Perkembangan Industri Musik Indonesia dari Kacamata Adib Hidayat
Kami berkesempatan untuk menemui dan berbincang dengan Adib Hidayat mengenai sustainability musisi lokal, pandangannya terhadap era streaming dan peran jurnalisme musik hari ini.
Words by Amelia Vindy
Foto: Amelia Vindy & Ardi Widja
Meskipun sudah tidak lagi menjadi jurnalis musik, rupanya Adib Hidayat memiliki cara lain agar tetap bisa menyalurkan kecintaannya pada dunia musik. Berbekal portofolio juga pengalamannya di bidang musik, kini Adib kerap dipercaya untuk menjadi kurator di berbagai acara dan festival musik salah satunya Soundrenaline 2018. Kali ini kami berkesempatan untuk menemui dan berbincang dengan Adib Hidayat mengenai sustainability musisi lokal, pandangannya terhadap era streaming dan peran jurnalisme musik hari ini.
Sejak kecil Anda dekat dengan musik. Namun apa yang membuat Anda akhirnya memutuskan untuk fokus dalam jurnalisme musik, dibanding misalnya untuk jadi musisi?
Kebetulan sejak SD saya sudah banyak mendengarkan ragam jenis musik khususnya rock dari koleksi kaset kakak saya, yang juga kemudian menjadi hobi saya dan membuat saya terobsesi untuk jadi anak band. Akhirnya saat kuliah saya sempat dipercaya menjadi vokalis, namun saya merasa persaingannya sangat luar biasa dan tidak semudah yang dibayangkan, ditambah ada banyak yang perlu dikorbankan, mulai dari waktu hingga mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk sewa studio buat hingga membeli alat. Akhirnya saat dimana saya harus menggarap skripsi, saya sepakat untuk tidak bermain musik lagi.
Selain itu, ketika masa skripsi ternyata ada satu momen dimana saya cukup sering mengunjungi sebuah perpustakaan kristen di Bandung untuk mencari bahan skripsi, sampai-sampai si penjaga perpustakaan mengenali kebiasaan saya – biasanya setiap saya berkunjung pasti saya sudah membawa belanjaan kaset yang saya beli dari toko musik Aquarius karena lokasinya yang berada di seberang perpustakaan. Lalu suatu hari penjaga tersebut bertanya “suka nulis?” saya menjawab “tidak” karena memang sampai saat itu saya tidak suka menulis. Meskipun waktu SMA mengambil jurusan bahasa dan melanjutkan pendidikan Sastra Inggris, saya tidak pernah menuangkan karya dalam bentuk tulisan. Akhirnya penjaga tersebut memberi saran kepada saya “kenapa tidak coba menulis tentang apa yang kamu dengarkan dari kaset-kaset itu? Misalnya sejarah band, albumnya bagus atau tidak” dan saya pikir “benar juga ya”.
Dan setelah percakapan tersebut saya pulang ke rumah, kebetulan ada kaset “The Best of The Doors”, dan saya pun punya buku biografinya, “No One Here Gets Out Alive” – mengingat saat itu penggunaan internet masih sangat terbatas, bermodalkan kaset dan pengetahuan dari buku tersebut akhirnya saya menulis tentang The Doors. Setelah selesai menulis artikel tersebut kemudian kirim ke Pikiran Rakyat, lalu di muat dan saya dapat honor. Dari situ saya mulai mengirim rutin mengirim tulisan ke sana di karena honor yang lumayan, bahkan saya sampai meminjam nama teman-teman mengingat 1 kontributor hanya boleh mengirimkan maksimal 3 artikel saja.
Anda menekuni banyak profesi di bidang musik mulai dari sempat bekerja pada salah satu record label lokal hingga menjadi seorang jurnalis senior. Adakah pengalaman berkesan/tak terlupakan dari perjalanan tersebut?
Salah satunya kemarin sempat menemani RI-1 (Presiden) ke We The Fest (WTF) selama dua tahun berturut-turut. Namun mungkin yang paling istimewa itu tahun lalu, ketika orang dari sekretariat negara tiba-tiba memanggil saya untuk ngobrol. Mereka bertanya bapak itu di mata publik seperti apa dan apa yang harus dilakukan. Waktu itu kalau tidak salah urusan Pak Jokowi masih melulu tentang politik, dan akhirnya saya bilang sepertinya Bapak harus mulai masuk ke dunia kreatif seperti musik, film, olahraga, komik, fashion, motor, kuliner, dan apapun yang memiliki semangat anak muda, sifatnya memberikan kejutan. Mereka mengatakan masukan saya cukup menarik. Saya ingat waktu itu hari Kamis, saya bilang besoknya ada festival musik bernama “We The Fest”. Saya bilang banyak grup musik menarik meskipun saya sendiri tidak tahu banyak, dan ini adalah salah satu festival musik yang paling banyak dikunjungi oleh warga Jakarta. Saya juga menyebutkan festival-festival lain seperti Soundrenaline, Java Jazz, Hammersonic, Synchronize Fest dll.
