Pekerjaan Rumah Pertama Untuk Presiden Kita: Menyelesaikan Masalah HAM
Membahas masalah HAM sebagai salah satu pekerjaan rumah untuk presiden terpilih bersama Komikazer, Aksi Kamisan, hingga Joe Million.
Words by Emma Primastiwi
Desain: Muhammad Hilmi
Kita telah melewati pemilihan presiden untuk periode 2019-2024. Kini, saatnya kita menuntut pemimpin negara kita untuk menyelesaikan masalah bangsa kita, yakni masalah HAM. Jika membicarakan HAM atau isu-isu seputarnya, masih ada keresahan yang kuat terpendam di benak masyarakat Indonesia. Kekuatiran yang masih sangat hidup ini pun tidak kunjung berakhir berkat pemerintahan yang tidak menyelesaikan, bahkan mengacuhkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang lama maupun baru-baru saja terjadi. Lewat 21 tahun setelah era reformasi, kita tidak hanya mengalami kemandekan, tetapi kemunduran signifikan yang mengancam demokrasi sebagai hak konstitusional masyarakat Indonesia. Melihat isu tersebut, kami berbincang dengan Joe Million, Komikazer, sampai Aksi Kamisan untuk membahas masalah HAM sebagai salah satu pekerjaan rumah bagi presiden yang terpilih nantinya.
AHMAD SAJALI
Youth Proactive – Aksi Kamisan
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Saya melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini dari bagaimana negara masih belum bisa melaksanakan tugasnya untuk menegakkan, melindungi, memenuhi, menghormati serta memajukan hak-hak kita sebagai warga. Baik untuk urusan sipil-politik maupun ekonomi-sosial-budaya.
Ada perangkat hukum seperti UU ITE dan sejumlah pasal karet yang mengurangi unsur kebebasan berekspresi di Indonesia. Tuntutan para korban pelanggaran HAM untuk keadilan dan untuk kebenaran dari berbagai momen kekerasan yang melibatkan negara juga belum tersedia sebab belum ada proses penyelesaiannya.
Data dan fakta soal belum menyeluruhnya akses warga di Indonesia atas hak-hak dasar seperti air, pangan, serta udara yang bersih juga pekerjaan rumah yang tak kunjung usai untuk pemerintah. Belum lagi negara kerap menempuh proses yang melanggar aspek HAM dalam tahapan pembebasan lahan dari proyek-proyek pembangunan.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Saya sepakat, pengangkatan para purnawirawan militer yang semasa tugas diduga terlibat kasus HAM ke lingkaran istana adalah indikator yang jelas mau ke mana arah negara dalam hal penyelesaian kasus HAM berat. Dalam pengambilan keputusan sudah pasti akan ada konflik kepentingan sehingga tidak akan hadir jawaban yang sesuai dengan ketentuan secara nilai dan ilmiah.
Ingat, selain berkomentar soal statisnya upaya penyelesaian kasus HAM berat, para Indonesianis bidang politik di Australia juga sudah menyatakan bahwa Indonesia dalam perjalanan menjadi negara otoriter lagi. Berkat diabaikannya unsur-unsur penting demokrasi oleh pemerintahan era Jokowi.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Karena ruang politik kita dipenuhi oleh aktor-aktor politik yang punya kepentingan untuk mencegah hal-hal baik seperti terselesaikannya kasus HAM berat bisa terjadi, sebab itu merugikan mereka karena seharusnya ada konsekuensi hukum dari kekejaman yang mereka buat dulu.
Untuk urusan lain seperti keadilan sosial, ruang politik juga ramai diisi oleh kaum pemodal bisnis yang kaya raya. Kebijakan dan proses politik dirancang sebisa mungkin untuk membuat mereka semakin kaya raya. Urusan rakyat adalah yang kesekian dibanding kepentingan bisnis mereka. Maka sempurnalah buruknya kualitas politik di negara kita, politisi yang berkoalisi dengan modal pebisnis dan modal pengamanan dari purnawirawan militer. Sebagian besar perputaran kebijakan dan uang negara kita ya di ruang ini.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Khususnya untuk Aksi Kamisan hal itu juga cukup dirasakan. Logika dasarnya kan jika ada kritik atau suara (apalagi didukung data serta cantolan regulasi) pemerintah semestinya bisa merespon apa yang seharusnya mereka lakukan.
Tapi kita tahu bagaimana kondisi terkini dari berbagai upaya warga menuntut haknya seperti para keluarga korban pelanggaran HAM berat di Aksi Kamisan, belum ada langkah penyelesaian. Kita juga harus cek perjuangan warga menjaga alam ruang mereka tinggal. Negara masih berpotensi merebut dan mengalihfungsikan lahan di Kendeng untuk pabrik semen serta Teluk Benoa untuk direklamasi demi kepentingan bisnis wisata dan properti. Meski kita juga tahu bahwa perlawanan warga sudah bertahun-tahun, tapi memang para politisi tak ada yang peduli.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Hal-hal yang dibutuhkan negara untuk membuat Indonesia humanis saya rasa sudah cukup tersedia. Desakan dari warga juga sudah cukup banyak yang bisa dimaknai sebagai dukungan bahwa kebijakan ramah HAM, ramah lingkungan adalah kebijakan yang populer, meski mungkin tidak bagi mereka (terduga pelanggar HAM serta para pebisnis kotor) yang berkepentingan sebaliknya.
