W_LIST: Best Music Releases of 2024
Sepuluh rilisan musik terbaik dari tahun 2024 pilihan redaksi Whiteboard Journal.
Words by Whiteboard Journal
Kita pikir, 2024 sudah the lowest of the low. Ternyata masih ada 2025. That’s what we said last year. Dan ternyata kita masih harus menjalani downward spiral ini lagi. Untuk itu, mari ingat-ingat lagi hal-hal baik yang terjadi tahun lalu.
Hal-hal baik itu ada di eksplorasi dan pendekatan yang lebih personal yang rasanya menandai rilisan-rilisan terbaik pilihan kami. Keberanian dan di saat yang sama, vulnerability adalah kunci.
Semoga itu menjadi penanda bahwa, seburuk apa pun tahun 2025 nanti, kita bisa bersama-sama berani, dengan tetap addressing our vulnerability.
#10 Gardika Gigih – Larasati
Senang rasanya mendengar bagaimana belakangan musisi kita bisa lebih banyak bercerita tentang hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Iya, memang, beberapa kemudian terdengar self-centered dan merasa bahwa semesta berputar mengelilingi isi kepala mereka, tapi banyak juga yang kemudian mengingatkan kita bahwa kita dan mereka sama, adalah manusia yang jauh dari sempurna. Yang cukup sering terjadi, kita kemudian dibuat terharu oleh saat-saat yang membuat langit terasa kelam kelabu: berpulangnya anggota keluarga, mimpi yang semakin jauh dari jangkauan, hingga perjuangan untuk tetap waras di antara kejam dunia yang menghujam deras. Padahal, kalau kita benar-benar mau menjadi manusia seutuhnya, ada juga selipana momen bahagia yang juga ingin lebih banyak kita dengar.
Di sinilah kemudian album Gardika Gigih – Kirana mengisi relung-relung bahagia yang telah lama padam oleh negara. Ditulis sebagai perayaan atas lahirnya sang buah hati, album ini terasa sangat dekat, sangat sederhana, tapi hati dibuat sangat hangat rasanya. Jika banyak ragu di kepala, album ini akan dengan mudah menghapusnya dan menggantinya dengan percaya, jika hanya benci yang terasa di dada, maka Gardika Gigih bersama celoteh Kirana akan membuat cinta tumbuh kembali di sana.
#9 Hallam Foe – Funkapokalips
Peace is just a period of time between conflicts, dan dalam melayari tiap naik–turunnya, tepat rasanya untuk diiringi EP terbarunya band asal Malang ini. Temukan oase-oase bersuara dub dan koplo yang bisa muncul secara tiba-tiba namun tidak out of place, dan rasakan pukulan riffage all thrill and all bite yang digempurkan dengan lebih intens berkat satu band yang kompak membangun panggung untuk kita larut bersama.
Seperti mengingatkan kembali bahwa di tiap terjadinya suatu episode, penting untuk kita mengasingkan indra sejenak menuju luapan-luapan emosi yang lain (mungkin juga supaya episode-nya lebih flavorful, tapi all the more festive yang pasti). [GF]
#8 Thee Marloes – Perak Instrumental
Saya kurang familiar dengan musik Soul di Indonesia. Rasanya, tidak banyak “pemain” di jalur ini (mungkin saya saja yang mainnya kurang jauh). Kalaupun ada, apakah musiknya sebagus rilisan-rilisan Motown dan Atlantic?
Pertengahan tahun kemarin, algoritma mempertemukan saya dengan Thee Marloes. Setelah mendengarkan beberapa lagu, saya berpikir “kemana saja sih saya, kok baru tahu mereka”. Menurut saya, Thee Marloes berhasil mencentang beberapa poin yang saya tahu tentang musik Soul: drum beat yang berat, petikan gitar yang mendayu, dan vokal yang khas.
