Membahas Perkembangan Tren Kuliner dan Profesi Food Writer di Indonesia bersama Kevindra Soemantri
Kami berbincang dengan Kevindra Soemantri, seorang food writer, soal dampak dari maraknya penggunaan paid influencer terhadap industri kuliner, hingga pentingnya kredibilitas dan integritas dalam menulis food content.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Sabilla Salsabilla
Bicara soal makanan, setiap orang pasti dengan mudah dapat menilai ragam cita rasanya secara langsung. Namun, nyatanya kita memerlukan eksplorasi rasa dan juga meneliti secara mendalam pada saat menuangkannya ke dalam tulisan. Kevindra Soemantri adalah seorang food writer yang telah berkiprah di industri kuliner dengan karya-karyanya seperti “Jakarta Street Food”, “The Art of Restaurant Review”, dan sebuah media online bernama Feastin’. Ia juga terkenal sebagai pembawa acara dalam serial dokumenter Netflix berjudul “Street Food” edisi Yogyakarta, Indonesia beberapa waktu lalu. Kami pun berbincang dengan Kevin untuk mengetahui perkembangan industri kuliner di Indonesia, pengaruh paid influencer pada peran food writer sebagai pemberi opini yang kredibel, hingga proyek yang sedang ia kerjakan.
Bagaimana awal dari keinginan Anda untuk serius menggeluti industri kuliner?
Lucunya, saya tuh tidak mau masuk ke culinary tadinya. Dari jaman SMA, saya justru inginnya masuk ke banking, finance. Waktu masuk kelas 3 SMA, akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke ranah F&B. Lalu, di tahun 2011 sempat ikut MasterChef Indonesia sebentar, tapi setelah itu saya move ke fine dining di Emilie French Restaurant (Jakarta) dan Bvlgari Resort (Bali). Tapi, kayaknya kitchen tuh tidak seperti habitat lah istilahnya, tidak enjoy. Jadi, saya decided untuk masuk dan memperdalam food writing di tahun 2013 karena pada saat itu saya suka baca food news. The rest are history.
Di awal tahun, Anda terpilih untuk membawakan acara serial dokumenter Netflix berjudul “Street Food” edisi Indonesia. Bisa ceritakan bagaimana proses dari awal terpilih hingga pada saat acara tersebut berjalan?
Netflix “Street Food” ini sebenarnya berawal di tahun 2018 di mana mereka sedang scouting untuk cari food expert di Jakarta, bukan Yogyakarta. Mereka menghubungi saya lewat LinkedIn pada saat itu. During that time, saya baru selesai di Traveloka untuk membangun Traveloka Eats sebagai Managing Editor dan menjadi Food and Restaurant Columnist selama dua setengah tahun di The Jakarta Post sebelumnya. Tapi, seiring berjalannya waktu, kita move ke Yogyakarta. Saya membantu mereka untuk riset di Yogyakarta-nya seperti apa, ketemu dengan narasumbernya seperti bagaimana. Pada akhirnya, mereka meminta saya untuk menjadi food expertise dan muncul lah saya di situ. Risetnya sangat menarik sih.
Profesi sebagai food writer di negara ini bisa dibilang cukup sedikit. Apakah hal tersebut menjadi faktor bagi Anda untuk akhirnya terjun ke dalam profesi tersebut?
Iya, betul. Kalau melihat negara dengan F&B yang luar biasa, seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, atau Eropa, food journalism mereka sangat kuat. Bahkan, mereka mempunyai banyak sekali food media di situ. Kalau mau melihat industrinya maju, harus ada media yang membahas soal industri tersebut. Itu pilar yang penting. Di sini, saya melihat bahwa belum ada yang seperti itu. Kalau ada pun yang dibahas selalu fine dining, which is very boring. Sementara, kalau di luar negeri, media seperti Bon Appétit atau Eater.com membahas berbagai macam perspektif. Dari situ, saya memfokuskan diri untuk memperdalam food journalism.