Jadi pertanyaannya justru ada di negara, mau memenuhi kebutuhan hak asasi warganya atau melindungi keburukan para eks jenderal yang kejam serta para pebisnis curang?
TUNGGAL PAWESTRI
Hivos
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Saya sulit menemukan hal signifikan yang telah dilakukan oleh negara untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Mungkin ada capaian seperti diperbolehkannya mencantumkan kepercayaan di KTP atau hak tanah adat misalnya, tapi pada saat yang bersamaan kita mengetahui ada ratusan kasus pelanggaran HAM terkait konflik agraria yang belakangan muncul.
Sementara itu kasus pelanggaran HAM masa lalu belum juga mendapatkan titik terang untuk penyelesaiannya. Saya tidak melihat itikad nyata dari pemerintah untuk sungguh-sungguh menuntaskan kasus-kasus ini, mulai dari 65, Talangsari, Munir, Papua dan 98 (Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan). Impunitas. Pemerintah juga tidak memberikan perlindungan yang baik terhadap kelompok minoritas. Hak kebebasan beragama, berekspresi dan berpendapat terancam dengan pembiaran atas persekusi yang makin marak.
Jadi secara garis besar, kondisi HAM terutama terkait penegakan dan perlindungan, masih jauh panggang dari api, masih sangat jauh dari cita-cita reformasi.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Stagnan, mandek, jalan di tempat, mungkin menurut saya lebih tepat. Karena jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu juga tidak disentuh oleh pemerintahan sebelum-sebelumnya. Kita ingat SBY saat itu bicara soal Test of History pada kasus Munir dan sampai pemerintahan sekarang, Jokowi juga tidak ada progresnya. Dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang muncul belakangan ya konsekuensi logis dari tidak tegasnya pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Saya pikir, paska reformasi, kelompok demokratiknya kalah cepat untuk mendesakkan agenda HAM, kalah cepat dengan sisa-sisa orde baru dalam berkonsolidasi pada awal-awal reformasi. Sehingga beberapa upaya selalu mentok. Sudah begitu, variabel persoalannya pun semakin banyak. Belum selesai menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu, sudah harus pula mengurusi pelanggaran HAM yang belakangan muncul. Sementara tenaganya itu-itu saja. Akibatnya pemerintah selalu meminggirkan agenda penyelesaian HAM masa lalu karena tekanan kelompok demokratiknya tidak terlalu kuat dan masih banyaknya sisa-sisa orba bercokol di pemerintahan.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Kelompok penekan ekstra parlementer ini penting sekali posisinya. Sialnya, kesadaran HAM ini belum masif sehingga jumlahnya tidak bisa dibilang besar juga. Andai saja materi HAM jadi materi wajib di sekolah, mungkin gerakan kesadaran HAM ini bisa diperluas dengan cepat.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Selalu kritis terhadap situasi dan kondisi HAM di Indonesia. Jadi agen-agen aktif dalam menyebarkan nilai-nilai HAM dan tak takut untuk bersuara. Narasi anti nilai-nilai HAM yang kita juga tahu sudah disuarakan oleh kelompok anti demokrasi, harus dilawan, jangan dibiarkan. Jangan diam, lawan.
Reza Mustar
Illustrator – Komikazer
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Kondisi HAM di Indonesia saat ini menurut saya stagnan dan tidak ada perkembangan yang signifikan semenjak reformasi 1998.
Beberapa tahun lalu, seorang profesor di Universitas Melbourne menjalankan riset terhadap kasus-kasus HAM di Indonesia, dan menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam penyikapan kasus-kasus HAM, apakah Anda setuju akan pernyataan ini?
Saya setuju dengan riset tersebut. Dilihat dari perkembangannya 10 tahun terakhir ini, saya sebagai seorang seniman sekaligus orang awam tidak melihat adanya perkembangan penyelesaian dari pelanggaran HAM di masa lalu. Di beberapa kasus besar seperti peristiwa 65 malah mundur kebelakang tidak lebih seperti era Orde Baru. Dan juga 5 tahun terakhir ini muncul banyak pelanggaran HAM baru yang berhubungan dengan agraria.
Kita sudah mencapai 20 tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan atau kemunduran ini?
Menurut saya ini berhubungan dengan tidak adanya kemauan yang serius dari orang-orang di pemerintahan maupun parlemen untuk menyelesaikannya. Iklim politik di Indonesia juga menyebabkan kasus-kasus HAM ini terhambat dengan adanya peran dan keterlibatan orang-orang di pemerintahan di kasus-kasus pelanggaran HAM, baik di masa lalu maupun yang baru. Seolah-olah reformasi 20 tahun lalu itu tidak pernah terjadi.
