Justinus Lhaksana dan Visinya untuk Meningkatkan Futsal Serta Sepak Bola Indonesia
Membahas kekurangan serta potensi di sepak bola dan futsal Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Foto: Ardi Widja
Tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menonton pertandingan bola, baik dalam skala kompetisi kecil-kecilan di sekolah hingga liga nasional di stadion megah. Bola sudah lama merajai popularitas dunia olahraga nasional, dan antusiasme masyarakat selalu bisa diandalkan untuk mendukung tim kesayangan.
Di antara pendukungnya adalah Justinus Lhaksana, sosok yang sudah banyak makan asam garam di dunia futsal dan sepak bola Indonesia. Enam tahun vakum dari posisi direktur teknis di level timnas, bukan berarti semangat dan kecintaannya terhadap olahraga tersebut pudar. Tahun ini ia kembali dengan tantangan baru, menyambut Piala Dunia Futsal di depan mata. Kami berbincang dengannya untuk mengulik tentang futsal dan sepak bola, bagaimana popularitas seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai daya dorong untuk meningkatkan kualitas. Adakah kekosongan yang perlu dijembatani, mulai dari fans dan tim hingga para petinggi?
Job paling berat, if you do it well, itu pelatih.
Berbagai profesi di dalam dunia futsal sudah pernah Anda jalankan. Sejauh ini manakah yang bagi Anda paling menarik/menantang, dan juga signifikan bagi perkembangan futsal itu sendiri?
Berbeda ya. Jadi kedua pekerjaan itu (pelatih dan direktur teknis) memiliki fungsi yang berbeda, tapi dua-duanya sama beratnya. Bulan depan saya umur 52 tahun, artinya saya sudah mengalami banyak posisi. Dari semua yang saya alami, paling berat itu adalah melatih. Orang tidak sadar – atau mungkin di sini profesi pelatih itu kurang dihargai ya – tapi job paling berat, if you do it well, itu pelatih. Job Dirtek (Direktur Teknik) itu slightly lebih ringan, tapi scope-nya lebih luas. Dalam arti, kita bertanggung jawab atas semua wewenang di luar pelatih. Pelatih ibaratnya fokus ke melatih saja kan, waktu saya jadi pelatih dulu tidak ada Dirtek, saya pelatih sekaligus Dirtek. Jadi itu berat banget. Semenjak 2011 sampai 2013 itu saya jadi Dirtek, jadi pelatihnya waktu itu lebih ringan. Jadi A sampai Z, apa yang terjadi dalam sebuah tim itu tanggung jawab saya. Saya juga mengurus teknis, walaupun keputusan terakhir berada di tangan pelatih tapi saya kasih masukan. Kalau saya kasih masukan dan pelatih tidak mau mengikuti itu hak dia, cuma kalau gagal ya akan saya sentil. Kan saya sudah bilang, kasarnya begitu.
Anda kembali menjadi direktur teknis timnas futsal Indonesia tahun ini. Terakhir ketika menjabat 6 tahun lalu, Indonesia keluar menjadi kedua terbaik setelah Thailand di kualifikasi Piala Asia. Mengapa memutuskan untuk kembali?
Dengan job desk sekarang, target kita itu kan sangat tinggi, ikut Piala Dunia. Kita dalam sejarah futsal, itu belum pernah lolos dari grup, karena kalau mau ikut Piala Dunia harus lolos dulu main perempat final, menang – jadi satu match setelah lolos grup, baru kita lolos ke Piala Dunia, empat besar Asia ikut. Saya sudah lima setengah tahun vakum dari futsal, terakhir adalah 2013 di SEA Games Myanmar. Kenapa saya mau turun lagi? Banyak alasan, intinya adalah I feel comfortable dengan presentasi yang diberikan oleh FFI (Federasi Futsal Indonesia) sekarang, jadi kita tidak disuruh perang, tapi kita diberikan senjata untuk perang.
Mau perang atau tidak, itu terserah kita.
Kalau dulu, kita dikasih target tinggi, kita tidak diberikan senjata, jadinya mati konyol
Iya. Kalau dulu, kita dikasih target tinggi, kita tidak diberikan senjata, jadinya mati konyol. Iya kan? Dan itu terjadi. Buat apa saya turun lagi, saya tidak kurang kerjaan kok di Jakarta, dan bahkan ada beberapa pekerjaan yang saya tidak bisa lepas. Akhirnya saya bilang saya mau, tapi karena TC-nya (training center) di Jogja kan, seminggu di Jogja, seminggu di Jakarta. Kalau mau begitu, ayo. Kalau tidak begitu, saya tidak mau. Pusat training timnas futsal kan di Jogja. saya harus bolak-balik, karena pekerjaan saya banyak di sini, rekaman, siaran, dan ada bisnis lain dimana saya harus stay di Jakarta juga. Akhirnya FFI setuju, ya sudah tidak apa-apa. Banyak hal sekarang yang saya merasa nyaman, dengan FFI sekarang dibanding dulu tidak ada politik, fasilitas diberikan. Untuk saya, ini tantangan, karena untuk seorang pelatih, bisa ikut partisipasi di Piala Dunia itu hal yang luar biasa. Ini kan empat tahun sekali, dan empat tahun ke depan mungkin saya sudah malas. Tensinya sudah hilang, kan kita tidak tahu. Nah pada saat ini saya merasa bisa, saya merasa bisa memberi kontribusi walaupun kontribusi saya sangat kecil tapi at least saya berkontribusi.
Menjelang Piala AFF pada Oktober dan Piala Dunia Futsal tahun depan, adakah yang ditargetkan dari timnas futsal Indonesia, dan bagaimana realisasinya?
