We Discuss: Yang Tidak Dibicarakan Saat Membicarakan Tentang Kesetaraan
Transkrip dari podcast We Discuss tentang kesetaraan melalui perspektif teman-teman difabel
Words by Emma Primastiwi
Teks: Novila Nuramalia
Halo semuanya, selamat datang di acara We Discuss. We Discuss ini adalah salah satu program podcast dari East Kemang Radio di Whiteboard Journal. Perkenalkan nama aku Emma, Editor di Whiteboard Journal, dan bagi yang belum tahu kita di sini sebagai bagian dari roadshow perilisan buku Whiteboard Journal open column yang bertema kesetaraan dan keragaman. Tapi pada hari ini, kita akan fokus ke diskusi tentang kesetaraan.
Mungkin sekarang yang otomatis muncul di kepala kalau ngomongin topik kesetaraan itu lebih ke gender equality, equal pay atau racial equality, semua itu sebenarnya penting, tetapi cakupan kesetaraan itu sangatlah luas dan juga kompleks, that’s why pada hari ini kita bekerja sama dengan Dia.Lo.Gue Art Space untuk ngobrol dan juga belajar tentang kesetaraan dari sisi teman-teman difabel.
Untuk mendapat insight-insight tersebut, kita sudah kedatangan tamu-tamu spesial, ada Blindman Jack atau mas Jack, seorang Stand Up Comedian tunanetra yang aktif meningkatkan kesadaran isu-isu disabilitas lewat channel YouTube, Facebook dan of course komedinya. Lalu ada Hana Madness seorang visual artis dan aktivis kesehatan mental yang menceritakan perjalanan mentalnya melalui karya visualnya yang very colorful. Lalu ada Hasna Mufida, seorang pegiat seni dan penari yang telah tampil dalam film pendek “Toko Musik” juga video klip lagu “Warna-Warna” oleh Andien. Next ada Siti Rodiah, seorang wakil ketua organisasi Gerkatin Kepemudaan Indonesia, juga pengajar bahasa isyarat dan barista di cafe Sunyi Fatmawati. Dan kita juga kedatangan juru bicara yaitu mbak Ephi, dan mbak Inan dari Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat. Thank you so much for coming, tepuk tangan dulu buat orang-orang yang sudah datang hari ini.
Seperti judul kita, basicly hari ini aku mau ngomongin kesetaraan dari mata teman-teman difabel, jadi aku mau langsung mulai saja pertanyaan untuk teman-teman dan bisa dijawab masing-masing.
Emma: Bagaimana kalian menghadapi kondisi masing-masing, boleh diceritakan?
Jack: Seperti yang tadi dikatakan, saya seorang tunanetra dan saya terlahir dengan mata yang rabun, ketika lahir, penglihatan saya sudah tidak seperti orang pada umumnya dan saya tidak sadar, ketika umur 10 tahun baru kerasa, “ini kok ngeliat papan tulis susah” dan lain sebagainya. Hingga akhirnya dibawa ke beberapa dokter mata akhirnya saya divonis bakal mengalami kebutaan ketika dewasa nanti, jadi itungannya saya dapat masa percobaan dulu untuk jadi tunanetra gitu kan, nyoba-nyoba dulu tapi gak bisa muter balik gitu, jadi tetap maju aja terus gitu. Awalnya sih memang berat, terutama dulu di masa-masa remaja itu lagi burem-buremnya. Jadi anak-anak cowok yang lain pada bawa motor jalan-jalan jemput cewek, kalau saya cuma bawa perasaan doang. Akhirnya kesulitan juga untuk bergaul dengan teman-teman yang lain karena saya di satu sisi malu juga untuk ngakuin misalnya “eh tolongin gue dong gue kan burem matanya”, sementara yang lain lagi asik-asiknya lagi keren-kerennya, sedangkan gue mesti ngakuin kalau mata gue ini mulai burem dan tambah parah, jadi sempat terkucilkan juga sama temen-temen yang gak ngerti, tapi perlahan-lahan ketika saya sudah mulai kuliah dulu, orang tua saya mencoba untuk mencari jalan keluar, karena dulu pas orang tua mikir “ini anak bakal buta,” dan cari pengobatan ke dokter A, B, C, gak bisa lalu dukun pun gak bisa, sampe dulu ibu saya punya buku daftar alamat-alamat alternatif kalau mungkin bisa di terbitkan di Gramedia lumayan tuh, dan kebetulan yang tunanetra di keluarga itu ada saya dan kakak saya nomor 2, kami tiga bersaudara. Nah, tapi lama-lama pencarian orang tua saya itu membawa kepada organisasi disabilitas, jadi ternyata kita baru tau bahwa di Indonesia ada organisasi untuk penyandang disabilitas, ada Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu di Indonesia), dan HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), yang mana kantornya dekat dari rumah. Hingga pada akhirnya saya dulu aktif di situ (HWDI) jadi volunteer, karena ternyata mereka banyak kegiatannya, di situ akhirnya saya ketemu dengan beberapa perempuan tunanetra yang menurut saya mereka survive, sementara waktu itu saya berfikir untuk berhenti kuliah aja karena kalau selesai paling udahnya jadi tukang pijat, atau tukang ngamen, jadi mikir buat apa kuliah? Sampe ternyata saya ketemu sama perempuan tunanetra S2, dan saya nanya, “kenapa kamu sekolah tinggi-tinggi?” dia bilang, “kesempatan itu masih banyak,” disitu saya mikir, “oke, stop wasting my time”, mencoba untuk jadi lebih baik, saya akhirnya mulai belajar pake tongkat, belajar komputer bicara, belajar braille juga, dan akhirnya bisa selesai kuliah. Waktu itu nilainya pas-pasan karena ¾ masa kuliah saya itu ogah-ogahan, semangatnya baru terakhir, gak akan kekejar juga untuk dapetin nilainya, sementara sudah masuk ke semester 10 waktu itu, jadi yaudah lah, yang penting lulus aja waktu itu, kasian soalnya orang tua. Setelah dari itu saya mulai bekerja, ketika bekerja ini, saya berusaha untuk memperkenalkan diri lebih luas lagi kepada lingkungan dan saya lebih open dengan belajar mengatakan “ya, saya tunanetra”.
