Dunia Alternatif bersama Andina Dwifatma
Febrina Anindita (F) berbincang dengan Andina Dwifatma (A).
F
Bagaimana awal mula Anda mengenal sastra?
A
Saya membaca sastra dari SD, kalau tidak salah. Tentu saja dulu ada pelajaran Bahasa Indonesia, tapi itu justru bukan hal pertama yang menarik perhatian saya. Justru buku-buku cerita yang termasuk dalam kategori budaya populer, seperti Lima Sekawan, Donal Bebek, Asterix & Obelix, Richie Rich. Itulah hal pertama yang membuat saya suka membaca.
Lalu orang tua saya punya kebiasaan untuk membawa anak-anaknya ke toko buku tiap 2 minggu. Dulu karena saya sudah bisa membaca sebelum mulai TK, jadi saya cepat sekali membaca dan buku anak-anak itu cepat sekali dibacanya. Jadi, saya kadang merasa rugi karena pagi hari saya dibelikan buku, tapi sore hari sudah selesai. Akhirnya saya berekspansi ke buku-buku orang dewasa – dulu menurut saya buku-buku orang dewasa adalah buku yang tidak memiliki gambar. Lalu secara tidak sengaja saya membaca 2 buku yang saya temukan di toko buku, yakni Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma dan Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Dua buku itu yang kemudian berperan besar dalam membangun kesukaan saya dengan sastra.
F
Itu kelas berapa?
A
SD kalau tidak salah, tapi saya lupa kelas berapa.
F
Masih SD sudah membaca Atheis?
A
Nyasar di toko buku, saya tidak tahu (tertawa). Karena dulu, saya kan suka cerita detektif, seperti “Lima Sekawan” dan sebagainya…
F
Oh, memang dulu tidak dibatasi oleh orang tua untuk membaca apapun ya?
A
Tidak. Ibu saya kebetulan suka membaca, tapi profesi beliau adalah dokter, jadi tidak terlalu mengerti buku-buku non kedokteran. Jadi, percaya saja dengan apa yang dibaca oleh saya – anak kecil.
Dulu, sampul buku Atheis berwarna hijau dengan darah-darah. Saya tidak tahu Atheis itu apa, tapi saya dulu suka membaca Goosebumps dan buku itu juga memiliki sampul serupa, jadi saya pikir sejenis. Ternyata, bukunya seperti itu..
Sebenarnya untuk pikiran anak SD kurang bisa mencerna, tapi efeknya – perasaan saya setelah membaca itu mampu membuat saya larut dengan bukunya. Walau secara kognitif tidak begitu mengerti. Tapi kedua buku itu yang memorable untuk saya.
Kemudian saya suka membaca dan mulai menulis cerita. Saya memulai dari cerita pendek dulu, karena nafas saya agak pendek – ibarat lari itu seperti short sprint. Lalu tahun 2008 atau 2009 saya ikut Bengkel Penulisan Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan untuk pertama kalinya saya ditantang oleh mentor-mentor di situ untuk mulai membaca karya-karya sastra dunia. Awalnya saya tidak percaya diri membaca buku dengan Bahasa Inggris karena vocab saya terbatas dan dari segi grammar juga kurang lancar. Tapi kemudian mencoba dan saya ketagihan.
Satu lagi buku yang memorable buat saya adalah “The Outsider” karya Albert Camus. Itulah yang membuat saya mulai menulis novel pertama saya.
F
Apa yang mendorong Anda untuk mulai menulis?
A
Kehabisan bahan bacaan. Saya dibesarkan dengan komik dan buku-buku cerita budaya pop. saya baca apapun, bahkan saya dulu punya box set “Kung Fu Boy” dan saya tekun membaca karena saya suka ceritanya, makanya cepat habis. Sehingga kemudian saya kekurangan bahan bacaan dan ibu saya tidak tiap hari membelikan saya buku. Jadi saya pikir, saya mau buat sendiri untuk dibaca-baca sendiri.
F
Sempat aktif sebagai jurnalis di Majalah Fortune dan Suara Merdeka, apa yang membuat Anda menulis fiksi?
A
Kalau di Suara Merdeka saya menulis kolom tiap 2 minggu tentang kajian media, karena latar belakang pendidikan saya di komunikasi, jadi saya mengomentari iklan, film, acara televisi, sinetron, talkshow dan lain sebagainya.