Di Indonesia kini banyak kelompok aktivis yang menjunjung kepentingan HAM dan penyelesaian dari pihak pemerintah. Bagaimana Anda melihat kemanjuran kelompok-kelompok ekstra parlementer ini dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan seputar HAM?
Kelompok-kelompok aktivis HAM di masa kini sudah banyak berkembang dan mengerti sela untuk kampanye dan melakukan aksi baik secara offline maupun online. Mereka juga sangat memahami peran dari seniman maupun budaya populer untuk membantu mengagungkan kampanye HAM untuk dipahami dan menggerakkan masyarakat agar mendorong pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Menurut saya itu sangat efektif, namun lagi-lagi bolanya di pemerintah.
Kedepannya, apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Kita sebagai warga negara bisa berperan langsung baik offline maupun online dalam mengkampanyekan aksi pelanggaran HAM agar mendesak pemerintah menyelesaikannya. Setidaknya bila pemerintah enggan untuk bergerak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, kita bisa membantu dengan mendidik masyarakat untuk memahami HAM dan juga tidak buta sejarah akan pelanggaran HAM di masa lalu.
NISRINA NADHIFAH
Aktivis
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Kondisinya tentu jauh dari kata bagus. Bisa dilihat dari impunitas yang masih jalan terus. Sejumlah kasus pelanggaran HAM, juga HAM berat masa lalu belum diselesaikan. Kultur kekerasan terutama oleh ‘yang berkuasa’ terus langgeng. Sementara HAM malah dipakai sebagai ‘barang dagangan’ politisi dan calon pejabat.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Relatively setuju. Karena seiring dengan usia reformasi yang semakin dewasa, namun tidak diikuti dengan willingness dari negara untuk juga dewasa dalam menyikapi kasus-kasus HAM. Sama sekali tidak ada inisiatif positif apalagi tindakan konkret dari negara khususnya dalam hal ini pemerintah untuk menyikapi dan menjawab persoalan HAM. Terutama kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang penyelesaiannya masih sangat terkatung-katung, sementara korban juga terus meraung-raung meminta keadilan yang merupakan hak mereka.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Tahun ini sudah 21 tahun reformasi, tapi sepertinya ‘reformasi’ hanyalah sekadar bahasa di level negara khususnya pemerintah. Sebatas kata yang tidak diwujudkan, tidak hidup. Kalau ditanya mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan/kemunduran, kembali lagi; impunitas masih jalan terus bahkan cenderung difasilitasi rezim dan tak ada willingness dari negara khususnya pemerintah.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Di satu sisi, tentu ini merupakan indikasi yang baik untuk iklim HAM dan demokrasi kita. Namun perlu disadari pula bahwa dari dulu hingga sekarang, kelompok aktivis juga banyak sekali mendapatkan serangan dari negara, bentuknya berupa kriminalisasi, pembungkaman/pembatasan hak kebebasan berpendapat, hingga dihilangkan/dibunuh. Tidak ada proteksi yang memadai bagi aktivis/pembela HAM. Seringnya sama sekali tidak kooperatif atau bahkan melawan aktivitas para aktivis/pembela HAM ini.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Tentunya dengan tidak lelah-lelah kritis; tidak mudah terbuai apalagi termakan janji manis nir-substansi. Warga sipil jangan lelah untuk berstrategi menyampaikan mendesak kewajiban negara dalam HAM sesuai kesepakatan internasional dan hukum nasional yang berlaku. Warga juga harus ‘literate’ dan berani bersuara khususnya atas hal-hal terkait HAM, hukum, sosial dan politik, karena warga mana pun punya hak yang sama yang dijamin UU.
Joe Million
Rapper
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Memprihatinkan. Banyak yang sudah melek dengan keadaan ini namun belum banyak tindakan yang berarti dan pemerintah sepertinya terlihat abai.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Selama masih ada Aksi Kamisan saya setuju.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Menurut saya karena negara kita sangat buruk dalam hal pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Para pemangku jabatan hanya sibuk perang kekuasaan dan karena ini sudah terjadi di semua sisi pemerintahan sehingga susah untuk tidak ikut ambil bagian dalam pelaksanaan pemerintahan yang buruk. Tidak ada visi besar para pejabat pemerintah untuk membangun bangsa Indonesia.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Banyak aksi dan kelompok yang memperjuangkan HAM. Tapi menurut saya permasalahan utamanya adalah ketiadaan dukungan yang serius dari pemerintah sehingga jangankan penegakan ham, kebijakan-kebijakan HAM seringkali tidak tertuang dengan baik. Pemerintah malah sering membuat RUU yang bertentangan dengan ham seperti contoh kasus UU ITE.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Terus suarakan. Terus bela mereka yang tertindas. Masuk jadi bagian dari pemerintahan untuk membuat kebijakan ham dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Yang paling penting jangan abai dan selalu terlibat, sekecil apapun untuk menegakkan HAM di Indonesia, entah cuma ikut turun ke jalan, tanda tangan petisi, atau sekedar repost. Agar kita selalu sadar bahwa masalah ham itu dekat dengan kita dan bisa terjadi dengan siapa saja.
