Kata Sederhana bersama Joko Pinurbo
Soni Triantoro (S) berbincang dengan Joko Pinurbo (J).
S
Bagaimana awal mula ketertarikan Anda dengan dunia literatur?
J
Saya tertarik pada sastra ketika masuk SMA, di saat berumur 15 tahun. Salah satu sebab lainnya, mungkin karena saya banyak membaca karya-karya sastra. Kebetulan di asrama saya waktu itu memang tersedia bacaan sastra yang cukup banyak. Perpustakaannya pun menyenangkan karena memiliki banyak koleksi. Kemudian setelah banyak membaca karya-karya sastra tersebut, lama-kelamaan saya jadi tertarik untuk ikut menulisnya juga. Jadi awalnya karena membaca. Baik bacaan sastra Indonesia maupun sastra terjemahan dari berbagai negara ke bahasa Indonesia, karena waktu itu memang banyak terjemahan sastra asing ke bahasa Indonesia, kira-kira begitu.
S
Anda menerbitkan buku puisi pertama, “Celana” di usia hampir kepala empat, dan setelah itu baru mulai produktif merilis karya. Apakah sejak awal Anda bertekad menemukan karakter penulisan sajak tersendiri, sebelum merasa layak menerbitkan karya perdana?
J
Dalam rentang waktu 25 tahun lebih, saya menulis banyak puisi, tapi puisi saya sifatnya hanya meniru karya para penyair terdahulu. Saya sempat mengirimkan naskah saya ke tiga penerbit dan tidak diterima. Karena terus ditolak sampai tiga kali, lalu saya mengevaluasi puisi-puisi saya dan saya menemukan ternyata karya-karya saya memang tidak menunjukkan sesuatu yang unik atau baru, hanya mengulang-ulang gaya penulisan yang sudah dilakukan oleh para penyair sebelumnya. Saya kemudian membuat semacam riset kecil-kecilan untuk memeriksa objek-objek atau tema-tema yang pernah ditulis oleh para penyair Indonesia sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, WS Rendra, dan masih banyak lagi. Dari riset tersebut, saya menemukan ada tema-tema atau objek-objek tertentu yang belum ditulis oleh mereka. Misalnya seperti saat saya menemukan celana dan juga objek-objek domestik lainnya seperti sarung, kamar mandi, bahkan toilet, ternyata hal-hal tersebut belum pernah ditulis oleh penyair-penyair sebelumnya. Dari situlah kemudian saya ambil dan olah hingga akhirnya saya menemukan tema-tema yang tampaknya menarik untuk saya gali dan eksplorasi.
Saya juga melakukan perubahan gaya, sebelumnya saya banyak menulis puisi-puisi yang bergaya lirik seperti kebanyakan para penyair lainnya. Lalu saya mulai mengembangkan gaya naratif yang ternyata lebih cocok dan membuat saya merasa lebih nyaman dengan gaya puisi yang bercerita. Mungkin itu pun karena faktor saya yang dibesarkan dengan gaya berkomunikasi orang Yogyakarta, maka saya mengadopsi cara berkomunikasi tersebut dalam tulisan. Contohnya seperti banyak humor dan candanya bahkan di tengah menghadapi situasi hidup yang sulit atau berat. Gaya rileks orang Yogya itulah yang akhirnya saya serap ke dalam puisi-puisi saya dalam bentuk narasi.
S
Bagaimana Anda melihat signifikansi peran “Celana” dalam kiprah kesastraan Anda?
J
Memang buku puisi “Celana” ini bagi saya merupakan pembuka jalan kepenyairan saya berikutnya, karena ternyata dengan “Celana” itu, karya-karya saya dapat memancing perhatian orang dan dapat mengeksplorasi hal-hal yang lebih luas dan jauh lagi. Jadi dengan kata lain saya berhutang budi dengan “Celana”. Saya tidak akan pernah melupakan saat kumpulan puisi ini, ternyata dengan objek-objek sesederhana celana, kamar mandi, atau sarung justru mampu membuat saya lebih berkembang bahkan dianggap layak untuk diterbitkan setelah ditolak tiga kali.
Setelah saya melakukan perubahan yang cukup radikal dalam gaya maupun pendekatan dalam berpuisi, ternyata kesabaran saya dalam 25 tahun lebih ada hasilnya. Jadi, saya tidak merasa menyesal bahwa 25 tahun saya belajar, berlatih dan banyak menghasilkan puisi meskipun gagal, karena justru proses pergulatan yang lama itulah yang mengantarkan saya pada penemuan sesuatu yang tidak terduga.