Ketika saya sudah bisa ngomong sama orang bahwa saya tunanetra dan saya butuh bantuan, akhirnya orang bisa mengerti bahwa saya butuh di support. Bentuk support-nya mulai dari hal kecil seperti saya dituntun, dengan diberikan tata ruang yang lebih nyaman untuk tunanetra berjalan-jalan, itu saya lakukan di lingkungan saya yang paling kecil. Keluarga juga demikian, terutama ibu saya seringkali di pengajian mengingatkan ke orang-orang bahwa “kalau ketemu anak saya jangan di dadahin ya, gak ngeliat dia, sampe maghrib juga gak akan ngerespon, samperin aja dan bilang sebut nama”, jadi ketika masyarakat sekitar sudah tau bahwa saya seorang tunanetra, masalah saya sedikit-sedikit berkurang. Banyak yang membantu dan ada juga yang apatis. Buat saya mereka yang apatis ya gak jadi masalah, kalau mereka berpikir bahwa saya masalah di masyarakat, ya itu masalah lo juga, gitu. Dari situ akhirnya saya berjalan lagi ke lingkup yang lebih luas di mana saya berusaha untuk mensyiarkan tentang disabilitas ke masyarakat lebih luas lagi, saya aktif di organisasi, cuma kalau di organisasi itu kan kita urusannya serius ya, dateng ke DPR, ke Kementerian, pulang gak ada perubahan, akhirnya lama-lama bete juga. Sampai akhirnya saya menemukan satu seni yang lebih asik, lebih luas, lebih bisa mengkritik dan message-nya juga masuk yaitu adalah di Stand Up Comedy. Jadi buat saya pribadi Stand Up Comedy ini sebagai terapi juga, ketika saya sudah penat dengan urusan advokasi yang formal, saya justru melakukan awareness di tingkat lebih informal, dan dengan cara yang lebih santai. Contohnya saya pernah manggung Stand Up, materi saya tentang “Bagaimana Menuntun Orang dengan Tunanetra”, itu saya lakukan di Bekasi Mall. Hasilnya pecah, orang pada ketawa, tapi kesannya bukan orang-orang satu mall ketawa itu, ketika saya turun dari panggung terus saya mau pulang, satpamnya sudah bisa menuntun saya dengan cara yang benar. Akhirnya dari situ saya lebih banyak juga melakukan awareness ini di media sosial baik itu Facebook, dan Stand Up lewat YouTube dengan edukasi dan juga ada unsur hiburannya, disitu saya bisa lebih diterima oleh masyarakat karena this is so fun way to learn, dan saya juga terasa lebih nyaman untuk awareness yang sifatnya lebih luwes, lebih masuk ke masyarakat.
Hana: Secara singkat, aku dapet diagnosa terakhirku yaitu orang yang hidup dengan bipolar disorder tipe 1 pada tahun 2013, itu dengan gangguan psikotik, tapi tentunya ada banyak hal yang berkontribusi atas pembentukan mental aku saat ini. Jadi mungkin, karena banyak hal yang terjadi dari aku kecil, yang mana dulu aku tinggal di wilayah yang sangat ‘bronx’ di daerah Cakung, karena bapak-ku adalah kontraktor alat-alat berat dan disitu banyak sekali hal buruk terjadi kepada aku yang mana pada akhirnya membawa aku untuk memiliki gejala-gejala kejiwaan sejak SMP hingga SMA. Gangguan psikotik aku itu benar-benar parah pas aku SMP, akhirnya aku dapet mistreatment dari orang tua, karena mereka melihat fisik aku bahwa aku baik-baik saja dan berfikir bahwa aku salah pergaulan, aku nangis setiap hari, nyakitin diri dan selalu teriak meraung-raung. Jadi dulu kalau aku boleh jujur, kondisi kejiwaan aku sangat jauh berbeda dengan sekarang, aku juga gak pernah nyangka aku memiliki artikulasi setenang dan se-confident ini dengan diri aku setelah perjalanan yang berliku itu tadi. Awalnya juga mungkin pada saat SMP dan SMA itu banyak terjadi konflik di dalam keluarga karena miskomunikasi tadi, dan pada saat itu juga info terkait kesehatan jiwa masih sangat minim sekali, akhirnya pada saat itu aku jarang pulang ke rumah, pertikaian terus terjadi sampai akhirnya aku dapetin perawatan pertama di psikiater itu malah dari temen-ku sendiri, karena pada saat itu aku baru SMA dan udah seminggu gak pulang ke rumah, diem di kost-an temen-ku dan nangis berhari-hari dan pengen mati, udah ngaco banget.
Pada tahun 2012 aku sebenarnya udah menemukan seni sebagai senjata untuk menjaga kewarasanku itu ketika aku gak punya pilihan, jadi waktu di SMP-SMA itu obviously aku minim banget punya temen di lingkungan-ku, karena mereka melihat aku sangat berbeda, jadi otomatis aku ingat dari jaman SMA aku kan udah jarang pulang ya dari dulu, terus aku cuma bawa sketchbook sama drawing pen di tas kecil sama baju ganti, jadi buku-buku sekolah sama buku pelajaran tuh selalu ada di kolong meja, dan selalu nginepnya di warnet atau di tempat temen, pokoknya nomaden banget hidupnya. Terus sampai akhirnya karena susah dapetin pelajaran sekolah karena depresi yang berkepanjangan tanpa tahu apa sih sebabnya, kenapa gue selalu pengen mati, kenapa gue selalu dengar suara-suara bising, kenapa gue selalu punya percakapan-percakapan di dalam kepala 24 jam nonstop yang bikin gue mentally exhausted banget, yang mana pada akhirnya yaudah, I just depend on sketch book or drawing pen sebagai teman yang loyal pada saat itu. Sampai akhirnya mungkin terus berkelanjutan karena dulu sering nongkrong dimana-mana, sering nongkrong sama temen yang kebetulan seniman, akhirnya mulai pameran street art gallery, pameran di pasar seni ancol, pokoknya pameran yang bener-bener kolektif banget. Sampai akhirnya aku pernah mengisi seminar pertama-ku pada tahun 2012 di Indonesian Street Art Database sama mbak Khairani Barokah yang sangat vokal juga, ia aktivis seni dan disabilitas dan sekarang lagi S3 di UK, ia punya disabilitas juga. Waktu itu ia bicara dari sudut pandangnya dia sebagai orang dengan disabilitas dan aku sebagai orang dengan disabilitas mental bagaimana kaitan antara seni dan disabilitas tersebut. Pada saat itu ada wartawan yang meliput seminar kita yang mana seminarnya kecil di dalam rumah, dari situlah profile aku naik ke media, dan aku dapat undangan pertama kali dari stasiun TV tahun 2012. Pada saat itu aku ingat di media yang sangat famous di Indonesia, usia aku 19 tahun, ada 5 atau 6 narasumber dan aku satu-satunya perempuan disitu, temanya adalah “Mereka Bilang Saya Gila”. Tahun 2012 gue mendeklarasi bahwa gue mengalami kejiwaan dan gue menjadikan seni sebagai alat untuk dapat dilihat dan didengar, dan pada saat itu setelah gue declare, gue depresi banget. Respon orang tua gue menganggap bahwa ini aib, “ngapain cerita-ceritain kalau lo punya gangguan, mau dibilang apa sama pakde, bude,” sampe akhirnya ada hal yang bener-bener menyadarkan gue bahwa ketika gue speak up pertama kalinya itu, waktu itu gue masih aktif main Facebook dan dapet message dari orang-orang yang mempunyai keluarga atau kerabat dengan mental yang sama, dan itu jadi tamparan buat gue, gue serasa udah mencemplungkan diri ke dalam jurang, media udah terlanjur tahu dengan identitas gue dan gue memilih untuk yaudah gue lanjut aja. Akhirnya sampe terus menerus gue dapet support dari orang-orang, awalnya pasti stigmanya sangat buruk sekali, terus akhirnya sekarang berjalan bergandengan mulai banyak platform digital, banyak aktivis juga yang concern akan isu ini, gak hanya seniman tapi juga dari institusi, jadi aku ngerasa kayaknya narasi-narasi tersebut kayak menguatkan aku untuk terus berjalan di medan ini. Bahkan sekarang, kalau boleh dibilang aku masih terus berjuang dengan kondisi kejiwaan aku every single day tentunya, tapi yang membedakan adalah, sekarang udah jauh bisa lebih menerima karena pernah ada momen dimana ada di titik nol kayak, “nih kayaknya gue udah mau gila banget nih”, udah gak tidur berhari-hari gak makan berhari-hari, tiap hari kerjanya nangis aja gak tau kenapa tanpa sebab, di titik itu gue ngomong “kayaknya emang kesalahan bukan di orang lain dan bukan di diri gue deh, kayaknya emang gue udah begini aja,” dan kayaknya gue nyakitin diri gue setiap hari, ngomel-ngomel ke nyokap, ngatain orang tua, banting-banting barang tuh bukan jawaban deh atas semua yang udah gue alami dari kecil, kayaknya udah mulai bisa berdamai meskipun perjalanannya sangat berkelok sekali dan gak semudah aku ngomong sekarang. Tapi sekarang udah ada di titik dimana nyokap bokap aku sangat konservatif dan religius sekali, jadi otomatis, awalnya sulit banget menerima bahwa aku suka tampil di media terus ada tattoo segala macem, cuma lama-lama mereka alhamdulillah bisa jauh lebih berpikiran terbuka dan udah suportif banget. Bahkan aku udah di titik aku masuk di grup WhatsApp keluarga, terus mama-ku bilang “Mbak kapan pulang? mama kangen nih”, terus misalnya aku ada di fase depresi aku cuma bilang aja sama mama, “mah, maaf aku lagi ada di fase depresi aku gak bisa pulang mohon doanya”, awalnya mama sedih, dan aku bilang “gak usah sedih, itu akan lewat”, jadi sekarang, udah tau siklusnya.