PAMFLET GENERASI
Organisasi Nirlaba
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Kami akan membahas kondisi HAM menurut kacamata kami berfokus pada isu hak kesehatan reproduksi dan seksualitas anak muda, hak bagi kelompok minoritas seksual maupun kepercayaan, hak bagi kelompok disabilitas khususnya anak muda tuli, hak perempuan, serta kebebasan berekspresi.
Di segi hak kesehatan reproduksi dan seksualitas anak muda, kami menilai bahwa UU No. 36 tahun 2009 dapat menjadi acuan yang kuat bagi pemenuhan hak tersebut, terutama pada bagian enam di UU ini. Sayangnya, terdapat beberapa hal yang masih menjadi dilema bagi pemenuhan hak seperti pendidikan kesehatan reproduksi yang belum menjadi kewajiban diajarkan di sekolah (dan usulan ini pernah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi di tahun 2015), pelayanan kesehatan reproduksi bagi anak muda yang belum ramah anak muda (seperti jam layanan yang sama dengan jam masuk sekolah), maupun kurangnya perlindungan pihak pemerintah bagi korban perkosaan yang (sebenarnya) diperbolehkan untuk aborsi (di samping penghakiman masyarakat yang cukup tinggi bagi korban).
Hak kelompok minoritas seksual maupun kepercayaan menjadi satu hak yang menurut kami paling menuai kontroversi, dan pelaksanaannya sering menemui HAMbatan. Kelompok LGBTIQ sering dianggap sebagai kelompok berbahaya bagi moral, lebih berbahaya dibanding Nuklir (pernyataan Menteri Ryamizard di tahun 2016), dan keberadaannya selalu dikecam banyak masyarakat maupun pemerintah daerah (seperti di Aceh maupun Depok yang memiliki peraturannya sendiri untuk mencegah dan “mengobati” kelompok LGBTIQ).
Meski sudah terdapat UU khusus yang mengatur pemenuhan hak disabilitas, namun pemenuhan hak bagi kelompok ini, jauh dari kata ideal. Kuota disabilitas untuk dapat diterima bekerja (2% bagi BUMN dan 1% bagi swasta) tentu terbilang kecil, belum lagi akses bagi disabilitas yang terkadang enggan untuk disediakan oleh perusahaan (penerjemah bahasa isyarat, akses ramah disabilitas daksa, dan lain sebagainya). Namun diskursus terkait disabilitas di Indonesia menjadi semakin ramai dibicarakan dan pemenuhannya lambat laun mengalami kemajuan (terutama setelah Asian Para Games tahun 2018 lalu). Penerjemah bahasa isyarat kembali tersedia di televisi, isu disabilitas menjadi topik yang disorot dalam visi misi calon presiden, serta mulai adanya perubahan paradigma program pemerintah bagi kelompok disabilitas dari berbentuk “bantuan sosial (charity)” ke “pemenuhan hak (fulfillment of rights)”.
Sejak dulu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki. Data dari BPS menunjukkan bahwa sejak tahun 2010 hingga sekarang, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih di sekitar angka 50% sedangkan laki-laki di angka 80%. Tentu bukan hal yang bijak jika kita berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan ketidakmauan perempuan untuk bekerja. Hal yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ini adalah masih sedikitnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk mengembangkan dirinya (masih banyak keluarga di Indonesia yang percaya bahwa laki-laki lah yang akan menjadi pemimpin keluarga, yang dengan demikian adalah yang akan bekerja untuk menghidupi keluarga). Ketidakadilan terhadap perempuan sangat banyak di negara ini tidak hanya di aspek pekerjaan (belum lagi rerata gaji perempuan yang lebih sedikit dibanding laki-laki dengan posisi dan tipe pekerjaan yang sama), namun juga dalam hal menikah (perempuan boleh menikah atau dinikahkan di usia 16 tahun – kelas 1 SMA – sedangkan laki-laki di usia 21 tahun berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974). Kekerasan terhadap perempuan pun seakan menjadi kejadian yang berulang dan semakin banyak dilaporkan dari tahun ke tahun karena sistem perlindungan bagi perempuan di negara ini yang masih lemah (RUU PKS yang tak kunjung disahkan).
