Musisi Asal Jambi, Riri Ferdiansyah Berbagi Perjalanan Kreatifnya dari Kampung Halaman Hingga Amerika Serikat
Kami berbincang dengan Riri untuk menanyakan proses kreatif, pengalaman selama berada di SXSW, hingga pandangannya terhadap skena musik Jambi
Teks: Carla Thurmanita
Jambi mulanya luput dari radar industri musik Indonesia. Jumlah talent lokal yang diketahui lahir dari tempat satu ini seperti dapat dihitung dengan jari. Namun perspektif ini langsung terbantahkan ketika satu nama mencuat dengan karya musik mereka yang mencuri perhatian para penikmat musik berbagai kalangan. Adalah Semiotika, satu unit post-rock asal Jambi yang beranggotakan Billy Maulana, Riri Ferdiansyah, dan Yudhistira Adi Nugraha. Dilihat dari rilisan album perdana mereka, “Ruang”, Semiotika seakan membawa nuansa baru dengan komposisi post-rock mereka. Sebagai bassist Semiotika sekaligus pemenang Go Ahead Challenge 2017, di sini kami berbincang dengannya untuk menanyakan proses kreatif, pengalaman selama berada di SXSW, hingga pandangannya terhadap skena musik tempat asalnya, Jambi.
Bagaimana awal ketertarikan Riri pada bidang musik? Dan mengapa memutuskan untuk bermain dengan instrumen bass?
Musik itu sesuatu yang sudah lekat di telinga saya sedari kecil sebagai teman saat kumpul keluarga yang bahkan kerap diperdengarkan tiap pagi. Semenjak saat itu, ada keinginan dalam diri saya untuk bisa main musik, seperti siaran TVRI tiap Minggu pagi (tertawa). Ditambah saya sangat suka dengan pertemanan dan berjejaringan, dan musik tentu dapat menjadi teman dan sahabat bagi setiap orang yang mendengarkannya. Tapi kenapa memilih instrumen bass? Karena menurut saya pribadi, bass itu seksi. Apalagi kalau bass betot yang besar dan ‘galak’, ia dapat menyatukan beberapa instrumen dalam sebuah komposisi musik, juga sebagai penjaga ritmik (walaupun terkadang ada juga yang keluar dari ritmik tersebut).
Bersama Semiotika, Anda memproduksi musik post-rock. Dari mana ketertarikan Anda terhadap genre ini muncul?
Saya suka semua jenis musik. Salah satunya adalah post-rock, karena menurut saya ambient dan penempatan sound effect di dalam musik satu ini, serta repetisi dari komposisinya dapat memperkuat sebuah pesan dari makna pada tema musik itu sendiri. Maka dari itu, melalui post-rock juga lah kami dapat menyampaikan pesan dan emosi melalui tiap-tiap komposisi musik yang kami buat.
Bicara soal musik post-rock yang sebenarnya lekat dengan komposisi repetitif. Sebagai musisi, bagaimana cara Anda mencari inspirasi untuk terus menghasilkan hal segar?
Salah satunya tentu dengan memperbanyak referensi di ruang dengar kami, terlebih dengan keinginan kami untuk mengkolaborasikan musik ini dengan beragam musik lainnya. Secara khususnya dengan musik tradisional yang ada di tanah melayu Jambi.
Bagaimana dengan cara kalian sendiri untuk selalu berinovasi dan mengembangkan kreasi baik dalam menulis musik ataupun bermain di atas panggung?
Hal paling penting adalah kami akan selalu berproses dan mengembangkan potensi yang ada. Tidak luput juga masukan, bantuan, dan dukungan dari kawan-kawan jejaring yang pasti ada diberikan pada kami.
Selain fokus dengan Semiotika, Anda juga mengembangkan kreativitas dengan mengikuti kompetisi Go Ahead Challenge. Apa yang membuat Anda ingin mencoba kompetisi ini?
Sesuatu yang paling mendorong saya untuk mengikuti kompetisi ada keinginan belajar dan bertukar baik pikiran, ide, maupun cara mengembangkan kreativitas. Cara berproses itulah yang menjadi pertanyaan sekaligus praktek yang ingin saya lakukan dan kembangkan.
Lewat kompetisi tersebut pula Anda mendapat kesempatan merasakan pengalaman kreatif dan terpilih menjadi salah satu pemenang. Apakah menurut Anda ajang seperti ini mampu mengkurasi musisi baru di skena lokal?
Ini merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan saya menang banyak, banyak pelajaran baru, pengalaman baru, teman dan jejaring baru yang mana dapat kami kembangkan dalam proses kreatif dan berkesenian dengan banyak cara seru dan luar biasa. Sehingga saya yakin kalau program ini sangat bisa memacu kawan-kawan industri musik lainnya untuk berproses lebih baik lagi.
Sebagai pemenang Go Ahead Challenge 2017, Anda kemudian berkesempatan tampil dan bertukar referensi di SXSW. Seperti apa progresi kreativitas Anda dalam bermusik setelah mengikuti kompetisi tersebut?
Setelah mengikuti kompetisi ini, saya malah jadi melihat bahwa ternyata banyak hal yang saya, bahkan kita semua harus kerjakan dalam berproses kreatif di bidang seni ini. Jenis kesenian yang ada di negara kita ini sangatlah beragam, sehingga sayang jika tidak kita ketahui lebih banyak dan juga kita eksplorasi lebih lanjut.
Beberapa kali Semiotika disebutkan sebagai wajah baru dari Jambi. Sebagai salah satu musisi di Jambi serta personel unit ini, bagaimana Anda melihat wajah musik Jambi hari ini?
Wajah musik Jambi sendiri dulunya lebih banyak ke arah metal, punk dan sejenisnya. Tetapi sekarang sudah mulai lebih beragam dari sebelumnya. Mulai banyak bermunculan nama-nama baru dengan warna musik lainnya yang sebelumnya jarang terdengar sekali di Jambi.
Menurut Anda, seperti apa posisi skena musik Jambi dalam blantika musik Indonesia?
Dari yang sebelumnya redup redam, bahkan cenderung sempat keram, sampai luput dari jangkauan mereka yang berada di luar Jambi. Tetapi sekarang ini saya melihat skena di Jambi seperti tidak ingin tinggal diam dengan ragam dalam skena musik nya yang semakin bertambah. Kami tetap ingin berproses dan tumbuh saling berjejaring antara per-skena-an di manapun berada.
Melihat paparan informasi yang Anda dapat lewat kompetisi ini, sebagai musisi asal Jambi, apa harapan yang Anda miliki terhadap skena musik di sana?
Pastinya banyak harapan akan lebih banyak lagi jenis musik dan nama-nama yang beragam muncul dari skena musik Jambi. Dan saya rasa untuk dapat mencapai ini, skena ini juga butuh dukungan dan masukan dari skena-skena di luar Jambi untuk selalu bisa berproses dan berkreativitas dengan lebih baik lagi.