S
Menghadirkan kembali pertanyaan Anda sendiri di Kata Pengantar “Celana,” apakah akhirnya Anda secara pribadi sudah merasa mencapai kemapanan dalam proses kreatif?
J
Tidak, buku puisi “Celana” itu bagi saya, semacam pemicu kreativitas saya selanjutnya. Karena, dalam tahap selanjutnya saya juga mengeksplorasi tema-tema atau objek-objek lain seperti yang tampak pada buku puisi yang terbaru, di situ saya kemudian telah menemukan lagi ide-ide baru lainnya, yang dipicu dari “Celana.” Artinya, “Celana” menyadarkan saya bahwa saya bisa berpuisi dengan mengolah peristiwa sehari-hari yang sederhana, bahkan sebetulnya mungkin yang dialami oleh seluruh manusia. Jadi, dalam pengantar “Celana,” sebetulnya hanya semacam membayangkan nantinya saya akan menjalani proses yang panjang dan diam-diam saya bertekad untuk menemukan lagi kemungkinan-kemungkinan lain yang berbeda.
S
Kapan Anda pertama kali menyadari bahwa puisi tidak harus bertumpu pada diksi-diksi puitis?
J
Tentu pada saat saya menulis puisi “Celana.” Jadi puisi trilogi “Celana” itu, saya tulis pada tahun 1996 atau pertengahan tahun 90-an, ketika puisi itu saya kirim ke Jurnal Puisi (kini sudah tidak terbit lagi) yang pada saat Sapardi Djoko Damono adalah redakturnya, ternyata dimuat. Padahal waktu itu saya tidak yakin puisi seperti ini akan dimuat karena diksi dan gayanya sangat sederhana, objeknya pun tidak lazim atau puitis. Setelah dimuat dan mendapat tanggapan yang baik, saya merasa saat bagi saya telah tiba, setelah 25 tahun lebih berlatih. Saya anggap 25 tahun itu sebagai proses penjadian diri sebagai penulis puisi yang mengantarkan saya pada penemuan peristiwa-peristiwa dan objek-objek keseharian yang sederhana sebagai ciri khas saya.
S
Apakah Anda selalu menyisipkan makna konotatif dalam tiap baris dalam sajak Anda, atau ada yang memang semata kepentingan estetik?
J
Justru itulah, lewat “Celana,” saya belajar bahwa orang bisa menulis puisi yang dari luar tampak sederhana tetapi sebetulnya penuh dengan makna konotatif. Simple dari luar, tetapi di dalamnya ada kandungan makna yang bisa digali lebih dalam. Itulah yang selama ini saya perjuangkan, saya ingin menulis puisi yang bisa dinikmati oleh siapapun termasuk orang awam, tetapi setelah dibaca berulang-ulang, orang akan berpikir bahwa maknanya tidak sesederhana yang tersurat.
S
Bagaimana Anda menempatkan peran humor di sajak-sajak Anda? Untuk membumikan, menertawakan, atau justru menyamarkan wacana yang tengah dibicarakan?
J
Saya banyak belajar dari orang Jawa, bagaimana menghadapi hidup yang sering absurd dan tidak terpahami, nasib sial dan ternyata semua absurditas hidup itu bisa dinikmati melalui humor. Jadi humor saya bukanlah humor yang dimaksudkan untuk mendapatkan efek kelucuan, tetapi humor yang bisa menggugah orang supaya bisa menghidupi, menghadapi dan menjalani hidup sehari-hari mereka dengan rileks. Bagi saya, humor adalah sebuah relaksasi atau suatu rekreasi, pengenduran syaraf-syaraf untuk melenturkan kembali pikiran dan hati agar kita tidak tegang dalam menghadapi hidup. Karena memang hidup itu terkadang penuh dengan kejutan, apalagi bagi orang-orang yang hidupnya susah. Bagi saya kesulitan dan kesedihan itu hanya bisa ditaklukan dengan sikap hidup yang rileks.
