Nada Dunia bersama Suarasama
Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Suarasama (S)
H
Bagaimana perkenalan Suarasama dengan musik?
S
Rithaony Hutajulu: Saya pertama kali mengenal musik itu pop. Di umur 15, bernyanyi lagu-lagu pop merupakan kesukaan. Sampai pada satu titik, saya pernah bernyanyi di stasiun televisi Medan. Seiring berjalannya waktu, pemahaman musik saya mulai berubah. Lebih tepatnya setelah mengambil kuliah etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara (USU). Awalnya saya tidak terlalu paham bagaimana musik dipelajari di sini. Tapi perlahan karena faktor akademis juga, dapat mengenal musik secara luas. Waktu itu ada dosen dari Amerika Serikat yang mengajar di sana. Mengenalkan musik-musik dari China dan India. Dari situ referensi saya tumbuh dan semakin tertarik untuk lebih mendalami.
Untuk Suarasama sendiri, kebetulan waktu itu saya dikirim untuk melanjutkan studi di University of Washington School of Music. Di sana proses belajar musik tradisi lebih kuat. Banyak belajar tentang estetika dari Kamboja sampai Pakistan. Wawasan itu pula yang menarik kesamaan antara saya dengan Bang Iwan. Jika saya lebih concern ke ranah performer, maka Bang Iwan cenderung ke ranah composing. Lalu di tahun 1995, setelah menyelesaikan studi, saya kembali ke Medan dan mencoba menuangkan pengalaman tersebut ke dalam suatu wadah: Suarasama.
H
Sebagai seorang musisi dan etnomusikolog, bagaimana posisi Indonesia di ranah musik dunia? Ada yang berkata bahwa sejarah musik Indonesia itu tidak panjang. Kemarin sempat mengobrol bersama Rully Sabhara dari Senyawa dan dia menyatakan semacam ada yang hilang dari sejarah musik Indonesia.
S
R: Negara kita terdiri dari banyak suku bangsa yang semuanya mempunyai musik tradisinya sendiri. Dan di dalamnya terdapat sejarahnya masing-masing. Ada pengaruh Buddha, Eropa, hingga Hindu. Dari segi itu saja sudah memunculkan banyak alat musik. Sedangkan kalau dari posisi dunia, orang-orang hanya mengenal Bali dan Jawa saja; karena kedua wilayah itu dianggap sebagai pusat permulaan di mana semua dimulai. Belum lagi etnomusikologi era awal juga mempelajari Bali dan Jawa saja. Padahal, kita punya banyak sekali mulai dari daerah pedalaman serta pengaruh Arab yang tersebar di banyak daerah.
Musik Indonesia itu gambarannya sangat luas. Salah satu dosen kita yang bernama Philip Yampolsky pernah mendapat proyek untuk mengkaji musik Indonesia dari Smithsonian Institution. Beliau diminta untuk mengkaji perkembangan musik di Indonesia. Awalnya dari Smithsonian hanya menawarkan sampai 2 rilisan saja. Namun Philip menolak dan akhirnya disepakati hingga edisi 20. Itu saja masih belum banyak yang terkaji. Bukti bahwa keragaman musik Indonesia sangat banyak.
H
Bagaimana dengan perkembangan kajian etnomusikologi lokal? Apakah sudah mulai muncul kesadaran di dalamnya?
S
Ada disiplin yang menyertai etnomusikologi sebenarnya perkembangannya sangat intensif. Dokumentasi dan pengarsipan lewat menulis, selain itu ada juga penulis dari luar yang tertarik mengkaji musik Indonesia sampai menerbitkan buku yang membahas musik kita. Orang luar sekarang tak hanya melihat Jawa – Bali saja tapi juga mulai melihat Batak, Kalimantan, serta Sulawesi. Terlebih, dengan adanya 20 seri musik Indonesia yang disusun Philip, dari situ Suarasama berkeinginan untuk mendorong penguatan di akar. Meski kita dikenal sebagai musisi world fusion dengan sintesa dari berbagai musik tradisi di dunia, tapi kita sangat mendorong pentingnya belajar mengenai tradisi.
H
Cukup banyak musisi yang terjebak dalam anggapan musik tradisi hanya berkaitan dengan eksotisme belaka. Bagaimana Suarasama memandang hal ini? Sepertinya kalian dapat mengambil angle yang berbeda lewat musik yang kalian mainkan.
