Sanchia Hamidjaja Bercerita Tentang Motherhood dan Cita-Citanya Membuat Novel Grafis
Kami berbincang dengan Sanchia Hamidjaja tentang motherhood, komik sebagai medium yang inklusif hingga persiapan dan konsep novel grafis yang akan datang.
Words by Ghina Sabrina
Ilustrator lintas media, Sanchia Hamidjaja, mengawali karirnya di industri advertising sampai akhirnya memutuskan untuk fokus dengan seni ilustrasi. Sebagai seniman yang versatile, ia dikenal lewat karyanya yang menyentuh isu sosial-politik di Indonesia hingga ilustrasi dengan subyek binatang. Untuk mengetahui proses kreatif dalam pembuatan karyanya, kami berbincang dengan Sanchia mengenai minimnya apresiasi seni ilustrasi, seri komik Problema Nona, hingga persiapan novel grafis yang baru saja menerima hibah dari Cipta Media Ekspresi.
Kenapa memutuskan untuk menjadi ilustrator daripada desainer grafis?
Awalnya dari kecil memang suka gambar, terus ayah saya bilang saat sudah SMA sekolah di Australia, pilih SMA yang jurusan art. Jadi, ya sudah ditekuni sajalah kalau memang suka gambar, daripada buang-buang waktu. Sudah lulus, lalu diterima di dua universitas, desain grafis dan visual arts di Monash. Terus, saat disuruh pilih, “Gimana nih, dua-dua nya oke?” Kemudian ayah bilang, “Ya kamu mau langsung bisa kerja bisa dapat uang atau jadi seniman tidak punya uang?” Sebenarnya kalau menekuni seni rupa itu seumur hidup, kalau desain ya ada ilmunya. Ya sudah akhirnya, “Yaudahlah daripada gue miskin, kan?” (tertawa) Jadi langsung desain grafis.
Yang paling berkesan buat saya saat diminta buat publikasi adalah ilustrasi, children’s book. Ternyata children’s book itu tidak realisme – tidak seperti Beatrix Potter. Ternyata ada collage dan lain-lain, tapi ternyata doable juga. Ternyata children’s book kontemporer itu bisa bermacam-macam. Jadi mulai ke sana lah, tapi tetap saja sih kerja advertising hampir 8 tahun. Lalu, segala hal dicoba. Cuma selalu lebih banyak karakter desain, lebih banyak ilustrasi. Setelah itu saya bosen dengan advertising dan pindah ke post-production house yang lebih banyak mengerjakan animasi. Di situ, karena bukan animator, saya membuat ilustrasinya dan ada orang yang mengubahnya menjadi animasi. Seru sekali sih. Jadi ternyata, “Wah ilustrasi tuh bisa melintas banyak media”. Saya kerja selama 3 tahun di sana, setelah itu nekat deh kerja freelance aja.
Yang paling menarik dari karya Sanchia adalah bagaimana ilustrasi Anda selalu terasa relatable dengan kehidupan sehari-hari. Bagaimana proses Sanchia saat membuat karya ilustrasi?
Saya bukan orang yang terlalu suka mengkhayal kali ya. Dulu mungkin iya, waktu masih 20-an, masih dark, mebahas yang aneh-aneh, monster dan sebagainya. Zaman street art masih booming. Tapi setelah itu, sudah mulai dewasa, apalagi sudah punya anak. Sepertinya lebih menarik dan lebih banyak cerita kalau berdasarkan realita. Setelah dicoba, nyaman, karena lebih jujur dan tidak terlalu pretentious. Lalu yang seperti itu bisa dijual di pameran. Banyak yang relate. Dari situ saya mulai menentukan sadar kalau itu keahlian saya dari obrolan dan kehidupan-kehidupan masyarakat di sekitar saya.
Apakah Sanchia menerapkan pendekatan yang berbeda saat mengerjakan ilustrasi untuk klien dan saat mengerjakan ilustrasi untuk proyek personal?
Beda sekali, karena kalau di advertising dimanja, dan saya menggampangkan prosesnya. Saya tidak perlu memikirkan konsep, intinya tidak perlu memikirkan apapun. Commercial work is like a breeze. Mudah, karena prosesnya adalah briefing, lalu saya menggambar, kemudian revisi-revisi. Proses menentukan konsepnya tidak terlalu memusingkan lah. Kemudian saat diminta membuat proyek personal, you became really hard on yourself. You are your worst critic kan biasanya. Hal itulah yang selalu terjadi pada diri saya. Tapi yang sulit adalah menerapkan etos kerja santai seperti mengerjakan proyek klien, tapi menerapkannya untuk proyek personal.
