Laku Tubuh bersama Melati Suryodarmo
Amelia Vindy (V) berbincang dengan Melati Suryodarmo (M).
V
Seperti apakah proses yang Anda lalui saat akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menyelami dunia kesenian khususnya performance art? Mengingat sebelumnya, keinginan Anda untuk belajar seni rupa sempat ditentang oleh sang ayah.
M
Sebenarnya minat seni itu dari kecil karena memang dari keluarga. Ibu dan bapak penari dan lingkungan dari keluarga saya itu orang-orang tari, teater, sastra dan musik. Jadi seni pertunjukan itu bukan sesuatu yang asing buat saya. Jadi mungkin pengetahuan, pemahaman atau penyerapan tentang apa itu seni, sudah tertanam dari kecil.
Tapi ayah saya memang kurang menyetujui saat saya menyatakan ingin masuk ke Seni Rupa ITB, karena mereka tidak ingin saya menjalani hidup seperti orang tua saya – yang memang pada saat itu pada umumnya seniman hidupnya susah, makanya kemudian saya masuk ke jurusan Hubungan Internasional di Unpad. Saat kemudian saya mendapat kesempatan untuk sekolah dan sekaligus pindah sementara ke Braunschweig – Jerman, saya berkata kepada ayah saya, “Ya sudah saya jalanin saja, lihat nanti mau jadi apa.” Waktu itu saya belum ada cita-cita menjadi seniman. Karena pertama, saya sekolah ke sana berawal pertemuan saya dengan Anzu Furukawa yang baik hati mengajak saya, “Sudah kamu masuk kelasku saja aja dulu, ikut latihan saja dulu.”
Saya pikir, kita harus melakukan yang terbaik pada setiap kesempatan yang kita dapat – mungkin ini nilai yang ditanamkan orang tua sejak kecil. Jadi saya tidak pernah yang, “saya ingin jadi seperti ini atau itu,” tapi saya dari dulu memang terbiasa untuk menikmati apa yang sedang saya kerjakan. Jadi inilah yang mungkin membawa saya untuk melanjutkan, untuk memiliki kontinuitas saat melakukan suatu hal, tanpa peduli mau jadi seniman apa tidak. Misalnya sedang membaca buku, ini buku apa? Dari situ saya kembangkan untuk mendapatkan sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar tulisan di dalam buku itu.
Artinya inspirasi memang datang dari mana-mana. Inspirasi datang dari dalam diri saya dan pengalaman emosional, termasuk pengalaman tentang emosi itu sendiri. Kemudian tentunya beberapa referensi yang kemudian bercampur dengan situasi di kehidupan saya saat itu. Jadi memang tidak ada bendungan inspirasi, dan sebenarnya tidak ada orang yang kekurangan inspirasi. Bagi saya, kadang-kadang seniman juga tidak harus selalu kreatif. Saya bisa malas dan tidak melakukan apa-apa selama sepuluh hari (tertawa), hanya baca buku, itu saat-saat sebagian besar waktu saya tercurah untuk merawat anak.
Saya tidak punya lingkungan gaul yang artsy. Setelah lulus, saya jarang nongkrong di pembukaan pameran atau apapun. Jadi memang waktu saya bagi dengan efektif dan efisien. Mengurus anak, ya mengurus anak. Kalau anak sekolah, saya menulis atau bersih-bersih rumah. Ketika anak pulang untuk makan siang, makanan sudah ada. Jadi begitu, mengantar dia les segala macam, sampai dia tidur baru malam saya kerja biasanya. Jadi jam 8 sampai kadang-kadang jam 1 atau 2. Jadi jam 6 bangun lagi, seperti itu, dan itu sudah belasan tahun, bahkan puluhan tahun (tertawa).
V
Memiliki kedua orang tua yang menekuni profesi sebagai penari, bagaimana latar belakang tersebut mempengaruhi karya Anda kini?
M
Latar belakang yang demikian membuat saya tak asing dalam memaknai tubuh sebagai medium utama. Lebih dari itu, mungkin kalau ayah saya bukan penari tradisional, dia akan mengembangkan metodenya sendiri. Saya tahu posisi ayah saya di dunia tari Indonesia mungkin tidak terlalu diakui, tapi penemuannya, tekniknya, justru diakui di luar negeri. Menurut saya ini luar biasa, seharusnya begitulah proses berkarya seniman. Mereka menemukan metode, jalan, dan kekhasannya sendiri.
