photography

17.04.17

Emansipasi Visual Perempuan

Dari, untuk, oleh, dan soal perempuan. Begitulah kira-kira menjelaskan buku Girl on Girl: Art and Photography in the Age of Female Gaze karya jurnalis seni, Charlotte Jansen. Buku yang berisikan wawancara dengan 40 fotografer perempuan di 17 negara ini dibuat untuk merespon tumbuh pesatnya jumlah fotografer perempuan di dunia selama lima tahun terakhir. Jansen menjelaskan bahwa foto yang dibuat oleh perempuan bukan sekadar narasi visual pembanding dari yang sudah dikonstruksi sebelumnya oleh kaum Adam. Akan tetapi buku ini juga dibuat untuk memperkaya ide mengenai ragam bentuk perempuan dan menumbuhkan empati akan kesetaraan gender. Isu yang dibawa beragam. Mulai dari eksotifikasi tubuh perempuan di Brazil Utara oleh para kolonial barat karya fotografer Turki Pinar Yolacan, kritik akan pandangan orientalis para pelukis Eropa terhadap perempuan Arab karya Lalla Essaydi, kritik terhadap kapitalisme barat yang berusaha menyamaratakan identitas perempuan karya Yvonne Todd, sampai bagaimana fotografer perempuan sering kali tidak dianggap serius oleh klien seperti yang dialami fotografer Jepang Monika Mogi. Jansen pun menyatakan bahwa usaha pemberdayaan perempuan oleh para fotografer dalam bukunya ini, tidak hanya dilakukan melalui pesan visual di depan lensa, namun juga melalui pendekatan terhadap subjek yang dilakukan para fotografer perempuan. Fotografer yang diwawancarainya cenderung memiliki kedekatan yang lebih dengan subjeknya yang membuat mereka terus mencari tahu dan mencoba memahami cerita dari para subjeknya sehingga memberikan kenyamanan bagi perempuan-perempuan yang menjadi modelnya.

11.04.17

Potret Hubungan Manusia dan Hewan dalam ‘A Trunk and other Tails’

Sebuah visual yang dihasilkan oleh foto dapat merepresentasikan obyek dan menjadi medium komunikasi-naratif. Dalam sebuah pameran fotografi berjudul ‘A Trunk and other Tails’, Dilla Djalil-Daniel berusaha menceritakan kisah 4 hewan yang menjadi ‘alat’ manusia. Masing-masing mewakili tempat yang ia kunjungi dan masyarakat yang berhubungan langsung dengan hewan-hewan tersebut. Dalam karya visualnya tersebut ia menghadirkan potret anjing sebagai gembala, gajah dan keledai yang menjadi alat angkut, dan hidup orang utan di penangkaran. Dilla Djalil menghadirkan cerita hewan dan para pengasuhnya pada setiap bingkai yang ia pamerkan, lengkap dengan ilustrasi musik yang menggunakan biola dan denting piano liris serta ruang khusus yang menampilkan visualisasi video siluet naratif dengan narator seorang anak perempuan. Mengambil nuansa hitam-putih di setiap gambar dan mengutip Robert Frank pada catatan di katalognya, Dilla Djalil ingin memberi tekanan tentang harapan dan keputusasaan. Hewan-hewan tersebut mengalami ketergantungan dan sudah menjadi bagian hidup masyarakat yang berhubungan dengannya. Dengan cermat, Dilla menangkap kegiatan memberi makan, mengembangbiakkan, dan kegiatan lain yang mencerminkan kehidupan masyarakat dengan hewan peliharaannya pada satu simbiosis yang kompleks. Rencananya, keuntungan dari pameran dan penjualan photobook akan disumbangkan ke beberapa yayasan di 4 negara yakni Friends of Asian Elephants, Yayasan IAR Indonesia, Animals Nepal, dan Mdzananda Animal Clinic. Venue: Dia.Lo.Gue Artspace Jl. Kemang Selatan 99 a Jakarta 12730 Exhibition Period (Open for Public) 30 Maret – 16 April 2017 9:30 - 18:00