Jadi humor saya adalah humor untuk keperluan relaksasi atau semacam terapi. Saya tidak bermaksud untuk mengembangkan humor dalam pengertian seperti lawakan, humor saya adalah humor yang bermain dengan visi dan cara orang menyikapi hidup. Sehingga saya lebih suka dengan istilah relaksasi dengan unsur refreshing supaya orang bisa menyegarkan kembali agar tidak bosan dan jenuh. Karena hidup pada dasarnya memang membosankan. Hidup itu adalah serangkaian rutinitas. Bagaimana hidup dalam menghadapi rutinitas? Ya, dengan relaksasi. Tetapi tentu bukan sembarang relaksasi, karena humor saya sebetulnya adalah yang saya pelajari dan latih termasuk mempermainkan logika kita sehari-hari. Contohnya seperti karya-karya Beni Satryo, bermain dengan logika-logika atau keyakinan-keyakinan yang membuat kita begitu suntuk dan serius tetapi sebenarnya justru kita lah yang sering salah dalam cara menikmati hidup.
S
Anda mengaku banyak membaca Alkitab dalam proses kreatif. Dalam agama Nasrani khususnya, bagaimana Anda melihat relevansi sastra sebagai jalan penghayatan spiritual?
J
Ini penting. Saya juga banyak menggali inspirasi dari kitab suci. Misalnya dalam Injil yang saya baca, salah satu ciri pokok dari spiritualitas yang saya geluti, dari spiritualitas Kristiani misalnya, yaitu sikap syukur. Rasa syukur itu termasuk dalam bagian terpenting dari iman dan banyak ayat-ayat kitab suci yang mengandung semacam dorongan atau inspirasi bahwa orang hanya bisa bertahan dan menikmati hidup kalau orang tersebut bisa memelihara dan mengembangkan rasa syukur. Contohnya, saya paling suka dengan perumpamaan tentang burung. Di dalam kitab suci pun ada hal tersebut. Bagaimana burung-burung itu tidak memiliki rezeki yang jelas dan pasti, namun tetap bergembira, bernyanyi, berlari kesana-kemari dan kemudian dibandingan dengan hidup manusia. Manusia memiliki banyak bekal dan sarana untuk mengumpulkan rezeki, tetapi sering tidak mempunyai rasa syukur seperti burung-burung.
Karenanya, dalam puisi saya yang berjudul “Surat Kopi,” saya memasukkan tema atau spiritualitas syukur itu menjadi semacam sikap atau visi hidup yang memang banyak saya kembangkan dalam puisi-puisi saya. Misalnya ada dalam puisi saya, kurang atau lebih sebuah rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Namun awalnya, sebetulnya ide mengenai spiritualitas itu saya gali dari kitab suci, karena saya menemukan bahwa salah satu inti dari iman adalah rasa syukur. Kalau seseorang tidak memiliki rasa syukur, dia akan selalu melihat orang lain sebagai ancaman atau musuh bukan sebagai sesama atau saudara. Jadi, memang rasa syukur ini merupakan salah satu bagian penting atau inti dari sikap beriman.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa saya ingin berdakwah. Justru itu tantangannya. Saya ingin mengajak orang untuk menikmati hidup dengan sikap syukur tanpa puisi-puisi saya, itu memberikan kesan saya sedang berdakwah atau berkhotbah. Itulah yang sulit, bagaimana membuat puisi ini wajar, sehingga tidak membuat pembaca seolah sedang diceramahi atau dikhotbahi. Maka kalaupun saya ingin menyampaikan pesan-pesan moral atau spiritual, itu saya terjemahkan ke dalam narasi yang sederhana.
S
Sementara itu, karya-karya Anthony se Mello yang menggunakan pendekatan naratif yang mirip dengan Anda sempat dilarang oleh Vatikan karena dituding memuat makna yang menyimpang dari ajaran Kristiani. Bagaimana Anda melalui tantangan yang sama?
J
Saya pernah mendengar itu, tetapi tidak melacak lebih jauh mengapa karya-karya beliau sempat dilarang. Karya-karya beliau mempengaruhi karya-karya saya dalam segi gaya hingga bagaimana beliau menerjemahkan religiusitas dalam peristiwa dan perkara sehari-hari. Terkadang karya beliau juga seperti memberi kesan yang rasanya senafas dengan ayat-ayat yang ada dalam kitab Injil Matius. Contohnya, “Burung Berkicau,” saya juga memiliki puisi yang berjudulnya “Doa Malam.” “Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.” Jadi, saya memang paling suka dengan imaji atau perumpamaan burung.
Hingga saat ini, saya masih mengembangkan soal burung, nantinya pun ketika saya menulis puisi baru, yang kemungkinan bisa dibaca pada tahun depan, tema burung akan muncul lagi. Kalau ada orang yang bertanya, burung itu asalnya dari mana? Ya dari Injil Matius atau kitab suci. Tetapi saya tidak ingin puisi saya lalu memuat referensi kitab suci. Burung itu universal, tetapi semacam pertanggungjawaban logis atau religiusnya, ya ada pada kitab suci.