Mufi: Dulu waktu saya kecil, pertama aku lihat ada orang menyanyi dan visualnya tuh sangat menarik buat saya, waktu itu saya masih polos dan gak tau kalau saya tuli, karena orang menyanyi itu kan biasanya bajunya menarik dan gerakan dia juga menari, terus begitu masuk di sekolah memang ada kelas dance dan aku ikut kelas dance itu dan ingin merasakan sebenarnya musik itu seperti apa sih. Begitu SMP-SMA saya terus mengikuti kelas menari dan ada sebuah lomba kompetisi menari, tapi akhirnya, ketika SMP aku memutuskan untuk di sekolah umum. Ketika kuliah, saya stop untuk ikut aktivitas itu karena saya bingung, tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan orang lain atau dengan dosen, karena waktu itu masih ada perdebatan tentang orang mengira bahwa saya bisa berbicara, saya bisa verbal, dan saya juga dianggap bisa untuk membaca verbal orang lain. Jadi ketika saya masuk kerja, itu juga menjadi sebuah hambatan. Waktu itu ada sebuah residensial untuk menari inklusi, dan saya melihat ini adalah sebuah kesempatan dimana saya waktu itu masih mencari sebenarnya identitas saya seperti apa, karena komunikasi menjadi hambatan yang paling besar dalam hidup saya. Disitu saya baru pertama kali merasakan, dan saya baru sadar bahwa advokasi itu penting sekali, dan ini menunjukan ke teman-dengar bahwa saya sebagai tuli itu memiliki kemampuan yang sama. Dan kami memang sama perjuangannya dengan teman-teman yang lain bahwa kita harus latihan sampai lelah, tapi itu pengaruhnya bukan hanya untuk teman yang melihat kami, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan ke teman-teman tuli bahwa kita pun bisa. Setelah itu, ada sebuah band yang mengajak kolaborasi setelah pentas, dan saya sadar pertama kali bahwa saya bisa menikmati musik itu. Dulu ketika saya sekolah SLB saat SD, ketika masih mengatakan kata dengan tunarungu, disitu kami dipaksa untuk bisa berkomunikasi secara verbal, memang SLB itu dikenal kuat sekali dengan verbalnya, karena kami dipaksa untuk sama dengan orang-dengar. Isyarat yang digunakan di lingkungan sekolah itu ada CB dan itu membuat kami sering miskomunikasi, karena CB itu menggunakan struktur bahasa Indonesia, jadi konsepnya tidak sulit untuk dimengerti. CB ini yang membuat adalah orang dengar tanpa melibatkan komunitas tuli. Pada waktu itu, ada teman saya bernama Surya, yang kebetulan waktu itu ia baru pulang dari sebuah camp Internasional khusus tuli dan menyampaikan bahwa saya baru sadar ternyata isyarat itu adalah identitas saya, dan baru tersadar bahwa ternyata selama ini komunikasi yang saya gunakan itu sering salah konsep, sebetulnya selama ini masalah terbesar saya adalah saya sering dipaksa menggunakan oral tapi malah membuat miskomunikasi, seperti misalnya ketika mama saya meminta ambil ‘sapu’ dan ‘jamu’ yang mana bentuk verbalnya sama. Sekarang situasinya saya merasa memang sudah lebih baik, namun memang belum terlalu ramah disabilitas seperti banyak informasi yang saya tidak tahu, dan saya sangat tertinggal jauh dari informasinya dibanding teman-teman dengar. Saya sering dibilang bahwa teman tuli itu bodoh, dan gak tahu apa-apa, sebetulnya kami hanya butuh akses saja, kami hanya butuh interpreter, kami hanya butuh teks saja. Dan sekarang TV kan sudah mulai ada interpreter seperti pada berita, namun itu memang sangat kecil sekali, tapi itu adalah salah satu bentuk advokasi dan sampai sekarang masih mengadvokasi hal tersebut. Jadi saya berharap bahwa tidak akan ada gap lagi antara antara orang-dengar dan teman tuli bahwa kita semua bisa sama-sama menerima, kami juga ingin diajak ngobrol dan tidak ada lagi gap disitu. Dan memang bahasa isyarat ini adalah hak kami sebagai teman-teman tuli, kedepannya berharap ada akses untuk kami agar kita bisa setara.
