Sosiologi Kota bersama Anwar ‘Jimpe’ Rachman
Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Anwar 'Jimpe' Rachman (J).
by Ken Jenie
H
Bagaimana awal mula ketertarikan Anwar terhadap dunia literatur?
J
Awalnya mungkin ketika mahasiswa, pada saat itu bentuknya masih sastra, puisi dan semacamnya. Tapi saya belajar menulis secara serius pada saat menjadi wartawan, keluar dari profesi itu, saya kemudian mendalami lagi bersama teman-teman di penerbitan Inninawa dan Tanah Indie. Sekitar tahun 2005 saya mulai mempelajari seluk beluk penulisan hingga penerbitan, jadi sekarang sudah 10 tahun saya berkecimpung. Dari sekian tahun, kebudayaan Sulawesi selalu menjadi fokus perhatian saya dalam setiap aktivitasnya. Mungkin arahnya lebih ke sisi antropologi dari kebudayaan Sulawesi tadi. Tanah Indie sebagai fokus utama kegiatan saya, delapan tahun terakhir lebih berfokus pada pembahasan masalah urban dalam bentuk teks. Ini mungkin yang akan membedakan karakter Inninawa yang lebih membahas mengenai masalah sosiologi dan antropologi budaya, sedangkan tanah indie lebih mengarah ke problem perkotaan.
H
Ada sejarah yang cukup kuat pada sastra Makassar klasik, apakah hal ini bisa dirasakan pada masyarakatnya hingga sekarang?
J
Pada penelitian sekaligus pengalaman yang kami alami sendiri, pengaruhnya cukup kuat pada masyarakat Makassar. Dari perkembangan teks yang ada sekarang, setidaknya pada apa yang terjadi sepuluh tahun terakhir, kutipan-kutipan dari teks dari abad ke-14 masih sering muncul. Di Makassar, ada Budaya Lontar yang sebenarnya merupakan versi purba dari konsep jurnalisme warga. Jadi semenjak dahulu di jaman nenek moyang orang Bugis, ada kesadaran dari publik, bahkan dari kalangan non kerajaan untuk melakukan penulisan. Meskipun saat itu ada bahasa sendiri, kita juga mesti ingat bahwa Makassar punya aksara sendiri yang bernama “Lontar”, mengambil nama dari medium penulisan yang digunakan, yakni daun Lontar.
H
Bagaimana mengenai budaya maritim, apakah masih ada jejaknya pada sosiologi publik Makassar modern?
J
Mungkin iya. Yang menarik, menurut sebuah penelitian dari Christian Pelras, seorang researcher yang telah meneliti kebudayaan Makassar selama lebih dari 30 tahun, sebenarnya orang Bugis bukan pelaut. Basic mereka adalah pedagang, tapi memang mereka menggunakan laut sebagai tempat bagi mereka melakukan kegiatan perdagangan. Dari aktivitas jual beli itu, kemudian mereka memiliki modal untuk membeli, atau membuat perahu. Biasanya, suku selain Bugis, seperti suku Makassar dan Mandan yang menjadi pelautnya.
Yang saya tahu, dari penelitian Pelras, Suku Bugis adalah salah satu suku yang cukup modern di kawasan Asia. Indikasinya bisa dilihat pada bagaimana Suku Bugis memiliki aksara sendiri, artefak teks, hingga model perdagangan yang mengarah ke materialistik-kapitalis, bahkan di era tersebut. Masyarakatnya pun sifatnya cenderung individual, tidak komunal seperti suku di sekitarnya, yakni Suku Mandan, Makassar, dan Toraja yang cenderung berkelompok. Perdagangan dan bentuk dasar kapitalisme yang menjadi identitas Suku Bugis membuat sosiologi masyarakatnya cenderung individualistis.
H
Jadi sebenarnya yang menjadi inti dari pola sosiologi masyarakat di sana adalah karakter masyarakatnya yang pedagang itu?
J
Makassar sendiri sekarang kotanya sangat urban, dengan segala ciri kota besar. Banyak teman dari luar ketika berkunjung ke Makassar agak shock, karena macetnya luar biasa, mungkin sudah hampir seperti Jakarta. Sedikit banyak, ini mungkin karena daya beli masyarakatnya cukup tinggi, meskipun juga masih cukup banyak masyarakat miskin di sana. Tapi memang, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1998, Makassar terkesan seperti tidak terkena dampaknya. Mungkin karena hasil bumi, atau komoditas utama dari Makassar, seperti coklat, kopi, udang itu harganya dollar, maka ketika krisis masyarakatnya justru banyak beli mobil. Bahkan ada cerita tentang saudagar di pegunungan yang saat itu membeli kulkas hanya untuk digunakan sebagai lemari penyimpanan, bukan sebagai lemari es. Ini lucu, orang seperti kebingungan untuk membelanjakan uangnya. Setidaknya yang tampak di permukaan seperti itu, saya yakin di kajian yang lebih mendalam, Makassar juga terkena dampak krisis moneter itu.