Kalau seandainya targetnya cuma Piala Asia, saya tidak akan ambil, saya sudah sering ke Piala Asia. Tapi karena targetnya Piala Dunia, futsal Indonesia belum pernah ikut, itu menjadi sebuah tantangan. Tapi kalau kita ikut, apa yang kita butuhkan? Kita butuh fasilitas yang benar. Makan, penginapan, transportasi dan lain-lain, itu harus dipenuhi, dan itu sekarang sudah oke. Sebelum saya tanda tangan kontrak, saya ke Jogja, saya ketemu dengan pelatihnya, saya tanya, apakah dia nyaman dengan kehadiran saya? Kan bisa saja dia merasa ditusuk dari belakang atau bagaimana. Saya jelaskan, saya tidak ada minat untuk jadi pelatih karena saya tidak ada waktu, masa itu sudah lewat. Saya ingin kasih masukan, ini tugas saya. Ternyata dia
tidak masalah soal itu, pelatih ini orang Jepang. Jadi oke, kalau dari sisi itu. Terus saya lihat lagi apa yang bisa diberikan, kita ada turnamen internasional di Jogja, setelah itu kita ada beberapa kali try out lokal dan internasional menuju AFF, itu kita tidak pernah dapatkan (sebelumnya). Sekarang hal-hal itu diberikan, dan untuk AFF kan hanya masuk empat besar, lolos ke Piala Asia. Pada saat kita lolos Piala Asia, kita akan try out ke Eropa sebulan, jadi benar-benar diberikan senjata untuk perang. Maka dari itu saya bilang it looks good, timnya oke, tim pelatihnya oke, dan asisten-asisten yang lain itu bekas anak buah saya semua. Saya merasa diberi tantangan lagi untuk membawa tim ini lebih kondusif sehingga mereka fokus.
Salah satu hal yang kita lihat, yang menjadi PR besar, kita kan belajar dari semua kesalahan, kesalahan yang dulu saya lakukan kita belajar. Kalau kita melihat dari sepak bola – saya fokus ke sepak bola dan futsal karena mereka satu saudara – kita lihat timnas kita, kalau kita bermain selalu 15 menit terakhir keteteran, terakhir minggu lalu U-20 masuk empat besar Asia, sejarah dalam prestasi, itu luar biasa untuk masuk empat besar Asia, walaupun U-20. Yang mereka lakukan, 10 menit di babak kedua fisik drop. Sekarang kalau kita melihat setiap kali kita
mengalami kesalahan itu, harus kita ubah dong. Berubahnya itu di mana? Apakah dari sisi latihan, kurang istirahat, asupan, makanan itu kan ibarat bensin, ya kan? Nah ini tugas saya, tugas saya memilah, bicara dengan hotel tentang asupan yang jelas dan lain sebagainya. Saya harus belajar lagi asupan yang benar untuk atlet futsal itu seperti apa, dan itu tidak segampang itu. Kalau segampang itu, masalah ini sudah diselesaikan dari tahun kapan. Faktanya kan tidak, dan dokter, dietist tidak sanggup melakukan itu. Kita tidak usah berandai-andai, kita lihat dari fakta yang ada. Ini tugas saya, saya tidak mengerti soal food, tapi saya belajar.
Salah satu prinsip hidup saya, kalau mau belajar semua bisa dipelajari. Dan itu sudah saya lakukan berkali-kali, sekarang saya terjun ke dunia nutrisi demi kepentingan timnas, akan saya terapkan dan semoga berhasil. Ini juga menjadi senjata agar kita bisa menjadi lebih fokus ke prestasi; kalau kita makannya benar, fisik kita benar, kita lebih fokus. Kalau kita fokus, kita
melakukan passing dengan benar. Kalau kita passing dengan benar, kita bisa menjalankan strategi pelatih dengan benar. Kalau itu terjadi, kita punya peluang untuk masuk empat besar di Asia. It’s very simple, tapi banyak orang yang tidak berpikiran ke sana.
Permainan yang bagus dibentuk dari pemilihan pemain yang tepat. Adakah tanggapan Anda tentang naturalisasi pemain asing, dan kebutuhan apa yang dipenuhi disitu baik dari sisi pemain/tim yang tidak ditemukan di pemain lokal?
Kita belum ada naturalisasi pemain asing, kalau di dalam futsal. Jadi begini, futsal dunia itu kan dasarnya Brazil dan Spanyol, dua style yang berbeda, di dunia yang mendominasi selama 10 tahun belakangan itu mereka. Orang kita cenderung suka melihat, “Oh, harus main kayak Brazil, kayak Spanyol,” kenapa kita main seperti ini? Brazil kan mainnya seperti itu, kan kita harus main seperti yang terbaik. Menurut saya ini salah, karena kita tidak memiliki kapasitas pemain seperti Brazil dan Spanyol. Jadi kualitas pemain kita jauh di bawah kualitas pemain mereka, terus bagaimana kita harus bermain? Kita bermain sesuai dengan kapasitas kita, entah itu di sepak bola atau futsal.