02.02.17

Dokumenter Fotografi Musik bersama IROCKUMENTARY.CLUB

IROCKUMENTARY.CLUB adalah sebuah situs yang digagas oleh kolektif fotografi yang sudah hampir 9 tahun menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa penting dan perkembangan musik Tanah Air. Selain mengkhususkan diri pada dokumentasi musik, IROCKUMENTARY.CLUB juga bertujuan untuk mempromosikan dan memperlihatkan bagaimana deretan hasil karya fotografi dari para fotografer berbakat. Tidak hanya sebagai situs fotografi saja, IROCKUMENTARY.CLUB juga berencana untuk menciptakan sebuah karya kolektif yaitu phodiography (yang merupakan bentuk interpretasi fotografer mengenai sebuah lagu), zine, lokakarya dan pameran. Setelah acara pertamanya yakni diskusi belajar membaca buku foto yang berkolaborasi dengan The Photobook Club Jakarta, IROCKUMENTARY.CLUB kembali mengadakan sebuah diskusi fotografi bertema dokumenter musik. Bersama dengan Perguruan Menengah Omni, IROCKUMENTARY.CLUB juga akan melakukan sebuah lokakarya yang melibatkan para pesertanya untuk ikut serta mengabadikan momen-momen penting dalam perhelatan musik Syarikat Dagang Edisi Bandung: Bottlesmoker X Stars And Rabbit yang digagas oleh Omuniuum dan Ruru Shop. Para peserta lokakarya diberikan kesempatan untuk menjadi fotografer resmi yang kemudian karyanya akan dipublikasikan pada situs IROCKUMENTARY.CLUB. Lokakarya ini terbatas untuk 5 orang, dengan biaya pendaftaran sebesar Rp. 150.000,-. Sedangkan diskusi fotografi dokumenter musik tidak dipungut biaya dan terbuka untuk umum. Kedua acara ini akan berlokasi ditempat yang sama yakni di Omnispace, Bandung, dan akan diadakan pada tanggal 4-5 Febuari 2016. Oleh Agung Hartamurti & Haviz Maulana Bersama Rony Ariyanto Nugroho (Pewarta Foto Harian Kompas) Sabtu, 4 Februari 2017 Pukul 19.00 - selesai Omnispace, Omuniuum Building, Level 3, Jl. Ciumbuleuit No. 151B, Bandung 40141 Diskusi ini gratis dan terbuka untuk umum Pemateri: Agung Hartamurti & Haviz Maulana Minggu, 5 Februari 2017 Pukul 10.00 - selesai Omnispace, Omuniuum Building, Level 3, Jl. Ciumbuleuit No. 151B, Bandung 40141 Terbatas untuk lima peserta Biaya: Rp 150.000,-

09.01.17

Retrospeksi: Agan Harahap

Sebuah foto bisa saja memiliki sebuah pesan, namun respons dan interpretasi yang muncul tidak mengenal batas. Menggunakan teknologi dalam proses kreatif, Agan Harahap menjadi salah satu seniman monumental di Indonesia. Melihat kuatnya ekspresi dan pesan yang hadir di dalam karyanya, menjadikan ekspresi sebagai landasan penting dalam menciptakan regenerasi dalam subkultur di Tanah Air.