H
Apakah pola tersebut tercermin pada pola perkembangan generasi mudanya?
J
Pola perkembangan anak muda Makassar kebanyakan bermula dan bermuara pada komunitas-komunitas. Pada 10-15 tahun terakhir, komunitas menjadi inti pergerakan anak muda di sana. Yang menarik, dari setiap komunitas yang ada di Makassar, mereka selalu memiliki perpustakaan dan penerbitan yang menjadi sumber pengetahuan generasi muda ini. Salah satunya bisa dilihat pada Tanah Indie, sebagai salah satu komunitas tua di Makassar-mungkin hampir seumuran dengan Ruangrupa di Jakarta, kami memiliki lini penerbitan yang konsisten memproduksi buku setiap 4 tahun.
Dalam sebuah project buku Makassar Nol Kilometer dari komunitas Tanah Indie, kami sempat mengumpulkan sejumlah esai mengenai kota dari penulis-penulis Makassar. Yang cukup menarik, esai tersebut ternyata berkembang menjadi salah satu bahan ajar pada kuliah di sana, karena buku tersebut ditulis berdasarkan riset tapi ditulis secara subjektif oleh penulisnya-sebuah hal baru di sana karena pada umumnya di sana tulisan-tulisan yang ada bersifat liputan koran yang terjebak pada objektivitas.
H
Jadi concern dan aktivitas utama komunitas disana adalah dalam hal penerbitan buku?
J
Sebenarnya justru, tidak terlalu banyak yang memiliki penerbitan yang terus mengeluarkan buku secara reguler. Banyak yang melakukannya, tapi hanya sekali putus. Tapi saya kira aktivitas penerbitan ini juga menjadi penggerak kegiatan seni rupa di Makassar, meski cakupannya mediumnya masih cenderung terbatas pada lukisan di kanvas. Masih banyak keterbatasan pola berkarya di sana. Ini yang kemudian membuat orang-orang dengan ide besar berpindah ke kota besar di Jawa untuk mengembangkan karyanya, seperti Riri Riza misalnya.
H
Apakah ada gejala pada seni rupa di sana untuk menjelajahi medium selain kanvas?
J
Wacana kesana baru muncul, belum lama. Mungkin baru skeitar 4 tahunan. Dari pengalaman saya sebagai kurator dan fasilitator seni rupa, jumlah seniman yang menyadari kemungkinan ini juga belum banyak, masih bisa dihitung dengan jari. Ide ini masih berkutat di komunitas yang sama. Mungkin ada 4 nama yang bisa saya sebut cukup berani dalam melakukan eksplorasi. Salah satunya adalah Quiqui, komunitas seniman dengan medium rajut yang baru tumbuh disana, setahu saya, medium rajut juga cukup baru di Indonesia, dan Quiqui bisa dibilang salah satu pelopornya. Yang menarik dari Quiqui adalah tentang keanggotaannya yang berisi perempuan yang baru memasuki rumah tangga, awalnya mereka melakukan aktivitas merajut sebagai sesi terapi, konseling, karena mereka bisa bertemu satu sama lain disitu, berdasar pada berbagai pengalaman sebagai sesama pengantin baru. Belakangan, mereka melihat potensi seni dari apa yang mereka lakukan tersebut. Dari situ, mereka mulai meng-“hajar” pohon, pagar atau dinding sebagai kanvas dari rajutan itu.
Seniman lain yang cukup menarik adalah Reza Enem, dia adalah sound artist yang juga pentolan di grup musik yang cukup terkemuka di Makassar, Theory of Discoustic. Tapi dari perjalanannya sebagai pemain band, Reza Enem memiliki kegelisahan bahwa dia tidak ingin terjebak disitu saja. Maka mulailah dia menjelajahi field sound art.
Ada pula M. Cora, arsitek yang berfokus pada permasalahan di pesisir. Dia cukup sering melakukan pendampingan pada masyarakat pesisir untuk berbagai permasalahan arsitektur di sana. Dalam pendekatannya, dia melakukannya tidak dengan top-down, tapi benar-benar sebagai pendamping. Disana dia tidak berperan sebagai arsitek, tapi lebih sebagai warga. M. Cora memiliki pandangan yang cukup penting dalam kajian aristektur pada Kota Makassar, kami sempat mendiskusikan konsep halaman rumah di Kota Makassar dengan Cora, dan hasilnya kami harapkan bisa menjadi tawaran bagi solusi masalah urban dan lingkungan hidup.
