Mengubah Musik menjadi Suara bersama Voice of Baceprot
Kami berbicang panjang dan mendalam dengan begitu menyenangkan bersama Voice of Baceprot mengenai aktivitas dan pencapaian mereka dalam bermusik.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Inaya Pananto
Photo: Anton Ismael
Kemeriahan Ramadan 1443 Hijriah lalu mempertemukan kami dengan trio hip metal funky–begitu mereka menyebut genrenya dengan disusul gelak tawa–Voice of Baceprot. Dalam pertemuan yang bukan pertama kalinya itu, selepas berbuka puasa, kami berbicang panjang dan mendalam dengan begitu menyenangkan terkait aktivitas mereka bermusik.
From Garut to Germany, kepiawaian tiga perempuan yang baru memasuki usia awal 20-an itu akan membawa mereka ke Wacken Open Air 2022, salah satu festival musik terbesar bagi para metalheads di penjuru dunia, pada Agustus mendatang. Di sana, mereka akan berbagi panggung bersama dedengkot metal seperti Judas Priest, Slipknot, Limp Bizkit, hingga Burgerkill.
Pencapaian itu tidak membuat mereka mengangkat dagu. Dengan begitu bersemangat, mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Mendalam hingga receh, soal aktivisme hingga pemilihan warna hijab. Mereka menyambut pertanyaan demi pertanyaan dengan begitu jujur, artikulatif, dan juga intonasi yang begitu bersahabat.
Ini jadi puasa keberapa jauh dari keluarga dan kampung halaman?
VoB: Udah puasa kedua.
Beda nggak sih puasa jauh dari keluarga dan di kota lain?
VoB: Beda banget, sih!
Marsya: Buka sama sahur cuma bertiga. Terus kalau ada salah satu dari kita ada yang lagi nggak puasa, jadi cuma berdua. Jadi kayak sepi aja, sih. Terus kan di sini, Ramadan di kota itu nggak kayak di kampung.
Nggak rame ya?
VoB: Iya.
Siti: Nggak berasa Ramadannya.
Apa sih yang paling dikangenin?
Siti: Ngabuburit!
Widi: Kumpul-kumpul sama keluarganya, sih. Terus, dari makanannya kalo di rumah kan komplit makanannya. Dari yang manis sampe gurih semuanya ada. Kalo di sini kan––
Siti: Langsung nasi!
Marsya: Kalah sama malasnya hahaha
Nah, berhubung lagi bulan puasa, kegiatan sehari-hari kalian sebagai musisi ada perubahan nggak, sih, di bulan puasa?
Marsya: Nggak sih..
Widi: Masih tetap sama.
Siti: Masih tetap produksi.
Marsya: Pas puasa jadwal-jadwalnya masih sama kayak pas sebelum puasa, cuma kitanya aja yang harus lebih pandai ngatur waktu.
Kayak Marsya, kan kamu nyanyi, itu nggak jadi haus ya?
Marsya: Sangat! Hahaha, sangat haus! Apalagi kalau les vokal gitu, kan bisa dua tiga jam dan itu lumayan bikin tenggorokan kering.
Siti juga, ya?
Siti: Iya, itu juga lumayan menguras energi. Makanya kalo abis latian gitu udah langsung abis deh energinya begitu sampe rumah langsung tidur aja.
Kalau bulan puasa kali ini, apakah kalian ada special projects? Atau produksi biasa aja?
Marsya: Produksinya masih biasa aja sih, karena sebetulnya VoB itu bukan band yang momenan gitu. Kayak pas momen Ramadan, bikin lagu tuh nggak. Jadi, kita lebih ngikutin schedule aja.
Berangkat dari yang tadi kamu bilang, mungkin ada stereotip atau orang mikir, “VoB kan band berhijab, kok nggak bikin lagu Ramadan”. Kalian sering juga ditanya soal itu?
Marsya: Sering, sih. Terutama sama media, dan sama balaceprot juga, “Ini Ramadan nih, VoB bikin apa?” Padahal kan ya, Ramadan nggak Ramadan kita tetap latihan, tetap bikin sesuatu. Tapi kan nggak harus banget gitu Ramadan kita bikin lagu religi. Nggak kayak gitu.
