Berbincang Tentang Tabloid Bola, Potensi Sepak Bola Kita, hingga Manchester City bersama Firzie Idris
Untuk mengabadikan kenangan dari Tabloid Bola, kami berkesempatan interview bersama salah satu timnya, Firzie Idris untuk bercerita tentang pengalamannya di sana.
Words by Muhammad Hilmi
Foto: Muhammad Hilmi
Hari Jumat, 26 Oktober 2018 ini, Tabloid Bola menerbitkan edisi terakhirnya. Menutup perjalanannya yang cukup panjang. Sebuah akhir yang ternyata memancing nostalgia sebuah generasi yang dibesarkan oleh tulisan juga cerita di lembar-lembar tabloidnya. Kami mengunjungi kantor Bola untuk mengabadikan kisah yang ada di sana, sembari berbicara dengan managing editor Bolasport.com, Firzie Idris.
Apa pengalaman pertama mengkonsumsi berita olah raga dulu ketika kecil?
Kalo berita olahraga sih, pasti lewat Tabloid Bola. Karena jujur waktu itu belum ada avenue lain buat kita dapat berita olahraga yang kredibel dan indepth tentang bola. Di TV juga paling bentuknya highlights show, seperti di ANTV dulu kalau ingat ada acaranya Mas Boy Noya, terus paling One Stop Football. Jadi kalau kita cari ulasan yang mendalam, pasti baca Tabloid Bola.
Apakah punya sosok penulis olahraga idola?
Dulu gue suka sepak bola nasional. Halaman pertama yang gue baca dari Tabloid Bola pasti halaman nasional. Halaman nasional itu gue baca dulu tulisannya mas Sigit Nugroho. Dia “bapak” persatuan suporter di Indonesia. Tulisan-tulisan dia selalu enak, nyaman dibaca. Hampir sama seperti tulisan Bang Wesley, Mas Wiwid, Mas Arif Natakusuma yang mendalam, tapi flow-nya enak banget.
Apa yang paling berkesan dari tulisan di Tabloid Bola?
Kalau kita baca Tabloid Bola, kita tidak sedang cari news, karena kita pasti sudah dapat dari TV melalui highlight di acara berita. Yang unik dari Bola adalah cara mereka menyajikan bahasan dalam bentuk feature yang cukup mendalam, tapi diolah dalam bahasa yang tidak bikin pusing. Balance-nya ketemu. Itu yang gue coba pelajari selama 10 tahun di sini. Karena let’s face it-lah, dulu itu baca koran harian bahasannya cukup berat. Di Tabloid Bola, ada pacing-nya. Mulai dari yang ringan dulu, kemudian baru masuk yang agak berat, begitu. Halaman terakhir, Bola selalu meletakkan mosaik, galeri, bacaan-bacaan ringan seperti lifestyle pemain bola, WAGS-nya hal-hal seperti itu. Ini yang membuat ritme membaca Bola menurut gue selalu enak.
Firzie sempat menjadi media executive di Manchester City, boleh diceritakan suasana tim ketika itu?
Kalau kita datang naik kereta ke Manchester, hal pertama yang kita lihat bukan Old Trafford. Old Trafford berada jauh di sisi barat dekat laut. Hal pertama yang kita lihat saat masuk Manchester adalah Etihad Stadium dengan segala kemegahannya.
Wah itu gila sih, di City gue belajar banget. Yang gue lihat perbedaan dari Manchester United dengan Manchester City adalah bahwa City selalu memposisikan klub mereka sebagai local atau community club. Apapun yang mereka lakukan harus ada roots-nya. Daerah east west Manchester itu slump banget, semacam bronx-nya Manchester dulu.
Menurut gue, Syekh Mansur adalah contoh pemilik yang sangat care. Ini hal yang bagus dalam membangun klub di liga Inggris, dia memperhatikan local community, tapi di satu sisi juga dia menyebarkan the joy of football
City datang, mereka bangun Etihad Stadium, Etihad Campus, juga pusat latihannya di situ. Dari yang tadinya area slump, sekarang jadi area yang hidup banget. Mereka juga employ a lot of local people gitu. Kalau kita datang naik kereta ke Manchester, hal pertama yang kita lihat bukan Old Trafford. Old Trafford berada jauh di sisi barat dekat laut. Hal pertama yang kita lihat saat masuk Manchester adalah Etihad Stadium dengan segala kemegahannya. Di samping itu mereka punya football vision, filosofi sepak bola yang menarik. Jadi nggak semua pelatih sebenarnya bisa cocok sama visi misi mereka.
