Filsafat Kiri bersama Martin Suryajaya
Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Martin Suryajaya (M)
H
Dari mana ketertarikan Martin pada dunia filsafat dan sastra muncul?
M
Sebenarnya sejak waktu masih SMP, saya sudah baca filsafat. Khususnya tentang filsafat timur waktu itu. Misalnya tentang Taoisme, tentang Bhagavad Gita (konsep spiritual klasik India), kebanyakan tentang buku spiritiual. Konteksnya itu sekitar tahun ‘98, masa-masa krisis. Semuanya serba tidak menentu, munculah buku-buku spiritual. Dan itu bisa ditemukan di Gramedia, banyak sekali. Dari situ saya mulai membaca sumbernya, mulai masuk dari filsafat timur.
Saya dulu tinggal di Semarang, di sana orang tua dekat dengan teman-teman seniman. Banyak sastrawan, perupa yang datang ke rumah untuk mengobrol, saya mendengarnya dari jauh. Mulailah familiar dengan filsafat, sastra, dan seni rupa.
H
Kalau menulis sendiri sejak kapan?
M
Seperti anak-anak SD pada umumnya, saat pelajaran bahasa Indonesia, saya sering mendapat tugas menulis cerpen. Saya cukup tertarik menulis seperti itu dan mulai menulis cerpen di luar pelajaran sekolah. Selain cerpen, juga menulis hal lain, karena di dalam kelas itu sering tidak jelas mau ngapain. Saya menulis di buku catatan dan disebarkan ke teman-teman sekelas. Ceritanya tentang hal-hal dari dunia game, era-era SEGA, SuperNintendo, dan Playstation. Kisahnya saya kembangkan dengan tokoh-tokoh dari teman sekelas. Cerita itu lalu saya putar di teman-teman sekelas. Jadi di-edit bareng lah. Mulainya mungkin di situ.
Waktu SMP – SMA saya lebih suka filsafat, sastra pelan-pelan saya tinggal. Paling jadi cuma baca-baca saja. Sejak itu tidak pernah menulis sastra sama sekali, sampai akhirnya baru-baru ini di buku novel “Kiat Sukses Hancur Lebur”. Itu tulisan sastra saya setelah sekian lama. Sebelumnya tidak ada sejarahnya saya menulis sastra serius di koran atau di publikasi manapun.
H
Kalau tulisan serius pertama yang dibuat itu kapan?
M
SMA. Saya bersekolah di SMA Kolese Loyola Semarang. Di sana ada tradisi siswa laki-laki boleh berambut gondrong. Tapi sejak tahun 2000 rambut gondrong dilarang. Sedangkan saya masuk SMA tahun 2001. Namanya juga anak SMA yang ingin protes, saya lalu membuat tulisan yang memprotes kebijakan sekolah, salah satunya tentang kenapa rambut gondrong tidak diperbolehkan di sekolah.
H
Bentuknya seperti apa, Zine?
M
Mula-mula di majalah dinding (mading). Di sana saya menulis dengan gaya yang saya banyak tiru dari tulisan di koran. Bentuknya tulisan opini, dan tulisan protes, dengan memasukkan kutipan-kutipan Marx pada beberapa tulisan. Dari mading saya lantas beranjak untuk menerbitkan pamflet sendiri yang juga berisi kritik terhadap kebijakan sekolah. Bentuknya satu halaman kertas buram di fotocopy sampai 200 eksemplar, dibagi-bagi di kelas. Era-era itulah saya menemukan keasyikan dalam menulis yang berbeda dengan saat mengikuti pelajaran sekolah, atau saat mengerjakan PR. Keasyikannya sangat berbeda.
Rasanya seperti ada achievement bagi saya pribadi. Ini membuat saya sering ke kampus untuk mencari referensi baru demi keperluan menulis. Saya lalu banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Topik protes kebijakan sekolah pun berkembang, misalnya tentang masalah-masalah seperti penggunaan aula yang dibatasi. Dan mulai ada kesadaran untuk membangkitkan kesadaran teman-teman untuk melawan.
Saat SMA selain nulis pamflet politik, saya juga senang sekali dengan perjalanan outdoor. Seperti jalan kaki dari Semarang ke Magelang, naik gunung, nebeng truk atau mobil barang sampai ke Surabaya, hal-hal seperti itu. Dari situ kemudian muncul semangat romantik, dan saya mulai menulis catatan perjalanan saat SMA. Itu mungkin ada hubungannya dengan bacaan saya, “Gie: Catatan Seorang Demonstran”. Ketika itu memang ada sosok seperti Agustinus Wibowo yang melakukan catatan traveling. Tapi memang referensinya bukan ke sana, lebih ke catatan keseharian Soe Hok Gie dan “Lord of The Rings” yang melakukan deskripsi fantastis tentang tempat-tempat tertentu.
H
Bagaimana respon pihak sekolah dengan tulisan Martin ketika itu?
M
Responnya cukup keras. Terutama dari wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. Saya diancam DO. Apalagi saya sempat tidak naik kelas sekali. Eh, masih juga bikin perkara seperti itu. Misalnya saat saya mengorganisir tandatangan seluruh siswa untuk mendukung rambut gondrong. Beli spanduk besar, kertas kanvas panjang, ditandatangi semua anak-anak di sekolah. Pihak sekolah lalu menanggapinya dengan, ‘’Lu bikin masalah banget sih.” Dan di saat yang sama, saya sudah ada di top list daftar DO dan pernah tak naik kelas.
Tapi di luar itu, aktivitas di sekolah sebenarnya jadi seru karena dari sana kita sering diskusi. Tentang politik, tentang filsafat, bersama teman-teman SMA. Saat itu ada kebutuhan konkret dari masalah-masalah tentang kenapa rambut gondrong dilarang. Penggunaan aula yang dibatasi. Dari masalah-masalah itu, kita lalu bertanya apa arti kebebasan. Sekolah berbicara soal kebebasan yang bertanggung jawab. Tapi sebenarnya apa sih arti kebebasan bagi pihak sekolah?
