Mengurai Semrawut Pendidikan Musik Kita Bersama Tjut Nyak Deviana Daudsjah
Kami menemui Profesor Tjut Nyak Deviana Daudsjah untuk membahas pendidikan musik di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Vestianty
Mengenal musik sejak umur dini, Tjut Nyak Deviana Daudsjah mengasah talenta tersebut hingga ke jenjang pendidikan tertinggi serta menjadi bagian besar dalam Akademik Jazz & Rockschule Freiburg Jerman. Namun perhatiannya akan pendidikan musik di Indonesia membuatnya bertekad untuk pulang dan mendirikan institusi Daya Indonesia Performing Arts Academy (DIPAA) guna terus mensosialisasikan musik tradisional ke publik hari ini. Kami menemuinya di sela kesibukannya untuk membahas upayanya dalam melestarikan musik tradisional hingga posisi musik tradisional di era kini dan dalam skena musik Indonesia.
Bagaimana perkenalan Anda dengan piano klasik yang membuat Anda ingin mendalaminya dalam jenjang ilmu yang lebih tinggi hingga menjadi profesor?
Saya mulai belajar piano umur 5 tahun di Bangkok, Thailand. Kami tinggal di sana 8 tahun. SMP dan SMA di sini, di Indonesia, kemudian saya lanjut kuliah musik di Jerman. Kuliah musik klasik, jadi lulusan piano performance dan komposisi. Saya belajar main piano sejak usia 5 tahun, dan memang niatnya saya mau jadi musisi. Puji Tuhan juga sangat didukung oleh orang tua. Bahkan ayah saya bilang, “Pokoknya tidak mau kalau jij (kamu) pulang cuma jadi pianis saja, minimal harus jadi konduktor.”
Apakah memainkan alat musik lainnya juga?
Saya main drum juga, gitar, suling, nyanyi. Major saya dua, vokal dan piano.
Bagaimana akhirnya Anda bisa menjadi bagian besar dalam Akademik Jazz & Rockschule Freiburg Jerman?
Waktu itu saya diminta untuk menggantikan seorang dosen, orang African-American. Namanya Rhonda Dorsey, dia yang jadi dosen di Jazz & Rockschule. Kemudian dia pindah kota, jadi minta saya untuk menggantikan. Setelah 6 bulan, saya tidak tahu entah bagaimana, wakil daripada admin director dan tim administrasi menyampaikan bahwa mereka menginginkan saya yang menjadi kepala sekolah. Karena kebetulan juga artistic director-nya memang mau pindah, mau buka sekolah musik sendiri. Saya sebenarnya tidak mau terima pekerjaan itu karena mau tetap jadi freelancer. Akhirnya lama-lama saya pikir, “Ah saya terima saja tantangan ini ya.” Belum pernah memimpin sebuah perguruan di Jerman, perguruan tinggi lagi. Saya lalu menerima pekerjaan itu dan ternyata setelah saya desain kurikulumnya diakui oleh pemerintah Jerman. Lima tahun saya memimpin di sekolah itu sembari juga bekerja sebagai profesor musik di Akademi Musik Basel, Swiss.
Setelah berpetualang bermusik di luar negeri selama puluhan tahun, mengapa Anda kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah air?
Keputusan saya berdasarkan keprihatinan dari kondisi. Sebenarnya karena keadaan dari industri musik di sini; terutama pendidikannya, itu sangat memprihatinkan. Oleh sebab itu saya memutuskan suatu hari untuk pulang ke Indonesia, untuk membantu mengembangkan pendidikan formal di Indonesia, pendidikan formal musik, dan umumnya seni pertunjukan.
Bagaimana musik daerah mempengaruhi musikalitas Anda?
Musik Indonesia itu berjalan di tempat.