Siti: Cerita Mufi ini sebenarnya mirip dengan saya, bedanya saya memang concern di organisasi. Kadang saya merasa hidup saya percuma karena saya tidak tahu tujuan hidup saya apa, sebelumnya saya belum pernah ketemu dengan teman-teman tuli dan saya bingung harus bagaimana dengan hidup saya. Sampai dulu orang tua saya memang sering mengajarkan banyak hal namun itu selalu menggunakan oral, dari TK sampai SD saya di sekolah umum, lalu waktu itu ada dokter yang menganjurkan saya untuk pindah ke SLB, yang mana saya gak tahu SLB itu apa. Kemudian saya pindah ke SLB, disitu ternyata banyak sekali teman-teman yang seperti saya, masalahnya karena saya tuli bukan dari lahir, saya tuli mulai dari umur 2 tahun yang mana waktu itu pendengaran saya tiba-tiba hilang, ketika bertemu dengan teman-teman yang lain yang mana mereka menggunakan oral saya merasa ada ketertinggalan dalam diri saya. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak teman-teman lain yang membantu saya dengan menggunakan bahasa isyarat dan itu membantu saya untuk memotivasi diri saya sendiri. Disitu saya baru sadar bahwa isyarat itu memang berbeda beda. Jadi waktu itu saya baru mulai sadar bahwa isyarat itu sangat penting untuk komunikasi karena dulu ketika saya sering menggunakan oral itu sering sekali terjadi miskomunikasi, tetapi ketika menggunakan isyarat entah kenapa saya cepat sekali menyerap materi. Di masa itu pun saya kaget, “kenapa saya begitu cepat paham ya,” karena sebelumnya ketika pakai oral saya berjuang keras untuk memahami itu. Dulu saya merasa banyak sekali hambatan, hingga akhirnya bahasa isyarat ini membuka pemikiran saya, dan muncul potensi-potensi dalam diri. Dulu teman-teman tuli itu sering tidak pede tentang dirinya sendiri. Ketika orang melihat kami sedang isyarat, kami akan menyembunyikan tangan kami karena kami malu menggunakan isyarat. Selang berjalannya waktu, masyarakat mulai menerima kami dan itu membuat kami bisa menerima diri sendiri. Sejak saya bergabung dengan sebuah organisasi Gerkatin ini, tempat inilah yang bisa merubah saya sepenuhnya. Di situ saya belajar advokasi, dan bisa kenal dengan banyak sekali teman yang bisa membuka pemikiran saya, dan saya belajar banyak bahasa isyarat di situ. Jadi memang bahasa isyarat ini tidak dipelajari dari kecil, biasanya bahasa isyarat dipelajari ketika kita sudah besar. Tingkat kepedean kami memang sangat mempengaruhi kemampuan kami dalam berisyarat. Mengingat dulu di sekolah itu tidak boleh menggunakan isyarat, biasanya anak-anak SLB tanya seperti “itu apa sih?”, ketika dijelaskan bahwa itu adalah bahasa isyarat mereka akan sangat cepat menyebarkannya kepada teman-teman yang lain, dan itu sangat membantu sekali untuk berkomunikasi dengan teman-teman lain. Itu juga menyadarkan mereka bahwa komunikasi dengan cara oral itu tidak sesuai dengan mereka. Ini adalah kesempatan kami untuk me-regenerasi anak-anak dengan kemampuan yang memang belum tahu isyarat dan untuk menghilangkan hambatan karena mereka memang belum tahu sebelumnya bahwa mereka sangat sesuai dengan isyarat. Jadi biasanya anak-anak tuli pun yang belum pernah menggunakan isyarat akan kaget, melihat isyarat itu seperti melihat sesuatu yang unik. namun sekarang sudah mulai nyaman karena mulai mengadvokasi ke temen-temen sendiri bahwa teman-teman tuli juga bisa punya mimpi dan bagaimana cara meraih mimpi tersebut, itu juga adalah sebuah perjuangan dari advokasi. Dan bagaimana teman-teman tuli bisa menunjukan kemampuan itu adalah sebuah advokasi karena disamping itu juga ketika mereka tidak bisa menggunakan bahasa isyarat mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan. Mungkin teman-teman tuli sebelumnya tidak pernah punya mimpi kerja di kantoran, punya pekerjaan yang layak, sehingga dulu itu kami mungkin bisa dikatakan tidak pernah merasa nyaman. Pada tahun 2014 saya gabung di Gerkatin dan masih sampai sekarang. Fokus kami masih tidak jauh dari pemberdayaan teman-teman tuli sendiri, dan bagaimana membuktikan ke diri mereka bahwa mereka bisa. Yang paling sulit adalah bagaimana menyadarkan orang tua dengan anak-anak disabilitas. Itu adalah peer, jadi misal belum lancar dengan bahasa isyarat bisa dimulai dengan teks dasar, itu bisa memulai komunikasi untuk menjadi lebih baik.
Emma: Aku mau touch on something that mas Jack tadi ngomong, bahwa mas Jack menggunakan Stand Up Comedy itu sebagai terapi. Karena mas Jack dari kecil sudah tahu bahwa vision mas Jack akan hilang sepenuhnya, bagaimana journey itu sampai mas Jack bisa seakan-akan menertawakan diri, bisa share your story in a comedic way. Boleh diceritakan?
Jack: Pada dasarnya memang awalnya saya membenci tampil, jadi kalau punya kesempatan untuk ngomong ke depan itu saya seneng-seneng aja, dan dulu awalnya saya lebih ke musik, punya band di SMA dan lain sebagainya, dan waktu itu karena kondisinya udah low-vision kadang-kadang stand mic jadi gak keliatan, akhirnya ketabrak dan jatoh mic-nya, pernah jatoh dari panggung juga dan itu udah slapstick secara tidak sengaja gitu kan. Tetapi kalau pertanyaannya adalah bagaimana sih sebenarnya berdamai sama diri sendiri? Awalnya dari ketika kita sudah menyadari bahwa ini identitas kita, menjadi buta itu bukan musibah tetapi bagian dari diri kita sama seperti ada orang dengan rambut keriting, ada yang tingginya 180, ada yang gendut dan lain-lain yang mana itu ada untung ruginya juga. Ketika kita tahu bahwa semua orang itu ada untung rugi nya, termasuk menjadi buta, untungnya kemana-mana bisa digandeng sama Emma, rugi-nya mungkin saya cuma bisa ngebayangin Jennifer Lopez pantatnya kayak apa, tapi ya sudah gitu lho, itulah untung ruginya, dan itu dinikmatin aja. Sangat human ketika kita merasa sedih atau merasa kecewa karena gak bisa melakukan sesuatu. Contoh, saya bener-bener suka dengan sport car, saya suka dengan motor besar juga, saya berpikir kayaknya sampai kapanpun meskipun gue punya duit gue gak akan beli Harley karena ujungnya gue akan diboncengin juga, mendingan gue punya temen yang punya Harley. Dan itu mungkin ada waktunya dimana gue ngerasa sedih, tapi itu hanya kesedihan sementara aja dan setelah itu lo move on aja gitu. Kuncinya itu tadi, berdamai dengan diri sendiri itu adalah ketika kita mengenal diri kita sendiri, kita tahu kemampuan kita apa, kita tahu apa yang kita tidak bisa, disitulah justru kita bisa melakukan pekerjaan lebih baik. Buat saya pribadi, gak masalah untuk dibantu sama orang lain, selama yang menentukan itu saya sendiri, seperti kapan saya dibantu dan dalam konteks apa saya dibantu. Terkadang orang berpikir bahwa tunanetra gak bisa mandiri, sedangkan kita juga ada sisi-sisi lain seperti waktu pacaran ya kita minta disuapin juga, buat saya that’s part of being me itu adalah fase dimana kita mengenal diri kita sendiri dan kita bisa memutuskan apa yang baik buat kita dan apa yang tidak baik buat kita.
Emma: kalau misalnya Hana, tadi cerita bahwa kondisi your mental state was very-very low dan juga sangat membahayakan diri, ada gak sih momen dimana kamu akhirnya merasa ‘yaudah this is just me and i’m just gonna laugh about it’?
