Berbincang dengan Sosok Di Balik Logo Asian Games 2018, Jefferson Edri
Kami menemui Jefferson Edri dari Feat Studio untuk membahas proses kreatif dan filosofi di balik pembuatan identitas desain Asian Games 2018 hingga menghidupkan kembali semangat Soekarno.
Words by Ghina Sabrina
Bulan Agustus 2018 ini, Indonesia akan menjadi tuan rumah untuk salah satu perhelatan besar olahraga tingkat Asia, yakni Asian Games. Kami menemui sosok di balik identitas desain acara ini, Jefferson Edri (J) dari studio graphic design dan branding, Feat Studio, untuk membahas tanggapan atas persepsi pemerintah terhadap standar desain grafis di Indonesia, melihat kembali visi Soekarno di Asian Games 1962, hingga proses kreatif dan filosofi di balik pembuatan identitas desain Asian Games. Ada pula Kristin Monica (K) dari Feat Studio yang menjelaskan konsep dan penerapan prinsip desain dari tahap awal hingga akhir.
Feat Studio merupakan studio graphic design dan branding dengan sederet klien lokal dan internasional. Bagaimana cerita awal mula terbentuknya Feat Studio?
J: Jadi kami bertemu di kantor yang lama, kami dekat di kantor, sering mengerjakan proyek bersama di kantor, lalu keluar dari kantor yang lama, kami memutuskan untuk freelance bareng. Dari freelance bersama kemudian kami bisa membuat studio bersama.
Kemauan untuk membentuk studio pun datang sejak dari awal kuliah, karena saat sudah memutuskan untuk jadi graphic designer menurut saya hampir semua graphic designer yang saya kenal pasti punya mimpi untuk punya studio sendiri. Dan kebetulan waktu itu juga berpikir, maybe it’s the right time to do this. So, let’s start doing it from scratch.
Dalam praktek Anda sebagai studio desain, apakah Anda memiliki visi dan misi khusus yang diterapkan dengan pemilihan klien atau cara kerja?
J: Sebenarnya apa yang ingin kami terapkan ke visi kita itu bisa dilihat dari kenapa kami memilih nama Feat. Kenapa namanya Feat itu untuk kami adalah satu, featuring, dua, achievement. What we’re trying to do is to work with people instead of for people. Jadi buat kami, penting kalau dalam sebuah proyek itu kedua belah pihak bekerja sama. Menurut kami that’s the best way to work to get the best results. Mungkin kalau visinya begitu, sih. Lebih ke arah namanya yang ingin kita terapkan ke cara kerja kami, karena mungkin dari hubungan yang lebih dua arah itu bisa menghasilkan sebuah diskusi yang membuat proyek itu lebih menarik.
Dan kolaborasi itu, saya berusaha terapkan bukan hanya ke klien, tapi dalam studio kami sendiri juga berusaha untuk berkolaborasi dengan sesama. Jarang sekali satu proyek itu yang memegang hanya satu orang. Jadi kalau bisa semuanya chip in, kalau brainstorming dilakukan bersama-sama. Buat saya itu lebih seru. Jadi bukan cuma ide dari satu orang, tapi ada ide dari orang lain bisa dikembangkan.
Selain mendesain identitas untuk Asian Games, apa Anda pernah mengerjakan suatu brief dengan skala sebesar ini?
J: Tidak sih ya, kami belum pernah mengerjakan brief sebesar itu. From the scale of it, the Asian Games brief was the biggest. Tapi itu bukan proyek yang bisa dibilang a normal project ya, karena ini kan sayembara. The output memang skalanya besar, tapi tidak masuk kategori normal project.
Sebelum Anda memenangkan sayembara desain maskot Asian Games, telah dirilis logo dan maskot untuk perhelatan tersebut yang menuai kritik dari masyarakat. Apakah Anda mempunyai respon serupa terhadap konsep logo yang sebelumnya?
