Sejarah dan Keberanian bersama Putra Hidayatullah
Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan kurator Putra Hidayatullah (P).
by Ken Jenie
H
Dalam penjelasan kuratorial Jakarta Biennale 2015, disebutkan bahwa Anda merupakan aktivis sejarah, bagaimana awal mula ketertarikan Anda terhadap bidang ini?
P
Saya sendiri sebenarnya tidak pernah menyebut diri saya sebagai aktivis sejarah. Latar belakang saya adalah bahasa, saya lulusan Sastra Inggris. Sedari dulu, saya suka sastra. Saya juga suka menulis, untuk menulis, saya perlu membaca. Awalnya saya justru tidak terlalu suka dengan sejarah, karena pengalaman ketika sekola, pelajaran sejarah sangat tidak menarik. Bagi saya, pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah rasanya hampir sama dengan qute dari Eduardo Galleano, “pelajaran sejarah adalah tumpukan tulang belulang yang tidak memiliki emosi”.
Saya mulai mempelajari sejarah melalui buku Pramoedya Ananta Toer, “Bumi Manusia”, buku ini sangat berpengaruh bagi saya untuk membuka gerbong-gerbong sejarah yang sebelumnya belum saya ketahui. Saya memulai perjalanan mendedah sejarah ini dari apa yang terjadi di sekitar saya. Saya lahir dan tumbuh besar di Aceh, jadi langkah pertama saya adalah untuk membaca mengenai apa yang terjadi di Aceh di masa konflik. Terutama mengenai pelanggaran HAM dan kemanusiaan yang sayangnya banyak diantaranya tidak terdokumentasikan dengan baik. Dalam sebuah jurnal dari peneliti antropologi asal Italia yang sedang melakukan riset di Aceh diceritakan bahwa di Italia, anak-anak muda-nya memiliki pemahaman yang cukup komprehensif mengenai tragedi kemanusiaan di Italia yang melibatkan Benitto Mussolini, meski ada gap sejarah yang cukup besar. Peneliti tersebut terkejut ketika di Aceh, dia melihat anak-anak di sana paham tentang revolusi industri, hingga revolusi Perancis, hingga sejarah Amerika, tapi sama sekali tidak mengerti mengenai sejarah tempat kelahiran mereka. Meskipun saya rasa, ketidaktahuan anak-anak muda di Aceh ini sedikit banyak berhubungan dengan agenda pihak tertentu yang menutupi apa yang terjadi di Aceh masa lalu.
Dalam pameran yang saya sempat gelar di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu, saya mencoba untuk memetakan apa yang hilang dari pengetahuan akan sejarah Aceh melalui medium seni. Pameran tersebut melibatkan Idrus bin Harun, seorang seniman Aceh yang cukup berani dalam menggambarkan sejarah Aceh dalam bentuk karya seni. Jadi, dulu di masa konflik Aceh, terjadi hal-hal tak manusiawi terhadap warga yang datang dari aparat negara. Termasuk juga pada masa konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dan hal tersebut tercermin pada karya-karya seni yang muncul dengan tema-tema seputar opressed-oppressor, dimana dalam konflik yang demikian, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa hanya menjadi korban. Hal seperti ini, saya takutkan akan terus terjadi bila kita tak mampu belajar dari sejarah. Sekali lagi, saya akan mengutip Galleano disini, “History never really says goodbye. History says, ‘See you later.’”
Yang saya sayangkan adalah generasi sekarang yang masih saja tidak memiliki pemahaman akan sejarah. Bahkan banyak pula di antaranya yang terkesan tidak peduli, ada pula keengganan dari generasi sebelumnya untuk mentransfer pengetahuan atau bahkan pengalaman sejarahnya. Ada ketakutan disitu. Bahkan kalangan penulis disana pun memilih untuk menghindari bahasan mengenai sejarah kemanusiaan di Aceh, isu ini terutamanya, masih cukup sensitif. Tapi keadaan yang demikian justru membuat saya tertarik untuk menggalinya lebih jauh.
H
Jadi sisa-sisa konflik masih cukup terasa di kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh?
P
Masih. Mayoritas masih cenderung untuk tertutup. Mereka enggan untuk berbicara tentang sejarah. Mungkin, mereka masih merasa trauma dengan apa yang terjadi dulu. Tapi belakangan, ada concern baru yang berkembang pada benak masyarakat Aceh. Kini, ada ketakutan bahwa dengan bercerita mengenai sejarah Aceh, mereka akan dieksploitasi. Karena banyak datang wartawan dari media maupun peneliti yang menyebarkan harapan-harapan palsu saat melakukan observasi di sana. Masyarakat dijanjikan untuk dibantu, dibangun lagi rumahnya, namun tidak ada perwujudannya ketika riset mereka selesai. Pola yang demikian membuat masyarakat Aceh kesal, dan ini membuat mereka tak mau untuk berbicara lagi.