Budaya kita itu kan bermacam ragam ya. Dan saya melihat bahwa di Indonesia itu terlalu banyak meniru, terlalu banyak plagiarisme. Dan di sekolah-sekolah, musik tradisional bahkan musik anak-anak saja sudah tidak begitu dipromosikan, malah mengadakan contohnya lomba-lomba idola cilik atau apalah namanya membawakan lagu-lagu orang dewasa. Dan pendidikan di Indonesia ini bisa kita katakan semrawut ya. Jadi saya memutuskan juga di antara lain untuk mengaransir musik-musik daerah dan musik-musik anak-anak, contohnya karyanya Ibu Soed dan karyanya A.T. Mahmud untuk mengembalikan, meningkatkan apresiasi bangsa Indonesia terhadap musiknya sendiri.
Bagaimana mendengar karakter musik Indonesia sekarang ini?
Musik Indonesia itu berjalan di tempat. Coba deh didengar, mirip-mirip semua lagu-lagunya, yang zaman sekarang ya. Kalau zaman tahun 40-50an beda, dia masih lebih berseni, waktu baru merdeka tuh, zamannya label Remaco, (penyanyi) Sam Saimun seperti “Di Wajahmu Kulihat Bulan” atau “Juwita Malam”, dan lagu-lagunya Ismail Marzuki. Nah itu bukan plagiat, itu benar-benar karakter musik populer Indonesia di era tersebut. Dan kata-katanya juga lebih indah, lebih berpuisi. Kalau yang zaman sekarang, bisa dikatakan mulai dari tahun 80-an ke atas, nah itu banyak banget tuh yang mendengar musik luar, lalu diolah ditambahkan bumbu sini-sana deh ibaratnya gitu.
Misalnya begini, spaghetti aglio olio diambil dari Italia lalu ditambah sambal, tambah ini. Dan kalau bicara musik Indonesia itu sangat kompleks ya. Musik Indonesia itu yang mana dulu. Apakah musik populer, rock, musik underground kah, atau alternatif, musik-musik urban, atau tanjidor, atau keroncong, atau dangdut, atau musik Aceh, musik Tapanuli, musik tradisionalnya Minangkabau. Yang mana, kan banyak. Itu sebabnya untuk menjawab pertanyaan sederhana bahwa bagaimana musik Indonesia? Ya saya anjurkan – sering kan ditanya – kepada Anda-Anda baca deh sejarah musik kita, baru kita bisa mengobrol, saya bilang. Karena kan hal-hal ini dari Sabang sampai Merauke tidak bisa kan kita jawab dalam waktu lima menit gitu, ini kompleks.
Orang sini saja, misalnya kita di Madura, kita tidak tahu bunyinya musik Kalimantan seperti apa, padahal kita hidup sebagai satu bangsa. Kalau di Jerman contohnya, mereka tahu karena setiap minggu, setiap hari Jumat malam ada folklore di TV, dan itu penggemarnya banyak sekali, sebanyak musik pop dan musik klasik. Oleh karena semuanya sejajar di media exposure-nya, maka rakyat punya pilihan. “Gue lebih suka yang ini ah.” Jadi semua dapat. Setiap hari Jumat malam, musik-musik Alpen, lalu tarian-tarian celana kulit dan bulu-bulunya di sini kalau topinya Bayern. Jadi mereka tahu budaya mereka karena didukung juga oleh media, media TV, radio. Dan radionya ada khusus lagu-lagu tradisional folk songs mereka. Di Italia pun begitu.
Nah di sini, musik tradisional dilihat sebelah mata, sementara mereka tidak tahu itu adalah peninggalan nenek moyangnya. Seharusnya junjung tinggi bukannya malah dianggap remeh, ya kan? Bangga dong. Saya pakai kain bangga, hari ini saja lagi masih pakai celana. Kalau kita tampil di Daya Indonesia Performing Arts Academy, semua saya wajibkan pakai kain. Tadinya awalnya pada malu-malu yang cowok-cowok. “Eh, lu tahu tidak Gajahmada saja pakai kain,” saya bilang. “Pakai kain.”
Menurut Anda, apakah sebenarnya musik daerah bisa dengan harmonis berpaduan dengan musik jazz?