Ketika jadi wartawan memang keinginan saya. Malah saya awalnya belum pernah bercita-cita menjadi pengarang. Yang ada di pikiran saya adalah pekerjaan yang saya suka dan kira-kira bisa menghasilkan uang adalah jurnalis, karena dulu mungkin saya kebanyakan membaca komik Tintin. Dulu saya melihat jurnalistik di komik itu bagus dan keren pekerjaannya, walaupun Tintin di ceritanya tidak pernah kena deadline dan transkrip wawancara ya (tertawa). Sepertinya Tintin melakukan penipuan terhadap anak-anak (tertawa).
Dan novel pertama saya juga saya kerjakan sembari menjadi jurnalis sih. Jadi, buat saya bukan career switching dari jurnalistik ke novelis. Simultan saja semuanya. Saya tertarik dengan jurnalistik maupun fiksi.
F
Sebelum mengikuti Sayembara Buku DKJ 2012, Anda ikut andil dalam penulisan novel Lenka di bawah supervisi A.S Laksana dan Yusi Avianto Pareanom ketika mengikuti Bengkel Penulisan Novel DKJ. Apa yang dipelajari dari dua tokoh tersebut?
A
Pertama-tama yang menurut saya keren sekali adalah mereka membukakan cakrawala portofolio bacaan kepada saya. Kalau tidak ikut Bengkel Penulisan Novel, saya mungkin tidak akan seberani itu untuk membaca serangkaian luas novel-novel berbahasa Inggris, karena sebelum ikut Bengkel Penulisan Novel saya selalu membaca novel terjemahan. Jadi, ibarat sebuah karya kalau belum ada terjemahannya, ya saya tidak baca. Tapi karena saat ikut Bengkel Penulisan Novel, saya dan yang lain banyak dapat penugasan dari karya-karya besar itu, ya mau tidak mau saya harus baca. Lalu lama-kelamaan saya jadi enjoy dan akhirnya sampai sekarang tidak ada masalah untuk membaca buku-buku berbahasa Inggris.
F
Apakah dari masa penulisan novel Lenka, Anda mulai mengeksplorasi surrealisme yang kemudian diterapkan dalam novel Anda, Semusim, dan Semusim Lagi?
A
Tidak. Niat awal Mas Yusi dan Mas Sulak (A.S Laksana) waktu mengumpulkan kami untuk membuat novel Lenka adalah have fun saja. Jadi tiap orang dalam Bengkel Penulisan Novel saat itu punya kelebihan masing-masing dalam gaya-gaya tertentu. Jadi dalam penulisan novel ini, semuanya bisa berkontribusi dalam menulis dengan gaya penulisan masing-masing. Jadi tidak ada pembagian eksplorasi, seperti seksualitas, rasa sakit dan sebagainya. Kami keluarkan kemampuan masing-masing saja.
F
Bagaimana proses kreatifnya?
A
Pakai mailing list (tertawa). Jadi kami ada satu grup untuk saling membantai bab. Jadi nanti ada yang submit draft bab ke mailing list, lalu ada yang merespon atau memberi koreksi. Karena kesulitan dalam penulisan novel ini adalah semua orang mendapat jatah untuk tiap bab. Dalam bab itu kami harus membahas tokoh yang sama, tapi kadang tokoh di bab 1 dan di bab berikutnya berbeda, jadi kami harus saling mensinkronisasikan karakteristiknya.
Dulu ada satu metode yang dipakai untuk mengakrabkan diri dengan karakter dalam novel adalah mewawancara sang tokoh. Jadi dulu saya dan Yuki Anggia Putri – salah satu penulis yang tergabung dalam penulisan Lenka – membuat wawancara dengan Helong (salah satu tokoh dalam Lenka) dan menjawabnya sendiri sebagai Helong (tertawa).
F
Anda mengikuti Sayembara Buku DKJ 2012 dengan draft Semusim, dan Semusim Lagi. Apa yang membuat Anda menulis cerita dengan gaya penulisan yang begitu eksploratif?
A
Apa ya (tertawa). Sebetulnya, Lenka itu lahir karena angkatan Bengkel Penulisan Novel kami tidak ada yang selesai penulisan novelnya. Jadi, niat mulia DKJ itu membuat kelas/workshop ini agar novel yang kami buat bisa selesai. Tapi akhirnya tidak ada yang selesai novelnya, akhirnya kami buat proyek novel ramai-ramai (tertawa).
Tapi draft novel saya masih saya simpan, ada 2 draft sebenarnya, pertama novel sejarah, tapi saya tinggal dulu karena bahannya agak susah dicari. Kedua adalah Semusim, dan Semusim Lagi yang masih nyaman tersimpan di laptop saya. Sehingga saya bilang kepada diri saya sendiri kalau novel ini harus diselesaikan bagaimanapun caranya, karena karya yang baik adalah karya yang selesai. Akhirnya saya mencoba untuk menyelesaikan novel tersebut dan kemudian saya menemukan satu hal bahwa ketika menulis novel, kita sendiri harus menikmati proses menulisnya.
