Warna dan Cahaya bersama Rebellionik
Febrina Anindita (F) talks to Rebellionik (R).
F
Anda meninggalkan ilmu arsitektur yang didapat di bangku kuliah untuk mengeksplorasi bidang multidisiplin. Apa titik balik yang membuat Anda ingin melakukan hal tersebut?
R
Mungkin saya koreksi ya, saya tidak meninggalkan ilmu arsitektur tetapi saya meninggalkan profesi arsitektur. Jadi sebenarnya karya grafis saya sekarang ini, kalau orang tahu, masih bermain di bidang arsitektural. Saya tidak bisa meninggalkan hasil sekolah arsitektur yang saya tekuni selama 5 tahun, yang saya tinggalkan hanya profesinya saja, karena memang saya tidak nyaman dan mungkin passion saya bukan ke sana. Saya sempat mencoba jadi fotografer komersil yang jalan bersamaan dengan grafis, tapi akhirnya fotografer saya vakum dan lebih konsentrasi ke dunia kreatif dalam atau studio desain. Waktu kuliah pun saat menjalani desain arsitektur bangunan, root-nya lebih ke apa yang saya suka saja.
F
Menggunakan alias “Rebellionik” untuk berkarya, apakah Anda rasa apa yang telah Anda lakukan menjadi antitesis dari rutinitas Anda?
R
Saya rasa iya, karena dulu nama Rebellionik cukup menarik karena tercetusnya terasa seperti kecelakaan, sebenarnya. Jadi, saya dulu ingin membangun sebuah perusahaan fotografi yang mana besok hari harus rilis karena ada keperluaan untuk mengikuti pameran dan pada saat itu saya belum memiliki nama perusahaan. Sempat mencari beberapa nama, mulai dari beauty dan segala macamnya, kemudian teman saya bilang kalau foto-foto saya itu “tidak benar” atau rebel lah istilah masa kininya, dan akhirnya tercetuslah nama “Rebellionik” di tahun 2009.
Sebelumnya pun saya juga pernah punya produk bernama Rebellious Romantic. Karena dulu di saat sedang Weddingku sedang booming dengan foto pre-wedding yang biasanya berlokasi di pantai, membuat saya kesal. Akhirnya saya membuat sebuah rilisan pre-wedding photography dengan sentuhan fotografi komersil. Jadi saya buat konsep hingga moodboard, yang mana semua prosesnya seperti fotografi komersil tapi sebenarnya untuk pre-wedding. Waktu itu saya unggah ke beberapa blog saya, kemudian Femina dan Weddingku merespon dan akhirnya jadi ramai. Ya menurut saya agak aneh aja sih menggunakan gaun kemudian panas-panasan di pantai, sekarang saya melihatnya pre-wedding sudah mulai Hypebeast, dan hal itu sudah duluan saya lakukan di tahun 2009 dan akhirnya di tahun ke-2 tahun saya akhiri karena itu sebenarnya hanya sebuah proyek.
F
Rebellionik dikenal dengan karya print, foto dan lightbox. Cahaya adalah benang merah di antara format eksplorasi Anda. Apa yang menjadikan hal tersebut menarik untuk dieksplor lebih jauh bagi Anda?
R
Saya awalnya sangat suka vibrant color. Akhirnya ketika tahun pertama saya di kampus, saya diharuskan membuat sebuah teater musikal atau TM oleh senior saya, yang pada saat itu saya memegang divisi “gerak”-nya dan nantinya akan ditampilkan setiap akhir tahun. Singkat cerita ada satu part, dimana kami menggunakan sinar UV, dan saya terkesima. Akhirnya semenjak itu saya mulai mengulik UV lighting dan menemukan warna-warna yang kemudian saya sukai tapi sempat saya tinggalkan karena harus fokus kuliah.
Setelah lulus kuliah saya teringat dengan konsep UV tersebut, dan akhirnya coba saya eksplor kembali dan saya terapkan di konsep proyek pre-wedding pada tahun 2008. Dan ternyata klien suka, akhirnya saya eksplorasi lebih dalam. Setelah itu saya riset dan perdalam hingga sekarang, seperti ada lampu apa saja atau benda-benda apa saja yang bereaksi pada sinar UV. Root-nya memang warnanya sama karena memang hanya warna-warna tersebutlah yang muncul dari sinar UV. Orang mungkin hanya tahu bahwa saya membuat karya dengan lighting/lampu atau menganggap karya-karya saya glow in the dark, yang padahal glow in the dark dan UV-induced fluorescence itu beda. Karena karya saya banyak memperlihatkan benda-benda yang menyala sehingga banyak yang mengira bahwa benda yang tersebut adalah lampu atau sesuatu yang bersumber energi, padahal sebenarnya, benda-benda yang menyala itu bisa bersinar karena dipancari oleh sinar UV.