Nah ini aku sebenarnya penasaran banget, sebagai perempuan berhijab yang kerja di bidang musik, kalian lebih suka dikenal sebagai band rock metal yang berhijab atau sebagai band rock metal aja?
Soalnya, kadang-kadang yang orang pertama lihat itu adalah atribut kita terus jadinya itulah yang melekat, padahal kan kita so much more than that ya!
Siti: Kita sih pengennya dikenal sebagai band yang punya karya dan kualitas. Jadi kita gak suka dikenal kayak “band hijab” atau apa gitu. Ya, pokoknya dengan embel-embel penampilan lah gitu. Kaya sensasi-sensasi.
Marsya: Kayak seolah-olah kita nggak punya kemampuan lain selain memamerkan tampilan kita.
Pokoknya yang dilihat itu harus skill dan karya kalian kan ya? Soalnya, kadang-kadang yang orang pertama lihat itu adalah atribut kita terus jadinya itulah yang melekat, padahal kan kita so much more than that ya!
Kalau dari musikalitas nih, apa saja sih yang mempengaruhi musikalitas kalian? Apakah itu identitas kalian sebagai seorang perempuan atau hal-hal simpel seperti keseharian kalian, apa sih yang paling kalian suka bahas dan pengen komunikasikan lewat musik kalian?
Marsya: Hm, sebenernya sih kita nggak ada hal khusus yang kesannya harus banget kita bawa gitu. Tapi, kita lebih membawa sesuatu yang kita alami sehari-hari aja. Bisa sesuatu yang kita alami sendiri, atau yang kita baca, kita lihat, kita dengar–ya itu yang kita bawa di musik kita. Tapi, karena kita juga tinggal di lingkungan yang––apa ya istilahnya?––menurut orang masuk ke isu sosial kayak gitu, ya jadinya itu yang kita bawa. Kita pada awalnya nggak expect kalau orang-orang akan menganggap bahwa apa yang kita bawa itu berat banget untuk dibawa, karena kita ngerasa itu biasa aja. Kita justru merasa bahwa isu-isu itu urgent untuk dibawakan. Semisal, [isu] perempuan, karena kita baru tahu bahwa ternyata yang mengalami isu-isu itu bukan cuma kita aja.
Jadi, kalian tuh lebih memproduksi musik dari yang saat ini jadi point of interest kalian ya. Berarti, kalian sangat sadar tentang stigma soal perempuan yang menjadikan musik sebagai karir, apalagi di lingkungan Islam. Kalian ada pandangan tertentu nggak soal itu?
Marsya: Sebenernya sih pas bikin lagu itu kita cuma ingin menyebarkan pesan toleransi aja. Jadi kita ngerasa kalau orang-orang itu sudah saatnya menghargai keputusan hidup orang lain. Sebagai orang luar itu nggak berhak ikut campur. Kayak keputusan kita untuk bermusik, kan di awal banyak banget yang menentang sampai akhirnya ke kekerasan fisik, terus serangan-serangan di media sosial tanpa orang tahu bahwa apa yang kita bawa di musik kita itu juga bukan hal yang buruk. Kita nggak ada mengajak ke keburukan. Tapi kan orang-orang keburu kemakan sama stigma gitu, jadinya malah nyebar hate speech kayak gitu-gitu
Kalian ada sebut tadi sampai ke kekerasan, itu gimana ya? Kok bisa sampai segitunya?
Marsya: Dulu, sih, awal-awal terbentuk kita sampe dapet teror, sampe kejadian dilempar batu sama orang sampai luka fisik. Padahal kita tuh nggak ada ngomongin yang jelek tentang orang lain di lagu kita. Kita nggak ada menyinggung pihak manapun. Tapi, karena mereka masih susah menerima perbedaan dan keputusan hidup orang lain, ya jadinya seperti itu
Aku kaget sih kalau sampai sejauh ini. Kalau misalkan verbal mungkin kita memang nggak bisa kontrol pendapat orang lain, tapi kalau sampai segini itu agak mengkhawatirkan ya. Tapi, apakah sekarang sudah membaik?
Marsya: Sekarang sudah lebih baik sih, sangat lebih baik. Karena kan sekarang juga orang-orang mungkin udah mikir beberapa kali lah gitu. Apalagi kita sekarang juga sudah mulai dikenal sama lebih banyak orang, jadi mungkin mereka takut gitu. Mungkin takut dispill sama Siti di media sosial gitu hahaha.