Sepertinya Bapak (Jokowi) harus mulai masuk ke dunia kreatif seperti musik, film, olahraga, komik, fashion, motor, kuliner, dan apapun yang memiliki semangat anak muda.
Esok harinya saya langsung di telepon sekretaris negara, yang mengatakan bahwa Jokowi ingin datang ke WTF. Saya tanya kapan, “Sabtu atau Minggu?”, “Sekarang”, jawabnya. Saya langsung kaget. Dari tempat saya di Lenteng Agung ke venue WTF di JIExpo butuh sekitar 1 sampai 2 jam. Tapi sekretaris negara bilang Bapak inginnya Adib yang menemani karena Bapak tidak tahu apa-apa. Akhirnya saya langsung koordinasi orang Ismaya bilang R1 mau datang sekarang. Ia langsung terkaget-kaget, karena acaranya sudah berjalan dari sejak pukul 6 sore sementara harusnya kalau presiden mau datang sudah disterilkan sejak kemarin, mulai dari koordinasi rute, dan sebagainya. Namun akhirnya Paspampres datang, kebetulan saya jam 7 sudah sampai. Saya ditanya, Pak Jokowi pakai batik tidak apa-apa? Saya bilang jangan, “Masak ke festival musik pakai batik?” Akhirnya saya membelikan kaos abu-abu lengan panjang untuk Bapak. Mungkin itu salah satu pengalaman menarik saya, dari hobi mendengarkan dan menggeluti musik ternyata bisa menemani orang nomor 1 di Indonesia menonton festival.
Bagaimana pandangan Anda terhadap jurnalisme musik di Indonesia yang nampaknya sulit sustainable. Contohnya banyak media musik bermunculan namun umurnya tidak panjang dan yang besar pun sulit bertahan lama.
Kalau bicara soal 5 tahun ini, fenomenanya mungkin area destruktif itu sedang terjadi, seperti yang pada Trax, Hai, kemudian Rolling Stone juga tidak lanjut. Ini terjadi secara global juga, semua harus beradaptasi dengan sesuatu yang baru, termasuk bersaing dengan nama-nama baru karena orang tidak lagi melihat seberapa besar brand itu, tapi mereka lebih melihat bagaimana kontennya. Mungkin orang akan lebih suka baca Vice, Stereogum, NME, kalau bisnis buka Billboard, atau justru nama-nama baru yang saya sendiri bingung dan tidak mengerti, yang pada akhirnya menggerus brand besar.
Kalau di Indonesia sendiri nama baru seperti Kumparan, IDN Times, dan Tirto bisa bermain dengan brand yang sudah established puluhan tahun seperti Detik, Tempo, Kompas, atau Tribun yang sedang kontroversial. Mungkin yang paling menarik seperti yang dilakukan Tirto, menjual infografis dengan konten yang padat, dengan format yang dulu disuguhkan oleh majalah tapi mereka melakukannya secara online. Akhirnya hal tersebut yang kemudian menjadikan Tirto sebagai rujukan baru untuk media di Indonesia.
Mungkin audiens tidak lagi peduli dengan nama besar, namun peduli dengan konten.
Kurang lebih seperti itu, tidak perlu spesifik membicarakan musik, karena mungkin audiens tidak lagi peduli dengan nama besar, namun peduli dengan konten. Sehingga pertanyaan yang paling besar adalah bagaimana medianya sendiri mengelola konten jadi sesuatu yang baik. Misalnya seperti Whiteboardjournal yang mengeluarkan seri interview dengan sosok yang berasal dari berbagai background, tidak hanya yang pop tetapi juga mencakup seperti sastrawan. Orang tidak lagi melihat dari benderanya saja, karena meskipun benderanya besar namun kontennya itu-itu saja? Orang juga pasti akan bosan.