Kami juga menilai bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia jauh dari kata ideal. Beberapa waktu lalu kita tahu bahwa seorang aktivis Robertus Robet diamankan polisi setelah sebelumnya memimpin sebuah demonstrasi yang menyindir rencana pemerintah mengglorifikasi kembali dwifungsi TNI. Selain masyarakat Indonesia yang (mungkin) sangat sensitif dan cepat sakit hati hingga akhirnya main lapor atas konten yang memojokkan dia atas dalih “pencemaran nama baik”, Undang-Undang kita pun gagal untuk menjamin kebebasan berekspresi terutama pada pasal karet yang ada di UU ITE.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Di Pemilu tahun 2014 lalu, Calon Presiden Jokowi pernah berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Namun, sayangnya setelah terpilih dan menjabat menjadi Presiden selama 5 tahun berikutnya, penyelesaian pelanggaran HAM ini masih dituntut oleh masyarakat sipil. Meski pada tahun 2018 perwakilan korban pelanggaran HAM masa lalu akhirnya dapat bertemu dengan Presiden, tapi penyelesaian permasalahan ini masih belum sesuai harapan. Contohnya, dalang 65 atau 98 sampai sekarang belum jelas dan belum ada kelanjutan pemerintah untuk mengungkap hal ini. Namun kami tidak dapat menyatakan hal ini adalah sebuah kemunduran atau bukan, seperti yang diungkapkan oleh Profesor tersebut.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Penyebab belum adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia tentu sangat kompleks. Secara kelembagaan, Indonesia kami nilai belum siap untuk memiliki komitmen menyelesaikan pelanggaran HAM. Instrumen seperti Komnas HAM yang dibentuk Presiden sendiri pada akhirnya tidak memiliki kuasa tertentu untuk menyelesaikan pelanggaran hak yang ada, hanya sebatas memberikan rekomendasi pada Presiden yang tidak memiliki kekuatan hukum. Birokrasi yang sangat panjang dan berlapis juga menjadi satu faktor mengapa pada akhirnya kasus-kasus pelanggaran HAM hanya berakhir di berkas. Pembentukan tim ad hoc pun kami nilai terlalu lama dan pengadilan HAM belum dapat aktif secara maksimal.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Dari segi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, kami pikir pada akhirnya hal ini belum mencapai objektif yang diharapkan, karena pada kenyataannya setelah 12 tahun aksi di depan istana, kamisan tetap diadakan untuk meminta komitmen Presiden menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tapi apakah hal ini “tidak manjur?”
Pemenuhan hak warga negara bagi berbagai kelompok tentu juga diperjuangkan lagi dan lagi, pelan-pelan, serta dilakukan satu per satu. Sebagai contoh, gugatan penghayat kepercayaan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017 terkait UU Administrasi Kependudukan yang hanya mengakui enam agama di Indonesia, kini penghayat kepercayaan memiliki KTP dengan kolom kepercayaan. Tentu perjuangan yang sama dilakukan oleh banyak kelompok untuk mendorong pemerintah memenuhi dan melindungi hak kelompok lainnya, namun hasil yang didapatkan belum seindah harapan. Dorongan masyarakat sipil terhadap pemerintah untuk melaksanakan tugasnya melindungi dan memenuhi hak warga negara bagi perjuangan-perjuangan pemenuhan hak saat ini tidak dapat kami bilang manjur atau tidak, tapi merupakan sebuah keharusan, karena toh, gugatan masyarakat sipil untuk menaikkan usia menikah dari usia 16 tahun menjadi 18 tahun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015. Kalau melihat kasus tersebut, sesuai dengan pertanyaan yang ada, maka dorongan masyarakat sipil termasuk tidak manjur (mengingat besarnya dukungan masyarakat saat itu untuk mendukung kenaikkan usia pernikahan). Tapi tentu tidak bijak untuk menilai manjur atau tidaknya sebuah gerakan hanya karena pemerintah menolak atau tidak tuntutan gerakan tersebut, karena pada akhirnya, gerakan menuntut pemerintah mengkaji ulang batas usia pernikahan terus dilanjutkan.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Sesuai dengan visi Pamflet, yang bisa kami lakukan adalah terus memperkuat literasi bagi anak muda terkait isu hak asasi manusia. Dengan pembelajaran dan penguatan yang ada, kami berharap anak muda dapat mendukung pemenuhan hak asasi manusia, dan ikut dalam perjuangan masyarakat sipil untuk terus menuntut pemerintah terhadap perlindungan dan pemenuhan ini. “Menggiring” opini publik terhadap sebuah isu HAM menjadi satu pekerjaan rumah tersendiri karena banyak diluar sana yang pada akhirnya melakukan hal yang sama dengan informasi berbeda dan cenderung menyudutkan para korban. Mendorong anak muda untuk mengerti hak masing-masing, menghormati hak orang lain tanpa memandang latar belakang apapun, dan mendorong mereka untuk mendukung gerakan HAM menjadi satu hal yang setidaknya bisa kami lakukan saat ini.
Tampan Destawan
Ilustrator – Komikrukii
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Sekitar sepuluh tahun lalu saya pernah punya mantan yang nasrani, waktu itu kecelakaan dan harus segera ke rumah sakit. Yang membuat saya masih begitu ingat peristiwa itu adalah, rumah sakit saat itu tidak menerima mantan saya itu hanya karena berbeda keyakinan. Lalu, barusan saja sahabat saya cerita kalau temannya tidak mau makan di rumahnya karena perabot makanannya tidak halal, karena perbedaan keyakinan tadi.