Ya karena sekolah. Jadi kita mengerti kalau sekolah itu bagaimana menyusun struktur nada, jadi melodi, harmoni, dan ritmiknya. Jadi bukan sekadar memadukan, tapi juga tahu bagaimana caranya supaya tidak tabrakan. Dan justru lebih mengangkat kualitasnya musik daerah itu sendiri. Dan sebenarnya itu bukan musik jazz, itu pengetahuan harmoni. Jadi tidak ada hubungannya dengan musik jazz sama sekali. Memang harmonisasinya banyak, seperti yang digunakan di musik jazz, tapi sebenarnya – ini juga saya ingin meluruskan bahwa musik jazz itu tidak bisa semata-mata dipadukan dengan semua musik yang lain – jadi sebenarnya harmonisasi modern.
Hal apa yang paling menakjubkan bagi Anda selama perjalanan panjang karir bermusik Anda di Eropa?
Sederhana saja sih, kalau buat saya mengajar malah membuat saya tambah banyak belajar. Jadi hal-hal yang kita tidak sadari malah tambah sadar oleh karena kita mengajar. Ternyata, “Oh, iya ya..” lebih banyak begitu.
Kalau di Indonesia?
Kalau di Indonesia sendiri saya tidak bisa bilang menakjubkan – mungkin belum ya. Di Indonesia malah justru lebih banyak membuat sakit kepalanya. Oleh karena apa? Karena itu, dikarenakan sistem pendidikan kita tidak bisa dikatakan sebagai sistem. Jadi pada umumnya anak-anak muda di Indonesia ini kurang baca dan terlalu banyak main gadget. Jadi daya pikirnya itu agak terbatas. Untuk mengajarkan musik contohnya – ilmu pengetahuannya ya, bukan mengajar cara bermain instrumennya – itu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada waktu mengajar di Eropa. Karena latar belakangnya beda ya. Kalau di sana ya memang sudah dari zaman SD mereka akrab dengan musik karena di sekolah-sekolah umum di sana pasti ada pelajaran musiknya. Dan mereka juga mengetahui sejarahnya. Kalau di sini kan sejarah Indonesia saja mereka tidak tahu, bahkan sampai empat puluh tahun ke belakang saja banyak yang belum tahu dan memang tidak tahu. Itu juga menjadi kendala atas pemahaman dari berbagai bidang, bukan hanya musik saja.
Keadaan dari industri musik di sini; terutama pendidikannya, itu sangat memprihatinkan.
Jadi pola pikirnya itu bukan seperti orang yang ingin meneliti, jadi lebih menghafal. Jadi dikasih tahu apa, dihafal, sudah sekian. Di Indonesia apa-apa harus menghafal, bukan mengetahui. Jadi tidak menakjubkan, belum. Cuma, perbedaannya kalau di Indonesia itu justru anak-anak mudanya jauh lebih berbakat dibandingkan anak-anak Eropa, pada umumnya. Jadi intinya di sini bakat seninya tinggi, tapi tidak disiplin, malas, dan kurang baca. Jadi akhirnya timbul kesan atau pemikiran bahwa musik itu cukup dengan bakat. Apalagi itu juga didukung media, karena yang selalu diekspos di media pasti musik pop, musisi rock. Musisi yang berprestasi di dalam dunia musik seni, seperti contohnya musik klasik atau musik jazz, atau musik modern yang berseni lah, yang harmonisasinya lebih kompleks, nah itu kurang diekspos di Indonesia. Oleh sebab itu jadi pandangan umum masyarakat Indonesia ini ya musik tetap saja itu hobi atau bakat.
Terkait Institut Musik Daya Indonesia, apa yang membuat Anda merasa perlu untuk membuat institusi ini? Hal apa yang ingin Anda capai dengan adanya Institut Musik Daya Indonesia?
Saya merasa perlu, bukan merasa saja tapi berpikir perlu oleh karena yang pada awalnya ingin saya kembangkan adalah pendidik-pendidiknya dulu yang benar. Jadi bukan sekadar belajar otodidak, lalu mengajar di lembaga-lembaga. Karena Anda bisa bayangkan sendiri, kita belajar secara otodidak, sementara sekolah musik-musik itu kan ada struktur, ada sistemnya. Kalau cuma secara otodidak pasti terbatas, maksud saya terbatasnya sangat terbatas. Tapi kemudian ini Institut Musik Daya Indonesia kan kami ubah namanya jadi Daya Indonesia Performing Arts Academy (DIPAA) oleh karena di sini sudah ada jurusan baru, yaitu Performing Arts, yang namanya musik, drama, dan tari itu jadi satu.