Saya sempat juga mengorganisir mogok di sekolah. Saya mengajak teman-teman di sekolah untuk memprotes kebijakan sekolah yang tiba-tiba memotong beberapa teman yang rambutnya gondrong. Saya mengorganisasi mogok dan mengajak teman-teman untuk tidak masuk kelas. Mogok saja dengan berkumpul di lapangan, sembari melakukan protes di depan ruang kepala sekolah. Ini membuat saya mendapat peringatan terakhir, kalau saya bikin ulah lagi, saya akan di DO.
H
Sebagai penulis Martin sangat produktif, di tahun 2016 ada 3 judul buku yang terbit. Bagaimana proses Martin saat menulis?
M
Di tahun 2016, saya menerbitkan 3 buku. Tapi sebenarnya cuma satu yang saya tulis tahun itu, yakni novel “Kiat Sukses Hancur Lebur”. Yang lain sudah saya tulis lebih dulu, “Sejarah Estetika” saya tulis di tahun 2014, dan “Sejarah Pemikiran Politik” pada 2013. Kebetulan saja terbitnya bersamaan. Untuk produktivitas menulis tulisan nonfiksi, konsepnya sederhana. Kita harus melakukan research. Dan yang paling penting adalah untuk menulis dengan disiplin. Kita bisa menulis tentang perlawanan, pemberontakan atau apapun, tapi agar tulisan itu jadi, kita harus mau disiplin.
Disiplin itu saya tetapkan dengan mengatur waktu dalam 1 hari, kapan saya akan menulis, kapan saya akan membaca. Kalau tidak ada disiplin seperti itu akan susah. Saya merasa bisa lebih disiplin saat tidak ada kerjaan. Sebelum sekarang di Kementrian, saya freelance. Bangun pagi langsung nulis. Bikin kopi, langsung nulis. Sampai siang-sore. Sore lalu istirahat. Malam baca untuk bahan tulisan besok. Itu ritme saya saat setahun menulis “Sejarah Estetika”. Jadi harus disiplin. Begitulah produktivitas saat menulis nonfiksi. Kalau saat menulis fiksi sedikit berbeda. Ada unsur lain, semisal mood yang penting di dalamnya. Ini membuat produktivitasnya mungkin jadi lebih sulit.
H
Bagaimana proses riset saat menulis?
M
Karena kita hidup di era digital, kadang kita tidak perlu research dengan datang ke perpustakaan. Cukup dengan riset di library genesis (search engine spesialis riset) atau beberapa situs lain yang bisa kita gunakan. Ada banyak artikel, buku, dan dari situ kita langsung bikin tulisan. Ide dasarnya sebenarnya adalah apa topik yang ingin kita tulis. Misalnya tentang Filsafat Perancis, ambil satu tema, baca semua literatur yang terkait, download semua dulu. Setelah membaca, kita mendapat kerangka umum bukunya akan seperti apa, lalu ditulis. Satu per satu per bab, mulai dengan bacaan. Jadi sebenarnya tidak ada tips yang spesifik. Umum saja.
H
Salah satu sosok yang sering muncul dari tulisan Martin adalah Karl Marx. Dan memang Marx adalah salah satu tokoh yang paling sering dikutip di tulisan. Tapi yang agak ironis adalah sebagai sosok yang sering dicatut namanya, secara umum masih banyak yang kurang paham inti pemikiran Karl Marx itu seperti apa.
M
Marx terkenal terutama karena efeknya, bukan karena teori atau tulisannya sendiri secara langsung. Tulisannya memang punya dampak, dan dampak inilah yang didiskusikan oleh publik. Salah satunya adalah tentang gerakan komunisme yang berkembang sebagai gerakan politik. Itu adalah pintu utama orang untuk mengenali sosok Marx, lebih dari kenal tulisan Marx sendiri. Orang sudah memiliki prasangka tentang Marx karena efek politik dari tulisan-tulisannya. Saya lihat karena itulah orang cenderung bicara soal Marx tanpa berbicara soal teksnya.
H
Salah satu kritik pada kajian filsafat adalah orang-orangnya yang asyik sendiri dengan teori dan istilah asing. Membuatnya jadi subjek yang intimidatif bagi publik awam. Bahasan ini jadi semakin elit, padahal sebenarnya mungkin publik bisa lebih mempelajari filsafat jika less-intimidating. Bagaimana Martin melihat fenomena yang demikian?
M
Filsafat cenderung abstrak bagi masyarakat karena memang yang dibahas itu bukan hal tepat guna. Filsafat bukan hal yang applicable dan cenderung abstrak. Memang dari sisi sejarah awalnya ada filsafat juga coraknya memang seperti itu sampai sekarang. Filsafat itu mempertanyakan yang hal-hal yang paling mendasar dari kenyataan. Apa itu kenyataan, dan apa itu fiksi. Itulah yang dipertanyakan oleh filsafat. Kalau ilmu empiris itu membedakan mana yang nyata dan mana yang fiksi. Filsafat mundur jauh darisitu, ia mempertanyakan terlebih dahulu apa yang disebut fakta, apa yang disebut fiksi. Definisi dari fakta dan fiksi dibongkar terlebih dahulu. Ini hal yang sangat abstrak.
Sudah banyak yang berusaha untuk membuatnya menjadi lebih populer. Banyak buku tradisi filsafat di Indonesia itu berhenti di level pengantar. Karena itulah bentuk yang diterima pasar. Kalau filsafat diterbitkan dalam bentuk aslinya, menurut standar yang di Eropa, itu akan sulit menemui pembaca di sini. Karena jika begitu, yang dibahas adalah misalnya salah satu pertanyaan dalam filsafat analitik kontemporer Anglo-Saxon Inggris. Katakanlah tidak ada rokok di dunia. Di keadaan yang seperti itu, apa rokok adalah rokok? Pertanyaan seperti ini biasanya cenderung susah dimengerti oleh publik awam, dan buat apa juga dipertanyakan? Tapi pertanyaan seperti ini penting bagi kajian filsafat, dari situ kita bisa membicarakan turunannya, misalnya tentang identitas. Pertanyaan tadi kan sebenarnya soal identitas. Jadi hal seperti inilah yang membuat di Indonesia penerbitan cenderung memilih pendekatan filsafat populer.
