Mengunjungi Masa Lalu untuk Melangkah Maju Bersama Louise Sitanggang
Kami berbincang dengan Louise Sitanggang mengenai inspirasi musiknya, cerita yang ingin disampaikan dan bagaimana ia menemukan talentanya.
Foto: Moses Sihombing
Dikenal sebagai vokalis Deredia, Louise Sitanggang menarik perhatian publik dengan penampilannya yang teatrikal dan mengundang nostalgia. Bersama Deredia, Louise beserta anggota lainnya meng-cover lagu-lagu Indonesia tahun 1950-60-an dan juga telah merilis satu album berjudul “Bunga & Miles”. Pada tanggal 12 Mei 2018 lalu, Louise hadir sebagai penyanyi solo di acara Karya Platinum dari Swara Gembira, Malam Gembira “Asmaradahana” di antara talenta lokal lainnya yang bertugas mempopulerkan kembali lagu-lagu Indonesia dari tahun 1940 hingga 2000-an. Kami berbincang dengan Louise Sitanggang mengenai inspirasi musiknya, cerita yang ingin disampaikan dan bagaimana ia menemukan talentanya.
Bagaimana cerita awal mula perkenalan Louise dengan musik?
Sejak kecil saya sudah diperkenalkan ayah dengan musik. Ia pula yang memperkenalkan saya pada alat musik gitar, piano serta kartun-kartun musikal seperti kartun-kartun produksi Disney yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan saya hingga saat ini.
Tidak banyak penyanyi teatrikal Indonesia di masa ini dan cara bernyanyi Louise di panggung justru kental dalam hal tersebut. Apa pertimbangan di balik ciri khas ini?
Tidak ada pertimbangan khusus. Beginilah adanya saya. Jujur saja tak pernah menyangka bahwa penampilan saya akan dinilai teatrikal. Tapi satu hal yang pasti, saya ingin nyanyian saya bukan hanya menjadi suatu senandung manis saja karena saya ingin bercerita.
Terlihat adanya pengaruh dari penyanyi-penyanyi lawas seperti Ella Fitzgerald, Doris Day, Les Paul and Mary Ford di unit musik Louise – Deredia. Apa yang membuat Anda terinspirasi oleh elemen-elemen suara mereka?
Ella, Doris, dan Mary menurut saya adalah para penyanyi yang membawakan nyanyian dengan sederhana tapi dalam. Tak banyak improvisasi, tapi teknik vokal yang digunakan juga tidak mudah. Mereka bernyanyi menceritakan kisah bukan hanya menyampaikan nada yang indah melalui kata.
Apa yang membuat Louise pada awalnya meng-cover lagu Indonesia lama dibandingkan lagu lain seperti musik barat atau yang lebih kontemporer?
Deredia ingin mempopulerkan kembali lagu-lagu lama Indonesia. Begitu banyak lagu-lagu Indonesia yang sangat indah akan tetapi sudah tidak populer hingga saat ini. Nada-nada serta kata-kata yang catchy, tidak kalah dengan lagu sekarang, bahkan ada yang lebih bagus. Lagu-lagu dulu juga bisa diaransemen dengan sangat menarik. Di luar sana orang banyak mengenal lagu-lagu jazz standard yang banyak di antaranya merupakan lagu-lagu populer pada tahun 1920-1940-an. Lagu-lagu tersebut hingga saat ini masih sering dibawakan oleh generasi muda. Nah, begitu juga di Indonesia, kita juga punya lagu-lagu pop lawas kita sendiri yang bisa dibawakan sesuai interpretasi dan aransemen setiap orang.
Louise menulis beberapa lagu untuk Deredia dengan cerita yang berbeda-beda, seperti “Sir, Yes Sir” dan “Sugabucks”. Bagaimana Louise menentukan cerita yang ingin disampaikan lewat lirik lagu?
Lirik lagu Deredia pada album “Bunga & Miles” terinspirasi dari lingkungan di sekitar serta dari diri saya sendiri. Lagu “Sir, Yes Sir” merupakan kisah teman saya yang waktu itu sedang ada konflik dengan atasannya. Lalu “Sugabucks”, terinpirasi dari seorang pejabat negara perempuan yang tersandung kasus korupsi. Untuk album kedua Deredia, kebanyakan lirik lagunya terinspirasi dari kondisi sosial tahun 1940-1950-an.
Bagaimana Louise mengembangkan diri sebagai vokalis untuk terus berprogres dari masa ke masa?
Ngulik, ngulik dan ngulik. Terus mendalami era 1920-1950-an di Indonesia dan berbagai negara lainnya, lalu melakukan pengembangan yang terinspirasi dari era tersebut.
Proyek apa yang sedang disiapkan untuk ke depannya?
Saya sedang mempersiapkan album kedua Deredia yang rencana akan rilis Agustus ini. Untuk single dari album yang akan datang sudah dapat dinikmati, judulnya “Lagu Dansa”.