Di sana gue belajar bagaimana kita translate visi-misi dan mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari. Ini terlihat dari bagaimana cara mereka bermain bola sesuai visi yang mereka ingin lakukan. Menurut gue, Syekh Mansur adalah contoh pemilik yang sangat care. Ini hal yang bagus dalam membangun klub di liga Inggris, dia memperhatikan local community, tapi di satu sisi juga dia menyebarkan the joy of football, spread the love for City itu ke berbagai negara.
Ada pengalaman ketemu siapa saat itu?
Di City sebenarnya cukup gampang untuk bertemu dengan pemain, karena parkiran mereka di dekat kantor kita. Tapi sejujurnya gue nggak terlalu sering ketemu pemain. Paling waktu itu sempat ketemu Lampard. Kebetulan juga kantor kita dekat dengan studio siaran Sky Sports, jadi pernah lihat Dietmar Hamann yang jadi pundit di situ, juga mantan kapten Timnas Amerika, Claudio Reyna.
Ketika itu, gue sempat ikut di Focus Group Discussion tim media Manchester City, salah satu salah satu hal yang dikeluhkan adalah akses ke pemain. Itu masa kepelatihan Manuel Pellegrini yang memang sangat protektif terhadap pemainnya. Jadi paling ketika itu kita akan dapat komentar dari 3-4 pemain kalau hasil pertandingan adalah positif, kalau kalah cuma kapten tim yang akan berbicara. Belum lagi, beberapa pemain ada kecenderungan moody juga. Ini sangat berbeda dengan era Pep Guardiola yang sangat membuka diri.
Pengalaman dari City yang ilmunya dibawa ke sini?
How you work in a multinational environment. Karena ketika gue disana, City itu baru tahun pertama kalinya mereka mengeluarkan website bukan dalam Bahasa Inggris. Di dalam tim, sebenarnya terasa Spanish Influence yang besar. Mulai dari pelatih, hingga director banyak dari sana. Tak jarang saat bersama-sama mereka berbicara dalam Bahasa Spanyol. Tapi sebagai tim dunia, mereka meluaskan konteks dengan lebih mendunia. Kita ada 13 orang yang meng-handle 9 bahasa, mulai dari Prancis, Portugis, Rusia, Jepang, Korea, juga Malaysia.
Selain itu juga tentang bagaimana suatu perusahaan harus punya visi misi yang jelas. Maksudnya di Kompas ada cara kita behave, cara kita bertindak itu ada values-nya. Values itu yang menurun bagaimana kehidupan kita sehari-hari. Di City everything is all connected dan all online. Ini memudahkan dalam hal meeting.
Hal lain yang juga saya pelajari adalah tentang etos kerja. Gue dibatasi waktu kerjanya 3 jam sehari, karena gue izinnya bekerja dengan visa student. Di sini, kalau kita kerja sampai lama di kantor gitu, kita lebih di appreciate. Padahal kan nggak selalu begitu, yang penting kita bekerja effectively di waktu yang ditentukan.
Bagaimana proses saat masuk di Tabloid Bola?
Jadi alurnya gue lulus 2007, lalu tahun 2008 masuk Bola sekitar 5 tahun. Tahun 2013 kepikiran untuk memperluas pengetahuan tentang industri media, karena sebenarnya basic gue adalah jurusan Hubungan Internasional yang tahu banyak hal, tapi tak terlalu mendalam. Gue memutuskan untuk berangkat kuliah ke Inggris ketika itu kebetulan dapatnya di Newcastle University yang ketika itu nomor satu untuk jurusan media dan jurnalistik di list kampus versi Guardian.
Tahun 2014 awal gue dapat telepon ada orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Inggris memutuskan untuk balik ke Indonesia. Dia menghubungi saya lewat Twitter “Kamu mau nggak nerusin saya di City?” ternyata selain di BBC, dia ngerjain medianya Manchester City juga. Ya gue bilang mau banget. Akhirnya dipanggil untuk interview di Etihad, habis itu dari Februari sampai 9 bulan gue di City. Gue kerja dari Newcastle karena gue masih student, jadi gue bisa part-time di sana, tapi dalam sebulan gue ada 2 atau 3 kali ke Manchester untuk koordinasi untuk training, dll.