Hana: Iya, pasti bertubi-tubi, kayak udah ngelakuin percobaan bunuh diri terus masih bertahan, udah ada di fase yang ngerasa bentar lagi mau gila, apalagi aku sempet dapet penanganan di bangsal psikiatri kan waktu itu, sekolah-ku berantakan, kuliah-ku juga gak selesai karena ups and downs all day long, dan itu sangat-sangat menghabiskan energi gak cuma aku tapi orang-orang di sekitar aku. Ada satu momen pada saat aku tuh udah bener-bener kayak udah konflik banget di rumah, sering gak pulang terus sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan nemuin bapak sama mama dirumah, itu aku minta maaf banget, dan disitu aku udah mulai proses karena selama ini bapak dan mama selalu melihat aku dengan pandangan yang berbeda, jadi aku pada waktu itu sampe bilang ke bapak dan mama, “mah, pak, maafin atas semua kekacauan yang udah aku buat dirumah ini, dengan segala air mata yang udah mama habiskan karena kondisi mental-ku yang sangat tidak stabil, aku meminta maaf, dan aku memang gak bisa hidup di dalam rumah ini dengan segala bentuk pertikaian yang kita tuh saling nuntut satu sama lain. Mama yang menganggap bahwa aku baik-baik aja pada akhirnya malah memperparah kondisi mental-ku.” Sampai akhirnya pada saat itu kita saling bermaafan di meja makan, itu momen yang gak pernah aku lupain karena seumur hidup aku gak pernah ngeliat bapa nangis, cuma di malem itu doang yang pada akhirnya bapak bilang, “yaudah terserah kamu, sekarang bapak percaya sama kamu,” sampe ketika kepercayaan itu diberikan aku hidup diluar rumah dan pada saat itu aku udah mulai suka menggambar desain yang freelance gitu dari SMA, yang pada akhirnya baru sadar kepercayaan yang diberikan itu jadi kayak support secara gak langsung, yang membawa aku pada titik bisa berdamai seperti sekarang. Pada akhirnya mereka sekarang sudah bisa jauh lebih menerima, dan sekarang aku sudah sangat-sangat terbuka kayak sekarang aku jadi seniman dan punya projek di UK. Aku akan bilang requirements apa saja yang aku butuhkan, aku tidak bisa satu kamar dengan orang lain karena kondisi mental-ku, karena memang, benar kata mas Jack bahwa disabilitas itu adalah sebuah identitas yang gak bisa kita lupakan karena ada kebutuhan dan hak didalamnya. Jadi ya itu sudah jadi part of us.
Emma: Kalau Mufi atau Siti punya gak sih cerita-cerita kayak suatu hari mungkin sudah menerima diri seada-adanya sampe akhirnya menertawakan aja situasi yang ada ini?
Mufi: Dulu waktu kecil, saya berpisah dengan orang tua karena saya harus sekolah di Jakarta dan mama papa harus berkuliah di Jogja waktu itu. Dikarenakan di Jogja belum ada sekolah SLB pada waktu itu, saya terpaksa harus dipisah dengan orang tua saya. Ketika saya kecil saya selalu bertanya-tanya, “kenapa sih saya harus dipisah sama papa mama saya?” dan gak ada yang jelasin alasan kenapa saya harus pisah dari orang tua saya. Pertanyaan itu selalu berulang-ulang, hingga ketika saya lulus dan mama papa datang ke acara wisuda saya, itu membuat saya senang sekali, tapi pertanyaan itu sebetulnya tidak pernah terjawab. Padahal selama saya terpisah dari orangtua saya, papa dan mama tidak pernah telepon saya untuk sekedar bilang kangen, yang mana seharusnya papa mama bisa untuk menelepon pada waktu itu. Hingga pada setelah lulus, akhirnya kami berkumpul kembali di Jakarta. Jadi sebenarnya itu menjadi pertanyaan terbesar saya kenapa saya harus dipisah dengan orangtua, sampai saya dewasa saya baru tahu bahwa ternyata orang tua saya harus menempuh pendidikan untuk membuat hidup kami lebih baik, dan itu membuat saya termotivasi bahwa saya juga harus bisa sama dengan orang tua saya dan bisa membanggakan orang tua saya. Sebenarnya, yang paling sulit adalah membuktikan ke orang tua saya bahwa saya itu bisa, karena mungkin sebenarnya saya sudah lelah dengan pertanyaan yang tidak terjawab, sampai ketika saya mendapatkan sebuah jawaban itu sangat membantu saya dan menerima diri saya bahwa saya tuli. Dan mulai dari situ, saya mulai bisa menunjukan kemampuan saya, mulai bisa percaya diri dengan orang lain dan saya baru sadar bahwa ternyata karena sebab itu orang tua saya harus dipisah dengan saya waktu saya kecil. Ketika di masa sekolah pun saya mengalami kesulitan menyesuaikan diri di sekolah karena banyak beban hidup dan menerima banyak hambatan di sekolah, hingga akhirnya saya di sekolah mendapatkan les privat. Dan baru di les privat itulah saya sadar bahwa ternyata belajar itu seperti ini, sedangkan ketika waktu di sekolah saya merasa kosong tidak ada yang bisa saya pahami.
Siti: Saya tinggal bersama orang tua yang selalu support saya sampai sekolah, dan ketika saya SMP saya selalu mengeluh kepada mama saya, “mama aku gak mau sekolah di sekolah umum, aku gak kuat,” tetapi mama selalu support saya. Dan sebenarnya yang berbeda dari perpindahan saya dari sekolah SLB ke sekolah umum adalah kebiasaan yang sangat berbeda dari SLB, kalau di SLB biasanya kami menerima tugas itu hanya 1 atau 2 dalam seminggu, tetapi ketika di sekolah umum itu sangat padat sekali pelajarannya. Sebab dulu sebelumnya ketika di SLB memakai bahasa yang sederhana, begitu saya masuk ke SMP umum sungguh jauh berbeda dengan bahasa yang kompleks dan itu membuat saya depresi, dan menangis terus setiap hari. Tetapi mama saya adalah seorang support system yang paling bagus buat saya, karena mama memberikan les kepada saya setiap hari dan akhirnya itu membuat saya mendapatkan nilai yang bagus. Mama selalu beri support sampai saya masuk ke SMK. Sebelumnya ketika SMP jujur aku merasa sendiri, gak punya teman dan aku menjadi orang yang pendiam, ketika aku menggunakan bahasa isyarat di sekolah aku dijadikan bahan tontonan dan ejekan mereka, dan aku sangat malu sampai aku tidak pernah menggunakan bahasa isyarat lagi di sekolah. Tetapi ketika masuk SMK, aku mendapatkan teman yang sama-sama bisa mengadvokasi guru bahwa saya membutuhkan fasilitas tentang kesetaraan. Sebagai contoh pada pelajaran bahasa Inggris listening, kami berdua ditempatkan di perpustakaan, materi listening itu diubah menjadi materi yang tertulis. Yang paling sulit adalah memperkenalkan budaya dan mengenali budaya masing-masing. Ketika di SMK saya sudah mulai banyak ber-isyarat dan ikut banyak kegiatan seperti camp dan semacamnya. Dan waktu itu ketika saya mengikuti organisasi camp Internasional di Singapore kalau gak salah, memang yang sering dilihat adalah saya sering bepergian ke luar negeri tapi saya tidak menghasilkan uang, dan saya bilang ke mama untuk sabar, yang penting ikhlas dulu. Papa waktu itu sempat tidak percaya bahwa aku akan berangkat ke luar negeri, dan sampai akhirnya papa percaya, mereka mulai menjadi protektif seperti dilarang pulang malam-malam, dilarang menginap di rumah teman dan semacamnya. Saya nongkrong bersama teman-teman bukan tanpa alasan, tetapi juga menjadi sebuah pencarian identitas diri. Dulu pemikiran saya tertutup, dan yang paling sulit adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan kepada orang tua. Dengan kepergian saya ke luar negeri menjadi bukti kepada keluarga saya sekaligus mewakili Indonesia sekitar 2 minggu waktu itu di Singapura. Dan begitu kembali dari Singapura adalah waktu saya untuk membagi pengalaman untuk memberdayakan teman-teman tuli di Indonesia. Jadi mungkin sekarang saya sudah dalam tahap terserah orang mau bilang apa, tapi orang-orang terdekat saya tahu apa yang saya lakukan adalah benar.