Yang lebih serius harusnya dikerjakan di jurnal filsafat. Dan di Indonesia jurnal filsafatnya cenderung mengambil pendekatan populer. Didominasi dengan penulisan kajian-kajian populer. Seolah filsafat takut kehilangan publiknya. Padahal sebenarnya tidak apa-apa. Kalau memang serius mengulik dimensi abstraknya, kalau betul-betul didalami, sebenarnya bisa juga diterbitkan. Paling hanya butuh keberanian dari segi penerbitan soal itu. Tapi di penerbitan independen pun tidak ada yang berani menerbitkan buku filsafat yang abstrak. Ada beberapa yang melakukannya, tapi tidak signifikan terhadap jumlah buku filsafat populer yang diterbitkan tadi.
H
Kalau masalah elitisme dari orang-orang yang mendalami filsafat?
M
Ini juga merupakan satu isu yang saya cermati. Saya menempuh studi S1 dan S2 di filsafat. Dan di sana saya melihat teman-teman – dan juga saya sendiri saat belajar filsafat, memang memiliki kecenderungan untuk meremehkan hal-hal empiris. Bahwa hal yang empiris itu sifatnya teknis yang lebih remeh. Filsafat harusnya mempertanyakan hal yang lebih luhur. Misalnya apa itu esensi segala sesuatu?
Jadi elitisme seperti itu ada, memang ada. Dan elitisme itu seringkali tidak berdasar. Hanya sekadar untuk mencitrakan diri sebagai sosok elit, sembari menjelek-jelekkan cabang studi lain, tanpa memahami betul hal-hal seperti esensi yang mereka banggakan. Saya dan teman-teman saat belajar itu cenderung fiksasi pada konsep. Jadi kami bertemu dengan satu konsep aneh dan kita terpikat dengan konsep itu, istilah itu lalu kita ulang-ulang tanpa tahu sendiri artinya. Hal seperti ini seringkali terjadi. Di satu sisi ini contoh elitisme, dan di sisi lain ini merupakan bentuk kebodohan yang kosong. Elitisme kosong yang mengatasnamakan sekolah, bahwa saya dari Sekolah Tinggi Driyakara yang elit, lalu saya merasa bangga. Kebanggaan kosong seperti ini melelahkan.
Kalau memang kita bekerja di bidang filsafat, lebih baik kita mengerjakan satu konsep yang rumit tanpa perlu dinyatakan untuk menjelek-jelekkan bidang kajian lain. Kalau orang yang benar-benar mendalami filsafat, mereka akan tahu bahwa sebenarnya tidak ada hal yang bisa disombongkan dari filsafat, toh dia sama saja seperti ilmu lain. Pada dasarnya filsafat itu membantu semua ilmu lain untuk mencapai tujuannya, yaitu kebenaran. Filsafat itu tugasnya mengorganisasikan ilmu-ilmu lain. Tapi bagi orang yang baru belajar filsafat, dan masih dalam fase euforia, mereka akan cenderung elitis. Kalau udah masuk benar-benar harusnya tidak begitu. Elitisme seperti itu adalah nonsense.
H
Jadi elitisme seperti ini hanya dilakukan oleh mereka yang baru belajar?
M
Ya katakanlah begitu (tertawa).
H
Bagaimana perkembangan filsafat di era sekarang? Apa masih banyak jurnal filsafat yang merujuk ke pemikiran klasik? Ataukah ada pemikiran baru yang menyegarkan?
M
Filsafat itu berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Jika di ilmu lain semisal biologi atau kimia, satu teori dikatakan tidak berlaku jika terbukti salah secara empiris, maka teori tersebut tidak akan dirujuk kembali. Kita lalu akan mencari teori baru yang lebih bisa menjelaskan kenyataan empiris. Di filsafat, semuanya serba hipotesis. Karena semua serba hipotesis, hal yang lama yang dari zaman klasik Yunani yang pernah dinyatakan salah pun sekarang bisa direhabilitasi lagi – dengan argumen baru tentu saja. Di situlah keunikan filsafat. Dalam artian tak ada obsolete problem di filsafat. Karena problem paling tua di filsafat itu terus dipertanyakan dan terus diargumentasikan kembali.
Kalau kita melihat peta filsafat kontemporer sekalipun, misalnya Alain Badiou atau para filsuf Perancis, yang dibilang baru, pemikiran mereka sebenarnya juga berangkat dari tradisi klasik yang telah ditetapkan sejak era Yunani. Kita bisa membuat peta pembelahan teori klasik sejak zaman Yunani dan percabangannya hingga era kontemporer. Jadi sebenarnya yang disebut kebaruan dalam filsafat itu relatif. Tidak ada yang benar-benar baru. Yang baru mungkin satu argumen atau sudut pandang tertentu, tapi bangunan teorinya meminjam dari yang lama.
Dalam konteks filsafat kontemporer misalnya, katakanlah seperti yang sedang tren belakangan itu tentang tradisi filsafat Perancis yang menyebutkan tentang kembalinya realisme. Era setelah Post-modern. Kalau di filsafat, post-modern itu merelatifkan kenyataan, mempertanyakan apa itu kebenaran, apa itu kenyataan, semua menjadi relatif. Antara fakta dan fiksi tidak bisa dibedakan dan seterusnya. Tapi sejak belakangan ini, 5-10 tahun terakhir, berkembang di Peracis itu pendekatan realisme spekulatif yang berupa usaha untuk kembali merumuskan konsep kebenaran. Konsep tentang kenyataan yang objektif dan seterusnya. Yang selama ini, di era post-mo semua dianggap relatif. Bahwa tak ada kenyataan objektif, yang ada adalah kenyataan subjektif. Tergantung sudut pandang, karena Nietzsche dan seterusnya.