Pada gelaran SXSW lalu terdapat panel “Why Music Journalism Matters in the Streaming Era” yang menghasilkan kesepakatan bahwa jurnalisme musik masih sangat penting dan dibutuhkan di era sekarang. Bagaimana Anda melihat posisi jurnalisme di era streaming seperti sekarang ini?
Sekarang kan memang lagi ramai tentang bagaimana streaming services sekaligus dituntut untuk menjadi label. Pertanyaannya kemudian siapa yang akan mengkurasi karya, yang awalnya itu tugas dari A&R di sebuah label. Sama halnya ketika pemula sudah masuk ke streaming, apakah harus langsung ke konsumen? Apakah tidak perlu ada label terlebih dahulu dari media musik atau media yang ada kontennya musiknya, untuk melakukan review in depth yang aksesnya lebih?
Rasanya media musik sekarang pun masih sangat penting, untuk memilah dan memberikan porsi lebih yang memang seharusnya bisa ditelaah dan dikupas lebih maksimal. Misalnya ketika semua musik hadir di setiap hari Jum’at, semua rilisan seperti single hingga album, dimana semua konsumen bisa mendengarkan langsung dengan radio, media atau apa pun secara bersamaan, namun saya rasa masih perlu peran jurnalis musik untuk membahas rilisan tersebut secara in depth. Contoh, mewawancarai U2 secara langsung untuk membahas kisah dibalik terciptanya album teranyarnya, kalau tidak ada peran jurnalis musik maka pendengar akan jadi lebih asumtif hanya bisa menyimpulkan informasi dari “kata blog ini atau blog itu”, tidak ada source yang memvalidasi.
Masih perlu peran jurnalis musik untuk membahas rilisan tersebut secara in depth.
Rata-rata manajemen artis juga masih membutuhkan media-media besar atau media yang punya pembaca dalam jumlah besar, atau walaupun baru tapi bagus, untuk menyuarakan itu sebagai penyaringnya. Jadi saya pikir jurnalis musik masih sangat diperlukan untuk mengupas dari sumbernya langsung untuk dapat penjelasan yang lebih detail. Contohnya mengapa Beyonce harus bikin album bersama suaminya? Kenapa Trent Reznor membuat album Nine Inch Nails dalam format trilogi? Kalau tidak ada pembahasan mendalam lewat jurnalisme musik mengenai hal tersebut, orang hanya bisa menilai soal bagus atau tidak tanpa mengetahui cerita dibalik karya tersebut, yang justru terkadang dapat menambahkan value dari karya itu sendiri. Tentu ada hal-hal yang bisa memvalidasi dan lebih komprehensif bila diungkapkan oleh media-media tersebut. Yang membuatnya menarik karena tidak hanya ada juga yang sifatnya bukan hanya memuji tapi juga menghadirkan kritisi, masukan kalau bagus ya bagus, kalau tidak ya tidak, begitu.
Di era streaming seperti sekarang ini, bagaimana pula idealnya fans mendukung karir musisi, karena revenue dari streaming relatif kecil? Bagaimana pula sekiranya posisi yang diambil oleh para musisi di era seperti ini?
Tentunya live music menjadi salah satu pemasukan paling besar untuk sebuah band, selain lewat merchandise atau iklan yang menempel ke mereka. Namun menurut saya membeli tiket pertunjukan untuk menonton penampilan mereka merupakan bentuk dukungan paling konkret, selain membeli bentuk merch, CD, atau vinyl, mengingat banyak band yang sekarang ini suka telat ketika merilis rilisan fisiknya. Streaming itu bukan dukungan yang konkret, lebih ke kebutuhan kita aja untuk mendengarkan lagu, tapi kalau misalnya saya suka Seringai, Seringai ada album baru saya akan beli album fisiknya, kaos, dan akan datang ke konsernya. Itu salah satu dukungan fans ke idolanya yang lebih konkret. Nonton pertunjukkan musik, bayar lalu beli merchandise atau rilisan fisik lalu kalau memang sangat menyukai bandnya. Selain itu, kualitas audio CD kadang suka lebih bagus jika didengarkan di mobil misalnya atau di rumah tapi untuk kolektor-kolektor akhirnya itu menjadi bagian merchandise ya, CD, kaset, dan vinyl. Tapi mendatangi konsernya dan tidak meminta tiket gratis, itu cara paling utama untuk mendukung mereka sih.
Tidakkah Anda merasa saat ini sudah tidak ada lagi batasan antara musik mainstream dan sidestream karena keduanya sudah terlihat punya value yang sama jika dibandingkan persoalan kualitas dan massa. Bagaimana tanggapan Anda terhadap landscape musik hari ini?
