“Our lives broken in pieces..” Secarik lirik lagu terdengar sebagai backdrop saat dua karakter lelaki dan perempuan muncul dibalik tirai hitam. Dingin dan kelam adalah kesan yang tampak dan terasa seperti sebuah nostalgia ke masa lampau. “Our lives broken in pieces..” terdengar lagi. Pengulangan kalimat yang sama membawa penonton ke rasa sedih yang mendalam. Begitu mencekam dan begitu personal. Hidup siapakah yang telah hancur berkeping-keping?
Sensasi ini timbul pada opening teater berjudul Senlima: A Journey to the Unlimited, karya terbaru hasil kolaborasi Papermoon Puppet Theatre dari Yogyakarta dan Retrofuturisten, kolektif puppetry dan teater independen dari Berlin. Kerjasama ini hadir sebagai bagian dari German Season, festival yang merayakan hubungan antara Indonesia dan Jerman dan diselanggarakan oleh Goethe-Institut Indonesien, Kedutaan Jerman, dan Ekonid.
Dalam scene berikutnya, penonton dibawa ke mood yang lebih ringan, seorang perempuan asing muncul dari balik bilik tirai hitam, ia terkagok-kagok membawa kotak putih, dengan ragu ia akhirnya melihat ke penonton dan meneriakkan kekagumannya terhadap apa yang ia lihat didepannya. “Was!,” ia berkicau. Ada suara yang muncul dari kotak yang ia pegang. Lagi-lagi ia menggumamkan kata yang sama.
Ia mengintip isi kotak tersebut dan mengajak penonton melakukan hal yang sama. Isinya ada seorang bapak tua duduk di sofa tunggal ditemani oleh burung yang berada di dalam sangkar – mahkluk yang mengeluarakan suara itu tadi. Tidak lama, secara komikal, empat orang muncul dari balik tirai hitam bergabung dengan kekaguman terhadap dunia yang baru diinjak dan mencari cara untuk mengikuti hidup bapak tua itu secara atraktif.
Dari sini, penonton diajak untuk melihat jarak budaya dari lima karakter yang hanya mampu berulang melafalkan satu kata. Satu tokoh terus berujar, “Was” yang berasal dari kata Jerman yang artinya “Apa,” berikutnya “Saludos,” dari bahasa Spanyol berati “Salam,” “Ekte,” artinya “nyata” – Bahasa Jerman yang seringkali dipakai di Norwegia. Pengunaan kata “Ayo” yang jelas adalah Bahasa Indonesia dengan satu-satunya tokoh yang perawakannya seperti orang Jawa, dan “Sorry,” yang mungkin bermaksud menyindir orang Inggris yang sering kali berminta maaf.
Inti dari cerita Senlima adalah perjalanan mengharukan seorang lelaki tua dalam pencariannya terhadap burung peliharaan yang dilepas dari sangkar oleh kenaifan lima tokoh tersebut tanpa mengerti konsekuensi dari aksi dan keputusan mereka. Terdorong atas perasaan kehilangan, lelaki tua ini keluar dari habitatnya untuk terjun ke keramaian kota, bertemu dengan orang-orang dan keadaan yang asing.
Term Senlima yang dijadikan judul berarti The Unlimited (Tak Terbatas), diambil dari bahasa artifisial ciptaan professor dari Polandia, L.L. Zamenhof pada tahun 1887, bahasa yang dulu ia cita-citakan menjadi bahasa universal. Walau pada kenyataannya, Bahasa Inggris justru yang telah menjadi bahasa global.
Ada banyak lapisan cerita bermain disini, seperti dimensi dimana Senlima menceritakan batasan kultur dan batasan antar manusia. Ide ini muncul dalam perjalanan dua teater puppet ini saat proses penggalian pembuatan cerita. Bagi mereka, Senlima adalah manifestasi perjalanan pribadi yang dihasilkan dari jarak 14.141 km dan 14 negara yang terbentang diantara mereka. Perbedaan lokasi, bahasa, dan kebiasaan membuat mereka berangan-angan tentang dunia tanpa batas.
