya sudah 50-an, bahkan sampai 80 yang terbanyak.
Seni tata rias sering diidentikkan dengan citra perempuan, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Memang di kalangan itu banyak saya temui seperti itu, tapi saya biasa aja. Memang mereka adanya seperti itu. Saya fokus saja pada keilmuan yang bisa saya pelajari. Yang mengajar saya di jerman tuh profesor-profesor gemulai. Tapi mereka belajar dengan sangat mendalam soal keilmuan. Kita harusnya fokus kesitu.
Selain aktif menjadi tata rias, Anda juga sempat berperan menjadi aktor di “Makelar Kodok Untung Besar”, “Kafir”, “Ai Lop Yu Pul” sampai “Get Married 3”, bagaimana Anda awal mula Anda berkecimpung di dunia peran?
Awalnya tuh nyerempet-nyerempet saja. Saya kan dulu bintang iklan televisi, iklan Honda, macam-macam. Jadi orang kenal sama wajah saya. Sekarang sudah pada lupa. Era-era sekarang sudah tak lagi familiar dengan muka saya. Murid-murid saya tidak pernah tahu. Begitu mamanya yang liat, ini dosen kamu tuh artis (tertawa).
Merujuk pada pertanyaan di atas, kira-kira hal apa yang membedakannya ketika Anda menjadi aktor di dalam film, teater dan sinetron?
Secara dasar, karakter itu semua sama. Cara pengungkapannya di layar televisi, di layar film itu kan media. Berbeda dengan di panggung. Pengungkapannya. Panggung itu secara jarak cukup jauh. Bagaimana kita bisa memainkan sesuatu orang paham dan orang ngerti sampai vokal, secara bentuk dan gestur. Kalau di film dan televisi kebutuhannya berbeda. Di televisi misalnya, lebih banyak close up untuk menjelaskan itu, kalau di film kameranya yang datang. Itu yang secara teknis.
Era-era sekarang sudah tak lagi familiar dengan muka saya. Murid-murid saya tidak pernah tahu. Begitu mamanya yang liat, ini dosen kamu tuh artis (tertawa).
Tapi kalau secara karakter, sama. Rasa itu sama. Bagaimana orang sedih. Tapi cara mengungkapkannya sedikit berbeda. Kadang- kadang dulu kan anak-anak teater sulit masuk televisi atau film karena aktingnya terlalu “besar”. Harusnya bukan seperti itu. Tapi memang diperlukan waktu untuk mengenali media dimana mereka menampilkan karakter tersebut.
Kesulitan apa yang Anda hadapi dan bagaimana Anda sebagai seorang pemain beradaptasi dengan lingkungan tersebut?
Saya terus beradaptasi, caranya adalah melalui riset. Riset selalu saya lakukan. Awal masuk ke dunia ini saya belajar dulu, sampai akhirnya saya terbiasa dengan situasi. Kalau filmkan harus sabar menunggu juga, kita sudah siap, sudah benar tapi lampu belum siap, pemain lain belum siap. Itu yang kadang membuat kendala. Apalagi jaman dulu. Artis yang namanya paling besar selalu datangnya telat.
Aktif di salah satu ruang bernama “Teater Koma”, bagaimana Anda menanggapi urgensi peranan ruang-ruang kreatif teater terhadap perkembangan dunia teatrikal di Indonesia?
Oh bagus, Indonesia tuh sekarang terutama di Jakarta. Tapi, sebetulnya ada daerah-daerah seperti di Cirebon, Medan, Surabaya, Jogja apalagi, Solo, dan Bandung. Teaternya maju-maju itu tak seperti dulu yang selalu berpusat di Jakarta. Sekarang kebetulan ada festival teater. Jadi di Indonesia sudah lumayan. Tapi minat orang untuk nonton teater masih kurang. Masih dilihat sebelah mata. Tapi Teater Koma sudah bisa membuktikan bahwa sebenarnya bidang ini bisa dikembangkan asal dilakukan dengan konsisten.
Sebagai seniman yang melewati beberapa era, bagaimana Anda melihat posisi dunia seni di Indonesia saat ini?
Kita sebenarnya cukup ketinggalan, apalagi di bidang tata rias. Pada waktu itu saya pulang dari belajar tata rias di Jerman yang dibiayai oleh Sekretaris Negara. Untungnya ada kepedulian dari sana. Karena kalau berusaha sendiri harus mengantri, sampai inden dulu. Beli karcisnya disini, 3 bulan sebelumnya sampai baru nonton.
Apalagi jaman dulu. Artis yang namanya paling besar selalu datangnya telat.
Tentunya perlu ada orang yang selevel menteri yang benar-benar tahu kebutuhan dunia kesenian. Dengan begitu ia akan membangun gedung-gedung kesenian yang bagus dan benar. Sekarang agak kurang. Depok harus ada, Bekasi harus ada, Tangerang harus ada. Semua harus punya. Jadi kita kalau tiba-tiba harus main ke luar daerah sudah ada infrastrukturnya. Kadang-kadang mau main gedungnya tidak ada.
Olahraga di sini difasilitasi semua. Begitu menang, dapat hadiah lagi. Kesenian tidak pernah begitu. Ini berarti pemerintah masih kurang mengapresiasi. Harusnya sama. Lomba tata rias di luar negeri juara, sampai sini biasa-biasa saja. Tapi kalau olahraga dielu-elukan.
Apa proyek Anda selanjutnya?
Persiapan untuk pementasan Teater Koma dan di bulan Oktober jadi juri pekan seni nasional di Jogja