Intelektualitas Tulisan bersama Puthut EA
Soni Triantoro (S) berbincang dengan Penulis Puthut EA (P)
S
Bagaimana awal mula Anda memutuskan untuk serius di bidang kepenulisan?
P
Akhir tahun 1999, saya belum tahu akan kerja apa. Saya lalu kembali ke keterampilan yang dulu saya geluti, yakni menulis cerita pendek. Waktu itu saya sering nongkrong di Bonbin (kantin yang terletak di antara Fakultas Ilmu Budaya dan Psikologi UGM), di mana di sana banyak sastrawan berkumpul. Karena para cerpenis yang berkumpul di sana rata-rata menganggap bahwa Kompas adalah salah satu pencapaian menulis terbaik, jadi saya konsentrasi saja supaya tembus di Kompas. Ya sudah, saya lalu belajar menulis cerpen. Jadi sebenarnya bukan karena gandrung dengan sastra, toh saya tidak pernah membayangkan jadi sastrawan. Semua hanya karena saya tidak tahu nanti jadi apa sementara yang ada di depan mata adalah menulis cerpen. Begitu dimuat di Kompas, malah jadi keterusan. Tidak ada yang dramatis.
S
Berarti alasan menulis cerpen waktu itu memang adalah Kompas?
P
Iya, karena orang-orang mendewakan Kompas. Ada banyak orang yang menulis di Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Bernas, Jawa Pos. Namun, saya pernah mendengar ada cerpenis yang cukup terkenal dan sudah menulis di banyak media massa, tapi belum pernah tembus di Kompas. Jadi yang ada di kepala saya waktu itu adalah kalau mau jadi cerpenis ya harus tembus di Kompas. Memang kurasinya ketat.
S
Bisa dibilang Kompas adalah barometer waktu itu?
P
Iya, dianggap seperti itu. Kalau sudah menulis di Kompas itu legitimasinya kuat. Dulu sebetulnya memang ada fase bukan Kompas. Kalau saya baca sejarah-sejarah cerita pendek di Indonesia, sebenarnya dulu itu barometernya adalah Horison. Tapi sejak tahun 80-an, legitimasinya diambil Kompas. Mungkin juga karena Kompas terbit mingguan dan oplahnya besar. Honorariumnya pun begitu.
S
Kalau sekarang, bagaimana Anda melihat posisi Kompas sebagai parameter karier cerpenis?
P
Wah, saya sudah tidak mengikutinya lagi sejak tahun 2008. Saya pikir lain situasinya sekarang, karena mungkin sudah banyak media online, atau sekarang orang sudah tidak perlu punya nama dulu di media massa untuk bisa menerbitkan buku. Dulu orang menerbitkan buku karena rata-rata sudah punya nama. Mungkin jaminan nama dulu dibutuhkan, tapi belakangan ini tidak. Para pencipta karya best seller di Indonesia bukan berasal dari karangan “sastrawan” yang memang membangun karier sastra dengan baik dan melalui jenjang-jenjang konvensional seperti menulis di media massa lalu mendapat penghargaan sastra. Para pencipta best seller sekarang ini bukan mereka, melainkan orang-orang baru. Dimulai dari Laskar Pelangi ‘kan.
S
Kenapa sampai saat ini masih banyak buku yang dianggap baik tidak terjual dengan baik?
P
Wah, itu susah. Ada banyak faktor. Itu sepertinya kompatibel antara selera masyarakat umum dengan apa yang diterbitkan. Misalnya dulu yang laris itu chick lit. Hampir bersamaan dengan teenlit, namun kalau teenlit kan untuk anak usia belasan, sementara chick lit lebih ke usia orang yang sudah bekerja tapi bahasanya nge-pop. Itu diikuti juga dengan film-film di Indonesia. Ada “Cintapuccino” misalnya di era itu. Saya kira satu-satunya orang yang mendapat penghargaan dan meniti karier sastra dengan baik hanya Ayu Utami. Setelah era chick lit itu sampai ke sini, karya-karya seperti Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara tidak ada yang masuk dalam koridor sastra yang selama ini dipahami oleh orang-orang sastra.
S
Menulis dan menjual buku kerap kali tidak berada di satu arena yang sama, bagaimana cara menyelaraskan keduanya?
