Literatur Indonesia bersama John McGlynn
Ibrahim Soetomo (I) berbincang dengan John McGlynn (J).
I
Lontar sudah berdiri 30 tahun. Apakah sebenarnya inisiatif dibuatnya Lontar?
J
Awal mula kami mendirikan Yayasan Lontar adalah untuk mengimbangi berita yang tersiar di luar negeri melalui media massa. Pada waktu itu tahun 70-an hampir semua berita mengenai Indonesia selalu negatif. Jadi walaupun ada cerita seperti korupsi dan sebagainya yang perlu diliput, tidak ada keseimbangan, tidak ada balance antara berita yang positif dan yang negatif. Berdasarkan pengalaman saya sebagai orang yang suka membaca sastra, cara yang lebih baik untuk memperkenalkan Indonesia adalah melalui sastra Indonesia (tertawa).
I
Anda telah menjadi editor beberapa media internasional khusus kesusastraan Indonesia. Apakah sastra Indonesia puluhan tahun ini sudah berkembang lebih baik dan ditanggapi oleh publik global?
J
Saat ini memang keadaannya jauh lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu, tapi masih banyak tantangan di sana. Selama 30 tahun, Lontar bisa dikatakan hampir bekerja sendiri tanpa bantuan pemerintah. Jadi semua buku yang kami terbitkan itu mungkin terjadi dengan bantuan dari sektor swasta dan teman-teman. Saya rasa masih dan akan selalu perlu ada program penerjemahan sastra di Indonesia secara tetap.
I
Proses translasi selalu menarik karena harus menerjemahkan dan sekaligus membawa nuansa dari bahasa asli ke bahasa baru. Apakah ada ketentuan pemilihan karya sastra yang diterjemahkan oleh Lontar?
J
Kalau ketentuan memang kualitas. Kualitas itu utama. Tapi kami sendiri, kembali ke karya yang kami sudah terbitkan, sudah ditentukan oleh para pakar Indonesia sendiri sebagai buku yang lazim dan perlu dibaca. Karya Selasih, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, itu semua karya klasik dan perlu diterjemahkan. Kalau mau belajar sastra Indonesia itu harus dimulai dari yang klasik. Yang menjadi masalah memang generasi muda (tertawa), dan itu pun kalau buku langsung menjadi populer di Indonesia, kami menunggu dulu, apakah berapa tahun kemudian masih populer? (tertawa)
I
Apakah ada beberapa sastrawan muda yang sudah dipantau oleh Lontar?
J
Kalau dengan membaca resensi buku, mengikuti media massa, atau siapa yang mendapatkan hadiah sastra, siapa yang mendapat, misalnya, Khatulistiwa atau S.E.A Write Award itu kan ikut menentukan sastrawan mana saja yang patut dipertimbangkan untuk kami terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.
I
Di Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) tahun ini, Anda tidak hanya bertemu penulis, tetapi juga berbagai individu dari beragam latar belakang. Apakah ada masukan atau wawasan menarik bagi Lontar dalam memperkaya pemikiran untuk konsep ke depan?
J
Saya melihat festival seperti Ubud Writers and Readers Festival itu sangat penting. Harus sinergi antara dunia penerbitan, dunia penerjemahan dan dunia pembaca. Festival bisa menjadi pusat atau hub untuk menarik perhatian dari semua pihak. Memang dari luar negeri kalau memilih karya untuk diterjemahkan dalam bahasa asing selalu dilihat apakah pengarang itu mendapatkan hadiah di dalam negeri? Apakah dia dihormati di dalam negeri? Apakah bukunya laku di dalam negeri?
I
Perayaan ulang tahun Lontas bersamaan dengan Sumpah Pemuda. Apakah sengaja untuk dikaitkan dengan identitas kesusastraan Indonesia?
J
Waktu akan didirikan Yayasan Lontar, memang kami pada awalnya tidak langsung pikirkan “Oh, tanggal berapa kita mendirikannya?” Tapi kebetulan kami sudah bekerja dengan notaris, sudah selesai, dan sudah hampir bulan Oktober. Lalu, mengapa tidak di hari Sumpah Pemuda? Karena memang satu darah satu bangsa dan satu bahasa, memang itu yang kami perjuangkan. (tertawa)
I
Melihat pencapaian Lontar, bagaimana Anda sebagai pendirinya melihat progresnya? Apakah sudah puas atau sedang mencari lagi formula yang lebih sempurna?
J
Puas sih belum sepenuhnya. Saya membandingkan 30 tahun kerja dengan hasilnya yang kami capai, kurang lebih 200 sekian buku itu cukup lumayan, meski kalau dilihat dari sudut pandang dunia penerbitan itu sangat sedikit.
I
Melihat penerbitan Indonesia memang ada beberapa yang independen. Menurut Anda, dunia penerbitan di Indonesia apakah masih terkait dengan kurangnya minat pembaca Indonesia sehingga penjualannya menjadi sulit?
J
Banyak tantangan. Sistem distribusi yang paling sulit. Untuk penerbit independen, penerbit kecil, susah sekali. Kebanyakan distributor ambil antara 50% sampai 60% dari harga eceran, dengan ongkos produksi kira-kira 20-30%, sudah hampir tidak bisa menutupi ongkos (tertawa). Apalagi terjemahan. Terjemahan sudah 20-30% lebih dari itu, jadi kami terus mengalami tantangan (tertawa).
I
Apa yang membuat Anda tetap persisten untuk mendirikan Lontar?
J
Tidak tahu ya, karena mungkin masih bisa dan justru karena pekerjaan Lontar dunia mulai melihat Indonesia. Waktu Indonesia menjadi Guest of Honor di Frankfurt Book Fair tahun 2015, Presiden Frankfurt Book Fair sendiri bilang, “Tanpa Lontar, Indonesia tidak mungkin menjadi Guest of Honor.” (tertawa)
I
Lontar punya ciri khas dari cover yang selalu menarik. Apakah Lontar memang ke depannya akan kerja sama dengan ilustrator lokal?
J
Memang ilustrasi selalu lokal atau ada yang mengenai Indonesia, seperti seri “Menagerie” itu kan semua lukisan pelukis Indonesia.
I
Mungkin tertarik kolaborasi dengan ilustrator kontemporer?
J
Ada seri buku By The Way, kami bekerja sama dengan desainer tertentu. Kami selalu mencari orang yang pas.
Lihat seri buku “By The Way,” kalau satu kumpulan cerpen (umum) biasanya ada 15 sampai 20 cerpen, puisi ada 75. Lewat buku By The Way, terdapat hanya 3 sampai 5 cerpen, 15 puisi dan 1 bab dari sebuah novel. Jadi ini sebuah cuplikan, sebuah sampler. Jadi cover-nya, serinya, ukurannya berbeda dengan buku standar Lontar.
I
Apa proyek Lontar ke depannya?
J
Seperti dikatakan tadi, 30 tahun ini merupakan titik penting. Apakah kami masih fokus ke belakang, ke klasik? Apakah kita melihat ke depan? Maunya lihat ke depan, soalnya ini sudah abad ke-21 dan banyak penulis muda yang berbakat. Mereka perlu diperkenalkan, jangan sampai seperti dulu, kami selama 30 tahun kerja mati-matian memperkenalkan yang lama, yang sudah meninggal. Sekarang sudah waktunya untuk yang muda muncul di ajang internasional.