Belakangan mulai dihidupkan lagi pertanyaan seperti, “Apa hakikat kenyataan?” hal-hal seperti itu. Persoalan-persoalan seperti ini di filsafat disebut realisme karena sebenarnya realisme dalam filsafat itu kan suatu pendekatan yang cenderung melihat bahwa kenyataan itu objektif di luar sana. Di luar diri kita. Bukan merupakan hasil konstruksi pikiran sendiri. Pendekatan semacam itu mulai muncul lagi di Perancis. Itu contoh dari kecenderungan terbaru dalam filsafat Perancis.
H
Kalau dari tradisi filsafat di Indonesia apakah ada pemikiran yang signifikan?
M
Kalau di Indonesia, probleum utama filsafat adalah mengenai penerbitan buku. Karena yang cenderung diterbitkan adalah buku pengantar, filsafat di Indonesia wacananya berhenti di pengantar. Berhenti di perkenalan konsep dasar. Banyak soal-soal yang sebanarnya lebih mendasar, jadi tidak tergarap karena pengantar tadi. Yang banyak sekali terbit adalah, pengantar fenomenologi, pengantar Marxisme dan seterusnya. Efeknya adalah bahwa tulisan yang dihasilkan dari Indonesia tidak jauh beranjak dari situ. Sejak awal kemunculan filsuf di Indonesia, coraknya adalah pengantar. Ini ada hubungannya dengan filsafat barat yang dikenal dan masuk ke Indonesia melalui institusi gereja, atau melalui pengaruh Belanda pada era Kebangkitan Nasional. Dan bisa juga melalui mahasiswa kita yang dikirim ke Belanda untuk belajar filsafat, seperti Mohammad Hatta yang menulis buku tentang Sejarah Filsafat Yunani dan seterusnya. Begitulah pola penyebarannya.
Kecenderungan yang muncul dari akar yang demikian adalah posisi filsafat yang cuma sebatas pengantar. Ini kemudian masih terus dilakukan di institusi gereja Katolik juga menyebarkan seperti itu. Sifat filsafat di sini hanya untuk bantuan untuk berargumentasi. Bukan sebagai satu ranah penelitian. Saya melihat seperti inilah ciri filsafat Indonesia.
Belum ada yang memperlakukan filsafat sebagai ranah penelitian yang pantas dikejar. Dia selalu diposisikan sebagai ambang. Dalam tradisi Katolik ada istilah bahwa filsafat adalah hamba teologi. Filsafat dipanggil untuk menjelaskan doktrin-doktrin agama. Di Indonesia hal itu juga dipakai. Filsafat diambil oleh institusi Belanda untuk menjelaskan justifikasi kebaikan dari praktek kolonialisme. Kemudian di Era Soeharto, filsafat dipakai sebagai hamba dari pembangunan, developmentalism. Posisi filsafat hanya sebagai alat bantu. Ia tidak pernah dilepas untuk menghadirkan dirinya secara utuh. Dan itu yang tercermin dalam penerbitan buku-buku filsafat yang hanya berorientasi pada pengantar. Itulah yang saya lihat. Kecenderungan di Indonesia, filsafat statusnya selalu derivatif.
H
Di buku “Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme”, Martin mengemukakan tentang bagaimana Komunisme adalah ideologi yang relevan bagi kehidupan modern, bisa dijelaskan lebih lanjut tentang konsep ini?
M
Sebenarnya ide dasar komunisme itu sederhana. Secara politik, komunisme adalah doktrin tentang kesetaraan populer, kesetaraan rakyat. Jadi tidak ada kelompok sosial yang bisa merasa lebih paham tentang politik daripada rakyat. Semuanya sama. Setara. Katakanlah politik itu misalnya dalam konteks Aristokrasi yang sistemnya kebangsawanan, ada pemilahan antara rakyat biasa dan bangsawan yang paham politik untuk mengatur negara. Pemilahan semacam ini ditiadakan dalam komunisme. Komunisme jauh lebih maju daripada demokrasi liberal, karena dalam demokrasi liberal, walaupun secara politik diakui semua hak suara setiap orang secara setara, tapi pada praktiknya, bentuk pelaksanaan dari politik suara itu tidak bisa dikontrol oleh rakyat sepenuhnya. Jadi modelnya transaksional, rakyat mengalienasikan atau mendagangkan suaranya saat pemilu, setelah itu orang selama 5 tahun harus terima dengan keputusan itu.
Ini berbeda dengan komunisme. Dalam eksperimen komunisme awal, seperti di Soviet era awal, atau dalam komune-komune seperti yang ada di Paris tahun 1870-an, dicontohkan praktik di mana rakyat bisa secara langsung me-recall pemimpinnya. Ini karena sistem pemerintahannya memungkinkan. Dan komunisme sebetulnya tidak menghendaki adanya satu entitas politik negara diganti dengan komune-komune kecil, atau komunitas. Dan dari segi ekonomi juga ada persoalan pada demokrasi liberal yang ditopang oleh ekonomi kapitalis.
Di teori Marx, kapitalis adalah tentang pengambilan nilai lebih dari kelas pekerja. Jadi di antara tenaga yang dikeluarkan orang untuk menghasilkan produk dengan nilai produk yang dihasilkan itu ada ketimpangan. Ketimpangan – nilai lebih inilah yang diambil oleh pengusaha atau pemodal sebagai cara untuk melipatgandakan modal. Ini nantinya melahirkan eksploitasi. Walaupun secara politik, dalam demokrasi liberal orang bicara tentang kebabasan individu, pada hakikatnya secara ekonomi, orang-orang dirampas haknya, direbut nilai yang sudah dia produksi. Nilai itu diambil-alih menjadi milik pemodal. Orang diberi kebebasan tapi yang terjadi sebenarnya penindasan.