Penulisan kritik makanan itu susahnya minta ampun, bahkan jauh lebih sulit daripada kalau kita ingin memuji.
Bagaimana perkembangan profesi food writer di Indonesia saat ini?
Pelan-pelan sudah mulai meningkat dan terlihat banyak yang tertarik, terutama dalam dua tahun terakhir ini. Profesi ini pun tidak hanya saya sendiri saja, ada juga seperti Mba Ade Putri yang juga terkenal sebagai culinary storyteller. Orang-orang seperti kami ini akhirnya mungkin dilihat orang dan triggering interest mereka untuk fokus ke food journalism. Saya beberapa kali membuat online class dan banyak anak-anak muda dari Malang, Medan, dan Bandung yang ingin belajar tentang food writing dan food content yang lebih mendalam dan berkualitas. Bahkan, lifestyle media saja sudah mulai banyak yang membahas kuliner secara lebih mendalam. Dari situ, mungkin akhirnya mengingatkan orang-orang bahwa pembuatan food content itu bisa nggak cuma yang receh ya.
Apakah untuk menjadi seorang food writer juga perlu bakat tersendiri? Mengingat bahwa dalam proses penulisan perlu ada eksplorasi mendalam pada rasa hingga suasana?
Disiplin sih. Saya tidak ada background menjadi penulis, tetapi background saya kuliner. Itulah yang menjadi faktor kuat bagi saya di awal pada saat menulis. Itu pun juga saya sempat merasa struggling karena ternyata menulis tidak semudah itu, apalagi untuk media besar, ada banyak standardisasi di mana kita harus disiplin. Selain itu, perlu ada keinginan untuk explore any kinds of flavour, every kinds of cuisine. Menjadi seorang food journalist sebenarnya sama seperti jurnalis lainnya, yang menjadi pembeda adalah objek dan subjeknya saja yang adalah makanan. Jadi, itu yang harus kita ingat, bahwa you can talk anything to the eyes of food. Mau bahas investigasi bisa soal makanan, bahas suatu kultur tertentu bisa juga dari makanannya. Dan yang terpenting, tidak boleh ada istilah “gue pengen jadi a good food writer tapi gue nggak suka makan ini”, no. Suka atau tidak ya urusan nanti.
Menurut Anda, bagaimana cara seorang food writer untuk konsisten menyampaikan opininya secara jujur namun tetap kritis dan apresiatif?
Kuncinya hanya satu, skill. Penulisan kritik makanan itu susahnya minta ampun, bahkan jauh lebih sulit daripada kalau kita ingin memuji. Karena apa? Kritikan tersebut harus ditulis secara elegan, namun juga deskriptif. Kita juga harus aware bahwa kita itu juga menjadi bagian dari industri. Pada akhirnya, kita membangun culinary ecosystem bersama-sama, bukannya menjatuhkan. Food journalist, food writer, food blogger, apapun itu namanya, itu part of the culinary ecosystem. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kritik yang membangun atau constructed criticism. Saya pernah menulis kritik beberapa kali, tapi saya lakukan riset dulu, validasi dulu. Adakah kesalahan yang diperbuat? Kenapa bisa salah? Apa yang bisa diperbaiki? Kasih solusinya dari sisi kita seperti apa.
Baru-baru ini, Anda mengubah wajah baru Top Tables dengan nama Feastin’. Apa yang menjadi pembeda dan apa langkah selanjutnya untuk proyek ini?
Top Tables itu dibuat pada tahun 2015 karena saya dan partner saya merasa concern ketika pada saat itu tidak ada food guide yang kredibel di Jakarta. Semuanya paid, jadi kalau mau masuk food guide harus bayar. Di situlah akhirnya kami menyadari bahwa perlu adanya ruang untuk sebuah food guide yang independen hingga akhirnya Top Tables muncul sebagai culinary guide independent dalam bentuk buku di tahun 2016. Setelah berkembang, kami merasa bahwa Top Tables ini ada potensi untuk menjadi food media. Namun, seiring perjalanan, kami melihat bahwa ternyata industri kuliner sendiri berkembang menjadi more casual, more fun, instead of more formal. Akhirnya, kami totally rename dan rebrand semuanya menjadi Feastin’ sekaligus untuk menggaet the next future reader and audience. Untuk ke depannya, kami tetap ingin mengeksplorasi food culture yang ada di Jakarta and beyond. Kami juga ingin memberikan spotlight kepada orang-orang yang belum pernah mendapatkan spotlight sebelumnya untuk discover new talents, to discuss about food yang mungkin selama ini dianggap tabu atau mungkin orang tidak pernah aware. Selain itu, ada juga beberapa proyek offline lainnya yang lebih kepada experience.