Beberapa bulan lalu, mereka merilis Album Perak versi instrumental. Menurut saya, album ini semacam blueprint bagi band-band baru yang ingin masuk ke jalur ini. Pastikan anda membawa pensil dan kertas saat mendengarkannya, karena banyak yang bisa dipelajari dari album ini. [RHP]
#7 Sal Priadi – Markers and Such, Pens Flashdisk
“Jadi soal relevansi, itu bukan sesuatu yang diupayakan, tapi itu semua hadir dan kemudian kita cuma coba berusaha tangkap aja,” ucap Sal Priadi dalam interviewnya bersama kami tentang album ini. Kalimat ini mewakili dengan sempurna apa arti lagu-lagu Markers and Such, Pens Flashdisk di telinga: perwujudan percakapan ngalor-ngidul yang diikat oleh bait dan rima. Renungan tak perlu diundang ketika kehadirannya selalu ada di sela-sela lamunan siang bolong kita.
Album ini mengusahakan rumah bagi agu-lagu yang tak bisa diabaikan tahun ini. Beberapa di antaranya adalah “Biar jadi urusanku”, “Dari planet lain”, dan magnum opus Sal Priadi sejauh ini, “Gala bunga matahari”. Mendengar lagu-lagu ini, sangat jelas bahwa penulisan lagu adalah kekuatan utama penyanyi tersebut. Bukan berarti musiknya tidak impressive ya. Hanya saja, apapun wujud aransemen yang disuguhkan, pendengar akan selalu kembali lagi untuk mendengarkan potongan percakapan sehari-hari dalam lirik-lirik yang Sal tulis. Di antara prosa-prosa indah dan megah, there’s a celebration for the beauty in mundanity. [SK]
#6 Various Artist – Hutang Akhir Tahun
Semakin banyak pertanyaan yang muncul ketika kita mendalami kompilasi ini. Apakah ini album kompilasi dari musisi Depok? (karena kalo iya ini rare win yang kayaknya desperately needed oleh warga Depok seperti saya). Apa sebenarnya statement yang ingin disampaikan melalui album ini? Kenapa sulit sekali menggali informasi terkait rilisan ini? Dan, pertanyaan terakhirnya, kenapa album sepenting ini belum banyak yang ngomongin?
Secara lineup, nama-nama yang tergabung relatif baru (mungkin cuma vvachrii yang sudah cukup familiar). Tapi, secara daya ledak sangat menyenangkan, banyak yang terasa punya potensi besar, dan menunjukkan banyak pembawaan yang belum banyak dijelajahi oleh musisi lokal kita. Secara presentasi, pun album ini juga keren, terasa mentah, namun hampir semua punya potensi yang cerah. Terasa hampir semua musisi yang tergabung di sini punya attitude “I don’t give a fuck” yang tercetak tebal di dahi mereka semua, just what we’re expect from a young collective. Kalau album ini terasa terlalu aneh buat kuping kalian, silakan dengarkan kembali Juicy Luicy, karena tampaknya kalian butuh dapat ungkapan sesuai judul lagu mereka yang paling sukses itu. [MH]
#5 Avhath x KUNTARI – Ephemeral Passage
Hal yang membuat Ephemeral Passage menjadi salah satu album metal terbaik di Indonesia tahun 2024 adalah, keberanian mereka untuk bekerjasama dengan saling melebur gaya mereka masing-masing hingga menjadi sesuatu yang baru.
Talenta satu adalah band berisi 5 orang yang banyak dipengaruhi black metal, terkadang juga crust. Talenta dua adalah project dari Tesla Manaf, salah satu seniman musik kontemporer papan teratas yang dimiliki Indonesia saat ini yang biasa bereksplorasi dengan tekstur bunyi, serta eksperimental nuansa serta ritme. Rasanya cocok mengambil analogi dari logika pernikahan untuk menggambarkan musik mereka, bahwa 1+2 bukanlah 3, melainkan 1.
Ephemeral Passage bukanlah album Avhath yang menampilkan KUNTARI, atau sebaliknya. Melainkan satu unit musik yang seperti dilahirkan bersama semenjak awal. “A Threnody”, menggebrak dengan black metal yang kemudian di bagian tengah menampilkan nada bengis dengan ritme musik tribal yang bertalu-talu. Atau “to my disquiet” yang terdengar depresif dengan vokal scream yang diiringi gitar disonan tanpa distorsi, dengan lapisan-lapisan eksperimentasi suara dari KUNTARI membuat musik mereka semakin gelap, bagai tak ada cahaya di ujung terowongan.