Siti: Iya!
Kalian kayaknya presence sosial medianya keren deh, ikonik. Bagaimana dengan respons internal lingkungan terdekat kalian sendiri? Karena kalian kan juga berasal dari lingkungan yang Islami banget, atau mungkin lingkungan yang juga awalnya kurang terbuka dengan musik, itu gimana respons keluarga kalian sebelum kalian mulai bermusik dan sekarang kalian udah sukses? Adakah perubahan pandangan?
Siti: Ada perubahan yang sangat signifikan ya! Kalo aku kan dulu pernah nggak diizinin, karena bagi kakak aku jadi musisi itu nggak akan jadi apa-apa. Terus mulai dapet izin itu setelah kita dapet kesempatan masuk televisi, terus jadi tenar lah di kampung. Jadi tontonan keluarga (hahaha) dan sering juara festival dulu gitu. Kalo sekarang, sih, yang pasti udah lebih mendukung karena kita juga sudah menghasilkan [uang], bisa bantu perekonomian keluarga juga. Jadinya, mereka sekarang lebih menghargai keputusan kita untuk bermusik dan jalani hidup kita.
Berarti, sudah dipercaya ya?
Siti: Iya. Katanya, “Kamu mah emang udah cocok lah passion-nya di musik.”
Tapi, perubahan pandangan itu cuma karena melihat kalian sukses sebagai VoB atau secara general mereka jadi mulai lebih menerima musik atau nggak?
Marsya: Secara general sih memang sudah lebih terbuka ya. Walupun memang sulit untuk mengedukasi keluarga, kita sebenarnya nyicil lah gitu. Istilahnya, tiap ada waktu kita pulang ke kampung, kita selalu ngobrol sama mereka. Menjelaskan di Jakarta tuh kayak gimana, terus sebenernya musik kita tuh kayak apa, sampai akhirnya nggak ada yang salah lho, dan apa yang kita suarakan juga selama ini hal-hal yang baik. Nggak ada hal-hal buruk yang mau kita perbuat seperti dugaan mereka selama ini. Soalnya, kan, sebenarnya yang bikin mereka nggak ngizinin adalah karena image metal di sana (Garut) itu jelek. Kayak, “wah, ini pasti pergaulannya gak bener.” Padahal mereka kan tahu itu dari mulut ke mulut gitu, bukan mereka yang ngalamin sendiri.
Marsya: Bahkan kita juga beberapa kali dibilang, “udah deh ganti genre aja gitu kaya Lesti dangdut gitu.” Itu kan cepet kayanya. Udah punya mobil, udah punya rumah.
Siti: Punya alphard! Hahaha.
Marsya: Iya. Duuh, berat banget gitu ya ekspektasinya.
Tapi mereka sadar ya kalau metal itu mungkin lebih susah dan lebih keras?
Marsya: Mungkin mereka taunya itu karena di sana kan belum umum gitu yang berkarir di bidang musik kayak gini, apalagi perempuan. Jadi mereka mikirnya, “aduh perempuan masuk ke dunia kayak gini jadi apa?” Jadi takut gitu.
Padahal, jadi advokat suara-suara positif ya sekarang-sudah proving them wrong. Tapi kalo awal kalian mulai tertarik ke metal bisa barengan bertiga itu gimana sih?
Marsya: Sebenernya sih karena jalan pertama dengerin metal itu bareng bertiga. Terus, kita kan juga bukan metal yang bener-bener “metal” banget gitu. Karena kita juga sebenernya di metal tetep eksplor: misalkan bass Widi juga punya ciri khas sendiri, dia masukin bass-bass funk gitu
Yang di-slap-slap gitu kan, ya?
Widi & Marsya: Iyaa!
Marsya: Terus aku juga masukin rap, terus Siti juga ada yang jazzy nya gitu sekarang. Jadi, kita juga terus eksplor gitu nggak metal yang––
Siti: Nggak pakem
Marsya: Iya! Nggak pakem gitu.
Jadi kalian sudah mulai ketemu style kalian sendiri ya dalam bermusik?