Setuju, kalau sekarang malah suka bingung kalau ditanya “band dari musik mainstream yang mana ya?” saya hanya bisa menjawab beberapa roster dari label-label musik major seperti Sony, Musika, dan Trinity tapi kalau ditanya nama-nama dari ranah independent saya sampai bingung mau menjawab dari mana karena ada banyak sekali. Pada akhirnya saya percaya bahwa musik bagus ya musik bagus, mau dari sidestream atau mainstream. Tidak berarti kalau berasal dari ranah sidestream tidak pasti keren, banyak juga yang tidak bagus. Tidak berarti kalau berasal dari mainstream pasti keren karena ada banyak juga yang kurang bagus, dan tidak berarti karena dari mainstream pasti jelek semua, tidak juga karena banyak juga yang bagus. Itu semua balik ke musik itu sendiri, bagaimana kemudian musisi bisa menghasilkan karya yang tidak hanya template begitu saja.
Mengingat kita sudah memasuki era streaming sekarang orang bisa mendapatkan inspirasi dari siapa pun atau sound apapun dari telepon genggam. Dulu kalau mau mencari inspirasi harus usaha dulu, pergi ke suatu tempat, kalau sekarang kan bisa di mana saja. Algoritma yang ada di streaming services juga cukup membantu untuk mendapatkan inspirasi lagu ataupun musik apapun. Katakan dia suka Led Zeppelin, di bawahnya ada turunan band setipe, seperti The SIGIT, lalu The SIGIT juga ada lagi turunannya seperti Mooner, dan Sigmun. Jadi sekarang sangat dimudahkan orang-orang untuk mendengarkan musik, inspirasi atau musik yang sesuai dengan apa yang mau didengar.
Sekarang ini sistem crowdfunding dalam membantu musisi idaman untuk bisa merilis album atau menggelar live show sedang marak dilakukan. Hal ini dianggap sebagai cara baru fans mengapresiasi dan mendukung langsung musisi yang disukai. Menurut Anda apakah cara ini sendiri bisa mengembangkan sistem industri musik di Indonesia?
Kalau membicarakan dalam perspektif besar mungkin masih butuh waktu. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk kemudian menjadi gerakan masif jika banyak penggemar dari genre itu yang memang melakukan. Katakanlah tiba-tiba Burgerkill membuat petisi yang memberitakan bahwa mereka akan manggung di Australia dan butuh dana Rp. 300jt, dari wilayah metal apakah akan semilitan itu? Atau jazz kita mau mendatangkan Joey Alexander ke Bandung butuh dana sekitar Rp. 500jt, kira-kira mungkin atau tidak? Masih mengira-ngira. Beda dengan kalau ada yang tiba-tiba membuat petisi K-pop, saya tidak ragu seandainya mereka mampu mengumpulkan uang sebesar 2 milyar untuk mendatangkan BTS contohnya, saya yakin dalam dalam beberapa waktu pasti akan terkumpul tuh militannya (tertawa).
Menurut saya memang butuh waktu tapi tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terwujud. Tapi bila melihat keadaan Indonesia saat ini, menurut saya sponsor lah yang masih sanggup menghidupi teman-teman musisi. Kalau harus menyebutkannya ya seperti rokok, e-commerce, telekomunikasi, consumer goods, kecantikan, termasuk juga bank sudah mulai ambil alih, tidak melulu rokok ya. Tapi sponsor yang masih mendominasi pergerakan musik di indonesia ya memang rokok, lihat saja jadwal teman-teman di Instagram, hampir rata-rata didukung oleh sponsor tersebut. Walaupun demikian, masih tetap ada satu atau dua yang mungkin masih memilih jalur do it yourself (DIY) yang dibiayai dari harga tiket masuk atau makanan yang ada, tapi kalau membicarakan ekosistem, yang mana berjalan secara bisnis mulai dari pelakunya, kru, dan sebagainya, saya rasa saat ini peran sponsor lah yang masih mampu membantu menutupi hal tersebut.
Hari ini kita tidak perlu lagi bergantung pada promotor besar untuk mendapatkan sajian musik alternatif karena mulai bermunculan promotor-promotor baru yang berani menghadirkan nama-nama unik bagi para pecinta musik tanah air. Bagaimana menurut Anda?
Bagus-bagus saja karena kemudian ikut menghidupkan kancah musik itu sendiri.