Konsep peleburan dua talenta ini menjadi menarik, karena sebenarnya band metal yang berkolaborasi dengan unsur kontemporer atau tradisional bukanlah hal yang baru. Namun entah mengapa, Avhath KUNTARI-lah yang berhasil memperdengarkan bahwa bunyi-bunyian ini bukanlah sebuah tempelan atau hiasan. Melainkan melebur sempurna. Porsi untuk eksperimen seimbang dengan porsi tradisional metal, membuat album ini sungguh menarik untuk disimak. Nampaknya mereka juga mengambil keputusan tepat menjadikan Lafa Pratomo (Danilla, Grrrl Gang, Iwan Fals) menjadi produser untuk album ini.
Pada sebuah wawancara Lafa mengaku tiap bekerja, ia menganggap dirinya seorang anak kecil yang bermain dengan mainan baru. Begitu pula ketika mengerjakan Ephemeral Passage. Tak ada upaya untuk menjadi ‘komersil’. Spirit bermusik penuh nyali dari dua unit yang setara, dikerjakan dengan hati oleh sang produser: all the elements you need to make an essential album. [RS]
#4 The Cottons – Harapan
Jika beberapa tahun belakangan kita melihat bahwa zeitgeist masa dipepatkan dalam lompatan-lompatan artistik (anak hardcore bermain mata dengan indie rock, diva pop menjelma jadi musisi metal progresif, singer-songwriter memasukkan drumbreaks di lagunya), maka The Cottons menunjukkan bahwa barangkali, yang ada di depan adalah evolusi yang jadi kuncinya. Bermula sebagai Jude – band garage pop dengan aroma Beatles yang kuat, mereka kemudian berkembang menjadi band twee di EP “It’s Only A Day”. Bagi saya, EP tersebut masih menjadi rilisan penting dalam lini masa indie pop lokal dengan kualitasnya yang paripurna, salah satu alasannya adalah karena album itu mengingatkan pada salah satu band indie pop terbaik yang pernah kita punya, The Monophones. Senang sekali rasanya saat The Cottons kembali dengan “Harapan EP” tahun ini. Karena, selain mereka kemudian tumbuh berkembang mendewasa dan menyenangkan. Aroma The Monophones yang menyembul pelan-pelan sebelumnya, kini semakin semerbak di rilisan terbaru mereka yang kini merambah ‘70s soft rock ini. Yang baik adalah mereka juga tak lantas sekedar menjadi pelipur lara bagi The Monophones yang telah pergi, dengan evolusi ini, mereka juga pelan-pelan menemukan jati diri. Yang juga sangat baik adalah ternyata perjalanan evolusi ini kemudian dengan cepat diapresiasi publik – melihat mereka semakin banyak menemukan penggemar baru dan bermain di banyak tempat seru adalah bukti bahwa kita harapan itu masih ada, di tengah negara yang selalu punya cara untuk membuat kita uring-uringan. [MH]
#3 The Panturas – Galura Tropikalia
Mengikuti jejak The Panturas dari rilisan perdananya sampai mini album terbarunya ini bisa mengharukan dengan caranya sendiri. It takes a lot to start off on the right riff, and it takes a lot more to keep that spark alive. Formula-formula surf rock yang dipahami empat orang ini sudah selayaknya nakhoda menebak sifat laut, dan rupanya segala samudra yang telah diarungi band ini membangkitkan keberanian berlebih di dalam mereka.