S
Seberapa penting bagi seorang penyair untuk sajaknya diinterpretasikan selaras oleh pembacanya?
J
Saya bahkan tidak pernah peduli apakah interpretasi pembaca itu sesuai dengan apa yang saya maksudkan. Saya sendiri pun juga sering tidak mempunyai maksud kok ketika menulis puisi. Saya ya menulis saja. Bahkan ketika puisinya jadi, sekian tahun kemudian saya pun harus menginterpretasikan kembali puisi saya. Jadi, saya tidak menganggap itu sebagai masalah. Semakin pembaca memiliki interpretasi yang berbeda-beda, bagi saya itu semakin baik.
Puisi “Celana” itu bisa memunculkan berbagai interpretasi misanya, “Celana” pun sebetulnya sumber inspirasinya berasal dari kitab suci. Karena ada contohnya dari surat-surat Paulus, ada ayat yang mengatakan, “Lebih penting mana tubuh atau pakaian?” semacam itu. Jadi kira-kira, awal pergulatan renungannya dari situ. Lalu saya terjemahkan celana sebagai benda sehari-hari yang melekat dalam diri manusia dan mungkin puisi itu ingin mengatakan bahwa orang sering lebih sering terpukau pada bungkus dari pada isi. Jadi mana yang lebih penting, bungkus atau isi? Dan hal itu ada pada kitab suci.
S
Anda kerap menyanjung Sapardi Djoko Darmono, sementara karya-karya Anda tampaknya mengambil jarak dengan gaya pengucapan sajak milik beliau. Dalam wilayah apa beliau mempengaruhi Anda?
J
Karya Sapardi inilah yang pada saat awal saya belajar menulis di SMA paling membuat saya penasaran. Contohnya “Berjalan ke Barat Pada Waktu Pagi Hari” itu karya yang singkat, sederhana dan mengenai peristiwa yang dialami oleh setiap manusia, kok bisa begitu memukau ya. Setelah saya pelajari, ternyata beliau juga menggunakan teknik narasi menggunakan peristiwa sehari-hari, tetapi juga mengembangkan permainan logika tingkat tinggi. Jadi saya secara khusus mempelajari pendekatan Sapardi dalam berpuisi, bahwa dia mengolah kata-kata yang sederhana di luar, tetapi maknanya kaya tidak terbatas dan permainan logikanya pun demikian. Itu juga yang menginspirasi saya, tentang bagaimana mengembangkan humor yang tidak bertumpu semata-mata untuk mendapatkan efek kelucuan, tetapi mengganggu logika kita sehari-hari yang ternyata kita anggap benar, sebetulnya sering salah. Itulah yang saya serap dari Sapardi. Kesederhanaannya atau lebih tepatnya kesederhanaannya yang tidak sederhana. Kalau hanya sekadar membuat puisi yang sederhana, semua orang mungkin bisa. Tapi sederhana yang tidak sederhananya yang membutuhkan latihan, karena menuntut efesiensi kata juga kecermatan atau sistematika di dalam berpikir.
S
Mengingat Anda banyak mengambil objek domestik sebagai objek puitis dalam sajak, apakah Anda terdorong untuk beradaptasi dengan laju teknologi karena entitas-entitas itu menjadi lingkungan keseharian kita sekarang?
J
Saya beradaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi karena mulai kumpulan puisi saya yang terakhir, buku latihan itu sebenarnya merupakan hasil dari apa yang saya serap dari lalu lintas komunikasi di media, terutama media digital. Saya banyak mendapatkan tema-tema tentang yang saya tulis dari lalu lintas komunikasi manusia di era digital. Bahkan termasuk puisi-puisi yang agak berbau sosial politik. Itu pun bisa saya tulis karena membaca atau mengikuti perkembangan-perkembangan situasi dan kondisi negara ini melalu media sosial. Tetapi saya memang masih belum mampu memanfaatkan media digital untuk menyajikan karya saya. Saya belum ke tahap itu. Tapi kalau bicara soal bahwa media sosial atau teknologi komunikasi memberi saya banyak inspirasi dan bahan, tentu iya dan itu saya buktikan lewat karya-karya saya. Mungkin tidak banyak lagi objek domestik yang saya tulis di buku puisi yang terakhir, karena saya sangat suka mengamati bagaimana sikap atau reaksi orang terhadap berbagai peristiwa aktual.
