Sisca Soewitomo Bercerita Tentang Acara Masak “Aroma” dan Tren Makanan Nusantara
Berbincang dengan Sisca Soewitomo menjelang acara Jakarta Culinary Feastival tentang perkembangan makanan Indonesia, cara untuk selalu mendapatkan ide-ide resep baru hingga nasihat untuk para chef baru.
Words by Ghina Sabrina
Jika berbicara tentang kuliner nusantara, nama Sisca Soewitomo merupakan salah satu sosok utama yang memiliki peran penting dalam kemajuan dunia kuliner Indonesia. Merupakan salah satu pelopor acara masak di TV, acara “Aroma” yang dibawakan olehnya telah menemani kebanyakan orang yang besar di penghujung tahun 90-an setiap Minggu pagi. Dalam perhelatan Jakarta Culinary Feastival, kami mendapat kesempatan bertukar pikiran dengannya selaku seorang pakar kuliner dan pembawa acara masak legendaris. Lewat perbincangan tersebut, Ibu Sisca berbagi pengalaman seputar memasak, revolusi kuliner di ranah lokal, hingga pentingnya merayakan kekayaan kuliner Indonesia di mata dunia.
Acara masak “Aroma” telah menjadi salah satu pelopor acara masak di TV dan mampu bertahan selama 11 tahun. Apakah Ibu dapat menceritakan proses yang dilewati selama periode tersebut?
Acara “Aroma” itu memang sebagai pionir, acara masak pertama di TV pada tahun 1996. Pada saat itu saya memang masih menjadi dosen. Dulu saya dosen di Perhotelan Trisakti. Saya di sana kurang lebih 18 tahun. Karena saya sudah sering bekerja di belakang layar, saya diminta untuk akhirnya berbicara di depan kamera. Ternyata juga oke. Mengapa banyak orang bisa senang? Karena penerangan yang mudah dan kualitas gambar tentunya. Di acara itu saya menerangkan sesuatu dan itu mudah ditangkap untuk orang sesederhana apapun. Kalau kemudian saya berada di “Aroma” sendiri, dari 1996 sampai 2008, kemudian pindah lagi ke RTV, dan yang terakhir dengan O channel, itu masih satu grup semua.
Apa yang akan saya sebarkan, sebagai pesohor boga, saya harus membuat dan mengujinya terlebih dahulu kemudian baru saya tulis dalam sebuah tulisan, supaya orang kalau dia membaca saja, dia sudah bisa membuatnya. Tujuannya adalah dengan bahan yang mudah didapat, mudah membuatnya dan dengan penampilan yang menggoda selera. Kuncinya tiga itu.
Melihat bahwa makanan pun berevolusi seiring perkembangan zaman, menurut Ibu apa yang berbeda dari makanan Indonesia zaman dulu dan sekarang?
Itu mengikuti kemampuan anak muda. Kenapa anak muda? Yang masak ‘kan ibunya bukan anak mudanya. Tapi kalau zaman now berbeda. Kalau jaman sekarang justru anak muda ini ingin memasak, makanya dibuat makanan anak zaman now, zaman kekinian yang mudah dibuat. Saya harus mengikuti itu semua bagaimana caranya? Saya bertanya ke yang lebih muda seperti cucu dan anak saya.
Tujuannya adalah dengan bahan yang mudah didapat, mudah membuatnya dan dengan penampilan yang menggoda selera. Kuncinya tiga itu.
Yang berbeda itu adalah bagaimana kita menganggapnya. Itu saja, “apa lu kate”. Kalau kamu menganggapnya mudah pasti akan dengan mudah membuatnya. Memasak itu kuncinya satu, “Kamu ingin memasak, hatimu senang, masuklah ke dapur. Lu bete, lu nggak usah ke dapur.” Karena kalau hati senang, apapun akan bagus tapi kalau hati sudah tidak enak, disuruh kasih satu sendok teh garam, nanti dikasih satu sendok makan. Ibaratnya seperti itu.
Tapi kadang beberapa orang masak untuk menyenangkan diri.
Oh, tidak apa-apa. Justru orang yang suka makan, berusaha untuk bisa masak. Karena dia mempunyai pilihan. Pilihan apa yang dia mau makan.
Beberapa masakan Indonesia menggunakan bahan-bahan yang diketahui mengakibatkan penyakit tertentu. Menurut Anda, apakah para pakar kuliner memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat tentang cara-cara alternatif perihal pengolahan makanan?
Semua makanan yang dijual; apapun itu, semua oke untuk kesehatan. Semua sudah melalui tes dan uji, jadi aman untuk dikonsumsi. Menjadi tidak sehat itu, yang membuat salah adalah bukan produsen yang membuat, tapi adalah kamu yang makan. Sudah tahu kalau makan ini menjadi gemuk, ngapain kamu makan banyak. Kembali lagi the choice is yours.