Marsya: Iya, sebenernya sih kita tuh dari awal udah kepedean gitu hahaha. Kita kalo ditanya, “ini genrenya apa sih?”
Suka jawab ini genrenya:
VoB: Hip metal funky!!
Marsya: Padahal itu nggak ada genre itu! Hahaha.
Siti: Iya, nggak ada itu di buku!
Gimana sih proses kalian masing-masing dari awal mulai belajar bermusik sampe sekarang sudah bisa nemuin gayanya masing-masing? Apalagi aku denger kalian tuh belajarnya dalam waktu yang cukup cepat. Itu bakat atau gimana?
VoB: Hmm… gimana ya? Gimana ya? Hahaha.
Widi: Apa ya, kalo aku sih sebenarnya awalnya nggak langsung belajar bass sih. Awalnya gitar dulu, bareng-bareng sama Marsya diajarin sama Abah. Satu kali waktu itu ikut festival yang aku masih main gitar, setelah itu Abah ngajarin aku main bass. “Coba deh mainnya kaya gini yah!” Abah tuh awal nya nggak nyebutin ini main bass. [Abah] cuma bilang, “ini posisinya begini ya,” terus aku ikutin. Terus, abis diajarin sama Abah baru dikasih tau kalo posisi ini namanya Bass. Ada alat musik yang namanya Bass, talinya cuma empat, gitarnya lebih panjang. Terus, Abah juga ngasih referensi lagu untuk dengerin bass. Akhirnya aku di rumah jadi belajar sendiri. Banyak belajar akhirnya menemukan kenyamanan. Jadi, pas aku sudah mulai bisa main bass aku ngerasa kayak, “aduh, keren juga nih.” Hahaha.
Keren dong! Bassist perempuan tuh dikenal keren-keren! Terus, kamu kalau tampil suka mikir kayak “ih gue keren banget sih!” gitu nggak?
Widi: Iya! Awalnya haha
Marsya: Awalnya, hahaha. Sekarang nggak.
Berarti sekarang sudah biasa ya? Hahaha
Widi: Kalo sekarang sih lebih kayak, aduh, banyak yang pengen aku ulik–skill-skill yang aku belum bisa gitu. Kadang malu sih sekarang, kalo ngerasa aku keren banget gitu. Malu sekarang mah hahaha.
Marsya: Oh, ini mungkin, sekarang kan udah pindah ke Jakarta jadi kita ketemu lebih banyak orang, lebih banyak lagi musisi. Ada sisi positif dan negatifnya juga sih, mungkin sisi positifnya kita dulu tuh di kampung nggak banyak kenal sama liat musisi lain yang udah jago. Kita kan jadi pengennya langsung ke situ dan males berproses gitu. Dan untungnya, Abah tuh nggak banyak memperkenalkan kita, karena dia pengennya kita fokus sama proses kita dulu aja, nggak usah liat siapa-siapa dulu. Makanya kita prosesnya jadi agak cepet. Tapi ya itu tadi, kita jadi…
Siti: Itu tadi! Jadi merasa paling keren! Hahaha
Marsya: Iya berasa keren gitu.
Siti: Berasa paling keren sekampung!
Widi: Ke Jakarta banyak yang lebih keren nih, malu…
Tapi kalo se-Garut emang paling hits nggak sih?
Siti: Iya!
Marsya kepada Siti: Ih, ya Allah, kamu pede banget.
Siti: Kalo aku emang se-Garut merasa drummer paling profesional gitu. Aku baru aja kemarin ngobrolin ini sama guru aku, kan aku bilang sama Om Gusti Hendy, “Om Hen, kok aku makin hari kayak makin nggak pede ya main drum?” Terus, katanya Om Hendy, “bedanya kamu yang dulu sama yang sekarang tuh, yang dulu lebih pede karena kamu ngerasa paling keren, kalo sekarang karena ilmu kamu udah banyak jadi kamu tuh merasa kecil gitu.” Ternyata ilmu drum teh bukan cuma yang kayak di Garut! Hahaha
Ilmu drum ternyata ada “Garut Base” ya? hahaha
Siti: Iyaa, aklo dulu kan aku mana tahu ya ilmu-ilmu drum mah ya cuma yang dilihat di youtube atau musik yang kita dengar aja. Jadi ya segitu aja pengetahuan musiknya.