Emma: Teman-teman kan sebenarnya aktif dalam advokasi tentang kesetaraan disabilitas, pernah nggak sih disaat sedang melakukan hal itu seperti Siti pernah keluar negeri untuk representasi, dan Mufi sebagai penari, apakah dari masing-masing pernah merasa diskriminasi dari orang-orang mendengar atau orang-orang melihat atau siapapun yang kalian pengen tunjukan bahwa ini loh, kita ingin cerita, kita ingin sharing…
Mufi: Waktu itu pengen nonton bioskop, film Dilan kalau gak salah, dan kita sejujurnya pengen merasakan keseruan nonton bioskop sama seperti kalian, ketika semua orang bilang film Dilan keren, kita justru merasa gak ngerti bagus dan kerennya dimana, terus temen-temen nanya, “kapan sih kita bisa nonton yang ada subtitle-nya,” akhirnya saya kirim DM di Instagram ke produser kalau gak salah, isinya saya minta untuk film Dilan diberi subtitle, yang mana waktu itu gak langsung direspon, tetapi setelah itu banyak teman-teman lain bahkan dari seluruh Indonesia yang ikut mengirim DM meminta subtitle pada film Dilan. Setelah 1 atau 2 bulan ada yang mengontak aku dan bilang bahwa film Dilan akan diberi subtitle, saya jujur kaget dan teman-teman lain merespon dengan sangat senang. Waktu itu nobar dilakukan dengan teman-teman tuli sebanyak 300 orang dan itu adalah kenikmatan yang tidak bisa ditandingi karena kami bisa ketawa-tawa, dan bisa menangis. Tapi sayangnya tidak semua film Indonesia ada subtitle-nya, memang mungkin harus dilakukan advokasi satu-satu ke production house. Mungkin ini belum jadi sebuah kebijakan ya, mungkin akan lebih baik jika peraturan subtitle ini bisa masuk dalam undang-undang. Karena memang perlu disadarkan bahwa adanya kesetaraan, dan kami berhak untuk menikmati film sama seperti yang lain. Dan subtitle itu sebenarnya tidak hanya untuk membantu teman tuli, juga membantu teman dari orang daerah, karena sebenarnya bagaimana kami bisa mencintai film Indonesia sedangkan itu tidak ada akses untuk kami. Yang terpenting, advokasi ini tidak bisa dilakukan oleh kami sendiri, kita harus bersama-sama dan memang masih banyak diskriminasi yang kami terima – namun balik lagi kepada bagaimana kita harus berusaha.
Emma: Aku juga waktu itu liat di Instagram-nya Surya Sahetapy, dia juga urge pemerintah Indonesia untuk ‘ayo dong mulai diadakan closed captions’ gitu, karena dia di Amerika itu sudah lengkap soal closed captions, jadi sudah ada khusus buat teman-teman tuli disana, sudah di akomodir. kalau misal dari tunanetra, dari mas Jack, ada gak sih momen dimana, mungkin merasakan diskriminasi yang secara tidak langsung seperti yang dirasakan oleh Mufi, Siti, dan teman-teman lainnya?
Jack: Sebenarnya, banyak sih kalau kita bicara apakah ada diskriminasi, banyak gitu lho, cuma kalau gue pribadi tidak serta-merta menjustifikasi bahwa orang tersebut diskriminatif, gue selalu berpikir bahwa orang ini gak punya informasi sehingga ia berbuat seperti itu. Awalnya selalu begitu, dengan mental seperti itu akhirnya posisi kita juga bukan sebagai lawannya dia tapi sebagai resource person yang bisa membantu memberikan masukan, seperti tadi dilakukan oleh mbak Siti dan mbak Mufi. Pada diskriminasi memang banyak sekali, contohnya ketika kita melakukan aktivitas yang dianggap masyarakat gak lazim, seperti saya yang juga suka nonton film, ketika saya masuk ke XXI sama anak-anak saya, itu orang di studio langsung ngeliatin saya, bahkan sampe pernah ada yang nanya, “mas, mau ngapain ke dalem?” saya jawab, “mau nonton,” terus dia ketawa, dan saya-nya diem, orang yang nonton gue, pake duit-duit gue, masalah lo dimana, gitu. Udah gitu yang gue tonton film “A Quiet Place” lagi, repot juga kan di dalam sepi banget. Tapi buat saya itu jadi satu pendidikan aja, bahwa kita sebagai orang dengan disabilitas intinya membutuhkan hiburan, dan hiburan itu balik lagi kepada kesukaan kita apa, apa yang membuat kita merasa nyaman ya harus diberikan juga, dan masyarakat harus diberikan edukasi mengenai hal itu. Dan ini memang hal yang tidak mudah juga, kalau untuk tunanetra ada yang namanya audio description, adalah satu feature dia mendeskripsikan apa yang dilakukan. Hal-hal yang seperti ini yang harus dimulai dari kita yang memberi tahu bahwa sudah ada feature-nya. Intinya adalah, ketika kita merasa didiskriminasi jangan langsung baper dan jangan langsung tersinggung, anggap mereka tidak tahu lalu kita memberi tahu informasi-nya harusnya seperti apa dan akhirnya pendekatannya harus seperti apa yang kita lakukan.
Emma: Jadi menjadikan hal itu sebagai opportunity untuk ‘oh, dia gak tau, ya sudah deh gue kasih tau nih’, seperti itu kan ya. Masih ngomongin tentang diskriminasi nih, kalau misalnya dari Hana sendiri, kan masih banyak banget stigma negatif yang mengitari mental health atau mental illness seperti kalau misalnya sakit bipolar itu disebut ‘udah gila’, entah itu disebut depresi atau kurang doa bahkan dari keluarga sendiri. Gimana sih kamu dengan karya-karyamu itu mencoba untuk breakthrough that kind of boundary with other people?