Saya tidak terlalu peduli lah orang menyebut karya saya seperti apa, tapi yang jelas semua karya saya menggunakan sinar UV. Mungkin banyak yang bingung membedakan antara UV-induced, glow in the dark atau sebatas orang menggambar yang kemudian dinyalakan lampu lalu bersinar, benda induced itu, dimana pun benda tersebut berada di dekat sinar UV, pasti akan mengeluarkan warna tertentu. Makanya banyak digunakan di kedokteran dan mining company ketika hendak menentukan jenis-jenis mineral tertentu.
F
Mayoritas karya Anda hadir dengan warna mencolok dengan objek (wajah) yang dimanipulasi. Narasi apa yang ingin Anda coba sampaikan lewat estetika ini?
R
Kenapa warna vibrant, karena spektrum gelombang UV itu pendek, 100-400Hz. Akhirnya hanya warna-warna itu saja yang keluar – warna stabilo lah sebutannya, in which warna tersebut adalah warna-warna yang saya suka. Yang ingin saya sampaikan dengan karya saya sekarang, sebenarnya saya bukan di fotografi basic-nya, maka dari itu, tahun ini saya mengeluarkan karya instalasi karena saya ingin orang tahu bahwa karya saya tidak hanya keluar dalam bentuk karya fotografi saja, sedangkan karya yang ingin saya highlight adalah karya dengan medium ultraviolet.
Sebelumnya saya pernah berpameran bersama Abenk Alter dan Muklay di Plaza Indonesia, dimana pada saat itu saya membuat sebuah karya instalasi yang besar yang dapat menyala dan saya beri nama Ultraviolla yang diambil dari kata ultraviolet. Sebenarnya sinar UV juga memberikan saya kesempatan untuk bisa lebih bereksplorasi dengan beragam medium. Proyek Ultraviolla ini saya buat untuk memberikan kesan bahwa lampu ini bernyawa, diilustrasikan dengan seorang wanita yang bersinar, slim, dan berwarna vibrant.
Kalau tadi sempat ditanyakan kenapa ada objek wajah atau karakter karena pada saat itu saya ingin menciptakan dunia saya sendiri. Dan selanjutnya saya akan membuat tatanan kotanya hingga pada akhirnya saya akan memiliki complete Ultraviolla’s World. Karena memang saya membuatnya karya instalasi, akhirnya setiap runtutan proyek saya nantinya bisa berkelanjutan dan menunjukkan part of Ultraviolla’s World – membutuhkan jangka waktu yang panjang.
F
Pada 2014 Anda menggelar pameran solo “We are Ultraviolla” yang menghadirkan narasi tentang konsep manusia di abad ke-21 dengan esensi hidup bergantung pada data terenkripsi. Melihat perkembangan yang ada, bagaimana Anda melihat posisi teknologi di akan datang? Apakah mampu membuat manusia melampaui realita?
R
“We are Ultraviolla” itu adalah pameran solo kedua yang merupakan seri lanjutkan dari pameran solo pertama saya di Plaza Indonesia. Sebenarnya karya tersebut merupakan karya yang dipaksakan oleh kurator saya (tertawa) karena pada saat itu saya dituntut harus mengeluarkan karya, meskipun begitu efeknya sangat bagus karena saat itu belum ada yang membuat karya seperti apa yang saya buat.
Kalau berbicara tentang teknologi, menurut saya sebenarnya teknologi adalah manusianya itu sendiri. Lalu tadi saya ditanya apakah manusia akan mampu melampaui realita? Ya bagaimana bisa karena kalau menurut pandangan saya realita itu juga manusianya sendiri. Jadi untuk melebihi manusia sendiri sepertinya akan sulit. Lain hal jika membicarakan kemampuan manusia seperti berlari, mungkin bisa ditandingi karena ada mobil, lalu kemampuan mengingat sesuatu? Tentu bisa dikalahkan karena ada memory card, kemampuan menerangi? Manusia mungkin memang tidak bisa tetapi alat bisa.
Tetapi satu hal yang membuat saya menganggap bahwa teknologi hanya sebatas manusia karena teknologi tidak punya sesuatu yang kita namakan “perasaan”, maka dari itu menurut saya teknologi tidak akan bisa melampaui realita karena menurut saya teknologi itu adalah manusia sendiri. Manusia do something, mampu melahirkan teknologi seperti mobil dan robot, ya manusia itu the highest technology sebenarnya.
F
Kini banyak sosok kreatif yang muncul di Indonesia dan membutuhkan kurasi tepat untuk menghasilkan deretan emerging artist di skena seni lokal. Sebagai salah satu pelaku seni, menurut Anda, apakah seniman baru yang ada sudah progresif terhadap kultur yang ada?
R
Kalau disuruh mengomentari yang lain mungkin saya agak bingung (tertawa). Tetapi menurut saya secara global, saya suka pergerakan sekarang yang banyak seniman mudanya. Ditambah lagi dengan kehadiran media sosial, sehingga kita bisa berkomunikasi secara intense. Contohnya seperti ketika mengajak orang untuk membuat pameran, hari ini sangat memungkinkan kita untuk secara tiba-tiba mengajak orang yang mungkin sebelumnya tidak kita kenal karena semua orang sekarang punya etalase jadi kita tau karya-karya seniman tersebut dengan mudah. Menurut saya itulah yang menarik dari skena kesenian sekarang.