J: Jadi kalau ceritanya kenapa kami bisa sampai ikut sayembara ini bukan karena kami memang berencana ikut. Tapi waktu itu di publish di Facebook ADGI, dan memang waktu itu di salah satu acara chit-chatnya ADGI sempat ada omongan, “Eh, ayo dong ramein ikutan”. Dan kami juga sekadar, “Oh ya udah yuk, ikutan ramein”, jadi kirim portofolio. Waktu itu di kepala saya masih bukan Asian Games yang ini. Seumur-umur saya belum pernah mendengar tentang Asian Games. Yang saya tahu itu ASEAN, bukan Asian. Jadi saya tidak pernah relate itu ke kasus ‘Drawa’ atau apapun. Nah, setelah kami mulai dapat brief dan mengerjakan, baru tahu, “Oh ternyata, ini tuh yang kemaren?”, ternyata sudah sempat ada logo dan maskotnya. Kami baru tahu itu saat kami mengerjakan, tapi sebelumnya kami belum tahu.
Jujur kami tidak memikirkan itu. First of all, it is not our say. Menurut saya terlalu sombong untuk men-judge itu. Buat saya, kalau semuanya berjalan secara proper, ada proses seleksi, proses pemilihan dan proses pengerjaan yang benar yang menghasilkan itu, ya memang itu yang ingin dicapai, memang itu yang diminta dan itu yang merasa di perlukan. Dan kami kan tidak tahu di belakang seperti apa, ya.
K: Nah, sebetulnya karena waktunya itu mepet sekali. Waktu dari pertama kali mendapat brief sampai submission itu 3 minggu. Requirement-nya ada maskot, logo, dan sistem identitas. Honestly, kami tidak sempat memikirkan yang lama seperti apa, sih. Kami baru tahu ada maskot yang lama itu pas lagi masa 3 minggu itu.
J: Kami lebih ke panik waktunya mepet, jadi kami fokus aja untuk mengerjakan yang baru.
Maskot sebelumnya “Drawa” dinilai terlalu jadul, tidak informatif, dan ‘keberatan’ identitas budaya, melihat desainnya yang terkesan dibuat seadanya. Apa tanggapan Anda tentang persepsi pemerintah atas standar desain grafis di Indonesia?
We cannot say it’s the best, yet, but it’s improving. There is an improvement.
J: Kalau saya berusaha melihat yang positifnya aja. Tentu ada negatifnya, tapi menurut saya negatifnya itu dari dulu kami sudah tahu. Tapi yang positifnya ini bisa kita lihat semenjak logo “70 Tahun Indonesia Merdeka”. Sebagai seorang desainer yang sudah bekerja beberapa tahun, sudah mengalami pemerintahan dari sebelumnya dan tiba-tiba ada logo 70 dan seterusnya, menurut saya, we cannot say it’s the best, yet, but it’s improving. There is an improvement. Itu yang kita tidak bisa deny. Walaupun masih kacau atau kurang, tapi semua proses membutuhkan waktu.
Dan dengan adanya Bekraf sekarang yang menyokong dunia kreatif industri juga, Indonesia mulai masuk ke London Biennale, London Book Fair, dan Frankfurt Book Fair. Jadi menurut saya, arahannya benar. Ya, kalau step-by-step, slowly, tapi we have to bare with it. But at least it’s going to the right direction. Buat saya itu lebih penting daripada kalau kita mempermasalahkan apapun yang sudah-sudah. Lebih baik kita lihat saja ke depan yang bisa lebih baik seperti apa dan kita berusaha mendukung karya itu.
Contohnya Asian Games. We didn’t know what happened to the previous one. We didn’t know where it came from. But at least after there were some problems, the government tried to mend the problem, and tried to open it for the professionals, ya walaupun sayembara tapi ada syarat-syaratnya dan itu cukup bagus karena bukan terbuka untuk umum saja tapi terbuka untuk pekerja professionals. Menurut saya it’s a better way of doings things. Still structured, tapi it’s a process.