Hal yang sama juga berlaku untuk batasan dunia puppetry. Disini kali pertama Papermoon Puppet Theatre mengabungkan akting para tokohnya bersama puppetry juga dengan pengunaan medium digital seperti webcam. Konfigurasi akting dan puppetry memberi nafas baru pada teater Senlima. Totalitas expresi dan impersonasi seperti suara lelaki tua yang menghela nafas secara repetitif membuat penonton lebih berempati pada karakter tersebut.
Muatan politis dan sosial memang seringkali menjadi dasar dari cerita Papermoon Puppet Theatre. Pada akhir cerita banyak yang berasumsi Senlima berkaitan dengan peristiwa G30S PKI – dengan rujuknya lelaki tua bersama saudara perempuannya yang terpisah oleh sebuah peristiwa. Adapula yang beranggapan bahwa cerita Senlima terinspirasi oleh terpecahnya Berlin Wall dan rekonsiliasi sosial yang terjadi berapa tahun kemudian.
Maria Tri Sulistiyani (Ria) – co-founder dan director Papermoon Puppet Theatre– sendiri menampik kalau Senlima merujuk ke satu peristiwa, “Kita membuat cerita yang terbuka pada asosiasi,” lanjut Rosha A. Saidow, co-director Retrofuturisten asal Berlin. Khususnya untuk Senlima, mereka melepaskan kebebasan untuk mengasosiasikan kepada penonton.
Dalam satu adegan, penonton diperlihatkan adanya dua mata yang mencekam. Scene ini terjadi ketika burung yang terlepas berenang di lautan melawan arus. Kita juga menemukan lelaki tua ini sedang melakukan perlawanan terhadap ombak dengan upayanya untuk kembali ke atas kapal yang akhirnya hilang dengan munculnya dua mata besar ini. Scene ini menceritakan adanya sebuah penolakan yang terjadi karena power yang lebih besar. Ide ini diambil dari masa perang dimana lelaki yang pulang tidak lagi diterima oleh keluarganya. “Ini efek dari stigmasisasi perang,” Ria menjelaskan. “Sejarah yang banyak terjadi di dunia.”
Dalam pementasan ini, berbagai tema dan sub-tema diangkat secara simbolis untuk mendefinisikan berbagai batasan sosial, identitas, maupun kultur – yang hadir dalam betuk rumah kotak, tirai hitam maupun sangkar – dan dampaknya menjadi bagian yang bebas diintrepretasikan oleh penonton.
Pada akhirnya, sebuah pesan universal tersirat dari Senlima – batasan adalah buatan manusia. Penulis Agustinus Wibowo pernah menulis “Jarak adalah sebuah garis batas, tetapi jalinan perasaan adalah penembusnya.” Saat manusia mampu melangkah keluar kotak yang dibuat, di luar rasa takut yang terbangun, disitu tantangan untuk melepaskan diri dari kepingan masa lalu muncul.
Additional Information
Papermoon Puppet Theatre
Retrofuturisten
German Season
Director: Maria Tri Sulistyan (Papermoon Puppet Theatre) | Roscha A. Säidow (Retrofuturisten)
Puppetbuilders: Iwan Effendi (Papermoon Puppet Theatre) | Magdalena Roth (Retrofuturisten)
Video: Felix Schiller
Costumes: Jana Weichelt
Music: Schmidti
Stage Manager: Aditya Murti (Papermoon Puppet Theatre)
Production: Dima Andari (Goethe Institut Indonesien) | Retrofuturisten
Actors | Puppeteers Franziska Dittrich (Retrofuturisten), Magdalena Roth (Retrofuturisten), Jana Weichelt, Caspar Bankert, Pambo Prioyati (Papermoon Puppet Theatre), Felix Schiller