Foto oleh Agung Hartamurti Irockumentary
Entah berapa puji tersampaikan pada Efek Rumah Kaca, Irwan Ahmett dan tim produksi Konser Sinestesia, Rabu malam 13 Januari 2016. Hampir semua unggahan sosial media dari tempat duduk di Gedung Teater Besar Taman Ismail Marzuki menjadi bukti, sanjung dan pukau mendominasi timeline sosial media. Meski sebenarnya, 1.500 tiket yang terjual dalam masa satu minggu merupakan penanda bahwa konser Efek Rumah Kaca kali ini akan menjadi sebuah gelaran yang besar secara skala. Kabarnya pula, dari sekian pemegang tiket, masih ada sekitar 1000 nama di daftar tunggu yang bersiap untuk berburu kalau-kalau ada pembeli yang mendadak membatalkan pembeliannya.
Akan tetapi ternyata masih ada kejut dari apa yang Efek Rumah Kaca bersama tim sajikan malam itu. Sejak di muka saja, tampilan Gedung Teater Besar Taman Ismail Marzuki telah dengan gagah menyambut penonton. Dari segi pelaksanaan, tampaknya penyelenggara banyak belajar dari Konser Efek Rumah Kaca Bandung yang berlangsung beberapa bulan lalu. Dari segi teknis, mulai dari penukaran tiket, berjalan dengan cukup aman, meski ada satu dua double seating yang masih menyelip diantaranya, sebuah perbaikan dibanding konser Bandung yang menuai kritik karena kekacauan di antrian pintu panggung. Tata panggung dan tata artistik Konser Bandung yang agak terlalu berlebihan dan gimmicky, digantikan dengan tampilan yang lebih sederhana, namun berlipat daya magisnya.
Irwan Ahmett yang ditunjuk menjadi kolaborator artistik menjadi salah satu penentu kesuksesan Konser Sinestesia. Sejak tirai panggung dibuka, penonton konser disambut dengan sebuah instalasi di panggung, ruangan kosong berwarna putih geometris minimalis dengan personil yang berjajar rapi di depan barisan orkestra pimpinan Alvin Witarsa. Mengambil inspirasi dari karya James Turrel, Irwan Ahmett lalu memproyeksikan warna-warni cahaya seiring musik yang dimainkan oleh Efek Rumah Kaca. Memang, ini bukan konsep yang sepenuhnya baru, bahkan videoklip seorang musisi internasional juga menggunakan pendekatan yang sama, namun Irwan Ahmett mampu mengolahnya sedemikian rupa sehingga karya tersebut melekat dengan musik Efek Rumah Kaca. Lebih dari itu, rona warna dan rupa yang terpancar di panggung tersebut mampu memberi kedalaman suasana pada setiap lagu yang dimainkan. Ada cemas yang lebih mencekat di lagu “Di Udara”, sepi terasa semakin perih pada “Melankolia”, juga hangat yang mendekat diantara waltz sendu “Laki-Laki Pemalu”.
Efek Rumah Kaca sendiri tampil nyaris sempurna. Memainkan lagu-lagu dari album satu dan dua di paruh pertama Konser, Cholil, Akbar, Poppie, Ditto memainkan bagian masing-masing tanpa cela dan bersinergi dengan orkestra mini Alvin Witarsa yang tampak sangat menghayati setiap lagu di repertoarnya. Sesekali terdengar suara string section yang terlalu ke depan, menenggelamkan suara gitar Cholil dan Ditto, namun secara umum, konser paruh pertama tampil dengan apik. Improvisasi isian drum Akbar yang dilakukan pada beberapa part lagu juga memberi sensasi tersendiri. Pada bagian ini, terbukti posisi Efek Rumah Kaca sebagai salah satu band terbesar di Indonesia. Deras nyanyi penonton yang ikut melafalkan hampir setiap kata pada lirik lagu menjadi bukti bahwa lagu mereka telah menjadi milik publik, Cholil bahkan bisa beristirahat total dari tugasnya di depan microphone di lagu “Cinta Melulu”. Adrian yang bergabung di akhir sesi juga menambah nilai sekaligus kelengkapan pada setiap lagu. Adrian membuat unit Efek Rumah Kaca kembali utuh melalui nyanyinya yang selalu sepenuh hati.
Pada paruh kedua, Efek Rumah Kaca langsung menggelegar dengan satir di lagu “Merah”. Permainan cahaya di panggung semakin meriah, Efek Rumah Kaca kali ini ditemani dengan Ricky Surya Virgana yang mengisi cello. Berseragam hitam-hitam, set kali ini sedikit mengingatkan pada visual Arcade Fire di album Neon Bible. Berturutan kemudian, dimainkan lagu-lagu dari album Sinestesia sesuai tracklist. Berjarak hanya sekian minggu dari rilis album, konser ini adalah upaya yang sempurna dalam menghidupkan dimensi-dimensi dari album tiga. Penonton seperti diajak untuk mengalami setiap cerita pada enam lagunya, tak hanya melalui telinga, juga mata dan seluruh sensori tubuh. Dua lagu terakhir menjadi puncak haru biru. Visual awan di bagian atas instalasi panggung pada lagu “Putih” memicu nyeri ketika memasuki bagian lirik tentang suasana hidup-mati. Juga bait terakhir lagu “Kuning”, yang menggambarkan suasana padang Mahsyar dengan begitu indahnya, menyentuh penonton pada titik terendahnya. Seolah memimpin koor manusia di akhir zaman untuk berbaris bernyanyi beriringan di hadapan Yang Esa.
Agak sempit untuk menyimpulkan Konser Sinestesia sebagai sebuah hiburan yang berhasil. Karena nyatanya, acara ini berfungsi dan bakal melekat lebih dari itu. Kredit lebih tertuju pada penyelenggara dan tim produksi yang mampu menyajikan sebuah karya dengan level ini tanpa eksistensi sponsor. Dengan ini, Efek Rumah Kaca sekali lagi menghidupi dan memberi bukti bahwa pasar bisa diciptakan, dan cipta bisa dipasarkan dengan penuh kualitas. Konser Sinestesia menetapkan sebuah standar yang cukup tinggi di sejarah musik lokal, semoga ini menjadi penanda bagi tahun yang lebih baik lagi untuk dunia kreatif Indonesia.