Yang terakhir adalah Firman Djamil, beliau adalah seniman senior Makassar yang saya undang dengan pertimbangan bahwa Firman memiliki keterbukaan terhadap wacana-wacana baru. Saya telah mengenal secara personal Firman Djamil sejak lama, saya banyak mempelajari seni dari beliau. Yang saya suka dari karya Firman adalah sifat karyanya yang tidak pernah statis, selalu berkembang. Pada Biennale Jakarta ini, beliau akan berkarya dengan menempatkan ratusan bambu sedemikian rupa yang nantinya bambu tersebut akan tumbuh, proses pertumbuhan bambu itu akan di dokumentasikan dan dipamerkan. Empat nama tersebut saya lihat bisa menjadi menjadi simbol dari Makassar. Saya telah mengenal mereka secara personal dan mendalam, dan ini adalah pertimbangan mengapa keempatnya saya ajak untuk berpartisipasi dalam Jakarta Biennale. Saya harapkan mereka bisa berkarya dengan maksimal pada event ini. Sejauh ini mereka mampu beradaptasi dengan cukup cepat.
H
Dari empat seniman tersebut, semuanya memiliki perhatian yang lebih terhadap lingkungan sekitarnya, apakah fakta bahwa Makassar merupakan kota tujuan wisata menjadi alasan dari fokus mereka tersebut? Dan apakah karakter ini adalah representasi dari seni di sana?
J
Sebenarnya banyak juga seniman yang memiliki gagasan yang sifatnya personal, tapi empat seniman ini yang saya lihat memiliki kepekaan untuk mendasarkan karya mereka pada penelitian. Mungkin saja, kesadaran yang sama juga dimiliki oleh seniman lain di luar yang telah saya sebut namanya tadi, tapi sebagai kurator, saya memiliki keterbatasan jangkauan. Saya harap nama-nama lain bisa saya angkat pada kesempatan yang lain. Saya harap di masa depan mereka bisa lebih matang.
Saya sendiri melihat tahun 2016 adalah tahun yang cerah bagi seni rupa Makassar. Tahun ini ada Biennale Makassar, ada pula empat seniman yang diundang untuk berpartisipasi dalam Jakarta Biennale, yang nantinya setelah acara di Jakarta selesai, saya harapkan bisa melakukan presentasi bagi teman-teman di sana. Ini adalah momentum yang positif.
H
Sebagai salah satu kurator dari Jakarta Biennale 2015, bagaimana Anda memaknai “Maju Kena, Mundur Kena” yang menjadi tema tahun ini?
J
Sejak mengetahui alasan pemilihan tema Jakarta Biennale 2015 yang berdasar pada tema lingkungan, termasuk mengenai aliran Sungai Ciliwung di dalamnya, saya langsung sepakat. Masalah ini telah menjadi pokok bahasan saya sejak lama, bahkan ketika di Makassar. Jadi rasanya seperti ketemu jodoh ketika dapat tema ini.
H
Apakah ada visi personal Anda dalam menjalankan peran kurator pada Jakarta Biennale 2015 ini?
J
Ini pertanyaan yang cukup susah dijawab. Harapan saya yang paling utama mungkin adalah untuk mampu belajar banyak dari event ini. Karena ketika saya melihat dari sudut pandang yang lebih jauh, masalah kota sebenarnya sama saja. Saya suka membayangkan kota sebagai pasar yang mengundang orang-orang untuk datang kesana, melakukan aktivitas jual beli, dan dari situ, daya tampungnya akan semakin penuh. Dari situ akan muncul masalah lingkungan hidup. Saya rasa masalahnya dimanapun seperti itu.
Saya juga melihat Jakarta sebagai simbol anekdot mengenai fenomena kota di Indonesia, semua orang dari manapun ada di situ. Salah satu masalah yang biasanya muncul adalah mengenai macet, sampah, hunian, kualitas tanah, ini adalah permasalahan yang menjadi semakin jamak, tinggal bagaimana orang-orang di dalamnya mau bertindak.
Di sini saya juga melihat Makassar sebenarnya masih dalam fase bergerak menjadi kota besar, dari situ, segala masalah sebenarnya masih bisa dicegah, tidak seperti Jakarta yang istilahnya sudah kepalang kacau untuk di-manage.
Tapi ini juga saya harap pembelajaran ini juga berjalan sebaliknya, dimana Jakarta pun mungkin bisa belajar dari Makassar dan kota-kota lain, untuk menjadi kota yang lebih baik bagi penduduknya. Salah satu caranya adalah melihat dari bagaimana seniman berkarya.
Kebetulan juga, Tanah Indie berada di tengah kota Makassar, jadi mungkin kami bisa memantau sekaligus menata bagaimana langkah yang harus diambil selanjutnya bagi kami sebagai warga kota Makassar.