Pada tahun 2016 lalu, Kemenpora dan Bekraf akhirnya mengadakan sayembara desain maskot untuk Asian Games 2018. Sebelum mengikuti sayembara desain tersebut, apakah Anda memiliki bayangan tersendiri tentang karakteristik yang seharusnya ada dalam sebuah logo dan maskot perhelatan olahraga?
K: Kami tidak pernah mengerjakan sports event dan kita by project sekali. Jadi kalau mengerjakan sesuatu kami riset mengenai itu, tapi sebelum mendapatkan proyek itu, kami tidak tahu apapun. Jadi mulainya memang benar-benar dari blank canvas.
J: Di proses awal sayembara itu, di publish ‘calling for submission’. Tapi proses submission awalnya itu adalah kurasi portofolio. Jadi kami kirim portofolio sekitar Maret 2016, lalu kami mendapatkan kabar pertengahan April. Basically di e-mail bahwa kami lolos kurasi dan diminta untuk datang ke gedung Kemenpora tanggal 10 Mei untuk briefing bersama dengan 10 studio lainnya. Jadi ada 11 graphic studio yang lolos kurasi. Tanggal 10 Mei kita datang, di brief bersama, diberi tahu temanya apa, koridornya apa, yang diinginkan itu layaknya standarnya bagaimana. Sehabis itu diberi tahu kami harus mengumpulkan karya 3 minggu setelah itu. Di waktu yang bersamaan juga kami langsung ambil nomor untuk presentasi. Presentasinya sendiri dibagi menjadi dua hari, dan kami dapat giliran pertama di hari kedua. Jadi, kami mengerjakan brief itu selama 3 minggu lalu langsung presentasi.
Dari proses penjurian yang ketat karya Anda berhasil memenangkan sayembara tersebut. Bagaimana proses kreatif di balik pembuatan logo dan maskot tersebut dan apa filosofi di balik terbentuknya logo dan 3 maskot baru ini?
J: Kami sangat mementingkan bagian awal dari sebuah proses kreatif. Prosesnya sendiri itu kita bagi, yang pertama itu basically understanding the brief and then knowing the background and everything. That usually takes up to 40% of the time. Jadi kami perlu riset banget. Dan perbedaan proses ini dengan pekerjaan biasanya itu ada brief dari klien yang jelas dan kami bisa bertanya dengan kliennya, what is it that you really want and what you’re trying to say. Ini kan tidak.
Ini sayembara dan basically we were given a brief, they told us that this is the structure, bahwa temanya itu “Energy of Asia” dan ini harus di apply ke Indonesia, negara Asia, dan dunia olahraga. Basically itu. Jadi kami tidak tahu mau mengangkat angle apa dan untuk kami, itu jauh lebih susah. Sebenarnya Asian Games itu mau mengkomunikasikan apa apa? Mungkin ini akan kembali ke filosofi itu tadi. Because we don’t have a client to give us a clear direction of the message, we have to decide what kind of message we want to say because buat kita we look at it as a brand. We didn’t look at it as a sports event. And for a brand to be good, it has to have a good story. Because we believe that people want to be a part of a good story.
And for a brand to be good, it has to have a good story. Because we believe that people want to be a part of a good story.
Jadi kami berusaha membuat story-nya terlebih dahulu. Makanya kita jadi belajar sejarah. Jadi tahu “Oh dari tahun ‘62 sudah pernah ada Asian Games di Indonesia?” Dan tahun itu dibuatnya bagaimana. Jadi belajar pada tahun itu they managed to have Gelora Bunga Karno, the whole complex, done in two years back then, with their kind of budget and their kind of people. Jadi buat saya, wow, that’s an achievement banget. Jadi tahu stadium Gelora Bung Karno itu stadium pertama di dunia yang punya atap, karena sebelumnya semua stadium di dunia itu tidak punya atap. Dan saat Pak Sukarno meminta atap ke arsitek ataupun engineer orang Rusia itu basically they were like ‘are you crazy?’ But he demanded, and it happened. And then we have the first rooftop stadium in the world. And it’s one of the biggest stadium as well back then. Jadi achievement-nya itu banyak sekali. Ada banyak fakta-fakta seperti ini yang belum pernah saya dengar. Jadi ternyata it meant so much, this Asian Games in 1962, back then because itu adalah international event pertama setelah kita merdeka.