Bagaimana caranya bisa menikmati proses menulis? Saya orangnya gampang bosan, jadi saya eksplorasi. Memulai suatu bab dengan sesuatu dan mengakhirinya dengan hal lain, lalu memasukkan fakta-fakta sejarah dan sebagainya. Jadi saya menulis se-eksploratif mungkin supaya saya sendiri menikmati ketika mengerjakannya. Begitu novel itu selesai memang cukup variatif hasilnya, mulai dari gaya bahasa sampai narasinya.
F
Premis apa yang ingin Anda sampaikan lewat novel Semusim, dan Semusim Lagi?
A
Saya mau meyampaikan bahwa bahwa dalam suasana penuh keterasingan pun, manusia tetap memiliki dirinya sendiri.
F
Banyak terinspirasi oleh novel Albert Camus ya, fase eksistensial?
A
Ya benar (tertawa). Novel ini sendiri perjalanannya panjang. Draft-nya saja mulai dibuat ketika saya baru lulus kuliah. Masa itu kan masa-masa galau, fase coming-of-age begitu (tertawa). Saya percaya tiap orang mau berpikir pasti melewati fase seperti itu. Orang yang tidak asal menuruti kehidupan ini. Orang yang bertanya-tanya pasti melewati fase coming-of-age itu.
Selain itu, saya juga bumbui naskah novel ini dengan berbagai eksplorasi gaya dengan sedikit twist di beberapa bagian. Saya juga terpengaruh dengan realisme magis. Saya campur jadi satu, ibarat membuat nasi goreng lah (tertawa). Kemudian jadilah naskah Semusim, dan Semusim Lagi.
F
Apakah lewat fiksi Anda bisa mengkomunikasikan premis tersebut, dan mampu meyakinkan pembaca akan konsep realita alternatif?
A
Apakah premisnya tersampaikan atau tidak, tentunya ditanyakan ke pembaca ya, apa kesan yang didapat setelah membaca novel saya. Tapi kalau dari saya sendiri, sebetulnya saya ingin memberikan alternatif pemikiran, bahwa kalau orang dalam keadaan sukacita, ia bahagia. Kalau orang dalam keadaan duka cita, ia bersedih. Tapi, orang bisa dalam keadaan paling susah sekalipun dalam kehidupannya, ia tetap bisa menemukan satu hal yang membahagiakannya.
F
Dengan metode komunikasi yang tepat, seseorang dapat meraih konklusi berdasarkan logika yang mereka dapat dari bacaan. Berdasarkan hal tersebut, seberapa besar peran komunikasi dalam meyakinkan diskursus dalam fiksi?
A
Saya sangat percaya dengan kekuatan cerita. Fiksi jauh lebih powerful daripada apapun. Salah satu guru saya pernah bilang ke saya, kalau kamu bilang ke anak kecil agar jangan durhaka dengan orang tua, 5 menit kemudian ia akan segera lupa. Tapi kalau kami menceritakan Malin Kundang, sampai besar ia akan ingat.
Jadi, orang lebih mudah untuk dituntun mengetahui atau meyakini sebuah nilai melalui cerita – fiksi.
F
Apakah hal ini terpaku dengan budaya Indonesia saja?
A
Tidak. Hal ini universal. Karena dalam fiksi ada ketegangan-ketegangan dan kebaruan-kebaruan. Hal itu yang membuat orang jadi memperhatikan.
Ibaratnya kalau kita perhatikan iklan di TV atau pop-up ads di YouTube sekarang, pasti semuanya menggunakan kisah storytelling, jadi tidak direct. Orang lebih mudah menyerap segala sesuatu jika disampaikan melalui sudut pandang cerita.
F
Ketika era digital menggeser idealisme komunikasi dengan info parsial, bagaimana Anda melihat posisi tulisan fiksi di era tersebut?
A
Sebetulnya kalau konsep digital dalam buku, perubahannya lebih ke format. Isunya tidak serumit di media cetak atau jurnalistik. Kalau di jurnalistik, hal ini menjadi polemik yang panjang, karena semua orang bertanya-tanya jurnalisme digital ini makhluk apa dan bagaimana caranya beradaptasi. Kalau di buku, saya pikir convert ke digital berarti orang mulai membeli ke e-book, bukan buku cetak lagi. Sepanjang orang bisa didorong untuk berubah membeli e-book, penerbit tidak terlalu ada isu, begitupun untuk penulisnya. Cuma saya kurang tahu untuk teknis mengenai royalti dengan adanya digitalisme dalam penerbitan.