Peristiwa-peristiwa itu tidak berubah bertahun-tahun, bahkan terkesan dibiarkan. Bentuk protes hanya selesai di wilayah media sosial, semua berkomentar. Tetapi ketika melihat langsung hanya diam. Pemerintah pun, yang saat ini sedang melakukan pembangunan besar-besaran, abai dengan warganya, pemerintah bisa menjadi salah satu momok bagi warga dalam pelanggaran HAM. Teman-teman di Jogja sekarang jadi tim advokasi para warga yang dipaksa menjual rumahnya untuk pembangunan bandara baru. Setelah ini siapa lagi yang akan menjadi korban?
Undang-undang juga seringnya malah salah sasaran, mengekang kebebasan berbicara, para korban pelecehan yang ingin mengungkap kasus pelecehannya malah menjadi tersangka perusakan nama baik. Sungguh membingungkan. Penegak hukum? Kemana? Kasus-kasus satu persatu pelan dan pasti hilang, seperti itu terus.
Beberapa tahun lalu, seorang profesor di Universitas Melbourne menjalankan riset terhadap kasus-kasus HAM di Indonesia, dan menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam penyikapan kasus-kasus HAM, apakah Anda setuju akan pernyataan ini?
Bagaimana saya bisa tidak setuju, ketika mau beribadah saja susah? Bagaimana saya bisa tidak setuju, ketika ada orang mau beristirahat dengan tenang aja susah? Ketika ada orang mau ngekost saja harus berpikir agamanya apa. Bahkan, mau sekolah saja takut.
Kita sudah mencapai 20 tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan atau kemunduran ini?
Kalau bicara kasus-kasus HAM gak lepas dari peran pemerintah dan para penegak hukum. Pertanyaan itu harusnya juga diberikan kepada mereka, kenapa sampai saat ini masih aja cuma jadi wacana? Tidak peduli, tidak mampu, tidak berani, atau memang ada yang disembunyikan? (Saya ngomong begini aja takut kalau nanti saya diciduk)
Penegakan hukum yang lemah di negeri ini yang menjadi salah satu faktor utama mandeknya penegakan HAM di negeri ini.
Di Indonesia kini banyak kelompok aktivis yang menjunjung kepentingan HAM dan penyelesaian dari pihak pemerintah. Bagaimana Anda melihat kemanjuran kelompok-kelompok ekstra parlementer ini dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan seputar HAM?
Yah, mungkin itu salah satu jalan yang bisa efektif untuk menegakkan HAM di negeri ini. Memang perlu teman-teman independen yang paham di bidang ini yang memiliki strategi jitu untuk mengadvokasi para korban. Cuma rasanya aku pribadi mulai pesimis, ketika aparat penegak hukum, pemerintah tidak berubah sama sekali. Undang-undang dibuat tapi malah salah sasaran.
Kedepannya, apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Sebagai warga, berawal dari diri sendiri, kita harus mengerti betapa pentingnya hak asasi manusia. ketika kita paham betul hak-hak kita, seharusnya bisa menghargai diri sendiri dan orang lain. Hak asasi adalah hal paling mendasar dari manusia, manusia lahir memiliki hak yang sama, bebas dan merdeka. Sama melakukan tindakan-tindakan yang lebih real seh. seperti jika melihat adanya praktek pelanggaran HAM tidak hanya diam.
SWANDARU
Imparsial – Indonesian Human Rights Monitor
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Secara umum tidak ada perubahan dengan pemerintahan sebelumnya, tidak ada instrumen hukum yang baru terkait dengan pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM, kasus pelanggaran HAM berat tidak satupun yang yang diselesaikan walaupun itu masuk dalam Nawacita dari Presiden Jokowi.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Jika riset yang dimaksud berjudul “Do Indonesians still care about human rights”, saya kira laporan itu merujuk pada warganya dalam memahami HAM dan dalam konteks pemenuhan hak asasi oleh pemerintah. Saya setuju dengan pernyataan bahwa Indonesia dalam konteks negaranya yang mengalami kemunduran dalam melindungi hak asasi warga negaranya, terutama terkait dengan isu kebebasan berpendapat dan berekspresi serta perlindungan terhadap Pembela HAM. Dalam isu kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat kita ketahui bersama bahwa banyak sekali kasus-kasus terjadi, bahkan dalam dokumentasi Safenet ada lebih 250 kasus. Dalam berbagai kasus tersebut latar belakang isu-nya biasanya berkutat pada isu komunisme, LGBT, dan NKRI. Tiga isu tersebut menjadi sangat sensitif pada saat ini, di mana kemudahan mendapat informasi sudah gampang dengan menggunakan telepon pintar dan akses internet yang sudah lumayan cepat.