Setelah itu akhir 2014 gue balik. Lanjut di Bola lagi, sempat handle produk, seperti kalender sampai majalah non bulanan, dulu dulu kita pernah bikin seri “How to become Cristiano Ronaldo”, atau “How to Become Lionel Messi”. Tahun 2015 pertengahan banyak membantu di Online, pertama Juara.net, habis itu ke Bola Sports sampai sekarang.
Dulu ada anggapan bahwa menjadi wartawan olahraga adalah profesi yang menyenangkan, dibayar untuk nonton olahraga – bahkan sering diberangkatkan untuk nonton secara langsung acara seperti Piala Dunia. Bagaimana suka duka bekerja di Tabloid Bola?
Sebenarnya target gue lulus kuliah adalah gue cari kerjaan, setahun saja untuk kemudian lanjut S2. Tapi begitu masuk, ya namanya juga berangkat dari pembaca Bola, passion gue adalah olahraga, sepakbola khususnya, passion kita berbicara. Kalau tidak punya passion sebagai wartawan olahraga, kita nggak bakal survive. Lima tahun pertama, itu deadline minggu, jadi disaat orang-orang ngumpul sama keluarga itu gue sering banget skip acara keluarga. Karena ya di saat mereka istirahat, gue harus bekerja. Memang ritmenya yang membedakan kita dengan pekerjaan biasa.
Pas setahun kerja di sana, tiba-tiba penugasannya selalu menarik. Sama NIKE pertama kali diberangkatkan nonton Premier League, Arsenal lawan Wigan waktu itu di Emirates. Tahun 2012 saat ingin sekolah lagi, ditugaskan ke Euro, berangkat ke Polandia dan Ukraina. Ini kesempatan yang nggak akan datang dua kali, itu kan dream untuk banyak orang ya. Saat ke Piala Dunia 2018 kemarin, teman-teman yang berangkat itu menabung selama setahun untuk beli 1 tiket pertandingan dan jalan-jalan. Sementara gue di sana nonton 12 pertandingan, dan gue bisa pergi lima atau enam kota. Paling enak kalau punya pekerjaan yang sesuai dengan passion. Gue sih nggak pernah merasa berat untuk pergi ke kantor, sementara orang-orang work like a drone yang tiap hari menunggu datangnya weekend. Gue sih nggak merasa kayak gitu di sini.
Tapi diluar itu, dari awal saat ditanya pas mau masuk Tabloid Bola, gue bilang ingin memajukan sepak bola atau olahraga nasional. Dari dulu gue pengen contribute to society, entah dengan cara apa. Yang paling mungkin ketika itu adalah lewat tulisan. Ini terbukti ketika kemarin pengumuman edisi terakhir, banyak yang mengirim testimonial soal Bola. Ternyata banyak banget teman-teman gue yang jadi wartawan itu karena dulu mereka tumbuh bersama Tabloid Bola. Itu yang menurut gue, mewujudkan salah satu keinginan gue bersama bola, yakni menyumbang sesuatu.
Ada pengalaman menarik saat bertemu pemain sepak bola?
Menurut gue yang paling menarik adalah saat ketemu kiper. Yang paling berkesan bagi gue adalah saat bertemu David Seaman sama Wojciech Szczęsny. Mungkin karena kiper itu punya karakter yang kuat ya, jadi saat ngobrol jadinya menarik.
Yang lucu, kemarin anak-anak timnas U-16 kita cerita bahwa mereka sempat disamperin beberapa timnas U-16 Australia ke kamar untuk minta mention di Instagram karena followers timnas kita besar sekali
Kalau pengalaman ngobrol dengan pemain lokal?
Sayangnya, pemain lokal kebanyakan masih belum sadar tentang pentingnya personal branding. Jadi saat diajak ngobrol mereka jawabannya gitu-gitu saja. Bahkan beberapa pemain terkenal kita tampak agak kesulitan saat harus berbicara di depan publik.
Anak-anak yang lebih muda sebenarnya sudah lebih sadar, setidaknya dalam bagaimana mereka menggunakan sosial media. Yang lucu, kemarin anak-anak timnas U-16 kita cerita bahwa mereka sempat disamperin beberapa timnas U-16 Australia ke kamar untuk minta mention di Instagram karena followers timnas kita besar sekali (tertawa).
Belakangan berita olahraga berkembang dengan bentuk-bentuk seperti laporan Statistik yang semakin detail, juga analisa taktik yang semakin berkembang. Bagaimana perkembangan ini berpengaruh pada pola kerja di desk berita?