Itu yang dikritik Marx pada masyarakat kontemporer pada zamannya. Saya rasa konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Apalagi dengan krisis kapitalisme yang berkembang sejak tahun 2008, dari Amerika yang merembet ke mana-mana. Ini menunjukkan kapitalisme bukan suatu sistem yang stabil. Konsep ini rawan oleh krisis yang muncul dari dalam. Dan masalah-masalah ini bisa diselesaikan lewat sosialisme yang menjembatani sebelum komunisme. Sosialisme adalah penguasaan seluruh sarana produksi di tangan negara. Negara dalam hal ini berperan sebagai ‘atas nama’ dari seluruh rakyat. Seperti yang dilakukan oleh Soekarno di era 60-an, yang meski sosialisme versinya tidak sama dengan ide sosialisme awal, tapi dia mempraktekkannya. Dan undang-undang pun saat itu mengarah ke sana. Saya mengangkat Marxisme di buku Alain Badiou, karena saya rasa itu relevan dengan zaman sekarang.
H
Sekarang ideologi kiri makin berkembang. Dan bersamaan dengan itu ada kemunculan ideologi kanan. Lalu muncul polarisasi yang cukup kental. Martin melihatnya seperti apa?
M
Di Indonesia ideologi ekstrim kiri dan ekstrim kanan sebenarnya bukan hal yang asing, dari zaman Soeharto dan Orde Baru juga sudah ada. Fenomena yang muncul sekarang ini tidak bisa dikatakan baru. Konteksnya sekarang memang tarikan masing-masing ideologi itu kuat. Karena kita masuk ke era reformasi di mana diskusi tentang ideologi-ideologi tidak lagi tabu. Dulu di era Soeharto diberlakukan asas tunggal Pancasila, sekarang peraturan tentang hal tersebut tidak dicabut, tapi milleu kebebasan yang dibuka oleh reformasi ini bisa membuka ruang diskusi tentang itu. Misalnya penerbitan buku kiri yang banyak sekali muncul di tahun 1999-2000, reformasi membuka peluang seperti itu. Tapi ruang demokratis seperti ini pulalah yang memungkinkan juga penerbitan buku-buku kanan yang ekstrim.
Problem dalam paham kiri ekstrim selalu adalah soal bagaimana untuk menubuhkan gagasan. Gagasan dalam ideologi itu adalah ide yang mengawang-ngawang, dia harus punya badan untuk diwujudkan. Dan untuk punya badan, ia harus bisa melakukan penyesuaian. Di sini kemudian terjadi tarik-menarik dalam internal mereka. Di satu sisi mereka pasti ingin mempertahankan kemurnian doktrin kiri. Tapi di sisi lain mereka punya sisi praktis yang ingin menurunkan ide-ide kiri mereka ke dalam realitas politik yang bisa berlaku. Yang penting di sini adalah langkah mana yang diambil. Saya tidak berani bicara tentang apa yang terjadi di ekstrim kanan karena saya kurang paham. Tapi di kalangan kiri, problemnya yang paling menarik adalah antara kiri radikal yang mengklaim paling benar dan kiri yang mencoba mencari bentuk penubuhan dari ide-ide kiri dalam konteks politik yang ada.
Ditambah dalam konteks belakangan ini, khususnya sejak pemilu 2014, hal itu semakin intens. Ada kemungkinan politik yang dibutakan oleh populisme. Jokowi membawa populisme yang berusaha mendorong kembari nilai-nilai kerakyatan dalam agenda pemerintah. Ini membangkitkan lagi semangat tahun 60-an yang disebut sebagai nasionalisme kerakyatan. Kalau kita melihat dari segi itu, maka sebenarnya konflik yang selama ini ada, bisa dibaca. Yang kiri ekstrim akan mempertahankan dirinya menolak masuk ke dalam pemerintahan, menolak terlibat dalam agenda populisme dengan justifikasi pada semua kitab suci kirinya. Tetapi menurut saya yang jauh lebih menarik adalah eksperimen bagaimana ide-ide kiri itu masuk ke dalam badan, mewujud dalam kenyataan.
Kalaupun harus di-edit, ya di-edit lah doktrin-doktrin itu. Toh, doktrin kiri muncul untuk kebutuhan yang tertentu, dan mereka merespon kebutuhan tertentu pula. Ketika zamannya bergeser, kebutuhannya bergeser juga, maka doktrinnya juga harus bergeser. Ide saya seperti itu. Sekarang kecenderungannya kalau di kalangan kiri, terjadi tarik menarik antara kiri yang merasa radikal dengan kiri yang lain. Saya tidak menyebutnya radikal, karena yang disebut radikal itu artinya mengakar, sementara kiri yang ada di sini hanya berakar pada doktrin, mereka tidak berakar pada kenyataan.
Saya cenderung memilih pada kiri yang mencoba menjelajahi kemungkinan penerapan dari ide-ide kiri ke dalam bentuk kenyataan yang lebih masuk akal, yang bisa diterapkan.
H
Apakah ada hubungannya polarisasi di sini dengan fenomena global di Amerika, dan Eropa misalnya?
M
Kalau di Amerika, tradisi kiri yang ada di sana adalah golongan Anarkisme. Campuran antara tradisi kiri dan anarko. Ini bisa dilihat pada kejadian “Occupy Wall Street” dan semacamnya. Kalau yang ultra kanannya seperti Trump. Di Amerika seperti itu. Saya melihat sekarang ini era di mana ide-ide nasionalis mulai dapat momentum. Di mana-mana. Tidak hanya di Amerika. Di Eropa, katakanlah di Austria, partai ultra-kanan yang hampir fasis nyaris menang dalam pemilu. Di Perancis, di Jerman, ketakutan, kebencian terhadap imigran itu semakin kuat. Sentimen kulit putih itu meningkat dan itu mendorong pada nasionalisme yang chauvinistik. Ide-ide kanan bangkit beriringan dengan bangkitnya ide kiri pasca runtuhnya Soviet.
Sekarang problemnya menurut saya adalah ketika kita melihat hal ini sebagai dialog antara dua orang tuli. Yang ultra kiri tidak akan bertemu obrolannya dengan ultra kanan. Yang bisa menggulirkan perubahan sosial yang kongkrit adalah jika kita menemukan semacam common ground di mana kita bisa menghidupkan kembali tradisi nasionalisme, sembari di dalamnya memajukan agenda kerakyatan. Itulah yang masih absen di beberapa tempat di dunia sekarang. Seperti di Amerika, usaha semacam ini bisa dilihat misalnya dari pencalonan dan dukungan pada Bernie Sanders. Tapi usaha yang lebih sistematis untuk merumuskan common ground itu tidak terlalu banyak.