Jadi misalnya seri yang binatang kan buat diri saya itu seperti meditasi. Tidak usah berpikir panjang dan bisa mengerjakannya kapan saja. Itupun bisa masuk galeri dan dijual secara individu. Relasi antara saya dan pembeli juga enak, misalnya, “Eh anak gue suka binatang ini, bisa gak bikinin?” Jadi dari situ, karena saya ilustrator, saya bisa segala macam gaya – dan tadinya saya pikir itu merupakan kelemahan. Misalnya Eko Nugroho kan jelas sekali gayanya. Tapi ternyata, versatility saya adalah keuntungan, jadi saya bisa selalu membuka jalan. Bisa buat ranah seni kontemporer, komik, advertising, public art, buat restaurant branding pun juga bisa. Jadinya, memang tidak boleh berhenti kerja saja sih, jadi semakin lama semakin jelas gayanya.
Kita masih sering melihat sebelah mata terhadap bidang dan karya ilustrasi yang cenderung dilihat sekadar sebagai coretan remeh – bukan karya seni yang layak diapresiasi. Bagaimana Sanchia melihat apresiasi publik terhadap karya ilustrasi?
Menurut saya, itu kesulitan semua ilustrator. Sadar atau tidak sadar, pasti, kalau sudah masuk seni kontemporer, pasti dipikir, “Ih figuratif banget, literal banget lah” Ya iya, kan kartunis. It’s our job, being literal. Sekali lagi, seni kontemporer mengizinkan seniman untuk bisa lebih eksperimental. Elemen-elemen yang membuat ilustrasi itu bisa di dekonstruksi sedemikian rupa untuk menjadi lebih kontemporer. Misalnya kemarin saya membuat karya, “Bagaimana metode komposisinya?” Saya memakai satu genggam paper clip yang saya lempar ke lantai, kemudian jejaknya saya rekam. Baru saya menggambar binatang-binatangnya di setiap jejak paper clip. Jadi cara saya bereksperimen dengan metode komposisi yang tidak mungkin bisa dijual di dunia komersil. Itu menyenangkan buat saya dan itu cara saya menembus ilustrasi agar bisa memasuki seni kontemporer. Ada banyak cara sih, intinya memang harus selalu inovatif.
Belakangan Sanchia sedang mempersiapkan proyek novel grafis, kenapa kemudian memutuskan untuk membuat novel grafis? Apakah ada seniman yang menginspirasi?
Kalo dilihat emang konsumsi literatur saya semuanya novel grafis, karena saya sudah tidak ada waktu untuk membaca novel. Kalau sudah jadi ibu itu, kangen sekali membaca ya. Tapi saya dari dulu memang suka novel grafis. Jadi karena selalu membaca novel grafis, saya punya cita-cita sebelum umur 40 tahun ingin merilis buku. Itupun memang cita-cita saya sedari dulu. Tapi masalah saya dari dulu adalah saya tidak bisa menulis dan saya mau menunggu orang untuk menulis cerita saya (tertawa). Nobody cares enough about another person, dan saya tidak mau meraih cita-cita orang.
Sebenarnya inspirasi saya itu karena melihat Max yang membuat novel grafis tentang pembantaian orang-orang Cina di Indonesia. Saat itu saya baru sadar, “Wah gila, nobody is telling our story about the socio-political issues. I have to make something that represents the socio-political situation in our country.” Saya tidak mau sekadar memberikan cerita menghibur untuk tertawa saja. Bisa saja dikemas jadi humoris, tapi menurut saya, dunia harus tahu hal apa yang terjadi di sini. Contohnya Persepolis yang membahas keadaan Iran.
I have to make something that represents the socio-political situation in our country.
It’s all somehow based in reality. Misalnya, Riad Sattouf yang dulu merupakan kontributor di Charlie Hebdo. Yang paling unik dari Sattouf adalah ia keturunan Syria dan Perancis. Dia bisa mengemas kehidupan masa kecilnya di Syria dengan segala situasi politisnya walau tidak terlalu dominan dalam ceritanya. Mirip dengan Persepolis. Kemudian saya sadar kalau saya suka genre yang ceritanya berbasis pada realita.