View this post on Instagram
Sebagai food writer yang telah menulis beberapa buku dan juga berkiprah di media online, perbedaan treatment apa yang dilakukan dan adakah platform yang lebih unggul dalam menarik perhatian pembaca?
Pastinya ada. Kalau saya menulis untuk yang offline, akan sangat menghabiskan banyak waktu karena saya merasa bahwa suatu karya dalam bentuk offline itu ibarat sebuah monumen. Saya pun juga akan lebih concern untuk melakukan riset yang mendalam karena orang akan membeli dan menyimpan karya yang dihasilkan. That’s why effort-nya harus lebih banyak. Masalah lebih unggul yang mana dalam menarik perhatian pembaca, menurut saya keduanya harus bergerak secara lebih holistik. Kalau mau bicara tentang reach tentu sekarang yang nomor satu adalah online, jelas itu lebih unggul. Tapi, online itu kan sudah begitu banyak pasarnya dan menurut saya very saturated. Dengan adanya offline, sebenarnya itu complimenting online experience. Maka dari itu, karya berbentuk offline juga menurut saya juga penting karena holistic ecosystem terbangun di situ. Tidak hanya itu saja, penulisan dalam bentuk offline juga lebih mendalam, lebih enak juga untuk membahas sesuatu yang lebih luas cakupan kontennya. Mungkin 5-6 tahun yang lalu online nomor satu dan offline collapse, tapi sekarang tidak. Saat ini tetap harus bergerak secara holistik.
Melihat fenomena saat ini di mana digitalisasi sudah semakin meluas, ditambah dengan banyaknya orang yang juga lebih mengandalkan paid influencer sebagai pemenuh informasi termasuk produk F&B, apakah hal tersebut memengaruhi para food writer yang menuangkan opininya secara jujur?
Berpengaruh. Ada istilah “famous is the most dangerous thing” karena hal itu dapat membuat kita percaya saja, padahal mungkin pihak tersebut tidak kredibel. Ketenaran itu berbahaya. Menurut saya, food writers pada awalnya terpengaruh karena medianya yang berubah, namun untuk kredibilitasnya sepertinya tidak. Orang-orang menganggap bahwa opini para food blogger itu bisa diandalkan pada waktu itu karena pure, namun ketika Instagram mulai muncul ditambah dengan adanya influencer marketing, di situlah mulai terlihat bahwa opininya tidak bisa diandalkan, pembahasannya lari ke mana-mana, dan sangat bias.
Menurut saya, bukan berdampak pada food writer-nya karena kita juga sudah tahu yang akan melihat konten kita pasarnya ada di mana, tetapi dampaknya pada industri restoran. Kalau semua orang mengandalkan influencer, tren yang dibangun nantinya lebih kepada yang mereka suka, bukan yang sebetulnya menjadi potensi utama dari sang chef atau makanan itu sendiri. Ketika para influencer suka restoran dengan konsep yang instagramable, semuanya buat dengan konsep yang seperti itu. Bagi saya, tidak fair itu untuk restoran. Kalau memang restorannya punya konsep masakan Jawa, bagaimana caranya untuk bisa masuk ke dalam kategori instagramable? Itu yang sebenarnya berbahaya. Jadi, lebih ke bagaimana mereka shifting trends ke sesuatu yang lebih semu. Sebagai contoh, coba lihat daerah Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Sudah begitu banyak di daerah tersebut yang ingin memperlihatkan konsep instagramable sampai akhirnya hingga saat ini ya buka-tutup-buka-tutup saja.