13.12.16

Potret Kemanusiaan Dalam Zona Konflik

Mendengar kata kemanusiaan, timbul sebuah relativitas yang dapat mencerminkan sifat manusia jika dihadapi dengan situasi tertentu. Ketika ranah konflik yang padat dengan permasalahan terkait bencana dan perang, kemanusiaan menjadi hal langka untuk memenuhi hak-hak mereka. Banyaknya konflik yang mendera tempat-tempat seperti Aleppo hingga Sierra Leone, membuat beberapa belahan dunia dipenuhi dengan penyintas yang membutuhkan pelayanan medis secara layak. Berangkat dari hal tersebut, sebuah lembaga independen bernama Medecins Sans Frontieres (MSF) dibangun untuk mengumpulkan relawan dan dokter-dokter guna memberikan pelayanan medis layak kepada para penyintas di berbagai belahan dunia. Aksi yang mereka tawarkan tidak hanya terbatas pada hal berbau medis, tapi juga keberadaan mereka di antara para penyintas memberikan support mental yang dibutuhkan untuk mendorong semangat hidup. Setelah berdiri selama puluhan tahun di lebih dari 60 negara, MSF kini ingin mengajak semua orang untuk merasakan perjalanan dan kenyataan yang dialami oleh pasien, pekerja medis, serta masyarakat di dunia lewat pameran foto bernama “No Borders.” Lewat instalasi foto dari fotografer ternama, pameran ini tidak hanya memberikan gambaran situasi yang dialami para penyintas untuk hidup layak, tapi juga informasi mendetail mengenai apa saja hal-hal yang mereka lewati dan alami untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia. Bertempat di Grand Indonesia, pameran ini tiap harinya dihadiri oleh staf lapangan MSF dari Indonesia yang akan menjelaskan detail informasi mengenai isu-isu tertentu. Selain on-site staf, film-film yang menceritakan konflik di beberapa tempat juga akan diputar, serta diskusi dengan travel writer, dokter MSF dan fotografer Reuters hingga Getty Images. Lewat foto-foto dan data yang terpajang di pameran ini, pengunjung dapat memahami kehadiran MSF di antara mereka yang menjadi shelter bagi mereka yang didera bencana kemanusiaan, tanpa melihat ras, agama maupun politik tiap orang. 8-18 Desember 2016 11:00-21:00 Grand Indonesia West Mall, Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No. 1 Jakarta http://msf-seasia.org/indonesia

08.12.16

Berkenalan dengan Fotografi Analog bersama Jellyplayground

Untuk sebagian orang, penting rasanya untuk mengabadikan setiap momen-momen penting di kehidupan sehari-hari, dan karenanya kamera menjadi suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari aktivitas harian. Kini fungsi dari kamera dan foto yang dihasilkan tidak lagi hanya sebatas mengabadikan momen, melainkan hal-hal lain yang lebih luas, seperti untuk menghasilkan karya seni, karena itu berbagai jenis dan fungsi kamera cukup menjadi pertimbangan bagi setiap penggunanya. Uniknya saat ini tidak hanya kamera digital yang diidolakan, tetapi kembali tenarnya kamera analog. Sekarang ini kamera analog tidak lagi sulit ditemukan, begitu pula dengan film beserta lainnya seperti lensa, batu baterai, tempat kamera, hingga komunitasnya, hal ini menunjukkan semakin banyaknya minat dan ketertarikan pencinta fotografi untuk memakai atau mencoba kamera analog dan membuat hal-hal tenggelam ini kembali ke permukaan. Hasil foto menggunakan kamera ini tidak kalah dengan hasil foto digital, melalui proses analog seperti menentukan tingkat kecerahan, tone warna, dan efek-efek seperti pun bisa dilakukan juga pada hasil foto analog, poin-poin inilah yang membuat fotografi analog menjadi lebih humanis karena pengerjaannya yang manual. Jellyplayground merupakan salah satu inisiatif yang bergerak di bidang fotografi analog, berawal dari blog pribadi pada tahun 2009, saat ini Jellyplayground lebih akrab dikenal sebagai salah satu media penghubung para pecinta analog. Dimulai dari menjadi film dan kamera, hingga akhirnya mulai menjual untuk memperluas eksistensinya. Kehadirannya disambut antusias oleh para pengguna kamera jadul ini, karena keaktifannya berbagi informasi-informasi lewat fotografi analog dan membuat orang-orang tertarik untuk mencobanya. Tidak jarang Jellyplayground pun mengadakan jalan-jalan santai sembari foto, tujuannya mengajak para pengguna kamera analog untuk bertemu dan pengalaman satu sama lain. Jellyplayground rutin membuat sebuah bazaar yang menjual berbagai macam kebutuhan dan perlengkapan fotografi analog, alasan dibuatnya acara ini adalah untuk memperkenalkan hobi ini ke khalayak yang lebih luas dan menciptakan interaksi langsung antara para penggunanya dengan hal-hal terkait, bahwa fotografi analog tidak melulu soal kamera dan filmnya saja, namun juga tentang -nya, tekniknya, cara penyimpanan filmnya, dan lain-lain. Di era serba praktis ini tidak ada salahnya untuk mencoba hal atau hobi baru seperti fotografi analog, karena sudah tidak sulit untuk memulainya. Silahkan cek Jellyplayground di blog dan Instagram.

Load More Articles whiteboardjornal, search

Subscribe to the Whiteboard Journal newsletter

Good stuff coming to your inbox, for once.