Ranah Baru untuk Musik Eksperimental di Nusasonic
Rangkuman festival musik eksperimental elektronik, Nusasonic “Crossing Aural Geographies” yang digelar di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Mega Nur
Ada hal-hal baru lahir di gelaran Nusasonic kemarin. Mungkin bukan hal sepenuhnya baru, tetapi setidaknya acara ini telah membukakan pintu pada dunia musik eksperimental yang selama ini lebih akrab dengan area-area terbatas, ke arena yang lebih luas. Lebih dari itu, Nusasonic juga menarik kemungkinan-kemungkinan tentang bagaimana harusnya eksperimentasi terus dikembangkan. Ini bisa dilihat pada bagaimana mereka merangkum okupasi ruang publik, workshop musik dan panggung megah dalam satu gelaran penting di akhir tahun 2018 ini.
Semua berangkat dari keresahan para kurator tentang perkembangan musik eksperimental di negara masing-masing. Terdiri dari Woto Wibowo atau lebih dikenal sebagai Wok The Rock (Yes No Klub – Indonesia), Tengal (WSK – Filipina), Yuen Chee Wai (The Observatory/Playfreely – Singapura), serta Jan Rohlf (CTM Festival – Jerman), kelima kurator ini datang dengan permasalahan masing-masing. Yuen misalnya, ia jarang menemui pelaku musik di negaranya yang mediumnya dibuat sendiri (crafting) mengingat Singapura sebagai negara berbasis ekonomi bisnis. Mindset yang terbentuk kemudian adalah membeli barang jadi. Berbeda dengan Tengal, ia memaparkan bahwa sifat kolektivitas masih jarang ditemui di Manila.
Dari sini, terkumpul lebih dari 40 seniman dari berbagai negara di Asia Tenggara dan Eropa. Beberapa masalah coba diuraikan melalui program diskusi yang menyoal ragam kondisi melalui irisannya dengan bebunyian. Dari bagaimana mengatur siasat di era digital, berjejaring, hingga menyoal politik. Bertukar tangkap dengan lepas gagasan mengenai pertukaran budaya coba dipenetrasikan melalui rangkaian program diskusi ini. Salah satu program yang dikhususkan untuk menyoal serba-serbi pelaku musik perempuan mengeksplorasi bunyi yakni Sonic Wilderness dan sebuah diskusi bertajuk “Building and Amplifying Female Networks”. Hal tersebut menjadi menarik karena program ini tidak hanya terjebak pada romantisme kesetaraan. “Sebenarnya tidak ada alasan khusus untuk mendiskusikan ini. Mungkin karena skena ini dibangun oleh seniman-seniman laki-laki dan cenderung maskulin. Sehingga bisa jadi perempuan merasa tidak nyaman akan hal ini, bahkan tidak semua publik bisa menikmatinya. Tetapi dalam gelaran ini kami mencoba untuk memberikan ruang bagi seniman perempuan untuk bereksplorasi. Pelakunya pun beragam, ada yang dari skena pop, gamelan, dan sebagainya”, papar Wok.
Masalah lain coba dibahas dalam hacklab yang diinisiasi sebagai ruang pertemuan para pelaku musik untuk saling meretas budaya yang selama ini menjadi keseharian. Puncaknya, ditampilkan dalam gelaran penutup di mana mereka membuat beberapa fragmen. Bebunyian yang muncul bukan hanya berasal dari synthesizer, melainkan memanfaatkan barang seperti raket nyamuk elektrik hingga gerak tubuh serta melibatkan visual artist.
Yang paling menyegarkan dari Nusasonic adalah bagaimana acara ini mempresentasikan musik eksperimental dalam bentuk yang tak biasa. kemewahan sound system yang didukung dengan artistik panggung beserta lampu-lampunya. Sebagaimana Yennu Ariendra dan J Mo’ong Pribadi menampilkan lagu “Raja Kirik” yang terasa cukup berbeda dari penampilan mereka sebelumnya. Dalam gelaran ini, album “Raja Kirik” yang dibawakan terasa lebih memiliki daya magis. Sementara itu, pada seluruh rangkaian festival ini dilengkapi pengetahuan terjadi di dalamnya, muatan wacana bahwa musik eksperimental memiliki irisan lain di luar bebunyian begitu kental. “Melalui festival ini kami ingin mengurangi jarak antara musik eksperimental dengan pendengar yang lebih luas, berjejaring, mengerti kebudayaan lain, dan mungkin lebih jauh menarik perhatian pemerintah untuk mendukung seniman-seniman musik eksperimental. Karena jika seniman hanya melakukan praktik DIY (Do It Yourself) di tempat kecil, mereka tidak akan menganggap bahwa hal ini merupakan sesuatu yang potensial secara kultural”, pungkas Jan Rohlf.
Setelah melalui rangkaian acara selama hampir dua minggu, Nusasonic pun menyempurnakannya dengan gelaran penutup pada 13 Oktober lalu di Eloprogo Art House, Magelang. Pada pertunjukan ini terdapat empat panggung yang menghadirkan nuansa masing-masing berbeda. Sound dan tata artistik panggung menjadi pengalaman baru setidaknya bagi saya. Selain pemandangan alam Eloprogo, ia mampu memberikan kemewahan tersendiri dalam menyajikan pertunjukan musik eksperimental dan elektronik di mana biasanya hadir dalam kemasan sederhana.
Meski rangkaian program diskusi ini masih terbilang sepi pengunjung, apresiasi sangat layak diberikan untuk seluruh penggagas dan panitia yang terlibat dalam gelaran Nusasonic tahun ini. Mengingat konsep acara didasari oleh keresahan, sebagai gelaran perdananya, Nusasonic mampu menarik perhatian para penikmat musik dan mewadahi kreator eksperimental lintas negara.