S
Pada dasarnya dalam memainkan musik tradisi harus paham terlebih dahulu apa itu estetika. Karena bagaimanapun juga musik tradisi tak bisa dilepaskan dari estetika. Musik etnik mempunyai estetika yang berbeda agar kita dapat belajar terlebih dahulu sebelum menggarapnya. Kami beruntung belajar etnomusikologi karena dengan seperti itu, kita belajar betul apa definisi estetika. Dengan estetika kita bisa membuat analisa dari segi rhytm ataupun skill. Jadi dapat membuat sebuah pemahaman yang utuh. Ketika kita akan mengangkatnya, kita bisa berangkat dari pemahaman itu. Kadang orang hanya mengambil nuansanya saja yang mengakibatkan musik tradisi atau etnik hanya terlihat segi eksotismenya. Banyak terjebaknya di situ (tertawa).
H
Jadi ini sebatas persoalan kurangnya pemahaman dari musisi atas musik tradisi saja?
S
Iya, benar. Saya melihat musik populer juga mulai ada tren seperti itu. Banyak yang ingin mengangkat atau memasukan unsur tradisi tetapi tidak melalui proses pendalaman dan pemahaman terlebih dahulu.
H
Suarasama dikenal sebagai musisi yang mengusung world music. Akan tetapi, di sini definisi world music sering disalahartikan. Apa saja yang berbunyi aneh, bising, dan unik, langsung disebut sebagai world music. Bagaimana Suarasama memandang hal ini?
S
Irwansyah Harahap: Kita harus bisa memisahkan istilah world music dalam 2 perspektif. Pertama, dari segi akademis. World music berkembang di etnomusikologi pada sekitar tahun 1970-1980. Dari masa perkembangan tersebut, muncul istilah world music culture atau music culture of the world. Nah, untuk world music sendiri mulai dikenalkan pada publik dengan tujuan tak hanya jadi santapan akademis saja tapi juga memasuki ranah performing, menjadi konsumsi publik sekitar 1980. Adalah Bob Brown yang kala itu jadi pencetusnya. Ia kerap mengundang artis-artis world music untuk kemudian dikenalkan ke publik. Salah satunya adalah Ravi Shankar dari India.
Semasa kita sedang di Amerika, fenomena semacam itu juga terjadi. Setiap institusi mengundang artis atau istilahnya disebut dengan visiting artist untuk menjadi dosen pengajar. Akhirnya, gejala semacam itu menjadi tren baru serta memberikan atmosfer bagi ranah musik. Gayung bersambut, industri musik menangkapnya. Lalu timbul kolaborasi antara musisi dari Afrika, American native, sampai India. Mereka berinteraksi secara lintas genre. Memainkan jazz hingga rock yang akhirnya membawa pada munculnya gelombang fusion. Dari perputaran tersebut kemudian menjadi terminologi baru yang disebut dengan world music. Dalam industri sendiri, kemunculan musisi sudah ditandai keberadaan Paul Simon yang lahir sebelum era Peter Gabriel. Suarasama paham betul karena kami belajar di ranah itu.
Suarasama mempunyai 2 filosofi dasar. Pertama, respect the roots. Roots musik tak hanya musik tradisi. Ibarat lingkungan, musik bisa tumbuh dan ditumbuhkan. Kita mengambil studi, misalnya, mengapa African pop music bisa diterima? Mengapa India pop music dapat diterima? Tapi setelah kita bawa ke Indonesia, mengapa jadi susah diterima? Apakah soal musiknya atau liriknya? Lalu apa itu Indonesian music? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membawa ruang perdebatan yang cukup berat. Namun, sebenarnya hal itu bisa memberikan gambaran lebih luas. Perdebatan di ruang publik tidak akan menyelesaikan masalah.
Tapi kalau dari perspektif Suarasama melihat tumbuhnya kebudayaan pop culture di Indonesia membawa dampak tidak terjadinya hubungan dialektis antara tradisi dengan modern. Keduanya jalan sendiri-sendiri. Tradisi jalan sendiri, modern sendiri. Pembelajaran tentang pop culture itu dapat disebut dengan belajar musik second hand. Artinya adalah bahwa, misal, kita bisa belajar jazz dan rock dari media atau kaset. Bukan by true culture learning, melainkan music by industry. Sah-sah saja memang. Dari situ akhirnya berjalan sendiri-sendiri. Di Amerika yang terjadi berbeda. Misalkan, musik blues dan gospel itu asalnya dari Afro-America kemudian dikembangkan. Dari sini dapat kita lihat bahwa tantangan yang muncul adalah soal mendalami.