Dan Presiden Sukarno waktu itu ingin sekali mendapatkan event ini, karena untuk dia this is the right platform to launch Indonesia to the international stage. Bahwa kita bangsa yang merdeka dan bisa bersaing. Dan itu adalah platform yang benar. Walaupun olimpiade mungkin terlalu besar. Jadi buat kami, it has that kind of message, story, vision, and dreams. Sukarno itu percaya olahraga adalah pembangunan karakter, jiwa dan bangsa juga. There is this kind of vision our founding father has about this nation and its people that he put into that place. Lalu, waktu mengerjakan ini selama 3 minggu itu, ada kasus bakar-bakaran kursi di Senayan, dan di situ kami merasa bahwa this is kind of ironic. This place has that kind of meaning before dan that kind of vision built into it. But nowadays people don’t realise it, I don’t even realise it. Jadi buat kami maybe that’s the kind of story we want to tell. It is a good story and let’s try to tell this story.
Makanya buat kami, this project for us, the whole message is ‘keep the dream alive’. There is a dream inside that place, there is a dream put into a time capsule so let’s keep it alive. This place needs to be alive to remind us of what the original plan is for this country, for this nation, for the people. Saya tidak pernah belajar ini di sekolah. We don’t know whether we can win or not if we look at it as a competition, but if we look at it as something that what we want to tell people, this is what we want to tell people. This is what matters for us.
Basically, personifikasi dari proyek ini adalah Sukarno. It has the same kind of message, it has the same kind of tone with the whole dream and vision. Kami mau mengingatkan saja kalau we have all of this already, let’s not try to make something new. Let’s try to remember who we are before everything. Kurang lebih seperti itu simple-nya, which doesn’t sound simple at all.
Kami mau mengingatkan saja kalau we have all of this already, let’s not try to make something new. Let’s try to remember who we are before everything.
K: Itu adalah hal yang ingin kami sampaikan. Anyway, sekarang beredarnya, the original story dari mereka yang the “Energy of Asia”. Itu memang bagian dari brief-nya. Pada saat kita mengerjakan, kita buat bagaimana kalau story-nya ‘keep the dream alive’, tapi yang keluar adalah the “Energy of Asia”.
J: Semua yang kami beri tagline-nya adalah “keep the dream alive”. Kami tidak membuat tagline the “Energy of Asia” sama sekali. Maksudnya, yang saya tangkap dari brief, “Energy of Asia” itu bukan tagline, temanya saja.
Ketiga maskot karya Anda, Atung, Kaka dan Bhin Bhin, memiliki ciri khas masing-masing. Seperti apa proses di balik penentuan jenis karakter dan pesan-pesan apa yang ingin disampaikan melalui karakter tersebut melihat banyaknya referensi yang dapat diambil dari budaya Indonesia?
K: Jadi sebenarnya koridor per brief-nya itu ada 3, which is: Asia, Indonesia dan sport. Tema brief-nya itu the “Energy of Asia”. Lalu, dari Asia, Indonesia dan sport, kami coba tarik itu. Pertama energy, kemudian Asia, Indonesia itu persamaannya di keberagaman. Jadi, Indonesia ada keberagaman yang sama seperti Asia. Seperti Bhinneka Tunggal Ika yang dikomunikasikan oleh Pak Sukarno at the first place itu kan karena keberagaman.