Sempat saya mewawancarai seorang penyair senior di Aceh, beliau yang biasanya dengan cepat dan tangkas ketika merespon sebuah isu, tiba-tiba terdiam ketika saya pancing untuk bersyair tentang sejarah Aceh. Beliau menolak bersyair tentang topik tersebut karena beliau melihat masa lalu Aceh sebagai luka lama yang akan menyakitkan jika dibuka kembali. Dari situ, saya melihat bahwa diperlukan pendekatan khusus untuk mendedah sejarah Aceh. Sebuah pendekatan yang arahnya tidak untuk membuka dendam, tapi lebih kepada kepentingan pengetahuan. Saya pikir, cukup menarik untuk menemukan sebuah cara yang bisa menjadikan pembahasan mengenai sejarah Aceh tak lagi dimaknai sebagai upaya untuk mengorek luka, juga bukan sebagai pemicu mengenai romantisme masa lalu, melainkan sebagai medium kritik yang mencegah kita untuk terjebak pada lubang yang sama.
Saya melihat disini posisi seniman harusnya tidak menutup kemungkinan untuk berkarya dengan dasar sejarah Aceh, karena mereka memiliki potensi untuk membuka pembahasan tentang sejarah ini dengan pendekatan yang sifatnya damai. Ini saya rasa seirama dengan tema Jakarta Biennale 2015, “Maju Kena Mundur Kena”, supaya kita bisa fokus dengan apa yang terjadi sekarang, tak lagi terjebak dengan perangkap masa lalu, namun juga tidak terperangkap dalam cita-cita masa depan yang utopis.
H
Secara sosiologis, trauma mengenai konflik kemanusiaan di Aceh sangat menghantui perkembangan masyarakat di sana?
P
Bisa dibilang demikian. Beberapa kali ketika saya agak kritis menulis mengenai sejarah Aceh, Ibu saya merasa khawatir dan menyarankan saya untuk tidak menulis seperti itu lagi. Jatuhnya, ketakutan seperti ini membuat masyarakat Aceh tidak mau berpikir panjang dan cenderung abai terhadap isu-isu sensitif ini. Anak mudanya pun jadi apatis. Ketika ada sebuah kejadian yang melanggar kemanusiaan, cenderung dibiarkan begitu saja, jikapun ada yang ingin bertindak, mereka tidak tahu bisa berbuat apa-apa. Di sini mungkin ada masalah dengan keterbatan akses pengetahuan, masyarakat tidak dibekali dengan pengetahuan untuk berpikir kritis.
Di Aceh – saya rasa hal yang sama juga terjadi di seluruh Indonesia – kebutuhan untuk memperkaya pengetahuan masih kalah dengan kebutuhan terhadap hal-hal yang cenderung tidak produktif, seperti untuk membeli rokok dan semacamnya. Ketika pun ada koran yang masuk, bentuknya adalah koran kuning yang kosakatanya melulu berkisar darah hingga sperma. Belum lagi mengenai tema-tema hate speech yang semakin marak menjadi tema pada khutbah Jum’at. Dengan exposure informasi yang seperti ini, timbul kebencian pada benak masyarakat Aceh terhadap hal-hal yang sebenarnya sifatnya artificial, tidak nyata, seperti konflik antar agama, ataupun antar sekte agama. Bagi saya, konflik semacam itu sebenarnya tidak berkualitas, tidak esensial. Sedangkan untuk masalah yang ada di sekitar mereka, justru sama sekali tak ada bahasan maupun penyelesaian kesana. Saya rasa, semua orang harus tahu, terutama para korban, mengenai dimana dan apa yang terjadi pada suami atau kakak mereka, sekali lagi bukan untuk mengoyak dendam, tetapi karena mereka berhak untuk itu, ada pula kewajiban negara untuk meminta maaf yang sampai sekarang belum dilakukan.
Yang saya sayangkan lagi, adalah mengenai minimnya keberanian intelektual dari anak-anak mudanya. Bahkan mereka yang kuliah jauh-jauh ke luar negeri, ketika pulang hasilnya sama saja. Saya secara pribadi ingin mencoba berani.
H
Sebagai salah satu penggerak komunitas Tikar Pandan di Aceh, apa saja aktivitasnya di sana?
P
Kami berfokus pada pengembangan kebudayaan. Mencakupi kesenian, film, kelas menulis, hingga untuk terjun pada pelosok daerah yang terkena konflik kemanusiaan dan dampak bencana tsunami. Cukup sering kami menggelar pemutaran film dengan harapan agar masyarakat Aceh bisa lebih terbuka pemikirannya, juga untuk transfer pengetahuan.
Dampaknya sudah terasa, meski belum terlihat secara nyata. Kami sedang berproses. Saya juga baru mendirikan sebuah komunitas baru khusus perempuan, yang saya kerjakan dengan teman-teman di kampus. Kami sedang membangun sebuah klub buku. Misinya kembali lagi untuk mengembangkan critical thinking. Aktivitas kami berkisar seputar workshop penulisan, juga ada diskusi mingguan.
H
Apakah ada komunitas lain, jika ada apa saja fokus mereka?