Hana: Dulu aku tuh selalu main dengan karakter yang dark ya, itu sebagai representasi dari kekacauan aku, tapi by the time aku kayak mulai encourage diri aku untuk lebih main warna karena mungkin aku juga ada bentuk aktivisme dan narasi yang kuat di balik setiap karya-ku. Jadi mungkin selama ini media selalu memberitakan soal gangguan kejiwaan tuh kita bisa liat kaya isu pasung, maksudnya mereka sama sekali tidak berpihak pada penyintas, mereka cenderung menyalahkan dan cenderung mempermalukan, temen-temen kita psikotik gelandangan di pinggir jalan padahal itu juga merupakan sebuah kegagalan pemerintah kan, jadi kenapa disini aku tiba-tiba bersuara sebagai seorang penyintas yang juga berkesenian dan “eh nih, gue menyuarakan isu kesehatan jiwa,” tapi dengan frame yang lebih fresh dan bersahabat, dan ternyata, message-nya bisa sampai. Karena dulu kalau kita ngomongin soal stigma atau diskriminasi itu cukup kompleks karena dia sangat absurd sekali kan, tapi mungkin dengan contoh yang pernah aku rasakan tuh kayak officially dari keluarga, dari SMP-SMA aku bener-bener jarang masuk sekolah gitu karena saat itu kondisi mental aku breakdown. Dan pada saat itu yang kita tulis di surat izin adalah sakit fisik, entah anak kita lagi typhus atau apa ya kita gak bisa jujur karena itu sulit kan, dan pada akhirnya ketika guru BP manggil terus akhirnya muncul rumor, kayak temen-temen kelas nyebarin kalau Hana punya masalah kejiwaan, dan itu jadi bener-bener jadi momok buat aku karena bener-bener semua orang menjauhi aku, mereka semua justru makin memperparah, dan aku merasa keterbukaan identitas kita itu sangat penting, dan gimana sih caranya agar kita bisa bersama-sama menciptakan lingkungan yang saling support yang not easy to judge gitu. Sekarang gue punya kesempatan buat berbicara, gue merasa that means nothing kalau gue gak bisa merubah persepsi keluarga. Jadi barulah ketika gue bisa merubah persepsi keluarga, orang-orang di sekitar gue, dan temen nongkrong gue, barulah gue bisa melebarkan sayap ke lingkup yang lebih besar. Dan sebenarnya dulu juga akses informasinya masih lebih susah banget kan ya, sedangkan sekarang dengan mudahnya gue bisa nemuin komunitas-komunitas di Indonesia online konseling kayak Into The Light dan lain-lain. Karena balik lagi ke kesehatan jiwa, perkembangannya gue akuin di ibu kota itu pesat banget, gue ngerasa gak sendiri, tapi bicara kesehatan jiwa itu gak cuma kita-kita doang yang bisa bersuara tapi yang di daerah-daerah terpencil, mereka apa dengerin podcast kayak gini? enggak kan. Makanya kontribusinya banyak banget, gak cuma individu, tapi pemerintah, pemerintah daerah, tenaga medis, itu sangat berperan sekali. Kalau di ibu kota mungkin stigma kayak kita adalah gak bisa terbuka, tapi kalau di daerah, the struggle is real, mereka mungkin dengan kata ‘kesehatan jiwa’ pun gak paham. Dan ketika mereka ingin periksakan ke dokter malah ternyata aksesnya gak ada, mereka terpencil sehingga gak ada dari tenaga medisnya. Balik lagi, kalau yang tadi kayak kurangnya edukasi ya otomatis mereka dipasung, jadi kontribusi yang harus diberikan sangat banyak sekali.
Emma: Jadi sebenarnya ini masih problem yang lies within the institution juga ya, kayak misalnya edukasi dari pemerintah belum ada especially di tempat-tempat terpencil, di kampung-kampung gitu belum ada gimana kita semua bisa belajar, apalagi kalau misalnya ngomongin kesehatan mental, pasti itu kan suatu hal yang bener-bener susah banget untuk dimengerti kadang sama orang yang gak ngerti kalau sebenenrya itu my feeling.
Hana: Aku inget juga waktu itu aku pernah ngisi narasumber di rumah sakit jiwa di Bandung, jadi disitu juga ada banyak pasien yang kebetulan dia sudah cukup berdaya dan pulih, jadi problem-nya kata dokter disitu adalah, mereka sudah dinyatakan berdaya, sudah produktif bikin kerajinan, sudah stabil juga emosinya, tapi ketika dikembalikan ke masyarakat mereka kambuh lagi, karena itu tadi, diskriminasi dan stigma yang sangat-sangat kuat.
Emma: Ya… mirip dengan film Joker, dengan situasi sosial yang kadang orang-orang itu jahat, kadang mereka gak mengerti kalau misalnya kamu gak mengerti sesuatu, doesn’t mean you have to make an opinion on it, you have to hate on it, gitu.
Mufi: Sebenarnya saya sering banget ditertawakan karena kadang saya kan pekerjaannya sebagai aktor, meskipun saya gak tertarik disitu karena awalnya saya dari dance, tapi saya melihatnya sebagai peluang yang sangat baik, dan dari dance itu kemampuan saya berkembang menjadi aktor, tapi yang sering itu adalah ketika di TV ada karakter tuli itu dimainkan oleh talent dengar, kadang isyaratnya jadi gak alami dan itu membuat saya sebenarnya marah sih, apakah teman tuli tidak mampu untuk memerankan peran tersebut? Itulah yang membuat saya ingin menunjukan ke masyarakat bahwa temen-temen tuli pun bisa menjadi aktor, dan saya sekarang mulai belajar menjadi sutradara, ketika melihat ada karakter tuli dimainkan talent dengar itu membuat saya sangat kecewa sebenarnya. Saat ini saya sedang membuat komunitas namanya Fantasi Tuli, itu adalah temen-temen yang memang tertarik dalam bidang seni dan jiwa seni yang didalamnya bebas, ada film, desain, dan sekarang sedang ada projek film pendek. Ini adalah kesempatan untuk melibatkan banyak teman tuli pada projek tuli di film ini, dan film ini juga membicarakan atau mengadvokasi bagaimana kebudayaan tuli itu sebenarnya. Mungkin terlihat sangat biasa membuat film tentang diri kami yang tuli, tapi itu di mata kami sebagai sebuah advokasi yang sangat besar. Dan doakan kami, karena besok kami akan mulai syuting selama dua hari.
Emma: Aku move on ke pertanyaan selanjutnya ya, salah satu anggapan yang umum saat berhadapan dengan teman-teman disabilitas itu mereka harus dikasihani, gimana sih kalian melihat hal ini, dan dari kalian sendiri ini sebenarnya apa harapan kalian terhadap orang lain yang kalau membicarakan kesetaraan itu how would you like people to treat you?
Jack: Kalau gue sih simpel, sebenarnya gue pengen diperlakukan sebagai orang, udah, artinya as a human being, ya posisi gue di lingkungan itu siapa, gitu, Jaka itu misalnya sebagai seseorang yang bisa memberikan kontribusi ketika ada acara 17-an di lingkungannya, atau mungkin di kantor sebagai senior program officer, jadi itu yang sebenarnya saya pengen diperlakukan seperti itu. Terkadang memang betul, saya membutuhkan bantuan tapi itu adalah keputusan saya, jadi saya juga ingin orang mengerti, ketika saya bisa melakukan sesuatu itu sendiri ya saya lakukan sendiri, tapi ketika butuh bantuan jangan dianggap itu sebagai satu hal yang tidak mandiri. Karena siapa sih sekarang orang yang gak butuh bantuan? bentuknya saja yang beda-beda, gitu lho. Orang memang seringkali underestimate dan hal itu yang harus kita hilangkan. Ketika kesetaraan itu terjadi, saya pikir ini awalnya dari memberikan pengertian yang tepat, ketika kedua belah pihak mempunyai pengertian yang tepat, kesetaraan ini bisa terjadi, setara itu kan berarti sesuai dengan kebutuhan, jadi tidak hanya harus sama tapi sesuai dengan kebutuhannya. Ketika saya nonton lalu saya butuh dibisikin, ya itu adalah bentuk kesetaraan saya. Ketika temen-temen tuli butuh closed caption ya itulah kesetaraan mereka. Ini yang akhirnya saya berharap teman-teman di manapun mentalitas ini harus dimiliki, bahwa kalian juga bagian dari perubahan ini, kita tuh bukan orang-orang yang hebat juga, tetapi karena support dari lingkungan kita bisa jadi seperti sekarang ini, temen-temen inilah yang punya peranan penting justru, dan itu sering sekali tidak disadari.
Emma: Jadi sebenarnya yang dibutuhkan itu udah beyond equality, melainkan equity. Equality itu kan ibaratnya semua orang mendapatkan satu yang sama, dan I think the misunderstanding is semuanya itu mau di treat, di exact same way melupakan orang-orang yang sebenarnya memang terbatas. kalau misalnya dari Siti dan Gerkatin Kepemudaan, apa sih harapan dari Gerkatin ini kepada lingkungan atau pemerintah untuk apa yang bisa di improve sehingga kita bisa mencapai suatu society yang inklusif?