Kita memang punya masalah kebudayaan dimana kita kadang bingung saat menanggapi perkembangan kesenian. Tentang bagaimana seniman mendapatkan posisinya di masyarakat, bagaimana infrastruktur pemerintahan atau sistem kenegaraan kita itu memberi ruang kepada seni. Artinya kalau individu, kita kan masyarakat yang apa-apa kolektif, semuanya dibuat bersama, dari tari Jawa pun susah kalau tidak ada gamelan atau apa, tapi begitu ada tari tidak pakai musik, sendiri, itu dibilang aneh.
Kadang untuk bisa melahirkan hal baru, kita memang harus paham apa itu kebebasan, kemerdekaan dan kebebasan berpikir. Apa itu manusia, bagaimana hubungan kita sebagai manusia dengan seni itu sendiri, karena itu memang tidak bisa dipisahkan. Kalau memang memutuskan mau menjadi seniman, memang harus belajar sedikit demi sedikit untuk konsekuen dengan lingkungan sosial di lingkup seni juga.
Saat memilih menjadi seniman, itu profesi yang sangat berat, profesi yang tidak punya standar. Saya rasa justru aneh kalau ada sertifikasi profesi sebagai seniman. Apa nantinya yang jadi standar? Seniman dibilang punya sertifikat dan standarnya internasional itu kan aneh. Validasinya berdasar apa? Banyak sekali hal-hal yang memang saya pikir ini secara kolektif dengan para pelaku seni harus kita refleksi bersama, karena penting sebenarnya untuk mendapatkan posisi, bukan hanya perhatian, kita punya posisi di masyarakat itu melalui kontribusi apa? Secara pemikiran. Pemikiran yang bagaimana? Melalui apa? Karya yang seperti apa? Mau dibawa ke mana seni? Mau dibawa ke mana manusia yang melakukan seni? Hal-hal semacam itu, saya pikir menjadi seniman sebagai pilihan saya untuk berkarya performance dengan tubuh itu memang sudah sesuatu yang beda. Saya tidak melukis. Oke saya buat foto dan video, tapi saya tidak membuat objek, walaupun pernah, tapi itu bukan yang utama.
V
Dalam kajian performance art, tubuh adalah salah satu kanvas dan sekaligus kuas bagi senimannya untuk berkarya, dimana kemudian yang banyak dilakukan adalah melukai diri atau memainkan kerapuhan diri. Apakah ini merupakan salah satu cara bagi seniman untuk membangun hubungan dan empati dengan publik, atau ada maksud lain di dalamnya?
M
Performance art tidak harus seperti itu. Performance tidak mesti dengan menyakiti atau apa. Itu adalah kesalahpahaman, walaupun di Indonesia banyak yang melakukan seperti itu. Memang ada aliran seperti itu, tapi sebenarnya menurut saya memahami performance harus tahu sejarahnya juga. Mengapa dulu misalnya di tahun 70 atau 80-an ada perlakuan menyembelih, seperti Hermann Nitsch menyembelih babi di patung? Karena pada zaman itu memang performance art selain merupakan statement melalui tubuh sebagai medium, juga sebagai statement terhadap medium konvensional, seperti kanvas, patung, lukisan atau objek yang mencipta pada medium benda mati. Maka ketika senimannya hadir sendiri sebagai karya, memang banyak pro dan kontra. Di dalam sejarah estetika seni rupa atau seni pertunjukan itu menjadi hal yang baru, mengejutkan dan banyak mengundang pro dan kontra.
Saya tidak terlalu tertarik sebenarnya dengan performance-performance yang melewati semacam batas kemampuan tubuhnya, misalnya dengan menyakiti. Sebagian besar banyak yang melakukan itu karena show. Kalau show, ya sudah, itu bagi saya bukan performance art yang menarik.
Jadi sebenarnya performance art sangat dekat dengan laku. Ketika niatnya adalah laku, nah, laku ini untuk siapa? Kalau untuk diri sendiri saya juga tidak terlalu tertarik, kalau lakunya ini mewakili suara banyak orang, kemanusiaan atau psikologi kolektif, harus ada alasan mengapa itu dilakukan. Beyond personal interest-nya saja, beyond ego. Justru kesalahan pertama pada performance itu jika egonya yang ditampilkan, karena daya hadir itu muncul ketika ego dikendalikan untuk tetap diam (tertawa). Di tari pun begitu, kalau sudah tahu di panggung dengan dandan dan kostum, tapi masih ingin dilihat, itu biasanya tidak menarik. Penari-penari atau aktor-aktor yang bagus itu justru karena dia tidak peduli tentang penampilannya.