Komnas HAM pada periode 2012 – 2017 membuat gebrakan dengan adanya Pelapor Khusus untuk Pembela HAM, hasilnya adalah adanya laporan tentang situasi Pembela HAM yang sebelumnya belum pernah ada serta adanya peraturan internal tentang tata cara memberikan perlindungan terhadap Pembela HAM yang sedang dalam situasi darurat. Namun setelah anggota Komnas HAM periode tersebut habis, saat ini belum jelas tentang mekanisme untuk memberikan perlindungan terhadap Pembela. Apalagi saat ini komisioner Komnas HAM hanya berjumlah 7 orang, lebih sedikit dibanding periode sebelumnya yaitu 13 orang. Komnas HAM perlu segera untuk merumuskan mengingat kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM yang terus terjadi, seperti yang dialami oleh Murdani, Direktur Walhi NTB yang rumahnya mengalami pembakaran pada beberapa titik serta ancaman lainnya.
Masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan lainnya yang terjadi terhadap berbagai macam pembela HAM di Indonesia, bahkan hingga ada mengorbankan nyawanya seperti yang dialami Salim Kancil dari Lumajang (2015), Indra Pelani dari Muara Bulian, Jambi (2015), Poro Duka dari Pulau Sumba, NTT (2018) dan tidak lupa tentunya 3 kasus besar yang sampai sekarang masih misteri seperti kasus pembunuhan aktivis buruh, Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Udin di Yogyakarta (1996) dan pembunuhan Munir (2004). Lagi-lagi jika anda ingin tahu lebih banyak kasusnya secara detail, laporan-laporan dari berbagai macam LSM yang saya sebutkan sebelumnya selalu ada bab khusus tentang kekerasan yang dialami pembela HAM.
Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah bersama masyarakat sipil membuat rancangan Peraturan Menteri (Permen) tentang Tentang Perlindungan Bagi Peran Serta Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat, sebagai turunan dari pasal 66 UU 32/2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 66 ini berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana mamut digugat secara perdata.” Namun hingga sekarang Permen ini belum jadi dan disahkan oleh Menteri KLHK walaupun prosesnya sudah berjalan sejak 2017. Manfaat dari dibuatkan Permen ini adalah untuk mencegah adanya praktik kriminalisasi terhadap Pembela HAM, terutama di sektor lingkungan hidup, yang selama ini kasus cukup banyak terjadi.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Untuk pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi, hingga saat ini boleh dikatakan mengalami kemandegan. Kejaksaan selalu saja mengembalikan berkas-berkas kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Pasca pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 tidak ada lagi upaya pemerintah untuk mengajukan Rancangan UU yang baru untuk menggantikan yang sudah dibatalkan tersebut. Memang untuk Tragedi 1965, Pemerintah sudah menggagas kegiatan simposium nasional, namun sampai sekarang apa tindak lanjutnya, tidak kelihatan. Keluarga dari korban pelanggaran HAM yang selama ini menjadi penggerak aksi kamisan di depan istana juga tidak pernah diberikan perhatikan serius atas apa yang mereka perjuangkan. Bisa jadi yang terjadi saat ini karena di sekitar Presiden Jokowi masih banyak yang memiliki keterkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Jika Jokowi terpilih kembali, saya kira PR yang paling utama untuk dirinya adalah isu HAM karena ini yang paling tertinggal dalam pemerintahannya saat ini.
Kondisi ini tentunya juga tidak bisa dibebankan sendiri kepada pihak eksekutif, peran DPR yang memiliki fungsi legislasi dan kontrol terhadap eksekutif dalam hal Hak Asasi Manusia tidak kelihatan. Partai-partai yang memiliki anggota dan masuk dalam kabinet tidak terdengar suaranya dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah, partai-partai yang mengaku sebagai oposisi pun juga tidak menjadikan isu hak asasi manusia sebagai agenda utama mereka dalam mengkritik pemerintah.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Timbulnya berbagai macam LSM itu kan sebenarnya dilandasi karena adanya macetnya komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya, begitu juga antara parlemen dengan rakyatnya, sehingga mereka ini berperan menjadi corong dari komunitas korban ataupun dampingannya agar suara didengar oleh pengambil kebijakan, semacam voice of the voiceless. Dalam melakukan advokasinya, LSM ada yang memilih pendekatan hanya sebagai watchdog, hanya akan selalu berada di depan untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang salah, ada juga yang memilih strategi dengan engagement dengan melakukan berbagai upaya perbaikan dari institusi pemerintahan dan ada yang menjalankan kedua pendekatan tersebut.
Jika merujuk pada pertanyaan tentang kemanjuran kelompok ekstra parlemen, menurut saya yang seharusnya memiliki peran lebih besar untuk mengkritik dan memberikan masukan kepada pemerintah adalah dari pihak yang berada di parlemen, bukan yang di ekstra parlemen. Memang pada saat ini, banyak aktivis yang berada di dalam sistem (pemerintahan) dan ini bisa membuat komunikasi antara kawan-kawan LSM dengan pihak pemerintah menjadi lebih cepat. Namun ekspektasi bahwa keberadaan mereka untuk dapat segera membuat perbaikan dalam hal isu HAM tidak terpenuhi, berkali-kali kawan-kawan dari LSM membawa berbagai macam kasus kepada mereka yang sudah di dalam, namun seringkali susah mendapatkan hasil yang sesuai diminta dari warga yang menjadi korban.
