Ruth Marbun Mencari Keindahan dalam Ketidaksempurnaan
Dengan wawancara ini, kami mengakrabkan diri dengan Ruth Marbun, eksplorasi identitas karya, dan kritik ideologi keindahan dalam masyarakat.
Words by Emma Primastiwi
Foto: Ruth Marbun & Clear Gallery Tokyo
Ruth Marbun atau lebih akrab dikenal sebagai ‘Utay’ merupakan seorang seniman yang tidak takut akan ketidaksempurnaan. Setelah tinggal di Inggris, Amerika dan Singapura, Utay menggambarkan pengalamannya dengan menghidupi budaya yang beragam dalam karyanya. Penuh dengan kontras, ia memperlihatkan naik dan turunnya emosi seorang manusia, juga menantang ide masyarakat tentang keindahan yang konvensional dengan adanya ketidaksempurnaan. Dalam wawancara ini, Utay membahas eksplorasi karakter karya seninya, perjalanan menuju pameran solonya di Clear Gallery Tokyo, dan ‘mendengar peluit’ finalisasi dalam karyanya.
Karya Anda menampilkan passion Anda terhadap literatur, fashion dan seni. Bagaimana Anda menemukan karakter karya?
Saya percaya karakter pengkaryaan adalah sesuatu yang sudah ada dari sananya dan tidak ditentukan oleh kehendak diri, tetapi kesadaran terhadap nilai karakter tersebut yang harus dibangun melalui proses penciptaan yang terus menerus— melalui kesuksesan, dan yang lebih penting lagi, kegagalan.
Anda pernah tinggal di luar negeri. Apakah ada hal berpengaruh terhadap karya Anda dari perbedaan budaya yang dialami?
Tidak mempengaruhi secara spesifik dalam konteks komparasi budaya tetapi memberi pengaruh dalam perluasan referensi dalam ketertarikan saya terhadap perilaku keseharian manusia dalam penyesuaian terhadap lingkungannya.
Karya Anda seringkali menampilkan ketidaksempurnaan dalam keindahan. Mengapa hal tersebut penting untuk diangkat dalam kesenian?
Saya lebih setuju dengan mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan. Itu selalu menjadi hal yang menarik perhatian saya; seperti sebuah narasi yang belum selesai dan berbagai dimensi kemungkinan yang tersimpan dalamnya —saya menemukan banyak ruang untuk eksplorasi dan interpretasi di sana. Plus, it’s a good survival skill.
Anda akan menggelar pameran solo dengan Clear Gallery Tokyo pada gelaran Art Jakarta tahun ini. Bagaimana perkenalan Anda dengan galeri tersebut?
Secara sangat tidak terduga, sedikit banyak disambungkan oleh kemajuan teknologi. Ketika bertemu secara langsung juga terasa frekuensi dan energi yang cocok antara kedua pihak, sehingga kita memutuskan untuk mencoba kesempatan ini bersama.
Dikurasi oleh Zarani Risjad, pameran ini membahas konsep keluarga sempurna yang dicap oleh masyarakat tidak pernah mengalami masalah. Mengapa secara spesifik, Anda ingin membahas hal tersebut?
Berangkat dari pengalaman pribadi (tentunya), saya memiliki kegusaran terhadap perspektif moralis yang masyarakat kita miliki dalam konsep ‘keluarga’. Mengapa sempit sekali ruang untuk melihatnya sebagai sekumpulan manusia dengan segala kekurangannya. Dan untuk seseorang yang hidup di negara yang sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, saya merasa dalam kenyataannya there are lots of dust under the carpet.
Bicara proses kreatif, sebagai pelukis, bagaimana Anda tahu bahwa sebuah karya sudah selesai atau sudah siap untuk dipamerkan?
Bagi saya sangat penting memiliki jeda waktu yang cukup dalam pengerjaan untuk ‘mendengarkan’ bunyi peluit finalisasi. Dan juga karena pendekatan cara kerja saya yang intuitif, ketika kesadaran saya mulai mencari-cari alasan untuk terus menambahkan seringnya itu adalah saat yang terbaik untuk berhenti.
Apa saja hal yang bisa diantisipasi dalam pameran Anda di Art Jakarta tahun ini?
Karya-karya baru yang mungkin sedikit lebih intense dari biasanya.