Diskursus nasionalisme itu perlu diinterfensi. Karena kalau tidak diintervensi oleh pemikiran kiri, dia akan berkembang seperti era Republik Weimar, Jerman tahun ‘30-an akhir menjelang Perang Dunia ke-2. Jerman saat itu sedang dalam kondisi kekacuaan ideologi pasca kalah di Perang Dunia pertama. Di situ ada pertarungan fraksi komunis dan fraksi Nazi yang ultra kanan. Sampai bertarung di jalan, bunuh-bunuhan. Di sana tidak ada usaha, khususnya dari golongan kiri, untuk merebut simpati rakyat yang selama ini telah disusupi ideologi Nazi. Sementara golongan kiri sibuk mempertahankan kemurnian ideologinya. Mereka menolak berbicara soal nasionalisme, karena di kamus orang kiri ekstrim yang tidak bisa diubah pemikirannya, nation itu adalah ilusi yang menutupi realitas pertentangan kelas. Mereka tidak mau mengintervensi dalam diskursus kebangsaan supaya agenda-agenda kerakyatan menang.
Paham nazi lantas menang karena mereka memainkan sentimen nasionalisme yang tidak dilakukan oleh ideologi kiri, karena menolak mereka argumen-argumen nasionalis. Sementara masyarakat semakin gampang diarahkan oleh kaum ultra kanan. Itu bahayanya kalau kita tidak menginterfensi diskursus tentang kebangsaan. Demi menjaga kemurnian ideologi, kita melepaskan begitu saja atau menjual masyarakat pada kelompok yang ultra kanan. Ini artinya, kaum kiri harus dituntut belajar membaca kenyataan. Jangan hanya baca teks-teks yang Marxisme, tapi bacalah juga kenyataan. Itu yang menurut saya kurang di Indonesia, khususnya.
H
Di buku fiksi pertama Martin, “Kiat Sukses Hancur Lebur”, Martin banyak bermain dengan parodi dan satir, apa sebenarnya yang ingin disampaikan melalui buku tersebut?
M
Itu ide awalnya saat awal tahun 2016 ketika di Semarang main ke Gramedia dan saya menemukan hampir sebagian besar buku dijual di sana itu tentang kiat sukses. Entah bisnis, marketing, atau kiat sukses dalam pengertian manajemen atau kemudian buku-buku motivasi, kiat sukses masuk ujian pegawai negeri sipil dan seterusnya, itu banyak sekali di sana. Saya berangkat sebagai orang yang belajar filsafat dan saya merasakan bagaimana filsafat itu tidak punya outlet seperti itu. Bahkan di Gramedia sekarang sudah tidak ada lagi lemari khusus filsafat. Dulu masih ada, tapi sekarang dilebur masuk ke dalam psikologi atau agama. Yang ada sekarang itu buku-buku motivasi dan justru jauh lebih banyak.
Saya sendiri coba baca awalnya. Saya baca, beli satu, lupa terbitan mana. Saat membaca merasa aneh, kok orang ini percaya sekali dengan yang ia tulis seolah-olah itu pasti benar. Darisitulah saya mencoba menulis secara spontan dengan sekaligus meniru buku-buku kiat sukses itu, yang kemudian saya tempatkan ke dalam dunia cerita yang sebenarnya bermula dari sejarah sastra Indonesia. Jadi tokoh-tokoh utama, naratornya, seorang sastrawan di era 90-an akhir. Di situ saya ingin bercerita tentang sastra Indonesia melalui medium dunia pop sekarang, seperti buku kiat sukses untuk menarasikan kekacauan psikologis tokoh ini.
Jadi ceritanya itu Anto Labil mengalami polemik sastra di era 90-an. Ia mengalami pengalaman melawan Soeharto. Di mana saat itu sastrawan ikut terlibat. Tapi setelah reformasi bubar, kenyataan politik tidak banyak berubah. Di situlah terjadi proses yang dalam tradisi kiri disebut sebagai demoralisasi. Dan Anto Labil adalah bagian dari tradisi itu, sastrawan yang terlibat dengan organisasi kiri semacam JAKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat). Di situ saya ingin bercerita mengenai proses demoralisasi Anto Labil di mana dia kehilangan orientasi di dalam dunia reformasi. Dulu waktu era Soeharto lawannya jelas Soeharto. Sekarang lawannya siapa, tidak terlalu jelas.
Itu yang kemudian saya coba tengahkan dengan dilema batin melalui model narasi yang memanfaatkan gaya kiat sukses itu. Jadi itu sebenarnya narasi yang saat awal saya rancang berlapis. Di permukaan sepertinya ngomong ngaco, melantur, atau banyolan lucu-lucuan, plesetan dan seterusnya, tapi dibalik itu ada problem psikologis si Anto Labil. Problem psikologis itu memang tidak langsung terbaca ketika pembaca membaca buku itu karena saat sekilas tidak muncul. Tapi kalau itu dibaca lagi, dibaca ulang, dan diperhatikan detailnya baru akan kelihatan problem psikologis dari si tokoh ini. Memang tidak ada jalan cerita. Jalan cerita itu mood si Anto Labil.
H
Berarti apakah di sana ada pesan implisit atau kritik terhadap Sastra Indonesia?
M
Ya, selain kritik terhadap gaya penulisan ala kiat sukses, juga terhadap sastra Indonesia. Saya pikir sebenarnya ini hal yang sudah sejak lama terjadi, tapi belakangan ini cukup dominan tradisi penulisan ala lirisisme yang berawal dari gaya puisi. Yang dimaksud lirik itu puisi yang mengolah unsur-unsur subjektif tentang keindahan yang personal, individual, biasanya cenderung apolitis. Bisa jadi ia politis, tetapi politis di situ berangkat dari psikologi yang subjektif. Itu kecenderungan perpuisian yang berkembang sejak lama. Bahkan sejak awal Kesastraan Indonesia Modern menurut versi H.B. Jassin, sejak Balai Pustaka, sejak Pujangga Baru.
