Merenungi Kebebasan Lewat Percobaan Teatrikal “White Rabbit Red Rabbit”
Percobaan teatrikal dari playwright asal Iran, Nassim Soleimanpour yang kedap waktu dan melewati batasan seni teater.
Words by Febrina Anindita
Foto: Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Apakah sebuah lakon akan lebih bermakna jika aktor serta penonton yang hadir tak tahu apapun tentang yang mereka mainkan? Pertanyaan tersebut muncul bukan berdasarkan angan-angan, melainkan ketika melihat adanya lakon “White Rabbit Red Rabbit” di deretan acara SIPFest 2018. Ditulis oleh playwright asal Iran, Nassim Soleimanpour, tak banyak info yang bisa didapat tentang naskahnya di internet, karena sesungguhnya yang tahu segalanya hanya sang penulis serta mereka yang telah menonton. Pasalnya, konsep yang ditawarkan oleh Nassim adalah sebuah percobaan teatrikal, dimana naskah masih disegel hingga dipindahtangankan kepada sang aktor di atas panggung.
Jika penonton mencoba mencari ulasan pun, para jurnalis dengan apik menyembunyikan alur ataupun set dalam lakon, seakan menandatangani perjanjian tak tertulis dengan Nassim untuk tidak membocorkan keunikan karyanya. Tentu sebagai playwright, Nassim terhitung jenius, karena ia mampu menjadi sutradara walau tak bertemu dengan aktornya sama sekali atau hadir di dalam ruang pentas. Kekuatan kata-kata yang ia rangkai dalam naskah pun tak hanya kuat menjaga tensi lakon dan emosi sang aktor, tapi juga penonton yang jadi bagian jalan cerita.
Atas hal tersebut, “White Rabbit Red Rabbit” dipentaskan sebanyak 2 kali oleh 2 aktor berbeda di Komunitas Salihara pada minggu lalu. Adalah Reza Rahadian dan Sita Nursanti yang diajak memainkan lakon ini – tentu keduanya memiliki pengalaman dan cara berakting yang berbeda, namun yang pasti, mereka sama-sama merasa tersegarkan dengan penampilan teater seperti ini. Berkat tiadanya latihan sama sekali, sisi personal aktor membaur dengan ‘tokoh’ yang ditulis Nassim, sehingga lakon ini bersifat personal tiap kali dipentaskan oleh siapapun. Namun, di sinilah, aktor ditantang untuk dengan sigap membaca konteks naskah sembari memainkannya di depan ratusan penonton. Cela yang biasa dihindari pada ‘pementasan ideal’, justru jadi keunggulan di lakon ini.
Berisi kisah personal sang penulis, semua orang yang ada dalam ruang teater diajak mendengar renungan Nassim tentang kebebasan yang tak bisa ia rasakan di kala ia menulis naskah ini pada 2010, di negaranya. Memberikan kesan mendalam yang tak biasa, “White Rabbit Red Rabbit” menawarkan sudut pandang baru pada hidup dan refleksi diri. Tapi melihat adanya eksperimentasi teater seperti ini dan kita kembali ke pertanyaan awal, “Apakah sebuah lakon akan lebih bermakna jika aktor serta penonton yang hadir tak tahu apapun tentang yang mereka mainkan?” Jawabannya adalah iya, karena tak hanya dengan cara seperti ini kita merasakan kekuatan teater dalam menawarkan ilusi di tengah realita, tapi juga sebagai ‘wadah’ kedap waktu untuk memaknai hidup.