P
Ya itu kendalanya, karena kalau orang seperti saya masih punya hambatan menilai sastra dari kacamata yang mungkin tidak kompatibel dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Susah. Kita ‘kan tidak bisa memindai dengan baik apa yang bergerak di pembaca sastra Indonesia.
S
Bagaimana posisi EA Books dan Buku Mojok dalam peta penerbitan buku sekarang?
P
Untuk EA Books dan Buku Mojok, saya tidak terlalu mencampuri urusan konten, melainkan hanya di awal-awalnya saja. Buku Mojok sekarang ya Prima (Prima Sulistya) dan Nody (Nody Arizona) yang menjalankan, sementara kalau EA Books dipegang Eka. Saya sebetulnya dulu hanya ingin punya (penerbitan) buku yang indie dan mayor. Indie itu konteksnya hanya untuk melihat seberapa jauh media sosial ini nantinya bisa maksimal sebagai cara berjualan, bukan lewat toko buku konvensional. Sementara Buku Mojok diposisikan untuk terbitan mayor atau konvensional yang lebih banyak diedarkan di toko-toko buku. Pertama, cara menjualnya berbeda. Karena cara menjual berbeda, ada konsekuensi perbedaan yang lain, misalnya kurasi. Untuk Buku Mojok, yang mengurasi sampai tiga tahap. Redaktur menyeleksi, sementara distributor dimintai pendapat. Lalu Gramedia juga ikut menentukan, bahkan ikut merevisi. Kalau EA Books ‘kan tidak begitu.
S
Apakah ada dikotomi seperti Buku Mojok diposisikan untuk fungsi yang lebih komersil?
P
Ya semua sih komersil. Hanya risiko pendanaannya untuk buku indie ‘kan lebih kecil. Kalau buku konvensional, terbitannya mencapai 2500, 3000, bahkan 5000 eksemplar, sehingga risiko bisnisnya lebih tinggi.
S
Di era banjir arus informasi seperti sekarang, posisi atau peran seperti apa yang bisa diambil oleh karya sastra? Verifikasi misalnya?
P
Tidak ada. Hoax itu justru bagian dari sastra. Hoax itu penciptanya adalah sastrawan era kekinian (tertawa). Tidak ada perannya. Itu tugas jurnalis, media massa, dan pemerintah. Kalau posisi personal itu lain ya, tapi kalau karya sastra tidak ada urusannya. Sejak asalnya sastra sudah fiksi. Hoax dalam bagian tertentu adalah fiksi.
S
Tirto.id dan Vice juga baru-baru ini banyak menarik perhatian lewat konten isu sosial dengan gaya esai. Apa yang membuat karakter konten seperti itu digandrungi saat ini?
P
Pemodal besar atau media besar pasti akan mengikuti itu. Ketika suatu hal sudah tenar, pasti akan diikuti. Itu sama seperti di mana dulu hanya penerbit alternatif Jogja yang berani menerbitkan buku kiri. Begitu laku, semua penerbit besar lalu ikutan. Bahkan, Gramedia pun mengikuti. Sebelum balik menjadi sangat ketat kurasinya, dulu mereka menerbitkan juga Tan Malaka, Magnis Suseno, dan lain-lain. Jadi itu sudah alamiah. Prinsip kapitalime bekerja di situ.
S
Di mana posisi Mojok.co sekarang pasca-kehilangan beberapa penulis terkemukanya dan kini mesti bersaing dengan beberapa situs alternatif baru yang mendapat atensi besar-besaran?
P
Kalau dari sisi penulis, relatif tidak ada persoalan, karena ada banyak penulis-penulis baru. Namun, yang jadi persoalan adalah ceruk itu semakin padat. Kalau sudah begitu, nalar yang bekerja adalah yang kuat secara kapital. Rumusnya begitu. Jadi bukan di soal produksi kontennya, namun karena bagaimanapun itu hanya ceruk yang tidak besar juga sebetulnya. Kalau makin banyak orang main di situ, ceruknya akan makin padat, sementara tidak diikuti dengan perluasan ceruk yang sepadan. Saya kira itu akan dialami oleh semua media yang mengambil ceruk itu.
S
Menurut Anda gaya esai opini seperti ini memang hanya tren?
P
Itu tren. Dan kalau tren itu sudah padat seperti itu biasanya sebentar lagi akan decline. Rumusnya sudah jelas.
S
Apa perubahan yang akan dijalankan Mojok.co untuk mengantisipasi itu?