Berarti awalnya pas pindah ke Jakarta sempet ada semacam culture shock ya?
VoB: Iya, bener.
Widi: Banget.
Marsya: Itu, itu sempet shock. Wah ternyata, dari mulai alat, mereka (musisi Jakarta) bagus-bagus, pantes suaranya enak.
Siti: Iya!
Marsya: Kalo kita kan dulu di Garut, “ini gimana sih mainnya sampe suaranya kayak begini? Mati-matian gitu nguliknya.
Siti: Iya, pake alat seadanya.
Ternyata sepenting itu ya alat-alat?
VoB: Iya banget hahaha.
Kalo kalian sekarang sudah ada alat-alat favorit gitu nggak sih? Mungkin Marsya ada gitar favorit, atau Widi ada bass favorit, atau Siti ada set drum favorit gitu?
Siti: Adaaa!
Marsya: Ada banget
Siti: Aku tuh pengen punya drum set Tama Star Classic kalau nggak Sonor. Kalau simbalnya sih hmm… Meinl kayaknya.
Kalau yang lain gimana?
Widi: Kalo aku, hm, aduh aduuh soalnya kebanyakan euy! Gapapa sebutin aja ya, siapa tahu ada yang nyangkut gitu. Hahaha.
Bisa buat referensi aku juga! Kali aja kalian perlu member keempat. Hahaha
Widi: Aku sih pengen Schecter, kalo nggak Musicman juga boleh. Terus kalo dari ampli, pengen GK (Gallien-Krueger) atau Orange, gitu.
Marsya: Kalo aku sih sebenernya apa aja, maksudnya yang mendukung sound aku gitu. Soalnya, sejauh ini aku juga belum nyoba banyak. Jadi, gitar yang sekarang aku lagi pake itu (Gibson SG) sejauh ini cocok. Mungkin, kalau misalkan dari produk lain mau support, aku selalu terbuka sih, asalkan itu cocok dengan karakter musikku. Kalau ampli sih aku pengen EVH.
Berdasarkan pengetahuan aku dari musisi-musisi terkenal, mereka suka punya alat musik kesayangan yang diberi nama gitu, kalian tuh suka namain gitu juga nggak sih?
Marsya: Aku paling sih dari nama (tipe gitarnya), karena itu yang paling gampang. Tapi ada satu, gitar pertama aku, gitar listrik pertama, namanya “Tele”. Memang itu [Fender] Telecaster tapi itu aku memang enak memanggilnya “Tele” gitu.
Siti: Kalo aku pernah namain double pedal atau snare tuh namanya sama gitu, namanya “Si Jalu” hahaha.
Marsya: Ah itu udah kaya ngurus ayam!
Siti: Iya jadi tuh kalo mau manggung manggil “sayangkuu” hahaha
Marsya: Karena mesti ada itu, sih, harus dirayu-rayu gitu.
Siti: Iya mesti, “sayangku kamu harus kuat ya”. Maaf ya, dipukul-pukul, diinjak-injak terus. Hahaha.
Kalau Widi gimana, ada nggak?
Widi: Kalo aku mah, paling itu sih “Si Manis”. Dulu aku punya bass warna merah, karena warnanya merah, terus kecil terus aku kaya lucu aja gitu gemes, manis! Kalo sekarang mah itu namanya “Si Ganteng” hahaha.
Kok bisa beda gitu? Hahaha emang yang ini sekarang lebih ganteng gitu keliatannya?
Widi: Kalo yang ini ganteng, kalem pokoknya mah.
Marsya: Gagah yah?
Widi: Belom gagah sih, kalo gagah mah nanti kalo misalkan ada yang baru ya.
Bagaimana dengan pertemanan di Jakarta? udah mulai masuk atau ada kesulitan nggak ya?
Marsya: Nggak sih.. Hahaha
Siti: Sama aja hahaha
Marsya: [Kita biasa] bertiga doang, karena kita kenal sama orang tetep kenal, ketemu sama siapa gitu tetep kenal aja. Tapi sisanya tetap bertiga. Karena kadang ada hal-hal yang kita tuh ngerasa kurang cocok, misalkan sama orang lain. Kecuali sama kita bertiga.