Banyak salah paham tentang performance juga yang katanya performance art seperti protes dan buat demo. Di Indonesia terutama, sebenarnya tidak masalah juga tapi itu termasuk dengan art and activism, protest art atau street art. Itu sebenarnya ada kategorinya sendiri, semua tergantung bagaimana cara melakukan itu. Yang menjadi kelemahan adalah cara itu tidak dipelajari. Performance itu sebenarnya bagian dari seni rupa yang punya disiplin, metode, pengetahuan, referensi dan teknik. Jadi tidak sembarangan mentang-mentang berani dan belajar dari YouTube, “Oh, ini conceptual art. Oh, ini Bruce Nauman.” Boleh-boleh saja namun lalu refleksinya apa? Apa asal dari tindakanmu? Begitu.
V
Tubuh adalah salah satu medium utama dalam performance art. Apakah kemungkinan dalam bidang ini tertutup di situ atau ada kemungkinan lain dalam mengembangkannya di era kontemporer ini?
M
Tubuh selalu kontemporer menurut saya, karena tubuh memang mengikuti zaman, kan? Tubuh itu berjalan dengan waktu sementara unsur utama dari contemporary itu adalah jiwa-jiwa kita yang berada di dalam waktu dan ruang di mana kita hidup. Sebenarnya konsep hadirnya tubuh itu sendiri ada performance by instruction, jadi tetap tubuh yang utama tapi bukan tubuh senimannya, senimannya hanya buat instruksi, semacam platform pemikiran atau tawaran ke orang lain, dan orang lain bisa melakukannya sesuai dengan instruksi atau tergantung bebas atau tidaknya, tapi memang ada pure conceptual act.
Jadi memang bisa ditawarkan masuk ke performance saja, atau performance on screen, performance in front of camera. Seperti Bruce Nauman, ketika ia ditembak itu tidak ada audiens, hanya direkam saja oleh kamera. Jadi orang pertanyakan, “Benar nggak sih?” Sampai sekarang orang tidak tahu itu benar atau tidak penembakan ke lengan itu. Namun efeknya tubuh secara sense yang melihat tentang peristiwa, itu tetap kuat, karena yang dimainkan adalah psikologi. Jadi memang sangat konseptual performance art itu. Ada teater konseptual, tapi performance tidak akting, tidak dibuat-buat, kalau darah, ya darah asli, kalau sakit, ya sakit, kalau tidur, ya tidur (tertawa).
V
Sebagai performer perempuan dan menjadikan tubuh sebagai karya, adakah kendala yang Anda hadapi terkait hal tersebut? Mengingat tubuh dan perempuan terkadang menjadi hal yang cukup sensitif.
M
Ah, saya pikir tergantung sama perempuannya juga. Saya tidak masalah. Saya sudah selesai dengan persoalan tubuh. Bagi saya perempuan itu mempunyai kekuatan di kepercayaan diri. Kalau memang misalnya pemahaman tentang beauty, beauty itu yang seperti apa? Siapa yang menentukan kamu beautiful atau tidak? Itu juga tergantung bagaimana kita memahami kehidupan secara umumnya, bagaimana memahami hidupmu sendiri.
Memang kalau di tari pun bagi saya kurang menarik ketika penari itu mengandalkan keindahan tubuhnya saja tanpa ada kedalaman. Di performance itu justru yang menarik adalah dalam sejarahnya pun, kita menembus konsep the beauty of the body, beyond the common sense, artinya ya sudah, kamu apa adanya, dan bagi saya memang sebagai perempuan saya pikir tidak masalah saya mau begini gemuknya atau saya mau loncat-loncat. I have the freedom to do that.
Saya pikir walaupun tidak menyuarakan suara-suara feminisme, tapi mungkin dengan perlakuan atau bagaimana saya bergerak, menganggap atau menerima tubuh sendiri itu mudah-mudahan banyak menyebarkan kepercayaan diri pada perempuan. Nobody is perfect, and then so what? Kalau semuanya ingin menjadi Jennifer Lopez lalu melakukan performance, atau mereka di Eropa merasa cantik kemudian performance telanjang, saya mempertanyakan juga, kenapa, sih? Apa sebenarnya sejarah nudity? Apa sejarah ketubuhan perempuan dalam peradaban manusia sekarang ini?