Menurut Anda, bagaimana pendidikan kesenian bisa membentuk karakter bangsa?
Kesenian itu boleh dikatakan seperti melukis, apalagi ini ya bermain musik, belajar mempelajari memainkan instrumen musik itu sangat-sangat baik karena meningkatkan intelegensi karena yang diasah kan otak kiri dan kanan. Jadi saya yakin, dan itu juga sudah ada penelitian dan sudah terbukti bahwa pada umumnya anak-anak dari usia balita, bahkan sampai SMP, SMA itu kalau terbiasa dengan memainkan musik dan musik itu juga – musik apa dulu ya, musik pop lah – ya mereka pasti tidak tawuran lah. Jadi sudah pasti jadinya pintar.
Terkait peranan akademisi musik dalam ranah performing arts, apakah di Indonesia sudah semakin berkembang?
Sudah mulai berkembang, cuma bisa jauh lebih berkembang lagi apabila didukung oleh pemerintah, didukung oleh media utamanya. Jadi promosinya harus keras. Tapi itupun juga harus disertai pakar-pakar musik yang memang kompeten.
Anda pernah diusulkan oleh masyarakat untuk mengisi kursi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif? Apakah Anda mempertimbangkan untuk terlibat lebih jauh dalam kemajuan bidang kreatif Indonesia lewat posisi yang ada di pemerintah?
Saya tidak mempertimbangkan, saya tetap bekerja sebagai profesi yang sedang saya geluti. Tapi seumpamanya dipanggil, sebenarnya saya lebih memilih jadi Menteri Pendidikan, apabila saya dipilih.
Bagaimana Anda melihat posisi musik tradisional di era kini dan dalam skena musik Indonesia?
Musik tradisional itu kurang diapresiasi oleh bangsa kita sendiri. Jadi itu juga salah satu tujuan saya untuk mengembalikan apresiasi budaya kita sendiri melalui musik tradisional. Dan kalau kita bicara musik tradisional itu dari Sabang sampai Merauke, dan itu sangat beragam dan sangat kaya. Dan bisa menjadi sumber juga buat kita-kita yang kuliah musik untuk menggali supaya bisa; katakanlah menjadi musik, kalau dalam bahasa Inggris ‘Indonesian Music of the 21st Century’. Contoh, Brazil. Brazil punya tradisinya sendiri, namanya Samba dan Bossa Nova. Dan itu kan sebenarnya berasalnya dari musik tradisional.
Saya melihat bahwa di Indonesia itu terlalu banyak meniru, terlalu banyak plagiarisme.
Di Indonesia sendiri contohnya kalau yang lebih modern itu adalah musik keroncong, langgam, dan dangdut. Nah itu bisa jadi musik dunia kalau kita tahu cara mengaransirnya, lebih dimodernisir. Kalau tradisional yang lain dari Sabang sampai Merauke, intinya ya itu jadi dikembangkan di sekolah-sekolah umum supaya – contohnya anak yang berasal dari Jawa juga bisa mengapresiasi musik dari Aceh, tarian Aceh Rapa’i Geleng umpamanya, Tari Seudati. Atau orang Aceh bisa mengapresiasi Tari Giring-Giring-nya Kalimantan. Nah itu diajarkan di sekolah-sekolah. Dan itu tidak terjadi. Semakin ke sini, semakin minim dasar-dasar pendidikan yang mengintegrasikan musik tradisional. Itu kurangnya perhatian, padahal sebenarnya bangsa ini bisa canggih kalau menghargai budayanya sendiri.
Masalah mendasar apa menurut Anda yang ada dalam permusikan Indonesia kini?
Masalahnya banyak. Kalau mau disebut satu-satu bisa panjang saya uraikannya.