Suarasama sebetulnya ingin menggunakan kata alternatif yang memiliki dimensi ganda. Berbicara tentang Indonesia tapi di saat bersamaan juga berbicara tentang refleksi global. Nusantara terbentuk atas kesadaran global. Keroncong lahir dari interaksi global. Lalu, kenapa kita kagok hari ini? Lewat Suarasama, ada keinginan untuk mengembalikan peradaban Nusantara dalam konteks seperti Mbak Rita bilang bahwa musik kita ada nuansa Arabic. Namun, peradaban musik Arabic kita sudah jadi konteks Nusantara.
R: Pernah kita mendapati banyak pertanyaan waktu konser di Jerman, “Ini benar musik Indonesia?”. Lalu ada orang tua, berusia sekitar 65 tahun membeli CD selepas konser tersebut. Tak lama berselang, orang itu e-mail saya. Katanya album kami meditatif. Dan ia menyangsikan bahwa ini bukan musik Indonesia. Di situlah sebenarnya kemampuan kita sebagai bangsa yang mengadaptasi itu hilang, berdampak bingung ingin melakukan apa.
I: Yang kurang dari kita adalah membangun suatu kesadaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Orang-orang lebih tertarik dengan ekspresi kreatifitas dibanding membangun fondasi berdasarkan ilmu pengetahuan.
R: Tapi ada kondisi di mana musik tercerabut dari akarnya. Kalau di Jawa, saya pikir masih kuat fondasinya. Tapi belum tentu di daerah lain berlaku sama. Pernah muncul pendapat, terutama saat album Suarasama dicetak di Prancis. Ada notes yang mengatakan bahwa selama ini hanya golongan kulit putih (Amerika dan Eropa) saja yang tertarik dengan musik luar. Hal itu memicu ketidakseimbangan sewaktu terjadi kolaborasi yang seringnya pihak pemilik musik tradisi negara lain hanya objek belaka. Ini yang membedakan kami bahwa Suarasama diisi orang-orang asli Indonesia. Tidak hanya sebatas objek.
Sempat waktu itu kancah world music terkena image buruk karena hanya pihak barat yang cenderung fokus pada eksotisme tradisi. Ada satu review yang mengatakan “Suarasama give a good name for world music”. Intinya jangan meniru gaya Paul Simon, tapi ciptakan yang lebih organik (tertawa). Kita tidak memikirkan industri. Kita menggunakan musik untuk sarana healing. Terlebih musik untuk ritual. Ekspresi jujur terhadap Tuhan. Kita bisa bagi ke orang lain. Butuh berapa tahun ya agar diterima orang lain? (tertawa)
I: Ada semacam culture ideology. Kami sebenarnya punya kesadaran bahwa music is music. Let the music flows, let the music says something. Musik bagus adalah musik yang sesuai proporsi.
R: Dari keinginan untuk menciptakan proporsi itu pula yang mendasari pemilihan nama Suarasama. Suara dapat ditelaah dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi suara berasal dari bahasa Sanskerta dengan huruf ‘w’ pengganti ‘u’ yang artinya melodi. Sedangkan sama jika dalam bahasa Indonesia berarti setara, maka dalam Arabic pun juga berasal dari kata ‘samak’ yang berarti mendengarkan. Bahwa musik adalah pengalaman mendengarkan hal spiritual.
I: Intinya adalah kami menganut paham bahwa semua musik itu equal, tidak ada dominasi. Kredo Suarasama adalah mau apa saja musiknya, music is music. Kita musti respect dan sesuai proporsi.
H
Pada hakikatnya, musik adalah menyampaikan sesuatu. Suarasama banyak mendapatkan respon baik, seperti apa yang pernah ditulis Pitchfork dalam ulasannya. Dalam perkembangannya, Suarasama sering menyuguhkan karya dengan lirik maupun hanya instrumental. Bagaimana Suarasama memandang posisi makna dalam lagu?
S
I: Sebetulnya ada perimbangan antara in verbal dengan karya non-verbal. Tapi karya-karya yang saya ciptakan untuk Suarasama lebih ke proporsi non-verbal. Kata-kata sebenarnya sudah menjadi manifestasi dalam musik seperti halnya ada alat musik bernama vezel dari Asia. Alat musik yang menjaga tradisi musik sufistis yang tanpa nuansa verbal pun dapat menyampaikan pesan dan makna. Meski demikian, ada beberapa lagu yang saya buat dengan verbal. Kalaupun ada unsur verbal, unsur tersebut juga mengikuti musikal sendiri.