Siti: sebenarnya banyak sekali teman-teman tuli yang menganggur, kadang saya menawarkan beberapa lowongan kerja kepada teman-teman, tapi mereka terkadang merespon dengan “yaudah deh, aku mah kerja apa aja,”. Ada teman tuli yang dia seorang chef, tapi akhirnya dia mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor, terus teman-teman itu kayak merasa kerjaan kantor itu keren banget, padahal dia sendiri tidak merasa sesuai dengan pekerjaan tersebut. Ada juga teman-teman tuli yang suka banget ngegambar, tapi akhirnya mereka dapet kerjaan di management. Berharapnya kan ketika lulus dapat pekerjaan yang sesuai, tapi ada anggapan dari teman-teman tuli bahwa teman tuli saja untuk dapat pekerjaan itu sudah sulit, jadi ketika mendapatkan satu pekerjaan, mereka sangat sulit untuk memikirkan passion dan sebagainya, itu kayak mendapatkan pekerjaan aja udah alhamdulillah. Sebenarnya, yang sering terjadi adalah temen-temen tuli itu sering banget pindah-pindah kerja, padahal ketika menyesuaikan kemampuannya apa dan cocok dengan pekerjaannya, mereka bisa tahan lebih lama kalau bekerja, karena sering banget temen-temen tuli ngeluh bilang gak cocok sama kerjaannya. Dan terkadang, teman tuli kalau kerja itu kayak mesin yang datang, kerja, pulang, dan begitu seterusnya. Faktanya adalah, banyak dari teman tuli yang hanya menjadi pekerja kasar, seperti kerja cuci piring, ngepel, jadi OB, nyapu di perkantoran dan lain sebagainya. Dan aku lihat situasi sekarang seperti pemerintah dan kementerian itu masih sulit untuk menerima teman disabilitas untuk bekerja disana. Ada teman dari Amerika datang ke Indonesia kebetulan, dan aku merasa takjub sekali karena teman tuli itu menjadi staff presiden Obama di Amerika. Sedangkan melihat pemerintahan disini itu sangat berbeda jauh sekali. Dengan adanya kedatangan teman kami dari Amerika membuat kami sadar bahwa ternyata kami seharusnya bisa. Dan itu menjadi peer sebenarnya, bagaimana menjadi kesetaraan, bahwa benar-benar setara itu memang sulit sekali, mungkin pemerintah harus mencoba bagaimana jika melibatkan teman-teman tuli di pemerintahan mereka. Aku waktu itu inget di periode pertama pak Presiden Jokowi ada disabilitas yang menjadi staff Presiden, dan itu mulai membuka perspektif pemerintah tentang kami, dan itu adalah kesempatan yang bagus untuk kami melibatkan lebih di lingkungan pemerintah bahwa disabilitas itu bisa bekerja. Dan kami sudah bosan dikasihani, kami selalu diberi dan kami tidak pernah punya kesempatan untuk menunjukan bahwa kami bisa dan kami berhak. Dan situasi apapun yang membuat kami tidak nyaman pada akhirnya membuat kami memutuskan untuk menyerah dan selesai bekerja dari tempat itu. Waktu itu kalau gak salah, Surya pernah jadi staff magang ketika masanya Pak Ahok di kantor Gubernur, dan itu memang cukup besar dampaknya untuk kami, juga ada beberapa teman di Bandung yang menjadi ajudan pak Ridwan Kamil kalau gak salah, itu adalah contoh dan membuktikan ke diri kami sendiri bahwa kita bisa, dan sama seperti kedatangan kami bertemu teman-teman yang ada disini bahwa kami sudah tidak butuh lagi dikasihani, sebenarnya simpel saja, ketika kami diberikan akses, kami ini sama seperti kalian. Misalnya, kalau gak ada interpreter, kalian tau gak saya ngomong apa? Susah kan. Jadi dengan adanya interpreter kita semua sama, bisa berkomunikasi dua arah. Jadi sebenarnya sesimpel itu aja sih.
Jack: Kadang-kadang treatment kita itu suka berlebihan tapi lebih seringnya juga kita tidak memperhitungkan kalau ini adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Sekarang kalau misalnya di kantor kita, kedatangan orang Jepang, lo bela-belain gak sih cari interpreter? Nah, demikian dengan orang disabilitas, kita juga punya akomodasi yang memang harus dipenuhi dan ini juga menjadi kebutuhan dasar kita gitu lho, karena dengan demikian kalau misalnya kita diakomodir, kita pun akan bisa memberikan kontribusi, kita duduk disini aja udah berapa banyak lesson learn dari temen tuli yang kita dapet, dan itu informasi yang luar biasa sekali, informasi yang jarang kita dapatkan, dan bener banget kalau misalnya gak ada interpreter-nya, ya gak akan terjadi.
Emma: Jadi sebenarnya kalau misalnya mau ngomongin kesetaraan itu kita harus mengakui kalau effort-nya itu ya dari goes both ways, ya memang keluar budget lebih lagi untuk misalnya menyewa interpreter, tapi itu worth it karena kita bisa berkomunikasi dengan satu sama lain, dengan adanya komunikasi kita bisa mengerti dan eventually kita juga bisa hidup di dalam lingkungan yang sama.
Hana: Kalau dari aku sih kesetaraan itu dua kata, “no shame, no stigma,”.
Emma: Sepertinya sudah waktu untuk menutup sesi hari ini ya, kalau misalnya aku bisa kasih konklusi untuk hari ini, jangan malu untuk bertanya, jangan malu untuk find out, cari informasi, jangan malah ignore teman-teman yang ada, jangan malah dikasihani, kita semua ujung-ujungnya sama, kalau kata Lady Gaga, “we are born this way” dan semuanya harus sama. Sekarang kita itu udah beyond equality, yang kita butuhkan itu equity, dan liberation.
Buat yang belum tau, sesi ini direkam dan bisa dinikmati nanti di channel podcast kami East Kemang Radio, tapi untuk teman-teman tuli yang hadir hari ini dan teman-teman tuli yang ingin menyimak topik kita hari ini, nanti akan di transkrip dan bisa dibaca di website kami.
Terima kasih kepada panelis yang sudah membantu kita belajar tentang kesetaraan. Kesetaraan ini untuk mengingatkan lagi adalah sebuah bahasan yang kami angkat di buku pertama Whiteboard Journal Open Column, yang berisi tulisan submisi tentang kesetaraan dan keberagaman dari para pembaca kami. Bukunya bisa dibeli di Dialogue Art Space atau bisa dibeli juga di website Footurama.
Aku juga sekalian mau mengumumkan kita mau rilis buku kedua Whiteboard Journal Open Column, tapi kali ini kita akan mengangkat kesehatan mental, jadi buat temen-temen yang suka menulis atau suka foto, bikin puisi, you are so welcome to submit your art to us, kita tidak hanya menampilkan tulisan, keresahan atau apapun yang terkait dengan tema tersebut, kami akan compile dan dijadikan buku kedua.
Terima kasih lagi untuk panelis kita yang sudah datang hari ini, untuk Dia.lo.gue Art Space untuk kesempatan sama-sama disini kita belajar, kita ngobrol, kita connect with each other, terima kasih juga untuk mbak Ephi dan mbak Inan, sudah mau bantuin jadi interpreter kita hari ini, dan sampai jumpa di acara yang mendatang, terima kasih semuanya.