Pertanyaan kedua adalah kalau begitu, kapasitas pemain kita apa? Kapasitas pemain kita adalah sprint dalam jarak pendek karena pemain kita kecil-kecil, sprint-nya bagus. Apa lagi? Kita jangan passing terlalu jauh, crossing atau apa, passing-nya jarak pendek-pendek. Untuk bisa melakukan sprint, we need space, kalau tidak ada space we cannot sprint. Bagaimana kita membuat space? Kita bermain lebih dekat lagi biar lawan ikut kita, kita membuat space di depan kiper dan di belakang defense terakhir. Itu yang kita manfaatkan, artinya kita bermain lebih rapat lagi, untuk membuat space agar bisa dimanfaatkan oleh pemain kita yang cepat-cepat. Ketika itu dilakukan di U-20, kan terbukti. Pelatih Jepang ini belajar, karena tahun lalu di AFF, pada saat saya diminta, saya buka YouTube, saya lihat videonya, saya buat catatan, kesalahannya ada ini, ada ini, dan pada saat saya ketemu beliau di Jogja saya sampaikan. Menurut saya kesalahannya seperti ini dan dia sadar, makanya dia mengubah. Nah pelatih ini yang penting, bahwa dia belajar. Semua pelatih bikin kesalahan, tapi kalau dia tidak mau belajar ya repot juga. Pelatih ini tidak kepala batu, tidak merasa paling benar. Dia belajar dari kesalahan yang dia lakukan and that’s good. Itu yang kita sekarang coba terapkan, bermain sesuai dengan kapasitas kita, karena cara bermain kita itu butuh stamina tinggi. Kita tidak punya pemain yang skill, tidak banyak yang bisa melewati orang, banyak dribbling, banyak passing untuk melewati orang, itu butuh banyak pergerakan adu duel, dan kita kalah di situ. Untuk bisa menghindari duel satu lawan satu, kita harus bergerak, iya kan? Ini permainan simpel, lima lawan lima, yang cetak gol lebih banyak dia akan menang. Bagaimana kita bisa mencetak gol lebih banyak? Kita memanfaatkan ruang, kita jangan fokus dengan kelemahan kita. Kelemahan apa? Ya itu, fisik, skill, itu kita hindari. Caranya bagaimana? Bermain lebih mobile, bermain lebih rapat, itu bisa dilatih. Supaya bisa mempertahankan itu butuh asupan yang benar.
Jadi yang saya jelaskan ini semua logis, satu tambah satu adalah dua, tidak ada yang aneh. Kenapa? Agar mereka sadar, karena selama ini saya yakin, mayoritas tidak berpikir seperti yang saya pikirkan. Mereka beranggapan main futsal itu ribet, susah. Paradigma ini yang harus diubah, itu yang susah kan. Kenapa susah? Karena mereka harus mengubah diri sendiri, saya tidak bisa itu, saya hanya bisa membuka jalan, mereka yang mengubah. Itu tugas saya biar mereka sadar, saya yakinkan biar mereka bisa berubah.
Menilai kualitas pemain tidak bisa dilepaskan dari jam terbang. Pengalaman Anda di Utrecht menunjukkan pentingnya pencatatan jam ini lewat pendidikan usia dini di berbagai SSB disana. Apakah hal yang sama bisa diaplikasikan di Indonesia?
Dibutuhkan di Indonesia iya, tapi realitanya tidak ada. Kita tidak punya infrastruktur pembinaan sedahsyat di Belanda. Yang kita punya sekarang liga senior saja. Nanti akan dibuat U-20/21, that’s it. Tidak ada seperti di Utrecht yang dari 6 tahun sampai 17 tahun bermain setiap minggu dari Sabang sampai Merauke, infrastruktur seperti itu tidak ada. Ketika tidak ada, kan kita tidak bisa memaksa. Idealnya di sini seperti di Belanda, tapi kita berada di Indonesia, apakah harus memaksa menggunakan taraf yang di atas? Kan tidak. Yang kita lakukan adalah mengadaptasi sesuai dengan taraf yang kita miliki. Yang kita miliki apa? Ya pemain-pemain zona, di liga yang hanya empat bulanan bukan delapan bulan, which is lebih pendek, kita cek kapasitas pemain ini seperti apa. Bahwa jam terbang penting, jelas iya. Kenapa penting? Anak umur 19 di Belanda sama 19 di Indonesia berbeda. 25 tahun di Indonesia, masih di bawah ketiak ibunya. Waktu saya di Belanda, 19 tahun saya sudah keluar rumah, sudah hidup sendiri, kuliah sendiri, terserah mau apa, yang penting kamu bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan. Jadi tidak bisa dipaksakan, beruntung saya besar di dua budaya yang berbeda dan saya tidak bisa memaksa.
It is not about good or bad, it’s about preference. Ini masalah pilihan saja, yang mana yang kita pilih, yang kita suka. Kembali lagi, parameter di Belanda itu tidak bisa saya terapkan. Saya harus bekerja sesuai dengan kapasitas dari pemain kita. Tidak semua pemain bisa saya bentak dan keraskan, karena latar belakang mereka beda-beda. Dari Papua dan Jawa, Medan dan Bali, semua karakter berbeda. Mau tidak mau saya harus fleksibel, kadang saya angkat, kadang seniornya saya banting biar juniornya diberi contoh, kadang harus diajak omong secara individual. Kadang saya permalukan dalam grup, tapi saya tahu siapa yang harus saya permalukan, bukan orang yang lemah, mereka saya tegur dulu individu baru dalam grup. Dan semua yang saya lakukan ini murni dari pengalaman hidup, tidak ada sekolahnya. Sekolah pelatih tidak diajari itu, dan tidak semua orang bisa melakukan itu. That’s one of the reasons kenapa saya bilang melatih itu berat sekali. Fokusnya menjadi 25 jam sehari, 8 hari seminggu. Kalau mau kerja benar, jadi pelatih yang benar, pelatih itu bukan masalah strategi saja, strategi itu hal kecil, mungkin hanya 30 persen. Sisanya mindset, kalau kita sudah tiga kali kalah lawan Malaysia, tiga kali kalah lawan Myanmar, ketemu lagi secara mentally berpengaruh. Zaman saya, tidak pernah kita kalah lawan Myanmar. Terakhir saya kalah lawan Malaysia itu 2007, setelah itu menang terus. Saya tinggal lima setengah tahun, kalah tiga kali lawan Malaysia, kalah tiga kali lawan Myanmar dengan pelatih yang jauh lebih mahal. Kok bisa? Kan ada yang salah. Terutama mindset itu tadi. Ini kita harus ubah. Level kita bukan AFF, saya bilang berkali-kali sepak bola kita itu tidak akan maju kalau mindset hanya AFF.
