Spoken Words bersama Tanya Evanson
Febrina Anindita (F) berbincang dengan Tanya Evanson (T).
F
Dikenal sebagai penyair dan seniman pertunjukan di dunia, Anda telah mengeksplorasi seni pertunjukan secara personal. Apakah passion Anda memang di jenis seni seperti itu?
T
Saya akan mengutip penyair terkenal asal Kanada, Leonard Cohen “Poetry is a verdict, not an occupation.” Jadi jika ditanya, apakah memang passion saya dari awal menulis puisi, itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab (tertawa). Karena sejujurnya, profesi penyair sangat sulit untuk diakui atau dihormati oleh orang lain. Jadi, saya tidak memilihnya, tapi justru sayalah yang terpilih dan saya hanya mengikuti alur.
Pada umur 14 atau 15 tahun saya mencoba untuk bunuh diri karena tekanan yang saya dapat ketika remaja. Pada saat itu saya masih bisa diselamatkan dan berakhir di rumah sakit. Saat itu pula, seseorang memberikan saya sebuah jurnal dan saya mulai menulis di jurnal tersebut. Kegiatan tersebut menyelamatkan jiwa saya dan mengerti apa yang terjadi dalam diri saya, layaknya sebuah cermin. Bisa dibilang puisi menyelamatkan saya, tapi tak selamanya puisi yang menyelamatkan itu karya yang saya tulis. Segala tulisan yang saya tumpahkan di jurnal tersebut juga berkembang jadi cerita, lagu, cerita pendek bahkan hip-hop pieces.
Jadi, “profesi” saya sekarang berawal dari perjuangan di kala remaja dan menemukan jalan untuk sembuh atau berkelit dari fase tersebut. Sesungguhnya perjuangan tersebut pun masih berlanjut, namun dalam format berbeda. Begitupun dengan kegiatan menulis saya yang kini membawa saya ke fase yang saya alami saat ini, dan berada di depan Anda sekarang (tertawa).
F
Anda sering mengangkat isu terkini dalam karya dan menggunakan sudut pandang spiritual. Apa yang membuat Anda ingin membahas isu-isu seksi itu dari sudut pandang dari yang lain?
T
Saya tidak memilih topik tersebut, tapi merekalah yang memilih saya. Saya beruntung jika bisa menangkap isu tersebut, jadi ketika saya menulisnya saya kembali mempertanyakannya siapa yang menulis dan apa artinya. Dari situlah saya mengobservasi sudut pandang yang saya tulis dengan situasi yang saya alami dalam kehidupan dan merefleksikan kembali apa yang ada di lembaran kertas tersebut. Adanya momen pencerahan yang muncul dari situlah yang membuat saya bisa menemui sudut pandang spiritual dalam membahas sebuah isu.
Sesungguhnya, kita semua adalah orang-orang spiritual. Kita punya emosi yang sampai sekarang kita coba untuk mengerti. Bagaimana kita bisa mengalami emosi tersebut selama hidup bertahun-tahun. Banyak orang bilang kalau orang yang spiritual dapat mengatur emosi mereka. Jadi, apalah arti spirit jika bukan emosi? Dari situ pula seni muncul, bukan?
F
Travel telah menjadi inspirasi besar dalam proses kreatif Anda. Hal atau kesempatan apa yang membuat Anda terinspirasi ketika berkunjung ke tempat baru?
T
Semua hal adalah inspirasi karena ketika manusia hidup dengan tubuh yang dapat merasakan segala hal, kita bisa melihat, mencium dan mendengar bahkan memiliki ide tentang intuisi. Jadi, saya sangat beruntung bisa traveling dengan profesi ini dan dengan grup Sufi whirling dervish yang saya ikuti.
F
Ada pengaruh filsafat timur yang cukup besar dalam karya Anda. Tidak jarang puisi yang ditampilkan mengaduk logika dan rasa sedemikian rupa, sehingga pesan yang tersampaikan pun memiliki multi interpretasi pagi penikmat seni. Apa yang membuat Anda tertarik dengan filsafat timur?
T
Lagi-lagi saya tidak memilihnya. Karena ketika saya ingin melihat sesuatu, saya akan melihatnya melalui kultur yang diturunkan ke saya, yakni French-Canadian dan African. Tapi saya menemui seorang pria dan kami mengalami kisah cinta yang mendalam. It was a very profound relationship. Ketika saya memasuki bulan ke-6 dalam hubungan saya dengannya, ia mengajak saya untuk mengikuti dervish gathering. Saat itu saya tidak tahu dia seorang dervish, saya tidak tahu bahwa dia adalah whirling dervish. Sejak itu saya tidak pernah beranjak dari situ.
Ia membawa saya ke sana dan menemui saya dengan pengajar asal Turki yang dikenal sebagai Syeikh feminis di Turki. Lalu 1,5 tahun kemudian, pria ini meninggalkan saya pada musim semi di Paris dan tentunya saya sebagai penyair tahu bagaimana mengatasinya (tertawa). Saya menjadi gila. Ketika ia – whirling dervish – meninggalkan saya, saya kemudian menjadi whirling dervish. Logikanya saat itu, saya tidak tahu harus berpaling ke mana, jadi saya terus berputar dan sampai sekarang saya masih melakukannya.