Saya bisa menyadari kondisi tersebut, karena kebanyakan posisi-posisi kawan-kawan yang dulunya bekerja di LSM adalah bukan pada pengambil kebijakan secara langsung. Dengan posisi mereka, mereka juga harus berhadapan dengan kekuatan politik lainnya di lingkungan mereka bekerja. Namun, jangan juga hal ini dijadikan apologi atas mandek-nya banyak kasus-kasus yang selama ini sudah diajukan oleh kawan-kawan dari LSM.
Jadi apakah manjur atau tidak, keberadaan kawan-kawan yang disebut oleh anda sebagai ekstra parlemen adalah manjur dengan catatan jika yang mengambil kebijakannya terbuka terhadap masukan dari masyarakat sipil, sebagaimana contoh dalam perumusan Permen turunan dari pasal 66 UU 32/2009. Walaupun, sampai sekarang belum diketok juga Permennya. Jika nanti jadi disahkan, Permen ini akan menjadi legacy dari ibu Menteri yang cukup besar dalam memberikan jaminan untuk masyarakat dalam memperjuangkan lingkungan agar tetap baik dan bersih hingga ke anak cucu kita semua.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Kita harus selalu mengingatkan atau kritis kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Jika kita bisa menyelesaikan kasus-kasus tersebut, kita sebagai bangsa akan lebih mudah membangun bangsa ini. Penyelesaian pelanggaran HAM berat akan menjadi modal dalam mempersatukan seluruh komponen bangsa, karena tidak ada lagi rasa curiga ataupun rasa paling benar sendiri, sebab sejarah masa lalu telah dibenahi secara bersama oleh anak bangsa.
Presiden yang akan terpilih harus memiliki visi terhadap hak asasi manusia, jangan sampai malah yang bermasalah dengan hak asasi manusia, karena dalam hak asasi manusia terdapat nilai-nilai yang jika dijalankan akan membawa bangsa ini semakin baik dan maju peradabannya.
Bagi millennial, hak asasi manusia dan sifat kritis tentunya bukan hal baru lagi karena mereka mempelajari di sekolah dan mendapati dalam kehidupan sehari. Jika anda melihat ketidakadilan di sekitar anda, pergunakan kemampuan anda untuk menyuarakan agar membantu bagi si korban lewat sosial media. Kenapa kita perlu ikut menyuarakan, agar ketidakadilan tersebut bisa ditangani oleh yang berwajib/pemerintah dan apa yang terjadi terhadap korban tidak menimpa yang lainnya juga.
TEUKU REZA FADELI
Dosen Departemen Sejarah – Universitas Indonesia
Bagaimana Anda melihat kondisi HAM di Indonesia saat ini?
Di Indonesia, HAM masih dan akan selalu jadi tantangan untuk kemanusiaan.
Seorang profesor di Universitas Melbourne yang telah meneliti kasus-kasus HAM di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran, apakah Anda setuju?
Isu HAM selalu jadi tema tersendiri di dalam kancah politik nasional, bisa dilihat pada bagaimana asetidaknya hal ini menunjukkan adanya komitmen penegakan HAM dengan agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ada di dalamnya. Jadi, indikator kemunduran yang jadi wacana risetnya perlu dilihat dari perspektif yang beragam.
Dua puluh tahun setelah reformasi, tetapi kasus-kasus HAM lama maupun baru banyak yang belum mencapai konklusi. Menurut Anda, mengapa Indonesia malah mengalami kemandekan?
Upaya penegakan HAM itu sejalan dengan penegakan hukum, dan seringkali berjalan paralel dengan terjadinya politisasi hukum dari berbagai kalangan elite. Disisi lain, masih terdapat beberapa pasal di Undang-Undang yang melestarikan pelanggaran hak asasi dasar (seperti berkumpul, menyatakan pendapat, berekspresi, dan lain-lain) dan digunakan oleh pihak-pihak yang ingin memiliki kepentingan. Selain itu, minimnya kesadaran dan/atau pengetahuan masyarakat luas akan HAM, juga ‘mendukung’ kemandekan ini.
Bagaimana Anda melihat kerja aktivis HAM dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan?
Perjuangan untuk HAM adalah perjuangan bersama, di mana seluruh komponen masyarakat harus terlibat di dalamnya. Peran terbesar bagi para aktivis HAM dan kelompok-kelompok ekstra parlementer adalah mengedukasi publik bahwa negara harus menjamin penegakan HAM secara konstitusional, serta mendorong peningkatan literasi terkait hukum dan HAM di masyarakat. Kedua upaya tersebut sudah dilakukan, tetapi perlu adanya kerangka kerja yang sistematis dan terorganisir secara nasional.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga untuk membantu menjunjung kepentingan HAM dalam pemerintahan kita?
Pelajari dan pahami sejarah pelanggaran HAM, tidak hanya di Indonesia tapi juga negara lainnya.