Mindset kita sudah Asia, perkara kita tidak pernah menang AFF that’s a different case. Dua hal yang tidak bisa kita campur adukkan. Maka dari itu, try out kita harus ke Asia. Atas dasar apa? Karena pemain sepak bola kita, jumlah pemain kita jauh lebih banyak daripada Thailand, Vietnam. Terus kenapa tidak berjalan? Ya Anda harus lihat itu tadi. Dalam video saya pernah bilang, lima ketua bergantian, puluhan ex-co bergantian, puluhan pelatih bergantian, kenapa kita 15 tahun tidak pernah juara? Kan ada sesuatu yang salah tapi tidak pernah dibahas. Yang selalu dibahas adalah ketika kalah, “Oh, ketua out.” Ini, itu, out. Hasilnya apa? Nothing. Pelatih, ketua, ex-co out, tetap hasilnya tidak juara. Ada sebuah kesalahan yang fundamental, dan itu tidak pernah dibahas secara luas. Banyak video saya membahas itu.
Di Indonesia ini, yang mengerti bola, persentasenya tidak sampai satu persen.
Anda pernah menyatakan bahwa kemenangan bukan berarti produk langsung dari permainan yang bagus. Apa tanggapan Anda tentang tolok ukur kualitas yang bagi kebanyakan orang masih dilihat dari menang/kalahnya sebuah tim?
Itu yang disebut fans kardus. Itu istilahnya fans kardus, kenapa saya sebut begitu? Karena kalau kita main, yang mereka tahu hanya menang. Pada saat berpartisipasi dalam sebuah permainan, tujuannya adalah menang. Buat apa kita bahas sesuatu yang sudah pasti? Yang kita bahas adalah bagaimana kita bisa menang secara konsisten, caranya dengan latihan. Dalam sepak bola, bola saya tendang ke pemain lalu kena tiang, itu bisa masuk. Tapi itu kan namanya gol jatuh dari langit. Artinya gol jatuh dari langit, belum tentu akan terulang lagi. Tapi kita bisa mencetak gol dengan sebuah set play yang dilatih. Kalau itu terjadi, gol itu bisa berulang kali terjadi. Ini kan bedanya, dua-duanya mau menang, tapi caranya berbeda. Di Indonesia ini, yang mengerti bola, persentasenya tidak sampai satu persen. Kalau saya bilang seperti ini, “Oh Justin sombong,” ya tidak apa-apa.
Dari semua pemilik klub, pelatih yang saya pernah ajak bicara, pemikirannya sama. Tidak usah jauh-jauh, mereka itu lulusan AFC. AFC kan punya standarnya untuk bisa melatih klub harus pro license, kalau begitu kenapa begitu banyak pelatih kita yang punya lisensi dibanding para pelatih Jepang yang punya lisensi, dari sisi permainan kita kalah, padahal dari sisi sejarah, sepak bola kita lebih lama daripada Jepang. Ya karena parameternya salah, orang ambil ijazah, kursus, lulus, dapat sertifikat kemudian seolah-olah bisa melatih, itu tidak. Anda lulus, buktinya cuma satu bahwa Anda pernah ikut pelatihan, that’s it. Bukan berarti bisa jadi pelatih. Melatih is a different case. Mourinho, misalkan, lulusnya di mana? Di Skotlandia. Orang bertanya, kenapa dia bisa lulus di Skotlandia, apakah akademinya bagus? Tidak. Karena sekolahnya paling cepat di sana, jadi yang penting formalitas bagi dia.
Kapan kita mau belajar? Justru kita belajar pada saat kita dibantai.
Untuk jadi pelatih, butuh banyak kriteria selain cuma mengerti soal strategi. Leadership, psychology, banyak yang harus dikuasai. Tapi orang kita tidak sadar dengan itu. Kalah, pelatih pecat, begitu terus. Kapan majunya? Tidak akan maju, terakhir saya kritik waktu itu melawan Yordania, justru itu bagus waktu kalah melawan mereka. Karena selama ini, 85 persen dari uji coba kita, kalau tidak salah itu ASEAN lawan negara kecil, that’s it. Kapan kita mau belajar? Justru kita belajar pada saat kita dibantai. Iya kan? Justru kalau kita menang lawan negara kecil itu, kita tidak belajar, karena kemenangan itu menutupi kesalahan kita. Ini yang membuat saya bilang, orang kita itu tidak mengerti sepak bola. Bahwa mereka menduduki posisi di PSSI dan macam-macam bukan berarti mereka mengerti bola. Anda masuk karena KKN, karena networking. That’s Indonesia.
Berbicara soal PSSI dan manajemen/administrasi sepak bola, apa tanggapan Anda ketika permainan tim menjadi “korban” dari politik di dalam asosiasi?
Sebenarnya itu tidak mempengaruhi. Karena seorang atlet ketika bermain bola, tujuannya satu kok, main dan menang mungkin supaya bisa menafkahi keluarganya. Anda mau ribut, mau berantem itu urusan Anda, kita tetap menjalankan (di lapangan). Yang berpengaruh adalah politik PSSI yang masuk ke klub. Pada saat diintervensi klubnya, “Kita harus kalah ya, kita harus menang ya,” itu berpengaruh. Dan itu dulu terjadi. Saya tidak ada bukti, makanya saya tidak berani sebut nama, tapi itu terjadi, semua orang juga tahu. Tapi kalau internal ribut-ribut, itu tidak berpengaruh.