J: Kmi melihat ada persamaan di semua itu. Ada keberagaman di Indonesia dengan bahasa, suku dan ras. Which is the same thing as Asia as a continent. It’s also very diverse. If we trace back to the first Asian Games, itu dibuat untuk mempererat hubungan antar negara Asia karena hubungan bagus antar negara Asia itu akan menghasilkan sebuah kekuatan baru karena diversity itu. Diversity is another good message dan kita punya semboyan negara yang basically cover that. Kalau proses pemilihan binatangnya itu…
K: Kami mencari binatang khas Indonesia sebenarnya banyak. Tapi karena sports event, jadi sebenarnya kami mencari binatang yang mempunyai karakter sports. Feature yang dibutuhkan atlet yang bisa merepresentasikan secara simbolik sports, power, strategy sama kelincahan. Jadi kami mencari binatang Indonesia yang merepresentasikan hal-hal tersebut.
J: Untuk bajunya, kalau yang burung, Bhin Bhin memakai baju yang patternnya dari Asmat, Papua. Kalau Kaka itu memakai baju Palembang, karena bagaimana pun Palembang itu salah satu host-nya. Kalau Atung, tadinya karena Atung dari daerah Jawa, kami memakaikan batik Parang karena batik Parang artinya cukup bagus juga. Sehabis itu ada permintaan, “Boleh tidak kalau yang ini diganti ke batik Jakarta karena ini kan daerah Jakarta? Jadi ada Betawinya, kan ini buat orang Betawi juga.” Jadi kami ganti.
K: Pada dasarnya karena Indonesia banyak sekali daerahnya, jadi kami berusaha supaya semua at least terjamah. Jadi akhirnya Cendrawasih juga dari Papua, jadi bajunya dari sana. Kaka dari Ujung Kulon dengan baju dari Palembang. Terus Atung itu dari pulau Bawean, daerah Jawa Timur dan ke arah pulau-pulau Jawa Timur situ jadi memakai baju dari Jawa. Sebisanya, sih, kalau bisa semuanya terjamah.
Setelah pengumuman pemenang, bagaimana proses selanjutnya bagi studio Anda yang berkenaan dengan implementasi desain kepada seluruh asset publikasi Asian Games?
J: (Tertawa) Itu prosesnya tidak enak sekali. Jadi tanggal 27 Juli kalau tidak salah saya dihubungi oleh pihak juri sayembara ini. “Bisa bertemu tidak? Ada yang mau kita revisi.” Apanya yang mau direvisi? Ini kan kompetisi. Waktu itu kalau tidak salah ada komen bahwa rusanya terlalu Christmas-y, jadi “Bisa tidak bagian rusanya tidak terlalu Christmas?” Dan waktu ditelepon, saya seperti, “kKnapa gitu ya?” It’s not fair dong kalau saya diminta revisi sedangkan 10 studio lain tidak diminta revisi. Kmi tidak ada pengumuman finalis, kami tahunya belakangan kalau kami finalis, setelah kami menang.
K: Kami tidak expect sama sekali. Kami bahkan ada internal bet. Tidak ada yang memegang studio kami. Makanya waktu itu rada aneh kenapa mereka meminta direvisi.
J: Karena banyak pertanyaan dari saya, mereka minta bertemu jam 8 malam di STC. Kami bertemu, lalu diberi tahu ada revisi dan saya masih bertanya, “Why do you guys want a revision? This is not fair”. Akhirnya mereka bilang, “Okay, kalian menang. Besok jam 9 pagi presentasi di Setneg.” Alhasil kami tidak tidur gara-gara itu. Besok pagi-pagi langsung berangkat ke sana. We didn’t know what happened. Dan habis itu selesai, kami pulang, bayar-bayar makan karena kami kalah taruhan (ketawa) dan sembari makan juga masih berpkir “What happened?”. It’s too big of a scale, sih.
We made it that way because it’s supposed to be attractive to children
Jadi waktu kami selesai presentasi ada beberapa pertanyaan dari jurinya. Yang saya ingat itu, ada yang bertanya kenapa maskotnya cenderung attractive to children? We made it that way because it’s supposed to be attractive to children. Because as a grown-up, I wouldn’t go near a mascot. It has to have the appeal for children. Dan kalau tidak lucu, jadinya menyeramkan. Jadi harus lucu. Ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tapi tidak ada revisi sewaktu presentasi.
