ASIAN Games Menyatukan Indonesia Kembali, Berikut Adalah Beberapa Catatan Kami
Kami merangkum beberapa hal penting dari Asian Games yang membuat gelaran ini meninggalkan bekas mendalam bagi kita, rakyat Indonesia.
Words by Muhammad Hilmi
Sesaat setelah Asian Games 2018 ditutup malam kemarin, banyak ucapan tentang bagaimana publik merasa kehilangan atas dua minggu penuh keriaan, harap-harap cemas dan kebahagiaan. Sudah cukup lama kita tak duduk bersama di depan televisi bersama keluarga, teman dan kolega, semua dengan harapan akan kejayaan Indonesia di dada. Untuk mengabadikan kesan dan kehangatan ini, kami merangkum beberapa catatan tentang bagaimana Asian Games berperan lebih dari sekedar acara olahraga.
Prestasi Terbesar Atlet Kita Bukan Ada Pada Raihan Medali
Tiga puluh satu emas, dua puluh empat perak dan empat puluh tiga perunggu jelas bukan prestasi biasa saja. Raihan ini membawa Indonesia menempati peringkat empat – pencapaian tertinggi dalam sejarah keikutsertaan Indonesia sejak kita menjadi tuan rumah di tahun 1962. Tapi sejatinya ada hal penting yang jauh lebih monumental yang telah dibuat oleh para pemuda-pemudi terbaik Indonesia pada gelaran Asian Games 2018 ini.
Pencapaian terbaik yang tercipta adalah bagaimana atlet-atlet kita – tanpa mereka sadari – menyatukan kembali kita, warga Indonesia. Entah sudah berapa lama kerukunan kita dikoyak-koyak oleh elit politik beserta kepentingan-kepentingan mereka, tapi setidaknya dalam dua minggu terakhir ini, kita bisa bergandeng tangan bersama, mendukung saudara sebangsa dalam perjuangan mereka. Banyak cerita soal bagaimana doa bagi atlet kita datang dari lintas agama. Bukankah begini harusnya kehidupan bernegara?
Dan untuk itu, Asian Games ini bisa dibilang sukses bagi Indonesia. Tapi dengan kesuksesan ini pula kemudian muncul tantangan, bagaimana kita bisa kemudian melanjutkan momentum baik kebangsaan ini untuk tetap terjaga di masa yang akan datang. Karena bisa jadi, minggu depan kita sudah akan lupa momen-momen mengharukan dari Asian Games ini (termasuk saat Jokowi dan Prabowo berpelukan), dan kembali hanyut pada polarisasi pemecah belah bangsa. Kalau sudah begini, kita sepertinya harus meminjam mantra Bung Vallen “Jebret” Simanjuntak, “Pait..Pait..Pait.”
Saatnya Memberikan Perhatian Lebih Pada Atlet Kita
Melihat bagaimana olahraga memiliki potensi sebesar ini, harusnya kita bisa lebih memperhatikannya. Perhatian yang bisa kita berikan dalam hal ini adalah pada berjalannya pembinaan usia dini, scouting, serta fasilitas pelatihan kita dikelola oleh para pejabat-pejabatnya.
Sudah usang rasanya kisah atlet berjuang dengan tenaga sendiri untuk memperjuangan nama bangsa, dan baru mendapat perhatian setelah meraih prestasi. Karena nyatanya secara kualitas kita punya, cuma kadang memang itu semua tertutupi oleh cerita-cerita salah asuhan. Mari arahkan naluri kita untuk kepo dan berkomentar negatif pada hal-hal yang lebih produktif – jangan cuma gatel untuk berkomentar saat atlet kita kalah tanding – mari viralkan juga hujatan pada pejabat persatuan olahraga yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Kompetisi Harusnya Ada Di Prestasi, Bukan Pada Soal Adu Pintar Mengkritisi
Ngomong-ngomong soal mengomentari hal-hal negatif, di sisi ini banyak di antara kita yang perlu banyak belajar saat menggerakkan jari saat membaca berita/posting tentang berita terkait perjuangan saudara kita.
Kritis itu perlu, tapi tak elok rasanya bila kita menjatuhkan mereka yang sedang dengan sepenuh jiwa dan raga berjuang untuk kita. Di bulan Oktober 2018 ini akan berlangsung Asian Para Games di Jakarta. Mari tunjukkan bahwa kita telah banyak belajar dari yang sudah-sudah dengan memberikan doa dan dukungan bagi mereka yang mewakili kita.
Pelajaran Soal Pelecehan Seksual
Agak mengejutkan rasanya bagaimana sebuah gelaran olahraga seperti Asian Games bisa memberikan kita pelajaran soal sexual harassment. Tapi itulah yang kita pelajari dari kasus saat Jonatan Christie menjadi juara di tunggal putra badminton.
@kostumkomik
@kostumkomik
Dari kasus Jojo ini, kita bisa melihat bagaimana pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapapun, dan pun sebaliknya, siapapun bisa menjadi objek pelecehan. Kaum perempuan harus sadar bahwa mereka bisa saja melakukan pelecehan seksual – meski kadang dengan tanpa niatan buruk, dan kaum pria kini harusnya tahu betapa menjijikkannya aktivitas pelecehan seksual itu.