Ini perkembangan menarik, sejak perusahaan-perusahaan statistik seperti Opta juga Labbola yang merupakan langganan Tabloid Bola, memang ada perubahan. Dulu kebanyakan penulis atau komentator di TV ngomong, “Dia bermain cukup baik, dia bermain cukup buruk”. Cukup-cukup saja, tapi tidak jelas baseline statement-nya. Gue senang banget main statistik karena kita bisa membicarakan sesuatu berdasarkan hard facts, angka ‘kan nggak bisa bohong.
Sekarang kalau kita memuji tim A, tapi ternyata kalau faktanya statistically tidak bagus, statement kita akan dipertanyakan.
Soal statistik, paling yang perlu diperhatikan adalah cara penyajiannya. Orang kita kan visual sekali ya, juga nggak pengen dibawa repot. Yang unik juga di Asia, bahwa sekitar 69%-80% pengguna internet kita kan dari mobile. Mereka nggak ingin baca yang terlalu rumit. Bahasa visual itu menurut gue bakal lebih besar berbicara ketimbang tulisan yang mendalam. Bahasan artikel atau statistik yang mendalam sebenernya ada pasarnya. Tapi itu pembaca desktop yang secara jumlah tidak terlalu banyak.
Selain itu, perkembangannya adalah semua orang jadi lebih kritis. Kalau reporter jaman dulu, we live in an ivory tower gitu. Apapun yang kita tulis jarang sekali ada feedbacknya. Bagus atau jelek tulisan kita, toh korannya sudah dibeli. Sekarang kalau kita memuji tim A, tapi ternyata kalau faktanya statistically tidak bagus, statement kita akan dipertanyakan. Karena statistik itu sudah ada di mana-mana. Menurut gue statistik jadi semacam alat untuk remind ourselves, bahwa pembaca sekarang udah nggak bego. Yang clickbait, publik juga sudah tahu, mereka udah nggak bisa dibohongi lagi kayak dulu. Sekarang bisa di-track siapa penulisnya, lewat twitter mereka bisa langsung nanya atau message kita.
Karena millennials ini behavior-nya nggak punya kesetiaan lah. Mereka lompat-lompat aja. Sedangkan brand seperti Bola dibangun dari loyalty.
Dengan tutupnya Tabloid Bola, ini menambah daftar panjang “kiamat” media di Indonesia. Entah sudah berapa banyak berita lokal berjudul “senjakala industri media…”. Apa yang bisa dipelajari dari tutupnya Tabloid Bola menurut Firzie sebagai managing editor terakhir?
Memang sudah tahu bahwa kita berada di sunset industry dan sebenarnya banyak faktor eksternal seperti harga kertas karena imbas dari naiknya dollar, yang berpengaruh. Cuma menurut gue, ini adalah salah satu bukti baru bahwa kultur membaca kita masih rendah. Mungkin akan terlihat tidak fair kalau kita membandingkannya dengan budaya di Inggris. Tapi ya kita harus melihat ke sana. Kalau kita di Inggris, tidak aneh melihat anak muda jalan-jalan sambil bawa koran. Di sini kan sudah hampir tidak ada prestige nya sama sekali ya baca media cetak.
Kalau gue berbicara sama beberapa profesor gue di sana, print media itu kayaknya tidak bakal mati di Inggris karena mereka itu sudah jadi institusi yang sudah bertahan ratusan tahun. Sedangkan di sini, orang Indonesia itu culture-nya menonton sebenarnya. Mungkin juga berhubungan dengan literasi dalam pendidikan. Selain itu, kalau kita lihat, orang kita itu inginnya berita yang free. Mereka nggak terbiasa membayar untuk dapat berita. Mungkin pengeluaran mereka dialokasikan untuk beli rokok, atau mungkin di ujung bulan akan pakai uang itu untuk beli pulsa.
Tapi ini menarik, karena artinya kita bersaing dengan sesuatu yang free. Cuma kalau sekarang, cara kita me-monetize something itu yang agak susah. Karena millennials ini behavior-nya nggak punya kesetiaan lah. Mereka lompat-lompat aja. Sedangkan brand seperti Bola dibangun dari loyalty. Sekarang, sudah terlalu banyak pilihan buat millenials, ya mereka lompat-lompat aja, karena bagi mereka nggak ada konsekuensi sama sekali. Kalau misalnya kita salah dalam menulis judul, atau nulis yang di-perceive oleh pembaca kita sebagai “ah, ini murahan” atau “ah, ini nggak akurat.” Mereka ninggalin kita, susah untuk balikin mereka.