P
Sebenarnya dulu kita kepikiran mau tidak mau harus masuk audio visual, namun ya ada keterbatasan di berbagai hal. Memang yang tidak masuk ke wilayah audio visual bakal kelar. Karena itu jika kalian memperhatikan, semua media baru selalu mempersiapkan itu sejak awal. Kita sudah tahu pasti akan ke sana. Orang berbondong-bondong keluar dari medianya, lalu bikin vlog sendiri. Lebih menjanjikan. Karena begitu mereka bikin vlog, sudah pasti bisa meraup uang.
S
Apakah itu akan berpengaruh buruk terhadap budaya literasi?
P
Tidak. Itu hanya akan sama dengan era radio dulu. Saya orang yang tidak percaya bahwa literasi kita jelek. Laskar Pelangi saja laku jutaan. Kan belum ada penelitian tentang berapa waktu baca yang dihabiskan mereka. Waktu baca buku mungkin berkurang, tapi waktu baca situs web ‘kan belum ada yang meneliti. Saya sudah mengikuti dunia perbukuan dari tahun 1999. Gramedia katanya menutup sebagian (tokonya) di sini, tapi toko-toko buku di luar Jawa terus tumbuh. Itu kalau kita masih konvensional melihat yang namanya literasi melulu baca buku. Belum soal bagaimana waktu yang dihabiskan orang membaca via online.
Orang yang disebut tidak bisa menulis di kampungku juga pintar sms. Dan yang namanya kebudayaan itu tidak punya keharusan untuk melalui satu tahapan lebih dulu dibanding tahapan yang lain. Orang selalu berasumsi harus membaca dulu baru menonton. Kelas menengah kita memetakannya begitu ‘kan? Tidak begitu dong di Papua. Mereka menonton TV dulu, membaca belakangan. ‘Kan tidak apa-apa juga? Bagaimana orang mau diatur-atur seperti itu, harus bisa tuntas membaca dulu? Peradaban tidak menghendaki seperti itu. Anak saya tidak bisa baca, tapi sudah bisa menonton film. Ia sudah bisa bahasa Inggris sebelum belajar bahasa Inggris, hanya karena tiap hari nonton Youtube. Bagaimana menjelaskannya? Kami dan sekolahnya tidak mengajarkan bahasa Inggris, tapi dia bisa bahasa Inggris.
S
Seiring kian populer dan meluas jangkauan kontennya, apakah Anda melihat ada pergeseran karakter pembaca Mojok.co?
P
Kalau karakter pembaca pasti tidak akan berubah. Yang berubah adalah kepadatan ceruk. Sama seperti orang jualan pecel lele di jalan Kaliurang itu. Ada namanya kuota. Banyak pedagang pecel lele jualan di situ, namun tidak diikuti dengan perluasan pasar yang memadai. Mereka pasti akan sampai pada batasnya. Karena itu orang di kaki lima punya filosofi-filosofi menarik. Kalau modalnya 20 juta sehari bisa mendapat laba 100 ribu, saat kamu kasih modal 40 juta pun dia bakal bilang ini tidak akan menaikkan laba. Karena kuotanya memang hanya segitu. Daya dukung masyarakatnya cuma sebatas itu. Tidak bisa kemudian dikasih modal 40 juta lalu laba akan naik 200 ribu begitu saja.
S
Gaya tulisan satir adalah gaya yang menarik. Tapi di sisi lain, perpektifnya yang sengaja disamarkan kadang justru menghalangi pendalaman dan analisis masalah yang disampaikan. Bagaimana menurut Anda?
P
Yang harus dibereskan dulu adalah bahwa seakan-akan satir baru ditulis belakangan ini. Periksa saja esai-esai milik Emha Ainun Najib, Umar Kayam, Sindhunata, semuanya dulu satir. Gaya itu dipakai sebagai salah satu strategi berkomunikasi sejak zaman dulu. Karena satir punya elemen-elemen yang sangat manusiawi, ada jenakanya dan berlapis-lapis. Jadi salah juga kalau orang menganggap bahwa Mojok adalah endorser untuk satir di dunia penulisan. Itu untuk orang-orang yang tidak tahu sejarah saja. Ya bedanya sih, bahasanya mungkin dibikin kekinian.
S
Apa isu sosial negeri ini yang menurut Anda perlu banyak-banyak dibicarakan lewat tulisan saat ini?