S
Kemajuan teknologi hari ini juga melahirkan banyak kata serapan untuk perbehandaraan istilah komputer. Menurut Anda, bagaimana pengaruhnya ke perkembangan Bahasa Indonesia?
J
Nah, menurut saya itu semestinya dapat memperkaya kosakata Bahasa Indonesia dan terkadang saya juga memanfaatkan kosakata yang berkembang atau muncul dari media sosial. Tetapi kalau diperhatikan, saya ini adalah orang yang sangat memperhatikan dan mengutamakan tertib berbahasa secara tulis. Kalau Anda baca puisi saya yang berjudul “Telepon Genggam,” itu jelas puisi produk dari teknologi zaman sekarang. Bahkan cara berpuisi saya di kumpulan puisi tersebut pun kalau diperhatikan menyerah betul, tidak hanya pada objeknya namun juga secara pengucapannya. Karena mau tidak mau harus seperti itu, kita boleh mengatakan bahwa zaman ini melahirkan pengarang, tapi bisa juga pengarang ini melahirkan suatu zaman.
Contohnya seperti era Chairil. Beliau memang dilahirkan oleh zaman namun sekaligus melahirkan suatu cara berpuisi yang berbeda. Kita tidak bisa menghindar dari perkembangan teknologi. Penyair sehebat apapun tidak bisa. Jadi ada dinamika dan dialektika antara manusia dan perkembangan zaman, juga teknologi. Sekarang pun saya memanfaatkan teknologi. Saya tidak pernah bingung mau menulis tentang apa, setiap kali saya membuka handphone, saya pasti bisa langsung dapat referensi.
S
Apakah ada penyair-penyair muda yang karyanya menarik perhatian Anda dari perkembangan khazanah sastra kita belakangan ini?
J
Banyak. Menurut saya, sekarang ini kita memasuki era di mana banyak pengarang muda yang menurut saya menarik. Kalau di kalangan pembuat puisi, ada Aan Mansyur, Beni Satryo, Mario F. Lawi, Norman Erikson Pasaribu, dan masih banyak lagi. Mungkin saya bisa mengatakan ini terkmasuk era keemasan bagi para pengarang muda karena banyak sekali yang menurut saya menarik. Mereka ini betul-betul dibesarkan oleh kultur teknologi digital. Mereka juga semakin mudah mendapatkan akses untuk menjelajahi berbagai khasanah atau dimensi. Memang seharusnya hal tersebut bisa semakin memperkaya, sehingga ke depannya khasanah perpuisian Indonesia akan lebih bervariasi dalam hal daya ungkap maupun temanya.
S
Wilayah mana yang menurut Anda sebenarnya seharusnya masih sangat bisa dieksplor oleh penyair-penyair muda?
J
Sebetulnya ini saya agak sayang untuk mengungkapkan hal ini karena itu sedang saya lakukan (tertawa). Misalnya begini, mengenai kekayaan Bahasa Indonesia itu sendiri, sebenarnya ada banyak sekali yang menarik dan hal ini yang sampai sekarang sedang saya eksplorasi. Bahasa Indonesia itu sendiri sebagai sumber penciptaan atau materi sangatlah menarik. Banyak hal unik dari Bahasa Indonesia yang mungkin orang tidak kepikiran. Saya sudah menunjukkannya dalam beberapa puisi saya di buku puisi terbaru saya, misalnya “Kamus Kecil,” “Dongeng Puisi,” dan lain-lain yang bahannya sebetulnya dari kekayaan Bahasa Indonesia. Dan saya sedang mengeksplorasinya lebih jauh lagi, ternyata ada banyak hal yang lebih menarik lagi, salah satu contohnya itu. Jadi, saya sebetulnya agak bingung kalau orang merasa tidak tahu harus menulis tentang apa atau temanya apa, karena menurut saya ada banyak sekali.
Bahkan, saya membayangkan ada orang menulis karya sastra, bagaimana teknologi ini mempengaruhi hubungan antarpersonal atau pribadi, apakah pola perilaku hubungan antara manusia itu dipengaruhi juga oleh teknologi. Hal tersebut juga merupakan sesuatu yang menarik untuk dieksplorasi dan saya kira belum ada yang sampai menggali psikologi antara manusia zaman digital. Bagaimana mereka berperilaku dan berhubungan satu sama lain, mungkin akan berbeda dengan era saya. Jadi, menurut saya ada sangat banyak. Saya sendiri pun sedang mengeksplorasi hal-hal yang sebelumnya tak terbayangkan kalau itu bisa saya gapai.