Kami para whirling dervish melakukannya secara privat dan beberapa dari kami melakukannya untuk publik. Kami juga mendapat restu dari ‘Guru’ untuk melakukan presentasi yang tentu memerlukan konteks dan situasi spesial. Saya sendiri menampilkan whirling klasik dan juga yang kuno. The crazy form – Sema. Format dari guru spiritual Mevlana Jalaluddin Rumi, yakni Shams Tabrizi – whirling dervish pertama di dunia. Rumi sangat mencintai Shams namun tiba-tiba ia menghilang karena (konon) dibunuh oleh muridnya. Seketika itu pula Rumi menjadi gila dan tidak tahu harus ke mana untuk melupakan atau mencarinya, jadi ia mulai berputar – whirling.
Saya pun mengalami kisah cinta serupa, secara tidak sengaja (tertawa).
F
Anda pernah membahas mengenai peran internet – internetology – yang kini telah menguasai kehidupan manusia melalui sebuah penampilan singkat. Apakah menurut Anda, kehadiran internet telah membuat manusia mengalami adiksi dan terbuai oleh dunia maya?
T
Menurut saya, pengetahuan indigenous dan teknologi yang berjalan di sisi yang berbeda. Kedua hal ini perlu hadir berdampingan, dan kita tidak bisa menghilangkan salah satunya, sebab salah satunya telah terhapus dan yang lainnya mengambil alih. Bersamaan dengan hilangnya pengetahuan indigenous itu, kita bisa kehilangan 50% hingga 70% bahasa di dunia pada akhir abad ini. Kita tidak bisa hidup berdampingan dengan bumi dan cerita-cerita yang ada di tiap sudut dunia. Pengetahuan yang diturunkan dari banyak generasi sudah mulai memudar, bahkan kita telah melupakan bagaimana piramid dibangun. Now, we’re having a second giant forgetting because of this loss of languages.
Saya ingin melihat teknologi dan pengetahuan dapat berjalan beriringan. Tapi, sains dan teknologi, terutama internet yang dapat diakses melalui ponsel telah memisahkan manusia, kita sekarang. Jadi jika saya bicara dengan Anda, saya tidak mau melihat layar hitam yang terpantul dari ponsel yang kita pegang (tertawa). Saya ingin cermin bening dan saya bisa melihat wajah Anda dan mengingat momen yang kita alami saat ini (tertawa).
F
Konektivitas menjadi sebuah kunci akan kehidupan di dunia dan Anda selalu menyampaikannya dalam karya Anda dengan implisit. Hari ini, ketika teknologi terus berkembang, apakah konektivitas merupakan sesuatu yang sakral?
T
Saya merasa ini tergantung dimana Anda berada, karena hanya sepertiga orang di dunia yang menggunakan internet. Jadi ada bagian besar di ujung sana yang tidak online. Adanya orang-orang yang menggerakkan industri dunia menganggap dunia diisi oleh mereka yang ada di Amerika Utara, Australia, Jepang dan negara-negara Barat. Tapi sesungguhnya bagian dunia yang lain tidak hidup dengan kehadiran teknologi yang dominan dan masih hidup dalam keharmonisan antara individunya.
Di Ubud, saya bisa berjalan dengan lambat dan penduduk lokal pun dengan murah hati tersenyum, sehingga saya pun tergerak untuk berinteraksi, walau hanya sebatas senyuman. Berbeda dengan para turis yang berjalan cepat dan melihat gadget yang ada di tangan. Jadi, sebenarnya kita bisa mencoba untuk berbisik kepada mereka yang sibuk dengan gadget, “Look up! Look up!” (tertawa).
F
Nampaknya mereka yang tidak menikmati momen dan menolak untuk membangun koneksi dengan orang lain itu insecure ya?
T
Momen adalah hal yang menakutkan bagi kebanyakan orang. Orang lebih senang untuk melihat ke masa lalu atau memikirkan masa depan maupun berada di tempat lain, daripada menikmati apa yang ada di depan mata. Saya rasa gadget dan teknologi merupakan adiksi yang membuat kita tergoda untuk terus menggunakannya (tertawa).
F
Apa proyek yang sedang Anda kerjakan?
T
Saya baru saja menyelesaikan album ke-4, berjudul “Zenship.” Saya punya band sekarang yang terdiri dari beragam musisi dengan latar belakang budaya yang masih mampu menjadi diri mereka seutuhnya dan menunjukkan tradisi mereka. Langkah selanjutnya adalah kami ingin ingin menunjukkan spoken words, puisi dan cerita melalui balutan musik ke dalam festival musik.
Lalu saya juga sedang melakukan film pendek berdasarkan puisi berjudul “Mundo Gumbo” yang membahas pembuatan gumbo – sebuah stew dari New Orleans. Di film ini, proses tersebut dianalogikan sebagai proses “pemasakan” jiwa manusia. Karena dengan paparan atau tambahan “panas,” kita bisa menjadi semakin “nikmat.” Selain itu, makanan itupun dibuat dari beragam bahan yang memiliki peran penting dalam pembuatan rasa nikmat, dalam analogi ini merupakan budaya beragam yang ada pada latar belakang manusia.
Saya juga bekerja di Banff Centre Spoken Word dan bertanggung jawab atas residensi yang digelar 2 minggu sekali tiap tahunnya. Prgram ini diisi oleh belasan orang yang berpatisipasi dari seluruh dunia. Kami melakukan workshop dan diskusi tentang menulis hingga melakukan seni pertunjukan. Adapula one-on-one mentoring dan rekaman di studio yang saya lakukan. Selain itu, saya melakukan tur dengan grup whirling dervish, bernama Niyaz.