Setelah kami menang, kami diberi tahu bahwa revisi tentang kain batik itu benar adanya. Kami diberi waktu seminggu untuk revisi. Dari situ kami sudah harus serah terima.
K: Sebenarnya untuk kami, normalnya status first draft, sih. Cuma along the way, sampai benar-benar final, serah terima final, kami sempat merapikan typography dan warna.
J: Typography dari presentasi pertama itu sampai sekarang berubah. Sehabis kami ada waktu, kami mencoba untuk merevisi typography-nya lagi. Warna juga.
K: Karena ini first draft dan kami tidak expect untuk menang, dan waktu sangat kurang, sementara proses kami itu 60-70% buat riset, jadi tim yang mengerjakan itu hanya memiliki 5 hari untuk membuat semua itu. Pada saat presentasi di Setneg itu tidak ada versi final sama sekali. Maksudnya, warnannya pun bukan warna yang final secara teknis, font-nya juga. Selama proses dari mulai diberi kabar pengumuman pemenang sampai akhirnya serah terima itu ada sedikit perubahan. File yang pertama dikirim itu bukan yang final. Tapi sempat beredar yang versi lama dengan warna lama yang sampai dijadikan kaos di Tokopedia. Jadi sampai akhirnya final banget, yang memakan waktu kira-kira sebulan, kami menyerahkan ke mereka. Bolak-balik juga karena batiknya Atung. Sempat juga revisi tangannya maskot, yang awal-awalnya tidak mempunyai jari. Akhirnya, file itu diserahterimakan untuk di-publish di situs Kemenpora untuk dipakai secara umum.
J: Ekspektasi kami itu setelah kami diberi tahu bahwa kami menang, kami bertemu, mengobrol, dan diskusi. Namun, hal tersebut tidak ada.
Apakah ada yang berbeda dengan identitas yang dipakai Asian Games sekarang?
K: Dikembangkan sih sepertinya. Jadi, waktu awal kami propose, memang di logonya itu ada kombinasi dengan Indonesian pattern. Sekarang, yang sudah beredar memang ada pattern-nya tapi itu bukan pattern yang akhirnya kami serahkan. Jadi setelah kami menyerahkan dan kemudian mereka mempublikasikan guidelines, memang semuanya dalam format vektor dan bisa dikembangkan oleh berbagai agency dan studio. Jadi mereka mengembangkan sendiri. Lalu apparently jadi ada pattern, padahal kami tidak sempat membuatnya. Tadinya ada tapi tidak jadi karena tidak sempat, akhirnya kami take out juga. Ada pengembangan sekali. Tapi kami tidak diberi tahu juga, setelah serah terima, kami bye saja.
J: Sebelum serah terima, kami sempat bertemu dengan pihak INASGOC. Kami dipanggil untuk menjelaskan, dan mereka memberi tahu dengan cukup terbuka bahwa mereka punya tim kreatif in-house yang mereka bentuk sendiri, tapi kalau bisa, mereka dipandu. Terus kami membuatkan guidelines dan kalau ada pertanyaan akan kami jelaskan. Sebatas itu saja. Mereka bertanya, “Nanti bisa tidak kalau ini dibuat versi yang bisa dibuka di program-programnya?” “Ini font-nya bisa dipakai atau bagaimana?” Kebetulan kami dari awal juga pakai “Google font”, jadi open-source dan bisa di-download.
Apa proyek yang sedang Anda siapkan?
K: Client works, sih. Soal Asian Games itu iseng-iseng berhadiah. Sekarang kami kembali ke realita saja. Tapi selalu exciting.
J: Kalau untuk mengikuti sayembara lagi, tergantung, sih, saya bukannya against sayembara, tapi kenapa yang ini saya ikut juga karena saya lihat syaratnya lebih masuk akal karena you know who you’re competing with, you know that you need proper requirements. Itu buat saya oke.