Itu hanya mengangkat mengenai Bahasa Indonesia itu sendiri, jadi saya ingin menujukkan bahwa Bahasa Indonesia ini benar-benar unik dan kaya sehingga menjadi alat ucap kita dalam berpuisi, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi dan bahan. Nantinya, mungkin kalau puisi-puisi baru saya sudah jadi, orang-orang akan melihat, “Wah ternyata selama ini kita memang kurang mencintai dan kurang memperhatikan kekayaan kita sendiri.” Di sana ada sisi-sisi menarik yang sangat unik, yang mungkin tidak dipikirkan oleh banyak orang dan orang akan tahu bahwa apa boleh buat, puisi-puisi saya yang insipirasinya dari keunikan Bahasa Indonesia tidak akan pernah diterjemahkan, hanya bisa dinikmati lewat bahasa Indonesia. Tetapi itulah wujud cinta dan penghargaan saya terhadap bahasa kita sendiri.
S
Bagaimana peran inisiatif seperti Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kemudian dalam memperkaya referensi para penyair-penyair muda kita untuk menemukan ruang gerak baru di kesastraan Indonesia?
J
Festival-festival atau pertemuan pengarang seperti ini, menurut saya memang bisa memberi kontribusi yang sangat signifikan. Sebagai contoh, festival sastra yang di Makassar dari tahun ke tahun selalu menemukan bakat-bakat muda yang cemerlang dan terbukti bahwa mereka benar-benar berkembang juga menjadi para pengarang yang memang karyanya sangat prospektif. Faisal Oddang misalnya lahir dan bisa berkembang karena memang ditemukan lewat Seleksi Penulis Emerging Ubud Writers & Readers Festival, sebelum akhirnya dikenal lebih luas lewat Makassar International Writers bersama pengarang lain.
Lalu ada juga Ubud Writers & Readers Festival juga membuat orang punya perhatian ternyata memang di mana-mana, di berbagai daerah Indonesia itu ada potensi-potensi yang layak dikembangkan, yang selama ini mungkin tidak menjadi perhatian karena aksesnya hanya berpusat di tempat-tempat tertentu seperti Jakarta dan Yogyakarta contohnya. Namun, ternyata kita tidak tahu selama ini kalau di NTT, bahkan mungkin di Papua atau di daerah-daerah lain sebetulnya banyak potensi-potensi yang menurut saya layak diberi perhatian khusus. Dan terbukti, festival-festival sastra seperti yang diselenggarakan di Makassar dan Ubud dari tahun ke tahun bisa menujukkan bahwa ini lho, ada potensi atau bakat yang memang bisa memperkaya khasanah sastra Indonesia.
Jadi, saya mempunyai apresiasi yang positif. Bahkan semakin banyak festival akan semakin baik. Karena itu pun saya anggap masih kurang, karena hanya ada dua. Ya mungkin ada festival-festival lain juga, tetapi dua festival sastra ini bisa menjadi contoh bahwa hal tersebut bisa dijadikan motivasi dan mampu menemukan. Karena yang sulit itu adalah menemukan bahwa di sana atau di sini ada bakat yang potensial. Kalau tidak lewat festival seperti ini, mungkin mereka tidak akan pernah dikenali. Jadi saya mendukung, khususnya program festival di Ubud atau di Makassar untuk memperkenalkan sejumlah penggarang-penggarang muda yang potensial di berbagai daerah. Menurut saya itu sangat positif, di samping mereka akan bergaul dengan sastrawan yang lebih senior, termasuk para pengarah dari berbagai negara, mereka pun nantinya akan mempunyai wawasan yang lebih luas dan memiliki perbandingan apa yang dapat mereka kembangkan di negeri sendiri.
S
Apa rencana proyek ke depan Anda?
J
Saya sedang menulis puisi, seperti yang sudah saya katakan tadi. Saya sedang mengeksplorasi lebih jauh keunikan dan kekayaan Bahasa Indonesia. Itu yang sedang mulai saya kerjakan lagi. Jadi saya akan melanjutkan apa yang saya tulis di buku “Latihan Tidur,” mengenai keunikan dan kekayaan Bahasa Indonesia dan kali ini saya eksplorasi lebih serius dan luas lagi.