Jadi, udah paling nyaman tuh bertiga aja ya. Kalian temenan dari SMP ya?
Marsya: Kalo aku sama Siti udah dari SD, kalo Widi dari SMP.
Aku sering dengar dan baca kalian menyebut sosok Abah, yang pertama kali ngajarin kalian ke musik. Aku penasaran sama sosok Abah ini, gimana beliau bisa begitu influential-nya, sampai apa yang Abah suruh atau sarankan tuh kalian nurut dan mau.
Marsya: Sebenernya sih orang yang kita percaya setelah orang tua kita itu adalah Abah. karena banyak yang bahkan orang tua kita ga ngerti, Abah tuh ngerti karena dia banyak bareng-bareng sama kita. Dia lebih bisa memandang kita sebagai seseorang yang objektif, ya Abah tuh memandang kita tanpa kecampur pandangan apapun. Terus kita banyak belajar dari Abah, mulai dari belajar tentang musik, instrumen terus pengetahuan juga kita banyak menambah pengetahuan tuh dari Abah. bahkan kita banyak mengenal isu-isu perempuan, feminisme itu dari Abah, dari seorang laki-laki gitu. Kita ngerasa kalau ya Abah itu inilah udah sangat-sangat bestie lah gitu haha. Istilahnya abah kan kita sering nyebut kalau Abah tuh personil VoB yang keempat gitu, saking emang udah seberpengaruh itu dia.
Jadi juga kurang lebih kan abah yang udah mempertemukan kalian ya. Kalau sekarang kalian udah pindah ke Jakarta kan kalian banyak belajar dengan sosok-sosok pemusik lain ya, tapi tetep sosok Abah tidak tergantikan ya?
VoB: Tetep.
Dari sisi moral juga ya berarti, udah kaya bapak kedua ya mungkin
Marsya: Iya, Abah tuh guru konseling selamanya
Biasanya abis selesai SMA BK nya selesai ya kalo ini terus ya
Widi: Kalo ini seumur hidup
Marsya: Iya seumur hidup
Ngomongin Abah kita jadi balik lagi ke Garut. Kalian tuh kalo ke Garut suka nggak sih diminta sama orang-orang kaya, “Eh, VoB tampil dong kan udah go international!”?
Marsya: Suka
Siti: Iya, panggung-panggung kaya hajatan. Apalagi kan kalo di panggung-panggung hajatan gitu orang-orang request-nya suka “Neng, bawain lagu Sambalado dong!”
Marsya: “Cerita Malam” gitu!
Siti: “Cerita Malam, gitu.” Terus bapak aku juga pernah bilang kalo jadi musisi itu harus bisa segala, katanya. Kalo di atas panggung ketika penonton request lagu mau dangdut, reggae, semua harus bisa. Terus aku kaya, “Iya pak, iya pak” aku denger aja gitu. Soalnya bapak aku tuh daripada ngefans sama anaknya, dia itu lebih suka sama ada band itu yang namanya “Qasima” daripada anaknya sendiri!
Marsya: Itu kaya kasidahan gitu. hahah
Kalo selera mah udah susah diatur ya?
Marsya: Betul, melayu total,
Tapi tadi kamu bilang kan musisi itu harus serba bisa, tapi jujur kalian terlihat serba bisa sih! Soalnya dari beberapa lagu kalian yang aku dengerin, itu masing-masing terasa beda gitu. Apalagi di “School Revolution” tiba-tiba ada melodi yang agak kaya orang ngaji? Terus ada rap juga. Komposisi itu intentional atau gimana sih?
Marsya: Itu sih kebanyakan ketidaksengajaan ya. Kita masukin apa aja deh yang menurut kita di telinga kita itu enak didenger. Makanya ada unsur berbagai macam musik. Nah, itu yang sering orang bilang jadi, ini tuh ke mana arahnya? Karena nggak ke sana nggak ke sini gitu
Nah, kalo itu jawabannya apa tadi?
VoB: Hip metal funky!!
Nah, kalo dari eksplorasi genre musik nih, kalian ada ketertarikan ke genre tertentu nggak mungkin untuk di proyek selanjutnya?
Siti: Pasti ada
Marsya: Sangat mungkin sih, karena kita juga kaya kalau les itu juga lintas genre.
Siti: Iya bener!