Di Indonesia, saya tidak melihat orang berolahraga dengan imajinasi.
Sebenarnya satu orang yang bisa membuat sepak bola kita maju, yaitu Jokowi. Serius. Tapi bukan dengan cara seperti dulu, ketika Menpora main asal ban. Tidak. Ban itu, semua menteri bisa melakukan, itu kan masalah power. Saya powerful, Anda tidak mendengarkan saya, ya sudah saya ban. And then what? Solusi apa yang diberikan, kan tidak ada. Tapi kita bisa bermain secara lebih elok, lebih smart. Kita kumpulkan semua klub, ini harus diubah, kita tidak bisa seperti ini. A sampai Z harus diubah, kumpulkan semuanya, dan saya minta kalian patuhi. O
rang kan harus ikut aturan FIFA, nanti ada pemilihan kalian pilih orang saya, contohkan yang benar, habis itu baru berubah. Jokowi kalau kirim orang konsultasi ke FIFA, dikasih kok, yang benar seperti apa. Kerja sama dengan any country in the world, mereka dengan senang hati membantu for free. Tapi niatnya tidak ada, karena mengurus negara saja susah, apalagi ditambah mengurus sepak bola. Tapi bisa? Bisa banget, tapi harus dari Jokowi, bukan lewat Menpora saja. Tidak bisa berhenti di Kementerian, you need ideas, for ideas you need imagination, tidak harus dari Menpora. Imajinasi ini yang tidak terlihat. Di Indonesia, saya tidak melihat orang berolahraga dengan imajinasi. Olahraga itu lebih sebagai sebuah kebutuhan, sebuah kewajiban, untuk Merah Putih kita lakukan ini, ujung-ujungnya prestasi olahraga kita is a big joke untuk negara sebesar ini.
Kalau Anda ingin membuat sebuah olahraga berprestasi, policy-nya harus bottom up, bukan top down.
Berbicara soal olahraga dan nasionalisme, sepak bola adalah salah satu olahraga terpopuler di Indonesia, tapi antusiasme yang tinggi ternyata tidak langsung tercerminkan dalam kualitas. Menurut Anda mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Missing link-nya adalah sederhana. Kalau Anda ingin membuat sebuah olahraga berprestasi, policy-nya harus bottom up, bukan top down. Yang terjadi sekarang semua top down, buat timnas yang besar, ambil pelatih yang mahal. Yang Jepang lakukan, itu contoh paling bagus karena usia bola mereka baru tahun 90-an. Baru saja, liga J-League itu baru di tahun 90-an. Itu mereka benar-benar bottom up. Mereka membuat liga, semua klub pada saat itu dikuasai oleh mayoritas perusahaan seperti Toyota, baru mereka ambil pelatih dan pelan-pelan membuat pembinaan, dulu tidak ada apa-apanya liganya, yang penting punya liga, sampai sekarang
mereka ikut Piala Dunia. Kenapa? Caranya benar.
Berdasarkan pengalaman 20 tahun tinggal di Belanda, saya bisa kasih solusi yang cocok dengan iklim kita. Yang dibutuhkan apa? Bukan uang, tapi niat!
Saya tidak bilang di sini saja, dua kali tampil di TV saya bicarakan hal yang sama. Saya bilang yang salah di sepak bola itu A sampai Z, boleh tonton video saya lagi kalau tidak percaya. Saya kritik dan kasih solusi, berdasarkan pengalaman 20 tahun tinggal di Belanda, saya bisa kasih solusi yang cocok dengan iklim kita. Yang dibutuhkan apa? Bukan uang, tapi niat! Tidak butuh banyak uang
untuk bisa menerapkan yang saya inginkan di sini. Dari Sabang sampai Merauke, di seluruh Indonesia setiap minggu anak kecil dari umur 6 sampai 17 tahun bermain. Itu baru pembinaan. Jangan hanya, “Kita sudah punya liga U-14 kok.” U-14 hanya satu liga di seluruh Indonesia, are you joking me? Dan nampaknya itu terjadi di seluruh Indonesia. Karena untuk bisa menjalankan butuh perubahan administratif, infrastruktur administrasinya harus diubah.
Sama seperti suporter, sedikit-sedikit demo. Saya bilang – pada saat live di Kompas, ada ketua suporter timnas Indonesia, saya bilang sama dia, demo setiap saat bisa kalian lakukan kok. Anytime bisa demo, hari ini janjian besok semua kumpul. Kenapa kalian tidak berpikir lebih pintar lagi? Caranya bagaimana, Anda tekan klub, dan itu beberapa bulan yang lalu sudah dilakukan Sleman. Suporter Sleman menekan klubnya, ini yang kita inginkan, kalau tidak
begini kita tidak menonton. Klub kan butuh uang, tidak hanya dari situ tapi yang menonton di TV juga, pada saat pertandingan Sleman tidak didukung oleh fansnya di TV, share-nya akan menurun. Lalu nilai sponsorship akan menurun, baru klubnya pusing tujuh keliling. Itulah, yang belum pernah dilakukan, malah sedikit-sedikit demo. Hanya butuh sedikit organisasi kok, Anda rangkum apa yang Anda inginkan dari klub, Anda ajukan, klub tidak mau penuhi itu ya sudah. Kan bukan kepentingan pribadi, tapi kepentingan bersama.
Itu tidak terjadi di Indonesia, yang terjadi tawuran, ribut. Jadi kita bisa kelola olahraga secara intelektual, profesional, dan belum seperti itu di sini. Karena ranah saya bola, faktanya lihat saja prestasi sepak bola. Itu kan ada sebab dan akibat, kalau hasilnya nol, penyebabnya kenapa kok bisa hasilnya nol, ketua dan pelatih diganti tidak berpengaruh. Jadi penyebabnya apa? Ya itu, pembinaan. Ya itu, bottom up.