V
Dalam perbincangan dengan Asung mengenai publik sebagai bagian dari karya performance art, ia berkata bahwa kadang agak sulit untuk membangun hubungan dengan publik yang cenderung mencari hiburan saat menonton acara seni. Bagaimana Melati melihat publik dalam konteks ini?
M
Biasanya mereka kecewa tentunya. Mereka pasti menganggap ini bukan tontonan. Saya tidak peduli sebenarnya, karena saya membuat karya bukan khusus kepada siapa. Jadi justru itu yang menarik, ketika karya itu selesai, karya dalam bentuk performance selesai disaksikan publik umum, saya sebagai yang menciptakan performance harus sudah siap bahwa yang saya hadapi manusia dengan ribuan persepsinya, kebebasan berpikirnya dan kebebasan interpretasinya. Artinya, ya biarkan saja. Saya tidak terlalu peduli.
V
Performance art adalah salah satu cabang seni dengan ruang pemaknaan yang sangat lebar. Bagaimana Anda menempatkan pesan dan makna dalam proses berkarya?
M
Saya tidak ingin mendikte. Saya tidak ingin memberikan terlalu banyak narasi kepada pikiran orang. Justru memang mungkin, kalau ibarat seorang penulis, seorang penulis ada yang menulis cerpen, novel, cerita, dan puisi, puisi pun bentuknya bisa macam-macam. Saya lebih cenderung menyukai puisi yang orang bisa bebas menginterpretasikannya. Jadi ada ruang-ruang imaji yang harus muncul dari konstruksi pikiran penonton masing-masing, walaupun saya punya alasan dan di situlah proses riset dan menciptakan memang membutuhkan waktu, supaya saya juga memiliki waktu untuk menemukan jarak dari gagasan untuk menunjukkan karya. Jadi faktor momen, faktor detail tentang rasa dan pikiran harus diendapkan dulu baru saya angkat lagi. Jadi saya paling susah untuk improvisasi. Susah sekali. Saya pikir saya orang yang butuh waktu untuk membuat karya. Jadi satu tahun itu bisa satu karya itu saja.
V
Anda menjadikan setiap penampilan yang dilakukan sebagai jembatan untuk menyampaikan pengalaman-pengalaman personal Anda, yang kebanyakan bercerita tentang trauma yang sempat dialami. Tema tersebut pun banyak juga di terapkan oleh performance artist lainnya. Menurut Anda sebagai pelaku, dari sisi manakah tema tersebut dapat menggugah penonton untuk menyaksikannya?
M
Setiap orang punya latar belakangnya masing-masing. Saya tidak mengatakan kalau saya punya trauma tertentu. Misalnya, jatuh dari tangga lalu merasakan sakit. Kesakitan itu punya konstruksi untuk mengatakan kalau ini adalah sakit. Kan, ada sejarahnya. Kalau ibu Anda mengatakan saat Anda jatuh itu bukan sakit, tapi itu senang, mungkin selama itu jika lingkungan Anda mengatakan kalau jatuh itu senang, ya itu senang. Memang beda-beda antara bagaimana orang mempelajari dan memahami trauma, ukurannya beda-beda.
Trauma memang sesuatu yang hampir dimiliki oleh semua manusia sepertinya. Kecuali orang yang memang sangat kuat dan apa pun lewat, kecelakaan apa pun lewat. Tapi saya tidak yakin, setiap peristiwa yang menghentak secara psikologis itu pasti ada bekasnya. Seperti kontainer dari memori, saraf-saraf itu menyimpan, saraf-saraf bisa terdidik ketika melihat sesuatu jadi diingat. Dan itu bukan sesuatu yang istimewa, mau saya membicarakan trauma atau apa, sebagai manusia punya potensi untuk memilikinya juga. Namun bahwa itu menjadi inspirasi, misalnya, itu mungkin tidak semuanya mau melakukannya, bahwa trauma bisa menjadi inspirasi.
V
Sempat belajar dari Marina Abramovic, apa yang Anda pelajari dari sosoknya?