R: Intinya, dalam bunyi musik terdapat energi di sana dan itu dapat disalurkan. Tingkatan yang ditangkap pun berbeda-beda. Ada yang menangkap sesuatu meditatif setelah mendengar lagu-lagu Suarasama. Setidaknya ketika kami sudah tampil di depan banyak orang, pasti ada sesuatu yang ditangkap. Sama seperti lagu “Fajar di Atas Awan”. Ada beberapa orang yang tanpa perlu tahu kata-kata lagu itu berkisah mengenai apa, dengan cukup menyimak musiknya saja mereka dapat membayangkannya. Musik di sini yang berbicara. Kebanyakan jika menggunakan verbal, lagu Suarasama berkisah mengenai teks kemanusiaan dan hal-hal reliji.
H
Jadi dengan format seperti itu, musiknya bisa jadi lebih universal?
S
R: Iya, benar. Bahkan ada yang berkata musik yang dibawakan Suarasama sebagai psychedelic sampai folk-psychedelic atau world fusion dan world jazz. Mereka yang bikin kategori sendiri. Mereka yang menangkap dan mengartikan sendiri. Padahal kita tidak tahu itu apa (tertawa).
I: Yang menarik juga adalah ketika anak-anak muda dari Inggris memasukan dalam kompilasi underground dan menyebutkan Suarasama sebagai satu-satunya band psychedelic yang akustis. (tertawa).
R: Lalu, semasa di Chicago, Uncut Magazine memberikan ulasan dalam 2 versi. Pertama ten based on global music, yang kedua adalah underground (tertawa).
H
Yang hilang dari musik sekarang adalah kemampuan adaptasi secara utuh. Bagaimana memahami musik agar tidak terkesan adaptasi secara tempelan belaka?
S
R: Mereka harus berani explore. Itu yang kurang dari musik kita. Bahwa ketiadaan akses yang maksimal menjadi hambatan penting. Jangan salahkan anak muda karena tidak tertarik dengan musik tradisi. Bagaimana mau tertarik jika di sekolah mereka hanya diajarkan memainkan pianika saja. Sekarang ketika di kampungnya terdapat musisi tradisi saja mereka tidak mengerti. Di media, dari jam 5 pagi hingga jam 12 malam acara musik pop saja yang diputar. Yang dilihat alat musik konvensional macam drum, gitar, atau keyboard. Estetika nada hanya bergerak di mayor dan minor. Padahal masih ada gaya pelog maupun slendro dari Jawa yang luar biasa. Ada orang Jepang sampai datang ke sini untuk sekedar belajar bernyanyi Jawa. Apa tidak merasa minder kita? Kita harus mulai belajar dulu sebelum berkarya.
I: Sebagai contoh, African aja mempunyai signature tentang musik mereka sendiri. Lalu, saat Miles Davis diutus sebagai duta musik Amerika untuk tampil di Brazil, tak lama berselang muncul aliran bossanova. Bukti bahwa jazz mampu bergerak dengan karakter Amerika Latin. Kita belum sampai di situ. Mau mengikut di mana? Jadi ada tantangan besar.
R: Sedangkan banyak dari kita yang ingin bernyanyi seperti Mariah Carey yang bersuara gospel itu. Sebenarnya jika ingin ditarik gospel pun berakar dari tradisi gereja. Kita sebetulnya punya potensi kuat pada sinden. Apabila sinden populer, maka itu akan jadi signature kuat. Ini bukti musik kita kaya sekali.
I: Musik mempunyai 3 kunci utama: komunikasi, interaksi, dan interelasi. Musik sebagai komunikasi adalah musik dapat menjadi kekuatan sosial dalam tidak hanya hubungan antar manusia tapi juga dengan alam. Musik memuat 3 manifestasi kesadaran itu. Inspirasi terbesar Suarasama adalah black American music. Dengan mereka, musik tidak sebatas music is music. Tapi juga berkembang menjadi sebuah movement peradaban dengan etos tinggi. Bayangkan, mereka berawal dari budak tapi bisa membuat karya bertaraf dunia. Sebuah kesalahan bisa jadi estetika.