Jurnalisme olahraga di sini masih low quality
Interaksi fans dengan klub, sedikit banyak dipengaruhi oleh ulasan media. Anda yang juga kerap mengisi posisi komentator di berbagai media, adakah pendapat tentang jurnalisme olahraga di Indonesia?
Hampir semua media itu cari aman. Artinya kalau menang kita hura-hura, padahal menang belum tentu main bagus.
Media itu punya peran penting. Jurnalisme olahraga di
sini masih low quality, kenapa saya bilang begitu? Hampir semua media itu cari aman. Artinya kalau menang kita hura-hura, padahal menang belum tentu main bagus. Saya pernah interaksi dengan beberapa media, dengan redaktur Jawa Pos, saya ingin melihat, kalian dimana pernah kritik timnas Indonesia ketika mereka menang. Bukan pada saat kalah, pada saat menang. Kita dukung, for sure, tapi bukan berarti kita tidak kritis dong. Iya kan? Ini lah yang untuk orang kita itu aneh. Tahun lalu saya ke Singapura nonton Arsenal bersama istri saya. Di depan saya itu admin akun Official Arsenal Indonesia. Dia menoleh, bertanya, “Coach, kenapa menonton di sini?” Saya kaget, kok pertanyaannya begitu. Saya bingung, ternyata banyak orang berpikir saya bukan fansnya Arsenal karena saya sering kritik mereka. Saya sendiri founder Indo-Barca Indonesia. Berkat saya, Indo-Barca Indonesia diakui oleh FC Barcelona. Saya melakukan meeting berkali-kali ke Spanyol pakai biaya sendiri sampai saya diakui – sampai kita diakui, dan Barcelona itu saya kritik habis-habisan. Banyak orang tidak menyangka saya suka Barcelona.
Kritik masih disamakan dengan ketidaksukaan, ternyata.
Media itu berperan mengedukasi, tapi kalau seperti sekarang ini you don’t educate the people.
Exactly, itulah Indonesia. Tidak, justru karena cinta, berdasarkan kecintaan kita terhadap klub, mereka salah kita kritik. Tapi untuk fans Indonesia ternyata tidak masuk di otak, logika itu. Dan media pun melakukan hal yang sama, selalu dipuji-puji. Lihat U-22 Indonesia juara AFF, langsung berlebihan dan heboh. Saya bilang, “Come on, this is AFF”. Satu bulan kemudian apa yang terjadi? Tidak lolos Piala Asia dan itu saya hajar media-media. Anda baru juara AFF saja sudah bangganya minta ampun. Inilah peran media, bahwa kalau kita menang, kita tetap harus kritik. Kita harus tahu level kita seberapa. Contoh U-22 itu sudah paling bagus, baru menang tapi satu setengah bulan kemudian tidak lolos. Sangat disayangkan, karena media itu punya peran yang sangat penting. Media itu berperan mengedukasi, tapi kalau seperti sekarang ini you don’t educate the people. Mungkin karena zaman sekarang yang penting rating ya, atau views dan likes. I never care about that. Kalau saya tidak suka, ya saya bilang.
Kompetisi yang hebat juga mempengaruhi kualitas permainan. Berbicara soal kompetisi, adakah tanggapan Anda tentang liga bola di Indonesia yang bergantung pada sistem sponsor/pengaruhnya terhadap masing-masing pertandingan?
Semua liga memang bergantung pada sponsorship. Kalau pengaruh pada pertandingan, tidak ada. Begini, timnas yang hebat lahir dari kompetisi yang hebat. Kenapa? Karena mayoritas pemain-pemain kita dari tim itu bermain di liga lokal. Beda dengan Belanda. Di Belanda, timnasnya hebat, kompetisinya mediocre. Kok bisa begitu? Karena pemainnya main di luar Belanda semua, bukan di liga Belanda. Artinya kalau kita mau membuat sebuah timnas yang hebat, kita harus punya liga yang hebat. Iya kan? Karena pemainnya dari situ. Sekarang saya tanya, bagaimana kita bisa punya liga hebat kalau mindset pemilik dan pelatih hanya untuk menang. Artinya kan mereka menghalalkan segala cara untuk menang, yang penting menang. Permainan tidak penting. Itu imbasnya sampai ke timnas.
Kedua, kalau kita porosnya tim – striker, attacking midfielder, defend midfielder, center beck – itu dihuni 90 persen pemain luar negeri semua. Cek saja. Bagaimana kita bisa mendapatkan poros tersebut yang bagus kalau di liganya isinya orang luar semua. Itu yang saya kritik, kita terlalu banyak pemain luar.
Berarti kembali ke soal pemain luar versus lokal, pandangan Anda bagaimana?
Satu tempat yang dihuni pemain luar, itu harusnya pemain muda lokal yang menghuni.