M
Terutama disiplin. Marina itu guru yang sangat disiplin. Old school sebenarnya, sangat old school. Jadi menjadi performance artist itu tidak hanya mempunyai skill untuk tampil, tapi juga untuk mengatur hidup, administrasi, menulis, membuat foto, dokumentasi video, mengedit, membuat lay out, semuanya. Yang harus dituntut, memang menjadi seniman yang bisa mengatur itu harus tahu dari Excel, Word sampai InDesign. Dan itu tidak semuanya bisa, memang tidak semuanya mau juga, tapi banyak hal yang memang berguna. Marina sendiri tidak bisa, dia punya sekretaris, tapi semangat untuk terus konsekuen terhadap pilihan itu Marina luar biasa. Dia guru yang bagus. Dia tidak pernah memaksakan gayanya kepada mahasiwanya dan justu mendorong mahasiswanya untuk menemukan metodenya sendiri.
V
Penampilan Anda sudah diakui oleh dunia, terbukti dari banyaknya perhelatan kesenian internasional yang mengikutsertakan Anda di dalamnya. Adakah perbedaan respon antara audiens lokal dan internasional? Dan seperti apa bentuk apresiasi yang Anda dapatkan ketika tampil di panggung internasional?
M
Macam-macam juga. Biasanya hampir tidak pernah teridentifikasi sebagai perwakilan secara kultural dari Indonesia. Artinya mungkin dari karya-karya saya, memang saya tidak terlalu suka merepresentasikan sebagai perwakilan Indonesia. Bukan berarti saya universalis. Universalisme itu menurut saya tidak ada, yang ada hanya secara pemikiran. Tapi pasti saya tersangkut dengan konteks sosial tertentu di mana saya hidup, oleh karena itu dibilang kontemporer. Kekontemporeran dalam pemikiran ini bagaimana?
Publik itu macam-macam. Kalau saya “Butter Dance” di Prancis, ketika saya jatuh, yang laki-laki tertawa semua. Di Brazil juga begitu. Ketika di Jerman tidak, semuanya tegang. Jadi tidak terprediksi. Saya tidak terlalu mempertimbangkan juga. Pertimbangan saya itu ruang, karena saya tertarik bagaimana menggabungkan performance dengan konsep ruang, karena itu juga saya belajar dari Marina. Konsep ruang.
V
Bagaimana pandangan Anda mengenai perkembangan performance art di Indonesia?
M
Menarik sebenarnya bahwa performance art di Indonesia punya sejarahnya sendiri juga. Performance di Indonesia muncul dari masa-masa ketika ada pengaruh dari Barat tentang bagaimana kita mengekspresikan tubuh. Tapi yang lupa untuk dihargai adalah upaya untuk mengembangkan itu oleh pelaku-pelaku performance atau happening di Indonesia yang mencoba untuk mencari jalannya sendiri. Ketika melihat perjalanan itu dengan kacamata estetika Barat, ya susah. Kesalahan kita selama ini adalah melihat dengan cara Barat dan kesalahan kita juga adalah ketakutan tidak bisa dilihat dengan cara Barat.
Kalau ada performance art yang mempunyai studi bertahun-tahun tentang ritual tradisi, pakai kemenyan, that’s it, you know? Di situ kekhasan seniman itu, di situ dia mulai tumbuh, di situ dia mencari. Lantas mengapa justru dianggap kuno? Kadang-kadang kita lebih kolonial daripada kaum kolonial (tertawa). Kasihan kita terkadang kehilangan kepercayaan diri untuk menerima apa yang ada dari kita. Apa sih sebenarnya Indonesian contemporary art? What is it?
V
Pengalaman masyarakat dalam menyaksikan performance art dirasa masih belum tercukupi. Menurut Anda perlukah mengadakan sebuah perhelatan khusus yang berupaya memperkenalkan performance art ke khalayak yang lebih luas?
M
Saya sepuluh tahun buat “Undisclosed Territory” di Solo. Kenapa di Solo? Justru di sana lebih banyak orang yang tidak mengenal performance art, tapi saya bisa melakukan itu dengan kesederhanaan dan melalui network saya secara internasional. Banyak teman yang tetap saya seleksi, tidak open call saja, untuk bisa hadir secara serius di kegiatan yang sederhana namun mempunyai konten yang bagus. Memang sulit karena mau diapresiasi bagaimana, kalau di sekolah tidak diajari? Mau diapresiasi bagaimana kalau di market juga tidak dihargai di Indonesia? Bagaimana orang bisa hidup? Performance art sebagai genre yang harus bertahan hidup sendiri itu memang sangat berat perjuangannya. Bagi saya memang butuh waktu. Performance art dari tahun berapa? Dari abad ke berapa?