Saking hafalnya akan gemuruh laut, mereka seperti mempergunakan emosi ombak sebagai panggung sendiri. Selama berlayarnya enam lagu dalam Galura Tropikalia, deras rasanya mereka mencipratkan warna-warna ilustratif dalam tiap nomornya, membawa kita membayangkan orkestra megah berbahasa Sunda di dalam kepala—dari babak perkenalan yang membangun worldbuilding bertangga nada Sunda, adegan kejar-kejaran tanpa putus antar lagu, sampai tertutupnya tirai merah di “Béntang Sagara” dengan bertumpahnya bunga mawar dan sorak sorai penonton.
Dengan menyusuri segala kelokan, warna-warni instrumen dan ornamen, hingga jungkat-jungkit dinamika aransemen, The Panturas seperti sukses menghidupkan daya mistis dan eklektik yang asri di titik-titik sekitar laut, sampai mengajak untuk kita susuri dalam kecepatan tinggi—namun tidak sampai kehilangan kesempatan untuk melihat pemandangan dan suasana. [GF]
#2 BAP. – M. Album Tiga
In the same way last year unfolds, listening to M. Album Tiga was a rollercoaster of emotion. Jika dibandingkan dengan rilisan album sebelumnya—MOMO’S MYSTERIOUS SKIN, yang energetic dan hopeful, M. Album Tiga adalah album ketiga dari Kareem Soenharjo yang memamerkan emosi yang raw dari bagian-bagian kehidupan, tanpa basa-basi, tanpa ada suatu yang ditutupi.
Membahas topik-topik dari disordered eating, bertahan hidup, keinginan untuk diterima, hubungan interpersonal, album ini membahas semua tetek bengek yang orang masih takut untuk ungkapkan. Tetap menyatu dengan akarnya, hip-hop, Kareem memadukan ragam sonik lain yang membuat album ini lebih eksperimental. But again, album ini bukanlah album yang kamu mau asosiasikan dengan kata ‘genre’. Dibuka dengan alunan keras dan tidak beraturan, lama-lama setiap lagu dalam album ini mengalir menuju akhir yang rapi dan halus—with the final track dedicated to Kareem’s mother. Begitu intim dan personal.
M. Album Tiga bukanlah album yang cocok untuk didengarkan semua orang—salah satu art piece yang mengkonfrontasi vulnerability dan membuat kamu sadar kalau mungkin memang hidup ini penuh kepahitan. [JP]
#1 Bernadya – Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan
Tahun lalu, kami jatuh hati pada Bernadya. Lirik vernakular dan melodi nggak neko-neko yang ia bawa dalam EP “Terlintas” menjadi oase di hutan gimmick musik pop saat itu. Wajar jika kami berharap banyak pada rilisan penuh pertamanya. Untungnya, ekspektasi tersebut terpenuhi dengan baik.
Mendengarkan beberapa single yang rilis membuat kami skeptis awalnya. Kami merasa bahwa “Kata Mereka Ini Berlebihan” dan “Kini Mereka Tahu” terasa lebih gelap daripada persona Bernadya yang kami kenal tahun lalu. Namun ketika albumnya rilis, kami mulai memahami pesona album konseptual yang disuguhkan. Memuat tiga babak yang hadir untuk mewakili perjalanan melalui patah hati, Bernadya merangkum segala rasa yang berkecamuk lalu menjahitnya menjadi sesuatu yang apik dan kohesif.
Dalam sisi produksi, menggandeng Petra Sihombing dan Rendy Pandugo ternyata adalah keputusan yang tepat untuk melengkapi visi Bernadya. Jika menimbang lirik-liriknya, sangat mudah untuk menyandingkannya dengan musik yang lebih lirih dan manis sebagaimana kita temukan dalam EP “Terlintas”. Namun ternyata, memasukkan unsur-unsur pop/rock tahun 90-an menjadikannya lebih aksesibel secara sonik untuk semua orang. Toh, patah hati adalah pengalaman universal.
Bernadya meleset sedikit ketika dia merayakan hal-hal baik yang datangnya belakangan. Kehadiran album yang sangat baik ini nyatanya datang di awal karir Bernadya. Sebuah anomali yang semoga makin banyak adanya. [SK]
Dengarkan lagu-lagu pilihan dari kumpulan rilisan yang terkumpul di sini melalui playlist ini!