Harusnya kita bisa nulis yang lebih baik daripada mereka yang “cuma nonton dari TV”.
Seperti apa sih pandangan terhadap beberapa media olahraga alternatif yang ada sekarang?
Gue seneng sih, kalau kita baca panditfootball.com, fandom.id, atau football-tribe.com masih ada orang-orang yang mau nulis lebih dari sekedar berita. Menurut gue, website-website kayak gitu itu benchmark buat Bola. Kita harus bisa lebih baik dari mereka, karena Bola itu sejak 1986 sudah ngeliput piala dunia, jadi we have our boots on the ground. Kita nggak cuma ngambil dari Instagram kita nggak cuma nonton pertandingan itu lewat TV. Tapi kita kirim wartawan kita. Itu buktinya bahwa kita ada di lapangan. Harusnya kita bisa nulis yang lebih baik daripada mereka yang “cuma nonton dari TV”.
Walaupun memang analytical thinking itu pasti beda-beda per individual. Mungkin ada orang yang nonton di TV akan punya sense yang lebih bagus untuk mengambil angle daripada mereka yang datang ke lapangan. Tapi ini jadi tantangan bagi kita untuk membuktikan bahwa Bola ini sudah nama besar. Bahwa kita nggak boleh kalah sama mereka yang so called TV Pundit. Makanya tagline kita “Membawa Anda ke Arena”, jadi dari pertandingan itu kita harus bawa sesuatu yang bisa lebih ketimbang teman-teman yang menulis dari kantor mereka saja.
Bagaimana Firzie melihat posisi media olahraga kita sekarang ini – terutama yang digital – yang kini bersaing langsung dengan media luar yang secara akses lebih lengkap dan bisa lebih update?
Kalau tabloid itu memang cara kita menanganinya adalah, ya kita tahu lah kita nggak akan bisa bersaing dengan situs online luar. Makanya untuk tabloid sebelum diputuskan untuk berhenti itu, kita lebih fokus sama sepak bola nasional. Indepth tentang akademi, pemain-pemain kita, wonderkid kita yang pernah hilang seperti Syamsir Alam, itu kita dalami. Sekarang masih susah cari berita sepak bola nasional sekarang, di online sekalipun. Itu kita mainnya ke arah situ.
Begitu pula di BolaSport, yang bersaing dengan website luar yang akses mereka tentunya lebih bagus dan mereka ada resource-nya. Strateginya jadi lebih fokus ke sepak bola nasional, sambil digabungkan dengan sepak bola internasional dengan feature yang kita gabungkan dengan berita dari media luar seperti La Gazzetta, yang ditulis dalam bahasa Italia yang belum banyak dibaca orang sini membacanya.
Tentang sepak bola, bagaimana Firzie melihat tren sepak bola modern yang semakin business oriented seperti sekarang ini?
Capitalism dalam olahraga adalah sesuatu yang inevitable ya. Selama ini belum ada check and balances-nya dalam artian bahwa dunia transfer itu akan berkembang dan harga pemain akan naik terus. Katanya UEFA sama FIFA akan menerapkan aturan untuk membatasi hal itu, cuma belum terwujud sampai sekarang.
Tapi memang football as an industry adakah hal yang besar. Sebenarnya ini industri yang bisa employed banyak orang in a positive way, dan bring joy ke banyak orang. Followers Man. United berapa di Asia? Followers Barcelona berapa sampai buka markas di Hong Kong, Bundesliga buka markas di Singapore. Sebenarnya globalization dan capitalism di sepak bola sudah nggak bisa dihindari. Walaupun di Indonesia not necessarily ya, karena masih banyak yang belum kita bisa penuhi.
Kenapa begitu?
Football industry memang berkembang, tapi masih infancy banget di kita. Meski dalam tiga atau empat tahun terakhir, klub-klub mulai sadar bahwa ada potensi di sana. Kalau lihat twitter-nya Bali United, instagram Persib dan Persija, mereka mengerti bahwa mereka harus engage dengan fanbase mereka. Tapi gue pernah ngobrol sama CEO nya Bali United, dia bilang “Gimana mau menjadikan industri ini profitable buat Bali United kalau harga tiket kita 3.500? Kalau bisa charge 5.000, bisa dipakai tiket untuk benerin stand nya, bikin safety net yang lebih bagus.” Kemarin yang kacau di Persib lawan Persija itu kan salah satunya karena infrastruktur yang kurang memadai.