R: Kembali ke anak muda lagi. Sebenarnya bagus ketika pemerintah melalui Kemdikbud membuat program seniman masuk sekolah. Tapi yang paling penting adalah anak muda harus punya kesadaran untuk mencari. Jangan menunggu orang lain. Belajar dan belajar. Ada seseorang teman musisi yang semangat belajar tabla dan sitar ke India. Sampai dia bisa seolah dia tidak terpengaruh perkembangan industri yang masif.
H
Sebagai musisi dan budayawan yang datang dari Sumatera, seringkali mendapatkan pandangan bahwa kebanggaan tradisi terdapat di Bali dan Jawa. Lalu, bagaimana sebenarnya perkembangan khazanah musik tradisi Sumatera itu sendiri?
S
I: Jawa mempunyai kraton yang menjadi dasar pembangunan peradaban. Dari situ muncul banyak penanda zaman. Misalkan saja gamelan orkestra. Di dunia hanya ada dua orkestra: dari barat dan gamelan itu sendiri. Kalau Sumatera lebih folk meski ada pengaruh kraton di luar lingkungan melayu sendiri. Melayu juga sempat jadi pola tapi tidak lama. Meski identik dengan Islam, Melayu di sini tidak bisa tumbuh dengan besar. Musik Sumatera dibagi menjadi musik coastal dan mountain. Untuk musik mountain lebih terkesan folk dengan ritualnya juga dan bertipikal drumming. Yang coastal, lebih condong ke Melayu. Lebih Arabic dengan sintesa bermacam pengaruh.
H
Dewasa ini mulai banyak lahir alat musik baru yang lumayan revolusioner. Misalkan saja melihat apa yang sudah dibuat Mas Wukir dari Senyawa. Gejala menuju ke arah mana fenomena semacam ini?
S
I: Mungkin teman-teman lain punya perspektif sendiri untuk menjawab pertanyaan ini. Tapi bagi Suarasama, pembuatan alat musik baru dikarenakan pemenuhan obsesi akan musikal. Saya membuat komposisi gitar sendiri untuk bereskpresi tentang perjalanan bunyi yang dihasilkan. Menghubungkan kembali. Secara politik, barat dan timur mungkin ada semacam batas jelas. Tapi untuk musik, dengan alat yang saya buat sendiri ini semacam ingin meniadakan border antara barat dan timur. Dengan komposisi senar triple, triple, double, double, dan berjumlah sepuluh. Jarang ada kan alat semacam ini. Paling hanya mandolin yang mendekati. Hebatnya, orang Solo yang membuatnya.
Satu lagi, gitar fretless saya merupakan pemberian dari guru. Materialnya menggunakan bambu. Mengapa bambu? Karena bambu cepat tumbuh dan mengurangi penggunaan kayu. Ini juga semacam menjadi ajakan untuk menggunakan bambu selain hanya untuk bahan pembuatan jembatan dan kursi saja. Ada lagi, gambus yang biasanya konvensional dengan 7 senar, di saya menjadi 9 senar. Ketika gambus dimainkan di Iran maupun Turki, ada interpretasi lagi di dalamnya. Orang Indonesia cerdas menjadi chef. Lihat saja keroncong. Ketika berkembang dari Spanyol lalu ke Filipina, masih ada nuansa yang dibawa. Tapi ketika sudah sampai Nusantara, jadi beda. Nah, Suarasama ingin mengembalikan kecerdasan semacam itu (tertawa).
H
Bagaimana pengalaman interaksi bersama Philip Yampolsky dan Bonnie Prince Billy?
S
R: Philip itu guru kami. Dosen etnomusikologi kami semasa kuliah. Kami sempat menjadi asisten lapangannya ketika beliau sedang menyusun buku seri musik Indonesia. Sampai sekarang hubungan kami masih berjalan baik. Beliau menyukai musik Suarasama. Dan yang pertama kali merekam materi Suarasama adalah Philip. Lalu kemudian dimasukan ke seri terakhir musik Indonesia dan menjadi lagu penutup. Lalu muncul pertanyaan: “Apa musik Indonesia?” (tertawa). Jadi malah mempertanyakan lagi.
