Ketika Anak Menjadi Kepala Keluarga
Cerita seorang anak yang kemudian menjadi seorang kepala keluarga.
Words by Whiteboard Journal
Sebagai fotografer, saya sering merekam kehidupan dan momen pribadi orang lain. Namun sangat sedikit kehidupan pribadi, yang sempat saya rekam. Dari ribuan foto yang saya hasilkan saat bertugas, jarang saya hasilkan imaji yang benar-benar mewakili perasaan dan emosi pribadi.
Hal tersebut sangat terasa, ketika akhirnya saya berkeluarga. Apalagi setelah kehadiran Messi, anak laki-laki pertama saya. Anak yang sering saya tinggalkan di dua tahun pertama dalam hidupnya, karena kami harus tinggal terpisah. Saya kehilangan kesempatan bermain bersama Messi, kesempatan untuk melihat dia belajar berbicara, berdiri sampai berjalan.
Tahun 2013, istri saya, Olga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah di Columbia University di New York. Saya bangga, kerja kerasnya selama ini akhirnya tercapai. Di satu sisi, sebagai seorang suami, perasaan saya juga bergejolak. Apa yang akan saya lakukan di sana? Bagaimana perkerjaan saya? Apakah saya akan menjadi beban keluarga, beban buat istri saya? Bagaimana nasib Messi? Tapi jika saya di Jakarta, saya tak bisa membayangkan Olga harus sendiri di sana. Saya juga tidak bisa membiarkan Messi harus tumbuh tanpa pelukan Ibunya.
Kegelisahan pun semakin menumpuk. Hingga, saya teringat diskusi saya dengan istri saya, dulu sebelum menikah. Intinya adalah, suami istri bukanlah kompetisi, melainkan komitmen. Akhirnya, sebagai lelaki, sebagai seorang ayah, saya buang ego saya. Saya tinggalkan pekerjaan saya. Kami pergi. Satu keluarga.
Pindah ke tempat baru dan akhirnya tinggal di bawah satu atap, saya memotret pengalaman saya dan Messi, hampir setiap hari. Seolah-olah saya sedang membayar hutang waktu saya yang hilang sebelumya. Waktu-waktu yang tidak dimiliki banyak ayah untuk menyaksikan anak-anaknya tumbuh di masa emas mereka. Karena kesibukannya, para ayah memiliki waktu yang terbatas untuk dihabiskan dengan anaknya.
Masa yang mengingatkan juga akan banyak momen penting dalam kehidupan yang akhirnya harus saya lewati tanpa kehadiran ‘Amang’. Sebutan untuk Ayah atau Bapak dalam bahasa Batak, di keluarga saya. Amang, seorang Ayah yang hebat dan luar biasa, namun tidak cukup banyak waktu yang beliau berikan untuk saya, karena pekerjaannya, hingga akhir hayatnya.
Memotret sambil menjaga anak, membantu saya mengenal dan memahami Messi, bahwa semua hal yang kita temui memiliki arti dan keindahan tersendiri. Melakukannya, saya tidak hanya kembali belajar memahami, dan menikmati fotografi seperti ketika pertama kali belajar, namun membawanya ke perasaan yang lebih intim.
Foto-foto dalam buku ini merupakan campuran kenangan dan pengalaman, kebahagiaan juga ketakutan. Mungkin inilah cara saya menyatakan cinta. Sebagai bentuk permintaan maaf kepada anak dan istri saya. Sekaligus ungkapan rindu untuk ayah saya.
Di New York, saya belajar menjadi seorang laki-laki, seorang kepala keluarga.
Seorang Amang.