Saat ini terlalu banyak pemain luar, karena liga kita masih berkembang. Jadi kita butuh memberikan banyak kesempatan untuk pemain lokal. Satu tempat yang dihuni pemain luar, itu harusnya pemain muda lokal yang menghuni. Beda ya dengan naturalisasi. Naturalisasi saya tidak ada masalah, karena mereka bisa memperkuat timnas. Banyak negara melakukan itu kok, sebuah hal yang lumrah di dunia sepak bola. Harus sih tidak, tapi naturalisasi itu banyak dan itu tidak apa-apa, that is not the issue. Pemain asing itu kan untuk mengangkat performa timnas saja. Masalahnya adalah misalkan pemain luar yang ada di liga Belanda atau Spanyol, kualitasnya tidak jauh beda dengan pemain Spanyolnya. Makanya di bangku cadangan, banyak juga pemain luar. Tapi di Indonesia, gap-nya masih tinggi, pemain luar terlalu bagus. Dan itu imbasnya ke timnas.
kalau tidak punya pemain luar, jangan mainkan dengan gaya luar. Rombaklah itu strategi
Sebenarnya tanpa pemain naturalisasi tidak berpengaruh, kenapa saya bisa bilang begini? Kita bicara fakta, kita tidak berandai-andai. Kita lihat prestasi tim Indonesia yang bermain di AFF dan AFC, klub tetap hancur juga dengan pemain luar. Orang bilang, “Kalau tidak ada pemain luar, kita center beck-nya kalah dong, main bola-bola atas.” Exactly why, kalau tidak punya pemain luar, jangan mainkan dengan gaya luar. Rombaklah itu strategi. Sekarang begini, kalau kita lihat timnas Spanyol yang juara dunia, FC Barcelona di bawah Pep yang menguasai dunia, itu rata-rata pemainnya kecil semua. Xavi, Messi, Iniesta, Alba, segede apa sih mereka? Kecil semua kan fisiknya. Kenapa bisa menang, ya karena kualitas mainnya bagus, bermain sesuai dengan kualitas bukan inginnya selalu bola-bola atas. Sudah tahu main bola atas jelek, masih kita mainkan. Yang salah siapa? Ya pelatih. “Tapi kan mereka lulusan AFC?” Sekarang jadi ketahuan, kualitas lulusan AFC itu seperti apa. Semua ini fakta, bukan pendapat saya.
Berbicara tentang asosiasi sepak bola, baik PSSI maupun FIFA pernah digemparkan oleh skandal korupsi yang masif dan terstruktur. Adakah pendapat Anda mengenai latensi isu ini di dalam dunia manajemen bola?
Mereka hanya peduli dengan uang.
Because they don’t care about football. Mereka hanya peduli dengan uang. Mungkin mereka tidak mau kalau bola kita maju, karena kalau kita maju semua orang akan terlibat. Mereka membuat kelompok ini menjadi eksklusif, biar mereka-mereka saja yang kelola. Saya berani bicara karena zamannya Nurdin Halid saya dikeluarkan dari PSSI, 2009 sampai 2011, karena saya terlalu kritis terhadap dia. Djohar Arifin naik, saya diminta lagi untuk masuk ke futsal. Walaupun saya di futsal, saya tetap kritis dengan sepak bola. Nurdin Halid pernah membuat aturan bahwa pengurus PSSI harus minimal lima tahun aktif di sepak bola. Cerita dari mana itu? Aktif dalam definisi whatever ya. Dasar regulasi tidak ada, suka-suka dia.
Ini yang saya bilang ke Gusti Randa, aturan ini harus dihapus, kita punya orang smart. Sepak bola itu kan hanya produk, yang penting kan pola pikir. Sepak bola itu bisa dipelajari! Jangan membuat bola itu seolah-olah hanya itu-itu saja yang mengerti. Itu yang mereka lakukan, biar kue-kuenya dibagi di antara mereka saja. Kenapa PSSI tidak pernah mau terima dana dari pemerintah, karena supaya tidak bisa diintervensi dengan KPK, tidak bisa diaudit. Yang tolol siapa? Fansnya, yang tetap mendukung tanpa berpikir kritis.
Mereka menolak campur tangan pemerintah, begitu?
Ketika bilang pemerintah tidak boleh ikut campur, istilah ikut campur itu seperti apa? Kalau kritik dan masukan, boleh, yang tidak boleh adalah mengintervensi. Ikut campur tetap boleh, kan masih memakai stadion punya negara. Pengamanan polisi punya pemerintah, jalanan punya pemerintah. Bagaimana pemerintah tidak boleh ikut campur? Yang disebut tidak boleh ikut campur adalah mengintervensi struktur. Contoh, kita intervensi pengurus, pakai ketua dari pemerintah, itu tidak boleh. Maka dari itu, saya bilang yang bisa mengubah ini adalah Jokowi. Tapi harus ada orang yang benar-benar paham sepak bola untuk merombak semua.
Sepak bola itu produk yang seksi. Fansnya banyak, jadi untuk brand bola itu sangat seksi untuk diinvestasikan, sangat potensial. Investasi ini dimanfaatkan oleh segelintir orang yang ingin sepak bola kita tetap amburadul saja. Orang Indonesia, kalau bisa Indonesia Raya disebut nasionalis. Kalau Anda tanya saya, orang kita masih tidak nasionalis. Kalau memang benar nasionalis, kita sudah maju dari dulu. Yang kita pedulikan adalah diri sendiri dan lingkungan kita. Nilai nasionalisme itu masih formalitas. What have you done for your country? Mulai dari hal yang kecil, buang sampah pada tempatnya, misalkan. Kalau itu terjadi, banjir sudah pasti berkurang. Tapi belum terjadi, because they don’t care. Kenapa orang Indonesia di luar negeri bisa patuh buang sampah pada tempatnya, kalau di sini tidak? Ya tidak nasionalis itu tadi, that’s the whole point. Datang orang seperti saya, yang hajar kiri-kanan, dibilang tidak nasionalis.
Jujur saja, saya tidak hafal Pancasila. Tapi bagi saya, saya sudah memberikan kepada negara dibandingkan orang-orang yang mengoceh di sosial media. Parameternya harus action. Kalau rakyat kita benar-benar peduli dengan negara ini, kita pasti sudah maju, KPK dan penjara kosong. Makanya saya tidak akan diminta masuk PSSI, karena mereka tahu Justin itu seperti apa, terutama yang lama. Saya tidak bisa diatur, untuk apa diatur penjahat? Saya percaya diri bahwa banyak jalan menuju Roma, untuk menang dan menghasilkan uang itu tadi.