F
Kala era digital merambah tulisan fisik, pada tahun 2014 Anda bersama Seno Gumira Ajidarma dan kawan-kawan membuat sebuah blog bernama Pana Journal. Apa latar belakang dibalik inisiatif ini apakah terkait dengan isu tersebut?
A
Ada ya sedikit. Jadi sebetulnya saya, Seno, 2 rekan saya Patrick dan Angga menyukai tulisan longform. Latar belakang kami dari Majalah Fortune biasa mambuat feature yang terdiri dari 8 halaman. Jadi, kami terbiasa menulis produk jurnalistik yang menurut kami keren, yaitu longform – kalau menurut istilah kantor dulu itu jurnalisme sastrawi.
Tapi, dengan booming-nya era jurnalisme digital, tentu saja sangat sulit untuk mengaplikasikan hal tersebut. Media cetak menurun performanya, sedangkan media online penuh dengan berita yang sepenggal-sepenggal. Lalu, kami mencoba menyatukan produk jurnalistik longform di website. Apakah orang mau membaca tulisan panjang di komputer atau smartphone masing-masing? Ternyata sampai sekarang statistiknya bagus.
F
Melihat banyaknya kanal serupa yang bermunculan, apakah wadah ini bisa menjadi prasyarat untuk mendorong tingkat literasi serta fiksi sastra di Indonesia?
A
Itu cita-cita besarnya. Dulu waktu kami membuat Pana Journal juga berandai-andai semoga Pana Journal sebagai sarana untuk menaikkan literasi. Satu hal yang membuat kami cukup senang adalah sejak awal hingga saat ini, banyak yang berkontribusi dari berbagai daerah di Indonesia. Ini berarti kami tidak sendiri, karena banyak yang menyukai format jurnalisme longform dan tulisannya bagus. Mereka mampu menemukan hal menarik di daerah masing-masing dan mengeksplorasinya. Ada yang dari Yogyakarta, Aceh, Semarang hingga Sulawesi.
F
Apakah pengaruh tingkat literasi di sini terpengaruh karena terbiasa mengkonsumsi tulisan parsial? Apakah orang jadi kurang suka baca karena format jurnalisme longform memiliki tingkat kejenuhan yang cukup tinggi untuk dikonsumsi melalui smartphone?
A
Menurut saya, budaya smartphone ini punya sumbangsih yang sangat besar terhadap tingkat kesukaan membaca di Indonesia dan di dunia juga. Ada penelitian yang membuktikan kalau dengan smartphone, attention span orang jadi menurun. Artinya kita jadi tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca buku atau artikel panjang karena terbiasa membaca dengan word count sedikit. Lalu media besar seperti Time, New York Times, Wall Street Journal juga menyesuaikan dengan memendekkan artikel. Lalu muncul juga infografis sebagai pengganti artikel.
Jadi, menyesuaikan dengan pembaca yang semakin pendek kemampuan memperhatikannya. Lewat adanya blog longform, saya pikir bisa menjadi alternatif, bahwa orang bisa membaca artikel dengan format longform di komputer atau smartphone asalkan bacaannya menarik.
F
Apa proyek yang sedang Anda kerjakan?
A
Menyiapkan novel kedua, tapi sudah tertunda cukup lama karena waktu itu saya menyiapkan tesis, lalu hamil dan melahirkan (tertawa). Jadi sekarang sedang disiapkan. Selain itu saya mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Katolik Atma Jaya, lalu mengurus Pana Journal dan mengurus anak (tertawa).
Saya ada keinginan untuk membuat klub baca buku yang terinspirasi dari artikel di Pana Journal yang ditulis oleh kontributor asal Semarang. Jadi di beberapa daerah di Semarang, Kendal dan Banten ada klub baca yang anggotanya terdiri dari anak kecil. Mereka berkumpul untuk membaca karya sastra dunia, seperti The Old Man and the Sea, Multatuli, Ronggeng Dukuh Paruk. Satu buku dibaca oleh 5-6 orang, lalu mereka menuturkan kembali bacaannya berdasarkan bahasa mereka dan membahasnya – dan itu merupakan klub buku rumahan. Mereka datang sendiri, saling mengobrol, berbagi permen, jalan-jalan sambil membaca buku. Menurut saya itu konsep yang bagus dan kalau bisa kita terapkan di sini bersama teman-teman sepermainan kita akan menyenangkan.