P
Ada beberapa komunitas di sana, namun jarang yang memiliki semangat aktivisme. Kebanyakan hanya berkutat pada masalah pengembangan skill, tapi mungkin juga mereka sedang berproses menuju kesadaran itu. Dari salah satu komunitas yang memiliki kesadaran mengenai semangat aktivisme ini, seniman-senimannya saya ajak untuk berpartisipasi di Jakarta Biennale 2015. Mereka saya lihat mampu melihat apa isu esensial yang harus diselesaikan. Melalui medium, musik, seni tutur dan seni rupa, seniman-seniman tersebut menyuarakan pandangan mereka. Seniman-seniman tersebut cukup progressif dalam membaca situasi Aceh saat ini.
H
Bagaimana Putra melihat perspektif eksotisme yang sering dijadikan sudut pandang ketika membahas mengenai daerah seperti Aceh?
P
Sejauh ini, gambaran yang ada di kepala masyarakat awam mengenai Aceh cenderung tidak akurat. Mungkin ini juga pengaruh media yang mencitrakan Aceh pada konsepsi yang tidak benar pula. Melalui Jakarta Biennale 2015, saya ingin memberikan gambaran yang berbeda mengenai Aceh kepada khalayak. Jika biasanya media yang bercerita mengenai Aceh, kali ini Aceh diceritakan oleh seniman-seniman lokal melalui karyanya. Semacam perspektif alternatif mengenai Aceh sendiri. Supaya Aceh tidak lagi hanya identik dengan syariat Islam, hukuman cambuk dan hal-hal menakutkan lainnya. Di sisi lain, juga supaya masalah lama Aceh bisa menemukan titik cerahnya. Ada sebuah karya yang cukup menarik yang akan dipamerkan di Jakarta Biennale 2015 ini, pada karya tersebut, ada sebuah ruang kaca yang menyimpan parang dan senjata tradisional Aceh di dalamnya. Karya ini merupakan simbolisasi mengenai apa yang terjadi di Aceh. Tentang pergesekan-pergesekan yang terjadi bahkan hingga sekarang.
Mengenai hubungan Jakarta dan Aceh yang arahnya cenderung eksotisme, ada puisi karya Fikar Weda yang bisa merepresentasikan perasaan masyarakat Aceh terhadap pandangan dari kota besar ini, “… siapa saja yang datang, kami hadiahi gelar sebagai saudara, dan penghormatan berbilah-bilah rencong dengan sarung dan tangkai berkilap, tak lupa kami selipkan pertanda martabat dan keagungan, betapa pedih hati kami dari Jakarta kalian hujamkan mata rencong itu tepat di jantung kami!”. Saya rasa Fikar Weda dalam puisi ini bisa mewakilkan perasaan masyarakat Aceh mengenai Jakarta pada masa lalu.
H
Bagaimana pandangan Putra sendiri mengenai Jakarta?
P
Saya melihat Jakarta Biennale 2015 ini adalah sebuah preseden yang baik untuk melihat Indonesia tak lagi hanya seputar Jogja, Bandung, Jakarta. Bahwa berbicara mengenai Indonesia adalah jembatan penyambung diantara jilbab dan koteka. Ketika Aceh dan Makassar dilibatkan dalam Jakarta Biennale ini, ada itikad baik untuk melihat seni rupa Indonesia dalam kacamata yang lebih luas. Ini pemaknaan yang baru untuk Indonesia. Dimana dulunya sering sekali ada latah pada pernyataan “inilah seni Indonesia”, padahal itu seni produk Jakarta. Harus mulai ada garis yang memisahkan konteks Indonesia dengan kota Jakarta. Masalah Kota Jakarta belum tentu bisa disamaratakan dengan permasalahan di penjuru Indonesia. Begitu pula sebaliknya, harusnya dengan posisi Jakarta yang berada pada pusat, mereka harus mau untuk menyuarakan masalah di daerah. Saya harap semangat positif pada Jakarta Biennale 2015 ini bisa terus berlanjut. Supaya masalah di kota hingga ujung batas negara bisa ditemukan solusinya.
H
Apa yang bisa dilakukan supaya kita bisa melihat pada apa yang terjadi di Aceh, terutama dalam konteks seni dan budayanya? Dan apa potensi yang bisa ditunggu dari ujung Sumatra ini ke depannya?
P
Mungkin agak klise sebenarnya, tapi memang sampai sekarang masalah utamanya ada di akses. Masalah akses ini jadi paradoks juga pada era internet dengan segala informasinya. Itu salah satu masalahnya, ada juga problem mengenai kepercayadirian. Banyak talenta di sana yang kurang mampu berkembang karena rasa percaya diri yang rendah.
Mengenai potensi, saya melihat sosok Idrus memilikinya. Pada Jakarta Biennale ini, dia mampu menunjukkan bahwa dia berada pada level yang sama dengan seniman lain. Dia punya konsep, dan mampu membaca realitas. Saya harapkan potensi Idrus ini mampu terus dikembangkan, supaya bisa menjadi salah satu katalisator atau role model bagi pengembangan seni budaya di Aceh. Saya ingin, suatu saat nanti, ketika diberi pertanyaan mengenai cita-cita, anak Aceh bisa berani untuk bilang menjadi seniman sebagai cita-citanya di masa depan. Agar “Menjadi PNS” tak lagi menjadi cita-cita kolektif anak bangsa.