Sedangkan Billy itu tahu lagu “Fajar di Atas Awan” dari rekaman yang dibawa Philip untuk Smithsonian. Kemudian ia ditunjuk sebagai salah satu kurator di London. Sudah ngefans Suarasama sejak lama dan ingin membawa Suarasama di acaranya. Akhirnya dia mengumpulkan 7 kelompok di dunia, dan Suarasama masuk di dalamnya. Kita dihubungi lalu kita beri CD full album yang diterbitkan di Prancis. Kita sampaikan melalui panitia untuk memberikannya kepada Billy. Dari Billy, kemudian muncul ide untuk menerbitkan ulang lagi lewat label Drag City. Kemudian pihak Drag City menghubungi kami. Mereka bertanya apakah band ini masih hidup (tertawa). Karena materi itu direkam pada 1998 lantas kami dihubungi lagi di tahun 2007. Sebelumnya kami tidak menyangka kalau yang ingin menerbitkan lagi itu Bonnie Prince Billy. Karena dia pakai nama Will Oldham. Ya mungkin ada yang tertarik saja. Tetapi setelah itu diterbitkan lagi, kami mendapatkan sejumlah kaset dan baju bertanda Bonnie Prince Billy. Ini serius Bonnie Prince Billy? Artis besar Drag City? (tertawa) Kemudian saya pernah searching tentang karya dia, bahwa disebutkan salah satu lagunya terinspirasi dari lagu “Fajar di Atas Awan”.
H
Apakah sebelumnya juga mendengarkan album dari Drag City?
S
I: Sebenarnya kami tidak tahu siapa itu Drag City kecuali Bonnie Prince Billy. Sempat timbul pertanyaan, ini mengapa orang Amerika mau menerbitkan lagi karya kami. Apa mereka sudah gila? (tertawa)
H
Apakah Suarasama juga mendengarkan musik musik populer?
S
I: Mendengarkan tapi mungkin lebih ke roots seperti Pat Metheny. Selain itu yang jelas untuk rilisan baru world music pasti mendengarkan. Untuk koleksi CD tidak jauh dari jazz dan world music. Karena sewaktu di kampus dulu, kami dibentuk dengan roots Afrika dan India.
R: Tapi untuk klasik juga kami dengarkan mulai dari baroque.
I: Dan untuk musik baru, kami tidak mengikuti lagi. Faktor usia mungkin (tertawa).
H
CD apa yang terakhir kali dibeli?
S
I: Kami dititipin teman lebih tepatnya. Rilisan dari Iran dan New Zaeland.
Jika tidak salah Mbak Ritha pernah menimba ilmu bersama Nusrat Fateh Ali Khan. Pengalaman apa yang didapatkan?
R: Nusrat Fateh Ali Khan memang sosok yang humble sekali. Saya belajar selama 2 tahun di sana. Hitungannya, saya termasuk murid kesayangan. Tradisi Asia menjelaskan bahwa guru dan murid mempunyai hubungan khusus. Misalkan, jika sang guru meminta murid mengambilkan minuman, itu tandanya sang guru memberi perhatian lebih untuk murid.
H
Beliau mendengarkan Suarasama?
S
Tidak, tapi beliau sempat bilang bahwa suatu hari Suarasama harus datang ke Pakistan. Dan itu memang benar terjadi. Setelah beliau meninggal, kami dapat undangan untuk tampil di World Sufi Festival. Satu hal jelas akan ingatan tentang beliau adalah keterbukaan pikiraannya. Dia kolaboratif. Energinya luar biasa. Tak heran jika banyak orang barat mengagumi beliau.
H
Proyek apa yang sedang dikerjakan Suarasama ke depan?
S
I: Suarasama sekarang ada 2 agenda. Satu rencana untuk bikin album, kedua ingin membumikan Suarasama di buminya sendiri. Sudah ada ajakan untuk tampil di Jogja, Bandung, dan Bali. Tapi karena kami juga dosen, peneliti, dan sedang proses menerbitkan buku lagi, keinginan itu urung terlaksana. Untuk saya sendiri saja, agenda 5-10 tahun terakhir tak jauh dari workshop dan belahar. Hal menarik adalah kami menggeluti musik dengan keseimbangan.
Ada 2 petunjuk untuk album baru nanti. Pertama, lebih ke nuansa Islami. Lalu yang kedua, menjadikan karya yang masih tersimpan rabi. Karya-karya lama kami bertemakan folk. Bagi kami itu sangat penting untuk menegaskan bahwa folk tidak hanya berasal dari Amerika. Tapi juga sampai Melayu, India, bahkan Madagaskar. Suarasama ingin membuat album folk dengan tradisi Sumatera dan Mandailing.