Performance art kan genre yang baru masuk dengan sejarah pemikiran modern. Artinya tidak masalah, pasti suatu saat ada waktunya. Kita harus telaten dan mengapresiasi. Betapa menyenangkan jika ada event spesial performance art sehingga keinginan hasrat kreatif ini tersalurkan.
V
Sebagian besar karya performance art hidup dalam format live action, namun ia baru sampai pada khalayak dalam bentuk dokumentasi video. Apakah ada distorsi karya dalam proses yang demikian?
M
Pasti. Hal semacam itu juga terjadi di seni tari. Buat koreografinya lihat di YouTube. Itu langsung terlihat, karena tubuhnya punya sejarah menuju ke situ. Tidak ada kekhasan. Jadi itu seperti apropriasi yang tidak asyik. Apropriasi bisa dilakukan dengan asyik, tapi ini pemikiran yang harus memperuntukkan keputusan untuk medium yang dilakukan atau aksi yang dilakukan itu, yang cocok dengan pemikiran dia.
Kalau hanya sekadar lihat dari YouTube, pasti distorsi. YouTube itu hanya bisa dilakukan sebagai referensi untuk pengetahuan, membandingkan, “Oh, karya seperti ini sudah ada.” Inspirasi juga ada, tapi secara metode tidak bisa, harus langsung belajar memang. Saya lebih menghargai orang yang melakukan sesuatu yang nyeleneh dari dirinya sendiri, karena kita hubungannya dengan tubuh. Saya pikir bebas-bebas saja, tapi kalau meniru, menurut saya itu disayangkan dan memalukan. Meniru-niru Abramovic atau Vito Acconci, diajak diskusi pasti juga susah (tertawa).
V
Anda dipercaya untuk menjadi Artistic Director pada salah satu perhelatan seni rupa akbar di Indonesia yakni Jakarta Biennale 2017. Proses kreatif seperti apakah yang Anda lakukan dalam penentuan tema “Jiwa”?
M
Ini tanggung jawab yang besar. Saya pikir Jakarta Biennale adalah peristiwa yang harus tetap menjadi besar. Artinya dalam konteks sejarah seni rupa, setiap kali ada biennale, itu merupakan sebuah peristiwa penting. Untuk menjadi peristiwa penting, itu harus mempunyai pemikiran yang penting. Untuk mendukung pemikiran penting saat ini, saya banyak melihat perkembangan sejarah seni rupa, bagaimana hubungan sejarah dengan manusianya, sejarah sosialnya, politiknya. Tentang kita sekarang di mana, bagaimana konteks seni rupa Indonesia ini di mata internasional, bagaimana posisi seni rupa Indonesia ini di konteks seni rupa internasional, bagaimana pendidikan seni rupa di Indonesia, bagaimana harapan-harapan perupa muda, dan bagaimana nasib perupa-perupa tua. Sesederhana itu.
Saya banyak melakukan pemikiran, perenungan dan riset. Akhirnya saya memikirkan sebenarnya kita berada dalam situasi di mana kita masih dalam situasi post-kolonial yang sebenarnya terdidik untuk menjajah diri kita sendiri, di antaranya dengan mengupayakan terus supaya kita menjadi sejajar dengan Barat. Jadi mempelajari estetika Barat itu untuk melihat kita. Estetika barat tidak punya sejarah relief batu, ya hilanglah lama-lama. Sejarah estetika yang kita ambil bukan dari Barat saja tapi dari luar tidak menghargai relief batu Borobudur, ya jadi hancur. Supaya jadi abstrak dengan alasan tidak figuratif yang seperti terjadi sekarang ini di dalam konteks iconoclasm.
Jadi banyak hal yang membuat saya gelisah. Ketika saya memperkenalkan konsep “Jiwa” saya tanya banyak orang, “Menurut kamu jiwa itu apa?” “Bagaimana kalau jiwa jadi tema utama?” “Kita paham tidak soal jiwa?” Saya juga mencari-cari makna jiwa itu apa. Jiwa seni rupa Indonesia, atau jiwa kita itu apa. Kita sama-sama manusia, tapi jiwa itu apa ya? Jadi memang tidak pernah ada jawaban pasti kalau jiwa itu ini. Jadi saya menawarkan jiwa sebagai sesuatu yang memang kita tahu itu ada, tapi di mana? Apa sih itu? Jadi ini sebenarnya ajakan untuk terus mencari.