P
Menurut saya, sekarang fenomena sosial yang mengerikan adalah makin panjangnya orang untuk bermusuhan. Orang saling mengejek dengan berpanjang-panjang yang mengikuti antara dua hal yang ketemu, yaitu politik yang semakin tidak didominasi oleh minoritas orang atau lembaga, dan internet yang sudah semakin kuat. Kalau dulu, kita mau berdebat itu panjang urusannya. Saya mengeluarkan esai, orang membaca, lalu saya harus menunggu seseorang yang mendebat saya untuk menulis, mengirim ke media, lalu baru jadi perdebatan. Itu pun tidak diikuti oleh semua orang. Hanya yang baca dan concern pada tema itu saja. Kalau sekarang ‘kan tidak. Semua punya alat dan bisa mengakses itu semua dengan mudah. Itu risiko peradaban. Tapi menurut saya ini sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan.
S
Mojok.co beberapa kali turut mengkritisi para aktivis dan aktor gerakan emansipasi. Menurut Anda, intelektualisme negeri ini saat ini seperti apa?
P
Intelektualitas itu memerlukan beberapa hal. Yang pertama, tentu sumber pengetahuan. Kalau dari sisi itu saya kira sekarang kita mengalami fase yang baik, karena sumber pengetahuan tidak dimonopoli lagi oleh elit. Kita bisa mengakses bacaan dengan jumlah yang banyak dengan cara yang murah. Kita bisa membaca artikel-artikel menarik yang ditulis para kaum intelektual dengan cara yang mudah. Jadi menurut saya baik dari sisi itu. Di situ internet memberikan sumbangsih yang besar. Persoalannya kemudian adalah bagaimana itu direnungkan, diresapi, dan diekspresikan. Karena mungkin kadang belum direnungkan dengan baik, tapi orang sudah melakukan tindakan-tindakan ekspresif.
S
Ada media yang berafiliasi pada sayap kanan, gerakan kiri, atau ideologi islam liberal. Di mana Mojok berpihak? Atau memang Mojok tidak pernah mencoba memperjuangkan pergerakan tertentu?
P
Tidak ada. Terlalu berat untuk Mojok. Bisa mengajak orang berpikir kritis saja sudah bagus. Dan sekarang yang berkembang adalah bahwa fundamentalisme bukan hanya milik kaum agamawan, tapi kaum aktivis juga. Semakin ke sini, di era neo liberal ini, semakin banyak persoalan yang ada. Sementara setiap aktivis pasti hanya bisa concern ke satu atau dua isu. Bagaimana Anda bisa memaksa satu aktivis untuk concern ke sepuluh-dua puluh isu? Lalu kalau tidak concern di situ, Anda disalah-salahkan. Kalau begitu tidak ada bedanya secara substansial antara FPI dengan orang pergerakan.
Orang memaksa semua orang harus peduli dengan isu yang ia miliki. Ya tiap orang beda-beda. Yang merasa penting mengurusi isu korupsi ya biarkan saja mengurusi korupsi. Begitu juga untuk mereka yang mengurusi isu lingkungan atau perempuan, ya biarkan mengurusi itu. Ini sebenarnya yang jadi persoalan. Sama juga di wilayah agama, jadi kafir-mengkafirkan secara substansif bisa terjadi pada orang gerakan pula. Kedewasaan itu sekarang mahal sekali.
S
Dunia penerbitan buku sedang meningkat, intelektualisme dianggap makin seksi, namun fasisme juga sedang marak. Apakah Anda melihatnya sebagai sebuah paradoks?
P
Pertama, kalau dianggap (intelektualisme) meningkat itu sebenarnya tidak juga. Kalau parameternya penerbitan, coba cek bukunya Adhe Ma’ruf (Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja), tahun 1999 sampai 2004 itu masa yang jauh lebih hebat dari ini. Kalau konteksnya Jogja sih tidak, tapi tidak tahu kalau di kota lain. Lalu untuk soal fundamentalis, fenomena global sekarang memang sedang mengarah ke sana. Anda bisa lihat Amerika Serikat atau Perancis. Ini bisa salah atau benar, tapi setiap ada krisis biasanya diiringi dengan tren ke arah fundamentalis.