Akhirnya setelah berusaha balik ke komik lagi, saya memutuskan untuk membuat komik dulu. Sudah lama kan, terakhir membuat komik Yin Yang Dogs, 7 tahun lalu. I have to go back to comics, what should I do? Dan karena saya sudah menjadi ibu, saya ingin membuat komik tentang motherhood. Lalu saya mulai melakukan interview karena walau mau membahas motherhood, kan tidak harus berdasarkan cerita saya karena menurut saya cerita saya tidak terlalu menarik. Saya juga tidak tertarik untuk membuat semacam memoir tentang hidup saya sebagai ibu karena saya rasa saya belum melakukan hal penting yang patut diceritakan sedemikian rupa. Jadi saya mulai mengobrol dengan ibu-ibu di sekolah anak saya.
Daripada menunggu anak saya pulang sekolah dan tidak melakukan apapun, lebih baik saya kerahkan ibu-ibu yang sama-sama menunggu anaknya selesai kuliah dengan menginterview mereka. Awalnya mereka masih agak segan. Any women is not good laughing at themselves basically. Sampai akhirnya ada satu ibu yang memiliki cerita lebih menarik dari semuanya. Jadi ceritanya dia istri seorang aparat. Ia baru pulang dinas dari Aceh. Saat di sana, suaminya menyimpan senapan di rumah. Ternyata suaminya anggota aparat yang dikirimnya ke area konflik, seperti Poso, Papua, Aceh, dan Ambon. Jadi saya mencoba memasuki hidup ibu itu dan menginterviewnya secara eksklusif. Ia pun sangat terbuka akan ceritanya. Lalu saya rasa, seru juga ya karena jadi panjang dan tidak sekadar cerpen grafis saja.
Jadi ibu ini saat muda memiliki kehidupan layaknya anak-anak gaul pada umumnya, kemudian ia menikah, pergi ke Aceh dan sudah memiliki bayi berumur 5 bulan. It’s bringing your child into a land where massacres happened. Right in the middle of it. Walaupun udah 11 tahun setelah konflik, nyatanya konfliknya masih meletup-letup. Ia diminta tinggal di Lhokseumawe, yang dulu dikenal sebagai tempat penyiksaan. Wah, itu kan gila. Ia biasa ke mall kemudian pindah ke Aceh, diharuskan berjilbab, tidak boleh serta tidak bisa melakukan apapun. Maksudnya demi cinta, ia memutuskan menikah dan sampai sana, suaminya juga tidak selalu hadir karena harus patroli ke hutan. She was basically left alone with a 5 months old baby.
Kemudian ia menceritakan bahwa ada mbak yang membantunya tapi housekeeper ini adalah bekas istri GAM – Inong Balee. Di Aceh itu ada sekelompok janda eks-GAM dan mereka suka dipekerjakan. Okay, let’s do this motherhood in very extreme situations. Dan Inong Balee ini juga sama, cuma lebih ekstrem saja, karena ia tidak tahu suaminya ke mana. Saya tadinya tidak tahu apapun soal GAM, jadi tahu banyak sekali lewat ibu ini. Tapi tanpa meninggalkan konsep bukunya yang tetap tentang ibu dan nurturing. It’s a book about trauma, but it’s okay.
It’s a book about trauma, but it’s okay.
Saya mulai menulis naskahnya sejak tahun lalu, kemudian saya bawa naskahnya ke comic art workshop di Yogyakarta. Yang mengadakannya berbagai dosen dari Melbourne University yang mengajar visual narrative. Di situ saya ‘dibongkar-bongkar’ selama 2 minggu. Kemudian saya berpikir, bagaimana ya menyelesaikan proyek ini kalau tidak ada uangnya. Akhirnya pas sekali ada funding Cipta Media. Kemudian saya apply – nothing to lose, dan ternyata saya lolos. Sekarang sih, dari funding dan tenggat waktu yang diberikan, saya tidak mungkin menyelesaikan satu buku. Jadi funding yang saya dapat akan saya pakai untuk menyelesaikan 1 bab dulu. Which is a convenience sih, karena begitu satu bab selesai, saya bisa apply ke funding lain untuk menyelesaikan bab yang lain. Ternyata, mencapai sesuatu dengan banyak cara, dan sekarang sudah lebih terbuka. Ini exciting sih, karena ada funding, jadi saya bisa ke Aceh, karena saya tidak bisa menggambar tanpa merasakan tempatnya untuk riset visual.
Bagaimana melihat minimnya terbitan novel grafis di skena lokal, padahal kita mempunyai cukup banyak ilustrator handal?