Dengan maraknya influencer dan content creator yang turut melakukan food review, apakah hal tersebut berdampak pada pergeseran kultur akan jenis makanan yang dikonsumsi atau tempat makan yang didatangi orang-orang?
Bisa berdampak, namun sepertinya kalau yang sekarang tidak terlalu signifikan. Saya melihat bahwa saat ini sudah mulai pelan-pelan tidak terlalu influencer driven, tidak seperti dulu. Mulai banyak kok tren makanan yang memang dibangun oleh restorannya sendiri. Contoh, sekarang sedang booming burger, kan karena trennya dimulai sama Lawless Burgerbar. Lalu ada juga tren pizza, dibangun oleh Pizza Place. Orang-orang juga ramai dengan ice cream soft serve, thanks to Cold Moo. Yang sehat sebetulnya seperti itu, ketika suatu restoran bisa driven trend, bukan influencer. Bahkan, seorang food critic atau food writer pun sedikit sekali yang bisa men-drive tren karena kita tidak pernah menjuruskan opini kita. Di Bali, kalau mau menggunakan influencer mana kena? Siapa yang menggerakkan? Siapa yang membangun trennya? Ya restorannya sendiri. Berarti, para pihak di industri makanan sudah mulai memikirkan produk yang kredibel dan kompeten.
Kebanyakan seperti itu, di mana pemilik restoran saat ini sudah tidak ada lagi yang peduli dengan tempat yang berkonsep instagramable. Apalagi sekarang banyak yang datang dengan ide food delivery, itu kan tidak mungkin bisa dijadikan content influencer. Jadi, sepertinya memang dari industri sendiri sudah mulai tidak mendukung keberadaan food influencer, kecuali dari segi promosi ya. Banyak yang awal mulanya aktif di industri kuliner tapi sekarang larinya ke ranah lifestyle atau fashion. Jadi, sebenarnya menarik bahwa orang Indonesia sendiri sudah mengetahui arah yang lebih baik untuk fulfilling their quality tuh ke mana.
View this post on Instagram
Indonesia memiliki berbagai macam jenis kuliner dengan latar belakang sejarahnya yang juga beragam. Apakah food media yang ada saat ini sudah menjalankan perannya sebagai panduan atau menjadi wadah yang informatif akan hal tersebut?
Belum, tapi we’re getting there. Karena apa yang tadi saya bilang, Indonesia itu kuncinya satu: kultur makanannya yang luar biasa. Sebetulnya, lebih ideal jika Indonesia memiliki food media yang fokus membahas makanan setiap daerah yang berbeda-beda, ada yang membahas kuliner di Sumatera, ada yang di Sulawesi, misalnya juga ada media yang khusus membahas kultur kuliner Jawa. Niche, fokus, namun mendalam, pasti akan sangat menarik. At least, tidak perlu medianya, ada penulis yang expert di bidang kuliner di setiap daerahnya juga sudah bagus.
Lebih ideal jika Indonesia memiliki food media yang fokus membahas makanan setiap daerah yang berbeda-beda.
Kalau ditanya apakah kita sudah melihat food media sebagai acuan, jawabannya belum. Karena apa? Memang, saya bisa bilang selama 8-10 tahun terakhir ini keberadaan food media telah hilang di Indonesia. Hal itu bukan salah orang-orang yang akhirnya tidak melihat food media, namun kesalahannya terdapat di medianya sendiri yang tidak mau shifting. Ego. Maka dari itu, anak-anak muda pada saat itu carinya food blogger, which means mereka sebetulnya sudah ada di tahap ingin tahu lebih tentang kuliner dengan mencari informasi yang ada. Sayangnya, medianya tidak ada. Coba kalau pada saat itu media-media kuliner sudah mulai masuk ke pasar yang muda-muda, pasti sampai sekarang sudah ada yang dijadikan acuan. Itu yang akhirnya perlahan-lahan mulai berubah dengan hadirnya food media yang mulai banyak, salah satunya Feastin’. Tidak hanya membahas review saja, tapi we’re talking about the food, the culture, the people, and all things around it.