Di Amir Hamzah, kita merasakan lirisisme, Chairil Anwar, Sapardi, Gunawan Mohamad, dan terus berlanjut sampai sekarang. Dalam puisi katakanlah Aan Mansyur, itu lirisisme yang berkembang. Dan ini juga bukan hanya di puisi, tapi juga di prosa. Misalnya dalam prosa adalah dalam bentuk-bentuk narasi seperti Ayu Utami, Laksmi Pamuntjak. Kalau kita perhatikan cara narasinya, itu adalah cara narasi yang mirip atau meniru puisi lirik. Sensibilitasnya melodramatis, mendayu-dayu. Cara menggunakan bahasa yang liris seperti itu yang membuat saya merasa jengah, bahwa apakah memang sudah tidak ada cara lain dalam menulis?
Dari situlah saya berangkat bereksperimen dengan gaya bahasa lain di “Kiat Sukses Hancur Lebur”. Saya tidak merasa itu sebagai suatu hal yang sepenuhnya baru. Dalam tradisi Indonesia sendiri yang melawan lirisisme sudah banyak. Sutardji waktu bikin puisi, awalnya ia menolak lirik. Dia membangun suatu bentuk pengucapan puisi yang sama sekali berbeda, lebih mirip mantra. Tapi toh belakangan dia kembali ke gaya lirik lagi kalau melihat puisi-puisi setelah itu. Afrizal menolak lirik, puisi awalnya memang bernuansa seperti karya Chairil Anwar. Tapi saat masuk tahun 90-an ia masuk ke dalam masalah-masalah kehidupan perubahan yang kompleks, dan di situ dia berusaha meninggalkan tradisi lirik, meski itu tidak sepenuhnya terjadi. Dimensi lirik masih bisa kita rasakan di dalam puisi-puisi Afrizal kemudian, bahkan sampai sekarang. Lalu kalau kita melihat puisi-puisi mbeling tahun ‘70-an kan itu menolak lirisisme, tapi itu berhenti sebagai eksperimen banyolan yang singkat dan belum sempat membawa alternatif. Puisi mbeling secara spiritual secara psikologis kurang dalam, kurang tebal, terlalu encer. Tidak ada kedalaman politik atau sikap sosial tertentu.
Dalam novel “Kiat Sukses Hancur Lebur” saya mencoba menerabas konsep dengan mengangkat gaya anti-lirik, namun masih membawa unsur-unsur psikologis, unsur-unsur politik, sembari juga mengaburkan batas epik dan lirik. Dalam sastra pertentangannya antara kedua itu. Epik biasanya dalam bentuk klasik adalah cerita kepahlawanan. Contohnya di epos Wiracarita, Mahabharata, Ramayana, di Barat ada Hommer, “Illiad of Odyssesy”, selalu tentang perlawanan dan kolosal. Itulah epik. Lirik selalu individual, semisal jeritan batin atau curahan hati, seperti itu. Dalam “Kiat Sukses Hancur Lebur” saya mencoba membuang batasan yang ada. Yakni menempatkan lirik dalam semesta epik. Individu ditempatkan kembali dalam konteks sosialnya. Bentuknya tidak sepenuhnya rapi, tidak seperti epik klasik. Yang mau saya tulis di Kiat Sukses itu lebih ke epik modern. Epik yang dialami Manusia Indonesia di awal abad ke-21. Saya terpengaruh “Westland” dari T. S. Eliott. Di situ ada unsur epik dalam puisi lirik. Ini ia pakai untuk menggambarkan kekacauan di Eropa pasca Perang Dunia pertama. Ada semangat serupa itu. Kurang lebih itu yang saya coba sampaikan sebagai perlawanan atau kritik terhadap Sastra Indonesia.
H
Kalau menurut Martin di dalam kesusastraan Indonesia kontemporer siapa orang lain yang keluar dari pakem lirik?
M
Kalau dalam sastra Indonesia yang keluar dari lirik, Beni Satryo. Dia banyak mengoptimalkan gaya santai yang sebenarnya sudah ada di Joko Pinurbo, ke ke tingkat profanitas yang lebih tinggi. Kalau dalam Joko Pinurbo kita masih menemukan suasana perenungan liris, di karya Beni Satryo itu ditemukan realitas konflik, masalah bokek, masalah yang konkret di manusia sekarang dalam bentuk rancu antara ini bercanda atau ini sedang sedih, kita tidak tahu jelas. Ini mungkin terobosan yang dilakukan oleh Beni. Di dalam prosa, hal seperti ini sudah dilakukan oleh Yusi Avianto, AS Laksana yang mencoba menulis tanpa mengandalkan bahasa lirik. Mereka menulis secara kasual, secara santai. Ibarat sepatu, cerpen-cerpen Yusi sama AS Laksana itu sepatu Converse. Jadi sifatnya santai, tidak terlalu melodramatis, justru menghindarinya. Cenderung fokus pada kekuatan plot. Mereka mencoba membangun perbedaan antara prosa dan puisi. Bahwa keduanya punya logika yang berbeda. Sebelumnya, kita melihat sejak “Saman”, banyak novel kemudian didorong oleh suasana puisi, oleh suasana lirik. Sementara di AS Laksana dan Yusi, prosa mereka didorong oleh kekuatan plot, kebutuhan alur, serta penokohan. Pilihan kata, pilihan dialog, itu ditentukan sepenuhnya dari situ. Dan di situ unsur humor kuat sekali muncul.