Itu mungkin karena pemerintah tidak menganggap ini sebagai suatu kebudayaan atau sastra. Dari dulu sampai sekarang, nobody is getting enough support from the government about our arts. Kalau di luar negeri, misalkan di Australia, mereka membuat zine fair yang diadakan di national library mereka dan diberi funding oleh Australian Council. Jadi dari zaman saya SMA sampai sekarang saya balik lagi ke Australia, toko zine itu masih ada sampai sekarang. Jalan kan berarti? Dan sudah regenerasi terus-terusan.
Di sini, zine sulit bertahan dan saya saja tidak aktif di situ karena, ya gimana? Kasian sih, you don’t make money off it. Sementara orang-orang di sana makes money out of these zines. Not much, cuma bisa hidup banget. Makanya saya berharap dengan adanya funding seperti Cipta Media, walau tetap saja bukan dari sini karena dari Ford Foundation, itu saja yang bisa memberi nafas. Atau mungkin tidak sama sekali. Saya juga tidak mau sok tahu juga sih, karena saya membuat novel grafis ini juga untuk keasyikan sendiri. Saya tidak masuk di komunitas, jadi mungkin what I’m saying is completely wrong.
Sanchia banyak mengeksplorasi tema-tema perempuan dan domestik di karya-karyanya – termasuk di komik series Problema Nona. Bagaimana melihat posisi perempuan di kesenian lokal? Dan apakah Sanchia memiliki misi tersendiri dalam mengangkat topik perempuan ini?
Kalau pengalaman saya sendiri, saya beruntung banget tidak pernah punya masalah saat meniti karir saya dan tidak pernah mentok karena saya perempuan. Dan saya berterima kasih dengan feminis-feminis yang sebelumnya, yang dari angkatan ibu saya. Mereka perjuangannya jauh lebih berat dari saya, dan mungkin karena mereka sudah paved the way for generasi saya, ya saya tidak mempunyai masalah itu kalau di industri kesenian ini. Tapi, kalau dari sisi komik, saya tidak tahu apakah ada komik yang merepresentasikan perempuan, atau mungkin karena saya kurang melihat komik-komik di Indonesia, which is something that I should do karena I’m not a part of any comic community di sini. Intinya, saya belum menemukan itu, kalau belum sampai ke mata saya berarti, kurang (ketawa).
Representation is important for any kind of people, dan komik merupakan salah satu medium yang bisa menyuarakan itu. Komik itu melampaui batas pendidikan, tidak perlu menjadi orang yang highly-educated to understand comics, because it’s pictures and words. Komik itu bisa untuk semua umur, gender, dan kelas. Tidak seeksklusif karya-karya sastra yang lain. Makanya itu dia kehebatan dari media itu.
Misi saya adalah to represent my own kind, and it doesn’t have to be gender-specific. Untuk memperlihatkan, “Ini masih terjadi di negara saya, dan ini normal banget.” Kayaknya harus dipikirkan lagi. Tidak bisa nrimo-nrimo wae. Tidak cuma untuk kalangan sendiri sih.
Misi saya adalah to represent my own kind, and it doesn’t have to be gender-specific.
Selain novel grafis, apakah ada proyek mendatang dari Sanchia?
Hopefully, dari pengerjaan intensif graphic novel ini bisa dibuat exhibition. Nah, saya ada masalah dengan komik yang dipamerkan, menurut saya komik harus tetap dalam bentuk buku. Kalaupun mau dipamerkan, itu pun harus kalau dikeluarkan dari buku halaman itu masih bisa berdiri sendiri. Tapi, dia juga harus menjadi satu kesatuan dalam buku itu. Saya hanya memikirkan bagaimana caranya launching proyek ini in different ways.
Proyek yang lain itu comic strip, saya akan mengerjakannya secara tandem karena sudah pasti yang graphic novel lebih stressful dan ini lebih light. Di Problema Nona, saya mau ada satu benang merah yang bakal saya jaga, perempuan itu tidak pernah membalas, dia cuma menggerutu di dalam hati. Dan itu adalah perempuan Indonesia di sini, ya cuma menelan saja. Kesal tapi tidak dilawan. Nah, itu sarcasm yang ada di dalam situ. Problema sekali. Benang merah itu adalah pencapaian untuk saya. Bagaimana caranya menyuarakan tanpa memperlihatkan secara eksplisit. Everything is unresolved di situ. Dan nanti di graphic novel saya akan banyak sekali hal-hal yang unresolved.