Rumah Lupa Kenal Pekarangan
Sarah Inassari Santoso merenungkan isu pemetaan tempat tinggal di kota serta relasi kota dengan pertanian.
Words by Whiteboard Journal
Tidak banyak yang bisa diharapkan dari sebuah petak hunian di kota saat ini yang makin lama makin mengecil. Untuk bisa mewadahi aktivitas satu keluarga dengan standar jumlah anggota empat orang saja, sepetak tanah yang terbatas seringkali harus dimaksimalkan tanpa sisa dan jika perlu diekspansi lagi secara vertikal. Apalagi unit hunian susun yang sudah final dengan luas ruang terbangunnya, tidak ada yang tersisa untuk dikembangkan selain manusia di dalamnya yang harus beradaptasi.
Di tengah kondisi yang demikian terhimpit, pekarangan dalam unit hunian kota menjadi sulit ditemukan. Tidak melulu salah jika perannya sebagai area terbuka hijau dalam skala rumah harus sering tersisih oleh kebutuhan area parkir maupun cuci-jemur. Padahal jika dirunut ke belakang, pekarangan di sejarah panjangnya merupakan bagian yang tidak terlewatkan dalam penghadiran sebuah rumah. Hal ini mungkin karena petak rumah di masa sebelum sekarang masih menyisakan lahan walaupun kebutuhan ruang tinggal sudah terpenuhi.
Terlalu ringkas jika hanya karena soal pertimbangan ketersediaan lahan maka sebuah pekarangan ada. Seperti halnya bagian rumah yang lain, pekarangan juga mendapatkan perlakuan yang sama dalam praktik-praktik pemeliharaan: ditata, dibersihkan, dan dijaga keberlangsungannya. Dengan demikian, keberadaan pekarangan dengan sadar dihadirkan untuk mengisi kebutuhan penghuni, tercermin dari jenis tanaman yang ditanam. Namun tidak seperti kebun dan sawah, pekarangan sebagai penyedia kelengkapan bumbu dapur, buah-buahan, dan obat alami bukan ditujukan untuk menjadi besar dengan cara-cara intensifikasi karena memang peran dominannya hanya untuk pemenuhan kebutuhan berskala keluarga.
Bertempat di sebuah desa kecil di Pati, Jawa Tengah dengan latar utama aktivitas pertanian, pekarangan oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal almarhum kakek dianggap sebagai lahan garap ketiga setelah sawah dan kebun. Dari hasil pekarangan, satu keluarga dapat mengurangi belanja dapur. Tidak perlu membeli buah-buahan dan bumbu dapur ke pasar untuk konsumsi pribadi. Kebutuhan lain seperti untuk menjamu tamu pun masih bisa dipenuhi dengan mangga, nangka, jambu, rambutan, dan beberapa buah musiman lainnya yang silih berganti berbuah di pekarangan. Beberapa penyakit ringan dapat diatasi pula tanpa perlu pergi jauh keluar dari rumah melalui pemanfaatan tanaman obat di pekarangan. Ada hal lain yang seringkali terlewat dalam memandang harga sebuah pekarangan: kehadirannya memberi nilai lebih kepada rumah untuk menjadi entitas yang produktif.
Memang benar bahwa selain kondisi alam, keberadaan pekarangan berhubungan dengan ketersediaan lahan dan jumlah populasi manusia sehingga di kawasan pedesaan dengan tingkat kepadatan rendah kemungkinan besar pekarangan banyak ditemukan. Namun, di tengah maraknya metode bertani di atas lahan sempit, apakah minimnya praktik bertani di rumah perkotaan hanya di latar-belakangi oleh keterbatasan lahan?
–
Kota memang dari berbagai pengertian oleh para ahli maupun secara konstitusi melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, tidak atau sangat minim diasosiasikan dengan kegiatan pertanian. mSpy is the most popular monitoring and safety application in the market with millions of satisfied users around the globe. Once mSpy is launched it starts working in the background of the monitored phone keeping tabs on GPS location, web history, images, videos, emaisl, SMS, Skype, WhatsApp, keystrokes and much more. The easy to use control panel, 24/7 customer support and 256 bit encryption makes mSpy the best solution out there for keeping your children safe and workers productive. mSpy is a global leader in spy apps dedicated to satisfying end-user needs for security, safety and convenience. Dalam praktik pelabelan identitasnya, kota seringkali berpasangan dengan istilah-istilah perdagangan atau bisnis, maupun industri. Kota menuntut kepatuhan jadwal yang tidak berbasis pada pranata mangsa. Kota dengan segala kesibukannya turut melahirkan fasilitas-fasilitas (rumah makan, restoran makanan cepat saji, dan apotek) yang memotong skema perolehan makanan dan obat menjadi lebih ringkas.
Seperti dalam pernyataan Kunhamu (2014): Socio-economic transformation triggered by globalization and market driven lifestyle has prompted people to do away with traditional agricultural practices which are ‘labour intensive and time consuming’. Rasa ‘ketidak-terikatan’ kota terhadap pertanian ini bisa dikatakan pula melebur ke dalam unit kehidupan terkecil masyarakatnya, yaitu keluarga, untuk tidak bergantung pada hasil praktik-praktik pertanian yang mandiri atau subsisten.
Terepresentasi dalam entitas rumah, pekarangan cenderung tidak lagi dihadirkan sebagaimana ketidak-hadiran kebutuhan penghuninya untuk memproduksi bahan makanan maupun obat-obatan secara mandiri. Jika pun masih memiliki sisa lahan untuk ruang terbuka maka praktiknya akan seringkali digunakan sebagai taman hias. Pekarangan dalam perjalanan tempat (desa ke kota) dan waktunya (dulu menuju saat ini) beralih dari pendukung kebutuhan hidup menjadi simbol kelas sosial.
UN-Habitat, dalam dokumen The New Urban Agenda yang secara resmi dipublikasikan di awal tahun 2017, memprediksi bahwa populasi manusia kota di tahun 2050 akan meningkat dua kali lipat. Mau – tidak mau kota akan menghadapi berbagai tantangan yang timbul, termasuk dalam hal ketahanan pangan (food security). Tantangan ini sebenarnya sudah direspon oleh Kementerian Pertanian ke dalam sejumlah program diversifikasi dan ketahanan pangan, di mana pekarangan menjadi salah satu instrumen yang digunakan untuk menjalankan program tersebut dalam bentuk kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Namun penentuan sasaran kegiatannya menerapkan sistem seleksi berdasarkan skala prioritas kerawanan pangan sehingga belum semua masyarakat berkesempatan untuk terlibat dalam program ini. Maka usaha ketahanan pangan pada akhirnya harus kembali juga menjadi sebuah kesadaran maupun inisiatif mandiri.
Sebuah ironi bahwa selama ini desa memegang peranan penting dalam menyuplai bahan pangan untuk kota, namun selama ini pula desa menjadi korban atas pemekaran kota. Jika masih harus memaklumi benturan persoalan keterbatasan lahan maupun waktu untuk kemudian kembali menggantungkan diri kepada desa di tengah kondisi ketersediaan lahan pertanian yang semakin menyusut, mau sampai kapan kita akan terus menutup mata atas apa yang terjadi pada saudara-saudara kita di sana yang memperjuangkan tanah pertaniannya padahal itu untuk kita juga di kota.
–
“Rumah Lupa Kenal Pekarangan” dari Sarah Inassari Santoso disubmit melalui program Open Column. Jika ingin menjadi bagian dari program ini, klik tautan berikut: Whiteboard Journal Open Column Program.