Sebagai seorang pakar kuliner yang telah aktif jauh sebelum makanan menjadi ‘tren’, bagaimana Anda melihat perubahan skena makanan Indonesia selama ini?
Mulai dari kaki lima, sampai dengan bintang lima bedanya hanya pada tempat.
Makanan Indonesia sekarang itu, kita harus menduniakan sajian Indonesia. Dengan banyaknya makanan-makanan asing yang masuk, dengan kemasan yang bagus, dengan suara yang lantang, kita pun tidak boleh kalah. Kita harus bersuara keras untuk dapat mendunia. Misalnya, “Makanlah nasi goreng Indonesia, nasi goreng terasi, the best taste from Indonesia.” Bagaimana kita mengatakannya dengan lantang. Kalau diam-diam saja ya tidak ada yang tahu. Berkatalah dengan keras, berkatalah dengan lantang, bawalah makananmu ini ke seluruh dunia dengan senyum. Mulai dari kaki lima, sampai dengan bintang lima bedanya hanya pada tempat.
Impian untuk mengangkat masakan Nusantara ke kancah internasional pastinya ada. Namun, faktanya belum semua makanan dari seluruh pelosok Indonesia belum dikenal oleh masyarakat Indonesia sendiri. Apa tanggapan Ibu mengenai hal tersebut?
Sebetulnya sih kita tahu, sekarang makanan Indonesia yang orang kenal apa? Sederhana saja dari mulai kaki lima kan, nasi goreng, sate, soto, gado-gado. Itu saja dibawa sudah bisa mendunia. Kalau ngomong gado-gado harganya 5 ribu, kalau ngomong peanut salad harganya 25 ribu. How to say-nya aja. Bilang es teh 5 ribu, iced tea 50 ribu. Kopi sama, pinggir jalan yang naik sepeda 5 ribu dapet. Duduk manis sedikit, enak 60 ribu.
Anda sendiri telah mengeluarkan sekitar 150 buku masak. Bagaimana caranya Anda selalu mendapatkan ide-ide baru di tengah banyaknya persaingan?
Saya dengan mudah dapat mengerjakannya. Apa yang ada di tren, seperti contoh makanan kesukaan anak-anak orang tidak pernah terpikirkan? Saya kumpulkan semua apa yang anak suka. Kita harus peka terhadap keinginan orang makan itu sebenarnya apa sih tujuannya.
Dari resep yang Ibu buat, apakah ada resep favorit?
Itu tidak ada, saya saja lupa bukunya isinya apa kalau tidak lihat daftar. Biasanya yang lagi sering dibuat aja karena lagi tren, misalnya telor asin, karena semua orang tahu dan mau.
Sekarang telah banyak chef baru yang bertalenta dan datang dari latar belakang yang beragam. Apa nasihat Anda untuk mereka yang ingin menapaki karir mereka sebagai seorang chef?
Kalau dulu saya pernah bercita-cita menjadi dokter, sekarang saya dokter di dapur. Peramu resep juga kan?
Sebetulnya kamu kalau ingin menjadi chef yang handal, kuncinya cuma satu, kamu harus sekolah, menguasai teorinya, dan menguasai formula, resep-resep. Formula itu banyak sekali, artinya bukan dihafal, itu ada balancing. Itu melalui sekolah semua. Dan teknik memasak, itu saja. Kalau kamu menguasai itu, bikin apa saja bisa. Seperti kamu sekarang, kamu tanya apa – saya dengan gampang buat resepnya untuk kamu. Kalau dulu saya pernah bercita-cita menjadi dokter, sekarang saya dokter di dapur. Peramu resep juga kan? Dia kan juga ada formula balance-nya. Nah saya juga ada.
Bagaimana Anda melihat perhelatan Jakarta Culinary Feastival (JCF) dalam perannya untuk memberikan edukasi mengenai pengalaman makan secara menyeluruh?
Itu acara yang sangat bagus. Mengapa? Di acara itu kita dapat memperkenalkan sajian-sajian yang mungkin orang tidak pernah tahu. Contohnya saya akan memperagakan cara membuat bubur sumsum dengan sausnya sambal goreng udang. Itu enak sekali, kuahnya gurih, buburnya gurih. Supaya orang tahu bahwa ada makanan seperti ini. Saya juga membuat cumi hitam. Cumi hitam kan sekarang terkenal, zaman dulu kan, itemnya cumi itu sering dibuang. Sementara sekarang dimakan juga tidak apa-apa, saya bikin tumis-tumis begitu. Jadi JCF memang event yang bagus untuk memperkenalkan makanan.