Saya orang yang paling tidak percaya bahwa akar fundamentalisme itu teologis. Tak ada di kepala saya. Kalau Anda baca sejarahnya, tak ada perang teologis di perpecahan para sahabat Rasul di islam. Itu politik. Saya orangnya Marxis ya, jadi ekonomi politiknya yang jadi masalah. Kalau dalam analisis, saya sangat Marxian, jadi ini persoalan ekonomi politik. Bahwa ekspresinya kemudian seperti itu ya tergantung fundamentalisnya seperti apa. Kalau di sini yang kita alami kebetulan Islam.
S
Bagaimana Anda melihat relasi antara intelektualitas dan fundamentalisme?
P
Tergantung juga kita memahami intelektualitas. Karena jangan sampai berpikir bahwa orang yang bergerak di sana tidak punya intelektualitas. Kadang-kadang analisis politik mereka membuat mereka berpikir bahwa ini saatnya memakai mesin agama karena trennya memang seperti itu. Jadi secara kategori mereka juga intelektual. Tapi bahwa ekspresi politiknya berdasarkan bacaan sosiologis adalah menggerakkan atau berorganisasi di masyarakat Islam, ya saya rasa itu berbeda. Makanya, sebetulnya saya punya pendapat bahwa kadang orang melakukan aksi-aksi politik itu memang bagian dari strateginya mengintervensi atau melakukan sesuatu yang sudah berdasarkan atas analisis. Itu atas dasar bacaan mereka, di mana mereka melihat persoalan masyarakat, dan lalu memutuskan, “Oh, kalau ingin melakukan perubahan ya harus lewat jalan yang ini, karena ini yang sekarang sedang menjadi tren di masyarakat”.
S
Dibanding penulis Mojok.co yang lain, Anda tergolong yang paling sering menulis artikel isu politik pemerintahan. Darimana minat sebesar itu datang?
P
Ya bagaimana, kalau itu saya tidak bisa jawab. Harusnya ditanyakan pada orang-orang yang lain. Kalau saya sih pokoknya karena ada banyak yang belum beres di negeri kita. Tapi sebenarnya yang harus banyak dibenerin juga adalah cara pandang para aktivis. Fenomena sekarang tidak sesederhana rezim orde baru.
S
Apa proyek ke depan?
P
Menulis cerpen yang pendek. Saya hidup dalam konstruksi cerita pendek media massa. Cerpen itu genre yang berbeda. Orang ‘kan sering menyederhanakan cerita pendek sebagai bagian dari novel. Itu salah. Cerita pendek ya cerita pendek, disertai dalil-dalil dan teori tersendiri. Cerpen bukan novel yang dipendekkan. Kalau mau bikin perbandingan ya seperti lari maraton dan sprint 100 meter. Sama-sama lari, tapi pelari maraton berbeda dengan pelari sprint. Elemen-elemennya sama, tapi itu dua hal yang berbeda. Di Indonesia, cerita pendek menjadi sangat penting karena media massa selalu memberi ruang pada cerita pendek sejak sebelum tahun 40-50-an. Mungkin satu-satunya di dunia sampai sekarang. Jadi yang namanya hari Minggu itu hari perayaan cerita pendek, karena hampir semua media konvensional memuat cerita pendek. Nah, ketika sudah seperti itu, cerpen membuat hukum sendiri. Cerita pendek harus ditulis 800 atau 1200 sampai 2000 kata. Di satu sisi itu bagus sehingga semua orang punya media untuk memajang karya mereka. Tapi di sisi lain, ada bahayanya, karena kemudian cerita pendek dipandang harus seperti itu. Sebagus-bagusnya kamu bikin cerita pendek dengan 300 kata, tidak akan dimuat di Kompas. Atau kamu buat 5000 kata juga tidak akan ada yang mau memuat. Di era seperti ini, sudah saatnya berpikir ulang tentang itu.
Saya ingin mencobanya. Cerita pendek ya pendek saja. Sependek selazimnya status Facebook. Sejauh ini masih eksperimen-eksperimen kecil di status media sosial. Saya kira tidak ada masalah dengan itu. Supaya paling tidak orang mengerti bahwa cerita pendek tidak harus seperti di koran-koran. Tidak perlu kena hukum-hukum jumlah minimal kata. Sebaliknya juga tidak perlu pendek sekali juga, kalau memang 10 ribu kata dianggap penulisnya masih cerita pendek ya tulis saja.