I make money, kenapa harus saya ubah? Pemikiran pengurus-pengurus banyak yang seperti itu
Fenomenanya menjadi banyak orang baik, orang kritis yang enggan masuk manajemen yang rusak. Bagaimana menanggapi hal ini?
Sistem itu kan sebuah ciptaan manusia. Yang namanya ciptaan manusia, itu bisa diubah. Yang susah diubah itu kan ciptaan Tuhan. Karakter, pola pikir, itu susah diubah. Yang bisa mengubah adalah diri sendiri, pada saat kita lihat kita membuat kesalahan seperti ini, kita harus berkaca dan mengubah. Yang penting ada apa? Niat. Niat ini yang belum ada. Sekarang buat apa saya mengubah – misalkan saya pengurus PSSI, buat apa saya mengubah sesuatu kalau sekarang tiap tahun saya bisa ke Amerika? Saya bisa naik Mercedes, saya bisa sekolahkan anak ke luar negeri. “I make money, kenapa harus saya ubah?” Pemikiran pengurus-pengurus banyak yang seperti itu.
Kalau orang melakukan perubahan, saat ini mereka takut. Takut di-bully karena pendapatnya berbeda. Saya sendiri tidak pernah takut kritik dan dikritik, media, PSSI, semua pernah kena. Salah satu alasan kenapa saya tetap ingin di futsal, karena masih relatif bersih. Kenapa masih bersih? Karena tidak ada uangnya! (tertawa) Futsal dibandingkan sepuluh tahun yang lalu sudah berkembang pesat, sekarang sudah lebih mending dari segala segi. Maka dari itu timnas harus berprestasi, untuk kemudian bisa menang dengan cara yang elok. Menang yang elok itu yang konsisten, butuh fondasi kuat. Supaya ketika misalkan saya tinggal lagi, struktur yang bagus tidak rusak, tidak tergantung pada orang-orang tertentu, satu sosok saya. That’s not right, tidak boleh seperti itu.
Saya tidak bilang saya berhasil, belum tentu juga, tapi at least saya akan berusaha untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang saya lakukan dulu, supaya tidak terulang lagi dan kita tidak akan dipermalukan lagi. Tapi saya tidak bisa sendiri, karena tangan-kaki saya hanya sepasang. Saya butuh semua orang bekerja sama, according to my rules. Orang bisa bilang saya otoriter, itu bebas. Kalau Anda tidak yakin, bilang ke saya. Di mana tidak yakinnya, akan saya yakinkan dengan bahasa yang sederhana. Akan saya yakinkan semua pemain timnas. Pada saat mereka yakin, hatinya akan di sana, dan mereka akan melakukan hal-hal itu dengan gampang.
Mengamati antara futsal dan sepak bola saat ini, apakah memang ada ketimpangan di dalam pengelolaannya, mengingat keduanya di bawah PSSI juga FIFA?
Ketimpangan itu memang ada di level dunia, kan kembali lagi, PSSI membentuk federasi futsal yang independen. FFI tidak bisa lepas dari PSSI, karena futsal di bawah FIFA. Kecuali mereka melepaskan futsal. Yang harus dilakukan oleh FIFA, jadi dari mereka ke AFC, AFC ke PSSI, itu membawahi sepak bola, futsal, dan sepak bola pantai. Memang futsal ini dianaktirikan. Kalau misalkan masing-masing mau dibuat lebih independen meskipun berada di bawah bendera FIFA, di Indonesia pun akan begitu dan baru kita akan berkembang lebih leluasa. Independensi memang penting.
Tentunya meningkatkan kualitas tidak bisa dibebankan pada satu faktor. Pada akhirnya, menurut Anda langkah paling realistis apakah yang bisa diterapkan oleh dunia futsal dan sepak bola Indonesia untuk memajukan kualitasnya?
Kalau Anda mulai dari mindset, baru pelan-pelan bisa membuat perubahan.
Perubahan saat ini ada, tapi memang sangat lambat. Tidak terasa, dan ujung-ujungnya negara lain lebih maju dan kita selalu ketinggalan, jadi seakan-akan kita tidak ada perubahan. Tidak usah dibandingkan dengan Barat, dengan sesama ASEAN saja masih kalah. Waktu itu saya pernah buat video tentang dilarangnya pemain luar di liga nasional, dikutip oleh banyak akun lainnya yang pengikutnya ratusan ribuan. Saya di-bully, dibilang, “Lihat Thailand, pemain luarnya banyak, kenapa bisa sesukses itu?” Saya lalu penasaran, sesukses apakah Thailand itu. Cari tahu, dan ternyata mereka hanya sekali masuk empat besar Asia, sekali saja. Sisanya tidak lolos grup, tidak pernah lolos untuk Piala Dunia, Piala Asia saja tidak pernah. Jadi buat apa benchmark-nya Thailand? Betapa tololnya fansnya kita, patokannya hanya di ASEAN. Makanya saya bilang mindset kita itu Asia, bukan ASEAN. Kalau Anda mulai dari mindset, baru pelan-pelan bisa membuat perubahan.
Kalau bisa me-reset, harus diubah PSSI-nya. Masukkan orang-orang yang benar-benar peduli dengan sepak bola. Buat sebuah program, tekan semua klub untuk mengikuti itu. Rombak sistem yang salah ini, dimulai dari atas ke bawah. Ini semua akan memakan waktu 15 sampai 20 tahun ke depan, baru kita punya tim yang bisa bersaing di Asia secara konsisten. Memang lama, bukan satu dua tahun saja.