Berbeda dengan tradisi lirik. Unsurnya meditatif; termenung, muram, sendu, suasana galau. Kalau dalam cerpen AS Laksana dan Yusi, cenderung riang. Kalaupun ada yang sedih, ada humor di sana sini. Belakangan gaya seperti itu berkembang di penulis yang lebih muda seperti Dea Anugrah. Dea menulis puisi dalam gaya yang menggabungkan antara puisi Gunawan Mohamad dan Subagio Sastrowardoyo, liris. Tapi kalau dia menulis prosa, sama sekali tidak seperti itu. Saya justru melihat prosa Dea lebih meneruskan tradisi kayak bercerita yang santai. Dan juga Sabda Armandio, dalam prosa gayanya lebih santai. Saya sendiri merasa bahwa saya banyak terpengaruh dari Yusi dan AS Laksana. Lebih casual dan tidak terlalu ribet dengan puisi di dalam novel atau dalam prosa. Di satu sisi dari Yusi dan AS Laksana, tapi di sisi lain juga pengaruhnya datang dari Afrizal yang mencoba masuk ke dalam kepelikan manusia urban. Mungkin Yusi atau AS Laksana akan merasa aneh kalau mereka disamakan dengan Afrizal, tapi maksud saya bukan menyamakan, lebih dalam artian, dari gaya mereka ada hal yang bisa kita petik.
H
Selain filsafat atau sastra, Martin juga cukup sering menulis tentang seni. Bagaimana kondisi kesenian lokal dari sudut pandang Martin?
M
Seni rupa boleh dikatakan cabang seni yang paling mewah di antara cabang seni di Indonesia maupun di dunia. Seorang perupa kalau ia bisa pameran reguler di tempat yang pas, dengan publikasi yang pas, dia bisa mendapatkan penghasilan yang lebuh dari cukup untuk bisa menghidupi dirinya hingga tujuh turunan. Sementara kalau sastrawan, penyair, bahkan mereka yang kelas paling terkenal sekalipun, belum tentu bisa mencukupi hidupnya sampai 5 tahun ke depan. Itu kenyataan yang menurut saya merupakan ketimpangan sosial yang nyata antara seni rupa dengan cabang yang lain.
Tapi ini memang karena seni rupa kita atau di tempat lain di dunia memang sudah terintegrasi ke pasar. Ujung pangkalnya itu ada di pasar. Sejak kita meluncurkan karya, pameran, sudah langsung ada mekanisme pasar yang akan memberi harga. Tidak semuanya tentu, ada juga yang apes. Tapi mekanisme pasar seni rupa sudah jauh lebih siap dalam merespon, menerima, dan menerjemahkannya dalam hitungan nominal berapa harga karya seni – di dalamnya kadang terjadi kongkalikong antara kolektor sendiri untuk menggoreng harga. Praktek seperti itu sudah lazim dalam seni rupa kita. Jadi kalau ditanyakan perkembangan seni rupa kita sekarang, saya sendiri tidak terlalu punya harapan besar di seni rupa mainstream, karena terasa akan berputar dari pasar ke pasar.
Saya justru tertarik dari praktek-praktek seni yang tidak bisa atau sulit dinominalkan, seperti dalam konteks praktek partisipatoris. Saya belakangan banyak menulis soal ini, karena ini kejadian yang menarik dari segi estetika. Dalam praktek seni rupa partisipatoris misal saat tahun 80-an oleh Mulyono, hingga Kolektif Jatiwangi Art Factory juga dilakukan oleh Ruang Rupa dalam format lebih kecil, saya melihat justru hal-hal seperti inilah yang menarik. Karena kita tidak lagi bicara benda, artefak seni. Selama kita bicara artefak seni, kita akan bicara tentang pasar, tentang penjualan barang itu dan seterusnya. Kalau kita bicara relasi sosial, kita akan sulit menghargai itu dalam bentuk uang.
Pasar pun akan kesulitan untuk mengapropriasi karya-karya para perupa yang sifatnya partisipatoris. Kalaupun mereka memamerkan barang, yang mereka pamerkan itu dokumentasi karya bukan barangnya. Karena barangnya bagi mereka adalah kenyataan sosial yang mereka ciptakan, yang mereka berhasil temukan bersama warga. Peran seniman di situ bergeser bukan lagi sebagai pencipta, tetapi sebagai organizer yang memfasilitasi diskusi adanya kejadian itu. Di situ justru eksperimen paling baru dimungkinkan dari sana. Dan dari segi estetika dan pemikiran ini jauh lebih menantang. Misalkan tentang apa peran seniman sekarang? Bukan sebagai pencipta, tapi sebagai organizer, ini memiliki implikasi yang sangat berbeda. Kita dulu menilai baik buruknya karya dari bakat artistik, warna, ritme, garis dan seterusnya. Sekarang tidak. Itu yang memungkinkan indikator-indikator lain untuk berperan untuk evaluasi karya. Dan itu tantangan besar bagi diskusi estetika kita.
Kita tidak berhenti pada keindahan yang luhur seperti jaman 70-an atau 60-an. Sekarang kita membicarakan berbagai hal yang terkait, antara seni dan masyarakat, seni dan politik, masalah-masalah sosial, kebebasan, penindasan, dan seterusnya. Di situ semuanya akan terjalin dan menurut saya hal seperti itu memicu banyak pemikiran baru dari segi estetika. Inilah tantangannya.
Tapi ini bukan hanya di seni rupa, di arsitektur pun seperti itu. Di Jakarta dan Bandung ada Architecture Sans Frontieres yang melakukan inisiatif kerja arsitektur bersama warga, ini menarik. Mereka membangun desain bersama warga. Tak ada elitisme posisi seniman. Pola kerjanya jadi bersama-sama, bukan lagi penciptaan individual seniman di ruang yang sunyi, tapi jadi hasil gotong royong. Itu yang menurut saya membuka kemungkinan baru.
H
Apa rencana Martin di masa yang akan datang?
M
Buku Sejarah Pemikiran Politik mungkin akan terbit jilid keduanya. Selain itu saya juga sedang menyiapkan sequel dari Kiat Sukses Hancur Lebur itu kan rencananya ada dari bentuk tetralogi. Jilid pertamanya sekarang dan 2,3,4 akan terbit nanti dalam 10 tahun ke depan (tertawa).