Apa harapan Anda terhadap perkembangan musik Indonesia ke depan?
Harapan saya? Kesadaran. Kesadaran bahwa musik itu bisa jadi seni yang luar biasa. Seperti contohnya saya selalu berulang kali menyatakan kepada para jurnalis adalah bahwa ada contoh yang nyata, film “Lion King.” Orang kan senang nontonnya. “Lion King” itu yang menulis musiknya kan Hanz Zimmer. Itu orang sekolah. Nah, atau film “Jurassic Park”, “Star Wars”, “Indiana Jones”, itu kan penulisnya komposernya kan namanya John Williams dan dia itu master degree di musik. Dan dia mengarahkan orkestra itu secara live waktu mengisi dan mengilustrasikan musiknya di film. Jadi ada pengetahuan-pengetahuan yang perlu diterapkan di Indonesia, bagi mereka yang mau meningkatkan mutu dan kualitas musiknya. Jadi itu pandangan saya.
Harapan saya terhadap musisi di Indonesia atau musik pada umumnya di Indonesia adalah mau menggali secara mendalam budaya kita sendiri, baik itu dari segi seni tarinya, maupun dari seni musiknya dari Sabang sampai Merauke. Itu sebabnya di DIPAA kami ada – selama berkuliah di sini ya mereka wajib mempelajari musik tradisional Indonesia. Jadi, tari Aceh, nanti ganti-ganti Tari Serimpi, Tari Jaipongan, lalu memainkan gamelannya, gamelan Bali, angklung. Basic-basic-nya lah yang tidak mungkin lah kita belajar dalam dua puluh tahun semua dari Sabang sampai Merauke, tapi paling tidak mereka tahu tari ini asalnya dari mana. Jadi yang saya harapkan adalah ‘melek’, buka mata, buka hati, buka pikiran. Dan sistem pendidikannya itu diperbaiki. Ambilah contoh pendidikan di Jepang dan Finlandia. Sistem belajar mereka itu bisa sekali diterapkan perpaduan antara budaya Asia dan Eropa. Nah itu diterapkan di Indonesia dengan nilai-nilai budayanya Indonesia, nah itu jadi pendidikan canggih itu di Indonesia.
Saya ingin membantu juga dan mengkontribusikan pengetahuan saya untuk memajukan, mengembangkan musik gerejawi.
Bagaimana menurut Anda seharusnya pemetaan musik di Indonesia yang ideal agar segala wilayah mampu bersinergi?
Pertama belajar kompak dulu, belajar bergotong royong seperti nenek moyang kita dulu, kooperasi. Itu dari zaman Soekarno masih ada, Bung Karno. Nah setelah zamannya Soeharto tuh mulai hilang nilai-nilai gotong royong, kooperasi. Jadi lebih, ya lihat saja deh contoh tim sepakbola kita kan tidak pernah maju karena apa? Karena tidak punya team work-nya. Mental team work-nya itu dulu harus dikembangkan, melalui apa? Saya balik lagi ke pendidikan. Jadi kalau sudah ada kekompakkan, mengapa saya bicara seperti itu? Oleh karena kalau kita menelusuri sejarah kita sendiri Indonesia, negara kesatuan Republik Indonesia itu tidak didirikan dengan perang, melainkan dengan sukarela, ingin bersatu. Jadi waktu diajak semuanya mau ikutan, mau bersatu karena bersatu tuh jadi kuat. Nah, nilai-nilai seperti itulah yang sudah mulai hilang di pendidikan zaman sekarang. Jadi kalau itu dulu sudah ditanam kembalikan ke anak muda, dari yang generasi berikutnya, baru kita bisa bicara bagaimana tata kelola musik seluruh Indonesia.
Menurut Anda, apakah Indonesia akan bisa menuju ke arah yang lebih baik?