Bagus itu. Sekarang banyak orang yang suka musik dan punya uang lalu kemudian mendatangkan artis yang mereka suka. Justru hal tersebut memberi warna baru di kancah show business di Indonesia. Misalnya teman-teman yang rutin membuat acara di Rossi Musik, dengan mengundang line up-nya yang segmented dan meskipun dihadiri dengan kapasitas yang hanya mampu menampung berapa ratus orang. Namun sebagai bentuk hobi, kemampuan untuk mendatangkan band idolanya, yang mana bisa untung dan tidak, sudah tidak lagi dilihat sebagai masalah karena memang sudah suka. Sekarang jaringannya juga sudah lebih fleksibel dan mudah, tidak terlalu repot lagi lah ibaratnya, tiket tidak mahal, perizinan juga, seperti yang sudah saya sebutkan tadi, asal ada kemauan untuk melakukannya kenapa tidak? Saya rasa bagus-bagus saja karena kemudian ikut menghidupkan kancah musik itu sendiri sehingga ada prespektif pembanding biar jagoannya tidak hanya itu melulu.
Juga harapannya dengan mengundang band-band luar adalah semisal ada band lokal yang ikut bermain pada panggung yang sama dengan band luar tersebut, juga bisa membukakan kesempatan yang sama nantinya. Itu yang terjadi dengan The SIGIT awalnya mereka main di Australia lalu mengajak band yang dulu sepanggung dengannya untuk bermain ke sini. Hal seperti itu yang dibutuhkan di era sekarang, untuk saling mendukung, “Eh band kita punya irisan yang sama lho kenapa tidak melakukan tur bersama?”.
Kemarin kebetulan saya sempat berbincang dengan Karina vokalis band Australia, High Tension yang kebetulan bandnya saya usulkan untuk bermain di Soundrenaline, yang justru membuatnya tertarik untuk menggelar tur di Indonesia karena High Tension memang belum pernah main di sini. Akan menarik lagi apalagi High Tension juga mengundang band-band yang setipe dengan aliran musiknya seperti Taring atau Seringai, sehingga audiencenya akan terbentuk sehingga nantinya mungkin Taring dan Seringai bisa diajak main ke Australia misalnya. Hal-hal seperti itu yang rasanya perlu dilakukan, karena kalau orang mengandalkan do it yourself, sudah saatnya saya rasa untuk do it together jadi semuanya harus dilakukan bersama.
kalau orang mengandalkan do it yourself, sudah saatnya saya rasa untuk do it together jadi semuanya harus dilakukan bersama.
Kini Anda dapat andil untuk mengkurasi konten Soundrenaline. Pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh Anda dalam memilih penampil bersama anggota Board of Creators lain?
Yang punya karya, fanbase, dan yang kami anggap cocok untuk Soundrenaline. Meskipun debatable, memangnya seperti apa band yang cocok? Dari perspektif kami sebagai A&R dan kurator musik, kami sepakat bahwa kita harus memberikan alibi mengapa harus band A, B, atau C. Terkadang ada perdebatan dulu, cari titik tengah dan sepakat di atas meja, hingga akhirnya memiliki line up yang sekarang ini.
Kita juga melihat dari audiensnya, menarik tidaknya untuk ditampilkan, bagaimana ia berinteraksi dengan fansnya di media sosial, punya karya baru atau tidak. Jadi band yang kita tawarkan bukan hanya band yang punya nama tapi tidak melakukan apapun di wilayah promosi mereka sendiri. Karena harapan kita setelah Soundrenaline ini, kita bisa membantu mengangkat nama mereka untuk lebih besar lagi.
Rencana apa yang sedang Anda persiapkan?
Sedang membuat program seri talkshow musik, untuk sebuah platform baru, harapannya sih mingguan akan tayang. Lalu menjadi konsultan musik di sebuah badan pemerintah yang tidak bisa saya sebutkan sekarang. Kemudian menjadi konsultan musik sebuah portal musik dan gaya hidup.
Kurang lebih itu, dan sedang menikmati tidak terikat ke dalam satu institusi, lebih ingin seperti sekarang dulu, karena kelihatannya secara fleksibilitas waktu lebih enak. Ada beberapa tawaran, tapi sekarang ini masih ingin merdeka dulu saja, jadi tidak spesifik ke brand tertentu jadi lebih bisa ke mana-mana. Dan ingin berkontribusi dengan yang saya bisa saja, seperti di musik yang memang telah menjadi interest saya.