Sebenarnya sayang kalau potensi penontonnya ada cuma kalau belum ada langkah konkret ke sana yang unisome sebagai sepak bola Indonesia dalam satu kesatuan. Pasti akan susah dan lama. Selama ini gue lihat masih sendiri-sendiri jalannya. PSSI sudah mulai membuat itu jadi industri, mereka sudah mulai buka toko. Ini langkah awal, tapi nggak bisa dibiarkan tumbuh sendiri-sendiri. Tapi, balik lagi sih, kemampuan beli kita apa sama dengan kemampuan kita datang ke stadion. Orang yang datang ke stadion not necessarily mampu untuk beli souvenir. Yang datang ke stadion kita untuk sekarang masih ABG-ABG yang tanpa pengawasan orang tua. Menurut gue itu yang harus sedikit diubah. Premier league bisa besar karena mereka sudah mulai selektif terhadap siapa yang nonton pertandingan mereka. Di Inggris harga tiket 30-40 pound itu mahal sekali. Nggak semua orang bisa afford. Makanya working class sekarang nggak bisa nonton. Jadi yang nonton turis, bapak-bapak yang bawa anaknya. Tapi daya beli mereka juga artinya lebih besar, kalau mereka jualan apa di toko akan ada yang beli. Sekarang kita di sini kan kita pakai baju jersey palsu nggak masalah kan?.
Stadion penuh oke, fine. Tapi apakah mereka semua bayar tiket?
Jadi solusinya adalah seleksi penonton ya?
Kalau gue bilang sih iya. Stadion penuh oke, fine. Tapi apakah mereka semua bayar tiket? Kalau mereka bayar tiket apakah sesuai jalur yang benar, apa nggak lewat calo. Walaupun mereka bayar tiket sesuai jalur yang benar, apakah itu cukup untuk menghidupi klub. Itu semua harus sinkron. Jadi mulai harus dari fasilitasnya dulu, baru penontonnya mengikuti. Kalau di Inggris kan ada standar keamanan stadion, dengan itu penonton mengikuti. Jadi fasilitasnya sudah oke, top notch, dll. Baru penontonnya mengikuti. Kalau di bilang laga sepakbola di Inggris mahal, itu memang price yang harus mereka bayar, agar menghindari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.
Dalam artian beberapa tim masih di-run sama “mafia” nya, dan mereka yang sudah lama di klub itu.
Liga di Indonesia yang udah secara sistem perusahaan yang paling mendekati dengan liga luar?
Kalau kita lihat sih sebenarnya professionalism. Professionalism itu yang mungkin di beberapa klub belum kuat. Dalam artian beberapa tim masih di-run sama “mafia” nya, dan mereka yang sudah lama di klub itu. Tapi perubahannya sudah mulai banyak terasa. Sebenarnya professionalism itu di PSSI juga sudah mulai, kok. Banyak orang-orang baik di sana yang memang ingin membawa perubahan ke sepak bola Indonesia.
Cara yang paling gampang terlihat adalah bagaimana mereka engage dengan audience mereka. Itu yang penting sih, how the club or the federation speaks to their supporters. Jangan terlihat distant dari suporter. Perkara bahwa di dalamnya memang masih ada beberapa issue yang harus diselesaikan ya itu PR nya. Tapi menuju kesananya semoga dengan apa yang terlihat selama ini bisa lebih baik juga ke depannya.
Apa rencana ke depan Firzie setelah nanti Tabloid Bola tutup?
Gue lihat aja sih. Sebenarnya keputusan apapun soal karyawan kita kan baru akan disampaikan minggu depan setelah RUPS Tabloid Bola. BolaSport.com tetap jalan terus ya kan itu situs olahraganya Kompas Gramedia. Mereka mengangkat karyawan sendiri, tapi ada juga teman-teman dari Kompas.com dan Tribun yang membantu. Jadi Bola itu hanya satu komponen dari BolaSport.com. Kalau BolaSport.com masih lanjut ya mungkin beberapa kawan masih lanjut di sana. Tapi itu belum bisa dijawab sebelum RUPS minggu depan. Kalau gue sih, nggak tahu (tertawa). Yang terdekat mungkin adalah untuk bikin series column sepak bola untuk Whiteboardjournal.