Sangat bisa. Karena sudah ada bukti bahwa bersinergi itu sudah sejak dari zamannya Syailendra, sudah ada. Jadi, nilai-nilai leluhurnya kita ini nih, yang tidak baik ya kita tidak usah ambil, yang baik-baiknya. Jadi sangat bisa bersinergi, tapi kembali lagi saya ulang – pendidikannya yang harus diubah. Jadi diajarkan kembali budi pekerti, rasa kepedulian, kasih. Jadi kalau lihat umpamanya hewan “haram, haram”, nah itu juga salah satu ajaran yang sesat kalau menurut saya ya, kan ini makhluk Tuhan. Jadi kalau Tuhan saja tidak milih-milih, kok kita yang manusia biasa sok-sok milih gitu. Seperti saya kemarin baru cerita ke anak-anak, negara satu-satunya yang menantang Tuhan dan yang mengadu domba Tuhan itu Indonesia, maksudnya takaburnya itu benar-benar luar biasa ini bangsa kita nih. Nah, itu dulu yang mesti diubah-ubah.
Jadi balik lagi saya ulang pendidikannya. Kalau pendidikannya sudah beres, yang lain-lain itu nanti dengan sendirinya akan mulai beres. Baru kita bicara tentang tata kelola musik. Karena kalau bicara musik sendiri – itu satu bidang ya, belum lagi bidang arsitektur, belum lagi bidang-bidang yang lain -, ini karena kebetulan bidang saya, mesti saya sampaikan itu benang kusut di Indonesia. Hukumnya tidak jelas, walaupun sudah ada undang-undangnya. Makanya kan tercetus nih RUU Permusikan ya berdasarkan kesemrawutan, dan diusul lagi oleh orang-orang yang tidak mengerti musik. Kan kemarin saya bicara sendiri itu di hadapan bapak-bapak/ibu-ibu yang bertanggung jawab dalam menyusun naskah akademik, saya sampaikan, “Bagaimana Anda-Anda sebagai Sarjana Hukum menulis Rancangan Undang-Undang untuk musik?” Bisa saja saya sebagai musisi merancang juga undang-undang untuk arsitektur umpama contoh. Alasannya apa? Ya saya main lego, saya bisa kok bikin rumah-rumahan. Seperti itu deh. Jadi, jangkauannya sudah jauh banget.
Apa proyek yang akan datang dari seorang Tjut Nyak Deviana?
Tetap mengembangkan program. Kalau buat saya tidak ada proyek sementara ini, jadi program untuk lebih mengembangkan sekolah Indonesia ini, lebih mempromosikan pendidikan, dan masih banyak lagi. Kalau bicara proyek, ya salah satunya saya sekarang sedang kuliah lagi. Ini saya sedang menulis disertasi doktoral lagi untuk Teologi, tapi bukan di bidang jadi pendetanya atau jadi ahli Alkitab, bukan. Saya mengembangkan musik gereja berdasarkan sejarahnya.
Jadi kemarin juga saya baru menulis tesis dan baru disidang, baru lulus. Sekarang saya ada tambah gelar lagi (tertawa) Magister Teologi, tapi bidangnya Sejarah Musik Gereja dan pengajaran jurusan Musik Gereja di Sekolah Tinggi Sunergeo, Pamulang. Bulan November ini saya disidang lagi untuk disertasi doktoralnya. Mengapa begitu? Karena saya ingin membantu juga dan mengkontribusikan pengetahuan saya untuk memajukan, mengembangkan musik gerejawi supaya bisa lebih syahdu, lebih rapi, lebih enak didengar, lebih juga mengundang orang-orang untuk beribadah, supaya tidak hingar-bingar seperti yang kita sering dengar kalau di – saya tidak usah sebut gereja mana deh -, sudah seperti konser rock gitu ya. Dan mayoritas juga yang main musiknya ya otodidak ya, balik-balik lagi di situlah permasalahannya.
Anda belajar musik kalau mau sampai tingkat seni, secara otodidak, aduh, sampai tua pun juga tidak bakal bisa, percaya deh sama saya. Kamu mau menjadi konduktor orkestra untuk film “Jurassic Park”, taruhan sama saya deh kalau kamu bisa belajar 20 tahun. Kamu bisa otodidak belajar arsitektur? Tidak bisa? Ya di musik pun juga begitu.