Ada residensi dari Yogyakarta, pada akhirnya kami tidak lagi membuat sebuah karya melainkan sebuah sistem yang dilatarbelakangi dari kegundahan seorang seniman saat berkarya. Karya sudah pasti dibuat, tetapi karena ada masalah ketika kita sedang buat karya akhirnya dibuatlah sebuah karya yang sedang kita buat yaitu semacam sistem mobile. Lebih kompleks, karena seniman berkarya layaknya bernafas. Tetapi dengan berkarya sebenarnya ada juga masalah-masalah yang timbul. Contohnya, kenapa sekarang karya saya kebanyakan berukuran kecil? Karena sebelumnya saya tinggal di apartemen yang kecil, sebelum ada ruangan ini, ketika membuat karya yang berukuran besar, lantas saya bingung.
Itulah salah satu masalah yang akhirnya membuat saya mengecilkan karya saya, jadi bukan karena tiba-tiba pengen buat karya yang kecil tapi karena memang ada problematika dibalik itu. Setelah pameran kan tidak tidak langsung laku, lalu ketika saya bawa pulang saya bingung cara menyimpannya. Karena itu, oke karena ada masalah baru saya harus punya jalan keluarnya dan pada saat itu pilihannya antara; saya pindah ke tempat tinggal yang lebih besar tetapi itu akan mahal atau berkompromi dengan ukuran karya yang lebih kecil dan bisa dilipat, membuatnya jadi laku.
F
Kenapa tidak membuat karya dengan format video?
R
Saya tidak terlalu menyukai format video. Pernah satu kali saya membuat sebuah video yang membuat saya berada 12 jam under UV 3200 watt dan saya sudah siap dengan kacamata hitam saya dan pada saat itu kru lain tidak ada yang mau memakai kacamata hitam. Dan benar saja, setelah videonya selesai dan saya berada ditempat terang merasa agak mual dan kru sudah pada jackpot (tertawa). Jadi, saya akan berpikir dua kali kalau ditawari membuat video dengan instalasi sebesar itu lagi.
F
Salah satu cara untuk mengkurasi talent lokal, adalah lewat kompetisi yang dibimbing oleh para seniman yang established pada bidangnya dan Go Ahead Challenge telah melakukan hal tersebut. Apakah menurut Anda kompetisi tersebut mampu menjadi wadah mumpuni bagi mereka?
R
Menurut saya Go Ahead Challenge itu adalah salah satu hal yang saya ikuti dari awal bahkan dari namanya masih A Create, dan saya suka, kebetulan juga dulu saya sempat ikut kompetisinya dan mungkin karena saya sudah terlalu tua jadinya tidak bisa jadi juara (tertawa). Dulu sangat jarang brand yang concern ke creative industries terutama ke senimannya langsung. Biasanya mereka langsung sewa seniman tergantung kebutuhan brand mereka dan menurut saya Go Ahead Challenge sekarang ini menarik, sebelum menang karya sudah dipampang. Setelah menang, para seniman di empowered.
Coba lihat finalis-finalis tahun lalu, sekarang mereka punya profesi yang lebih tajam karena karya-karya mereka dikurasi langsung oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya. Akhirnya dengan itu karya seseorang menjadi certified kalau mereka itu keren dengan segala panggung yang telah disediakan dan akhirnya terbukti kalau mereka memang jago. Jadi menurut saya, Go Ahead Challenge hadir dengan kurasi yang tepat akhirnya menghasilkan orang-orang yang terkurasi dan kompeten juga.
F
Apa proyek yang sedang Anda siapkan?
R
Saya sedang menyiapkan solo exhibition saya. Kemudian tahun depan ONX akan berusia 7 tahun, ketika acara ulang tahun nanti akan ada project idealis. Ruang seketika akan lebih diaktifkan kembali karena sudah lumayan terbentuk dan banyak pengunjungnya jadi mungkin akan dijadikan collaborative space. Bulan Maret mungkin ada Air Max Day, bersama Kuningan City akan membuat instalasi yang besar. Mungkin ada project bersama Plaza Indonesia juga, tetapi apapun temanya baik fashion, dll – semua akan saya garap menggunakan UV.
Project berikutnya ingin mengeluarkan merchandise, ONX akan saya jadikan sebagai sebuah brand dengan koleksi yang seenaknya saja. Akan ada banyak kolaborasi juga, dari ONX dan saya sendiri, karena karya saya sangat aplikatif yang didukung oleh background saya sebagai lulusan arsitektur dan creative director untuk design. Lalu akan ada juga kolaborasi bersama Eddie Hara yang akan diadakan di studio ini, yang sekarang ini sedang proses pembuatan sketchboard.
Lumayan padat dari awal sampai akhir tahun depan. Mungkin akan buat sesuatu juga bersama White Shoes and the Couple’s Company. Belum tahu mana yang akan keluar duluan tetapi itulah rencana ke depannya.