Banyak hal yang saya tawarkan dengan konteks jiwa ini memang justru mengajak kita mencari. Jadi kuratornya juga mencari. Apa ini jiwa? Kalau di Eropa, jiwa itu apa? Kalau berdasarkan pengetahuan tentang filsafat dan spiritualitas Barat apa? Saya bicara dengan Hendro Wiyanto, “Kalau dalam konteks Indonesia, jiwa itu di mana?” Jadi memang banyak kaitannya dengan tidak hanya spiritualitas. Jadi tentang pemahaman kita tentang kata itu sendiri, dan kata itu menjaid tidak penting lama-lama, karena jiwa tidak penting untuk diutarakan, karena jiwa itu melakukan saja.
V
Pameran Jakarta Biennale dengan tema “Jiwa” adalah sebuah usaha dengan menghadirkan ruang yang besar harapannya dapat menstimulasi masyarakat luas untuk bisa berpikir lebih kritis dan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat mendukung perkembangan seni rupa hari ini. Bagaimana menurut Anda hubungan antara masyarakat dan seni rupa kontemporer hari ini?
M
Tergantung funding, tidak deh, itu sinisme (tertawa). Jadi kalau misalnya banyak kegiatan yang memang muncul karena tema dari funding, ini hal serius ya (tertawa). Itu sebenarnya agak menyedihkan bagi saya, apakah ini yang sebenarnya yang kita harapkan? Di dunia tari pun tidak membuat sesuatu karena tidak ada dana. Semacam itu. Jadi saya pikir, apa sebenarnya uang atau mekanisme ekonomi dengan kreativitas? Itu penting, sebenarnya yang paling penting untuk diperhatikan dalam hubungan antara seni rupa dan masyarakat itu adalah kehidupan perekonomian juga.
Seniman itu harus hidup. Saya mendukung seniman yang berusaha untuk bertahan melalui karyanya. Ketika karyanya belum bisa menghidupinya, carilah kehidupan yang lain tapi tetap berkarya, karena kita sebagai bagian dari masyarakat harus juga menghidupi masyarakat itu sendiri dari karya, dari kehidupan secara pikir, dan hubungan seni kontemporer dan masyarakat, dari apa? Soal tema? Atau soal peran seni rupa dalam masyarakat? Waduh, berat sekali itu. Memang sebenarnya kalau terjebak pada keindahan, kemudian popularitas seniman itu sendiri, itu tidak jelas juga.
Maka dari itu sebenarnya kita menghadirkan sosok seperti Semsar Siahaan untuk mengetahui dan mempelajari peran dan pemikiran beliau. Tentang apa kontribusi beliau untuk masyarakat Semsar tidak cuma menciptakan lukisan, dia itu aktivis, dia punya pemikiran yang dia sampaikan melalui aktivisme, walaupun sebenarnya dia juga menentang adanya organisasi aktivisme. Jadi setiap seniman berhak menjadi aktivis menjadi caranya sendiri. Ini menurut saya penting, karena kehidupan aktivis itu bukan bergerombol terus untuk melakukan sesuatu. Hal-hal semacam itu. Kita tidak bisa melihat satu jenis hubungan seni rupa dengan masyarakat. Kita tidak akan tahu hubungan seniman dengan masyarakat apa? Hubungan seni rupa dengan acara ini dengan masyarakat apa? Susah. Seperti Hendrawan Riyanto juga mungkin dia tidak terlibat aktivisme, tapi dia menekuni studi tentang spiritualitas Jawa, misalnya, melalui karya rupa.
V
Adakah rencana atau proyek yang tengah Anda persiapkan?
M
Oh iya, untuk tahun depan banyak (tertawa). Habis ini non-stop. Habis ini saya berangkat ke Brussel sebentar untuk Europalia, tapi dengan karya tari, kami akan pentas di KVS, di Royal Flemish Theater di Brussel. Saya juga akan tampil sendiri karya “Amnesia” di 3 Desember 2017. Januari saya solo exhibition di Singapura, lalu saya residensi STPI di Singapura, kemudian ada beberapa pameran. Tapi saya mengurangi untuk tahun depan, saya ingin agak istirahat sedikit (tertawa).