Bagaimana perkembangan industri kuliner saat ini yang bisa dibilang masih Jakarta-sentris? Dan bagaimanakah masa depan industri kuliner di kota-kota selain Jakarta yang masih kurang terlihat?
Sampai kapan pun, Jakarta tetap akan menjadi tolok ukur dari suatu tren. Pertanyaannya, apakah kita sudah menjadi tolok ukur yang benar atau belum? That’s the big question. Saya sudah melihat pergerakan kok dari local food culture di Yogyakarta, Bandung, Medan, apalagi Malang, dan itu dimulai dari generasi muda. Bagi saya tidak terlambat kok, justru momentumnya sekarang untuk new food content and food media terutama di negara yang konten makanannya gila. Yang bisa kita encourage sebetulnya adalah orang lokalnya untuk bikin sendiri, karena apa? Siapa sih yang tahu suatu daerah selain orang daerahnya itu sendiri? Who knows the city better than the citizens? Orang Jakarta bisa saja menulis kuliner Yogyakarta, tapi akan sedalam apa sih? Serelevan apa daripada orang Yogyakarta sendiri yang menulis? Menurut saya, ini juga menjadi potensi yang sangat besar, di mana masa depan dari industri ini merupakan regenerasi yang akan dilakukan the new generation untuk culinary culture mereka. Mau sampai kapan jualan yang “kekinian-kekinian”? Why don’t we just explore apa yang sudah ada di local and then we make it cool again?
View this post on Instagram
Apa saja kiat-kiat yang telah Anda jalani dari awal karir hingga akhirnya menjadi orang yang memiliki reputasi kuat dan networking yang luas di industri ini?
Pertama, be truthful dengan talenta yang kita miliki. Jangan selalu berpikiran bahwa the grass is always greener on the other side. Fokus dengan potensi diri. Terkadang, kita itu suka terlalu fokus sama kesuksesan orang lain sampai kita lupa bahwa sebenarnya kita sendiri punya potensi. Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena pada waktu itu tidak ada yang mau jadi penulis kuliner, everyone wants to become a chef. Saya sendiri yang gila, banting setir, tapi ya itu bentuk dari truthful. Kedua, kredibilitas dan integritas. Trust is the highest form of currency, apalagi menjadi seorang food writer yang kredibilitasnya sangat ditantang. Dan yang ketiga, have a very strong empathy terhadap apapun itu. Empati itu sangat penting untuk mengangkat curiosity, and when you want to become a successful person, rasa ingin tahu itu yang menjadi kunci. Any invention starts with curiosity. Coba kalau orang tidak ada rasa penasaran, tidak mungkin ada yang namanya penemuan baru. Curiosity always leads us to create new types of content. Apa ya yang kira-kira orang butuhkan untuk tahu informasinya? Itu yang tidak boleh berhenti.
Why don’t we just explore apa yang sudah ada di local and then we make it cool again?
Apa rencana Anda ke depannya?
Saya akan menerbitkan buku yang sudah saya susun selama enam tahun. Buku ini menceritakan the history of dining scene di Jakarta yang orang tidak akan pernah tahu bahwa Jakarta punya very interesting dining history. It’s going to be exciting karena ini menjadi buku pertama yang akan menceritakan sejarah dari dining scene di Jakarta karena tidak banyak kota yang mempunyai privilege seperti kota ini. Banyak fakta yang mungkin kita baru tahu bahwa Jakarta itu banyak menjadi “the first”. Saya juga baru tahu selama enam tahun saya riset bahwa Jakarta menjadi the first luxury hotel in Southeast Asia dan the first European club house pada saat namanya masih Batavia. Mungkin, the first European restaurant and café adanya di Jakarta juga. Bukunya berjudul “Jakarta A Dining History” dan akan di-publish dalam waktu dekat, kemungkinan di awal tahun 2021.