Marsya: Kan kita tiga-tiganya ikut les instrumen, kita nggak les ke musisi metal lagi. Ada yang ke musisi jazz, terus belajar blues, terus ada juga di dalamnya musik-musik yang pop gitu. Jadi, untuk kedepannya kita sangat mungkin untuk masukin apa aja. Mungkin akan semakin aneh ya! Hahaha
Tapi untuk saat ini nih, ada nggak satu genre lagu yang lagi stuck banget sama kalian? Mungkin lagi jamming atau diskusi udah ada rencana pengen banget bikin lagu yang seperti ini atau sekarang mengalir aja?
Marsya: Masukin hasil les sih, paling
Widi: Aku sih suka funk, terus pengen agak nge-jazz juga.
Siti: Jazzy!
Widi: Belajar sih .
Ngebayangin kalo ada segmen-segmen yang agak jazz tuh pasti funky banget sih, seru banget. Mungkin next bisa ke Java Jazz! Kalian belum ke Java Jazz kan ya?
VoB: Belum.
Marsya: Takut duluan! Tapi pengen. Hahaha
Kalo nanti kalian udah ngeluarin lagu yang ada unsur jazz-nya, fix jadi bintang sih. VoB di Java Jazz!
VoB: Aamiin!
Dalam bermusik sendiri tuh kalian awalnya ada goals-goals nggak sih? Kayak mungkin pengen go-international atau pengen terkenal di Indonesia atau pengen masuk TV, atau di awal tuh kalian ada terpikir mau sejauh apa gitu kalian ngeband?
Siti: Pas awal-awal?
Marsya: Enggak, pas awal-awal tuh nggak ada.
Siti: Iya, nggak ada.
Widi: Cuma ngalir aja
Marsya: Karena kita dulu emang nggak niat serius, kita cuma main musik untuk kesenangan.
Siti: Senang-senang doang.
Marsya: Mengisi waktu luang. Yang emang waktunya luang semua hahaha.
Siti: Iya, karena pengangguran hahaha
Marsya: Tapi, karena sekarang akhirnya nyaman untuk terus dijalankan terus lambat laun juga bisa dapat penghasilan juga dari musik. Jadi kita mikir, kenapa nggak kita seriusin musik juga?
Berarti sekarang setelah udah mulai fokus bermusik dan jadi karir, ada dong pasti goal-goal nya? Atau masih mengalir?
Marsya: Ada sih beberapa. Jadi, kita emang suka nyatet mimpi kita gitu di buku terus mungkin salah satunya kita pengen tur dunia. Kita pengen punya banyak lagu, banyak album. Kita juga pengen suatu saat sampai di satu titik di mana kita punya alat yang lebih prepare, alat yang lebih baik gitu. Kaya rekaman udah bisa di rumah, terus tour juga udah bisa bawa keluarga gitu suatu saat
Oh berarti sejauh ini kalo kalian tampil yang ada keluarga nonton itu baru yang di Indonesia aja?
Siti: Di Indonesia.
Marsya: Di Indonesia juga kadang!
Siti: Aku sih yang di Garut doang .
Widi: Kalo aku belum sih.
Belum sama sekali?
Widi: Orang tua aku belum. Apa ya, terakhir mama nonton VoB itu pas perpisahan sekolah kali! 8 tahun lalu! Itu doang, nggak ada lagi!
Berarti kalian ngisi acara perpisahan sekolah dulu, kalo acara-acara nikahan gitu kalian ngisi juga? Atau engga?
Widi: Dulu, dulu iya.
Marsya: Dulu tuh berbagai panggung kita–
Siti: Kita hajar gitu!
Marsya: Iya, kita hajar semua! Panggung khitanan, panggung kawinan, panggung pensi pokoknya apapun event nya, apapun bayarannya kita ada di sana!
Yang penting ada panggungnya dulu, yang penting main dulu!
Marsya: Jam terbang!
Tapi kalian dulu kalo lagi main di panggung kecil gitu suka berandai-andai lagi main di panggung besar nggak sih? Kaya wah yang nonton banyak gitu
Marsya: Enggak sih, karena dulu juga nggak tahu panggung besar itu kaya apa rasanya.
Siti: Hahahaha
Nah, dulu kan kalian nggak tahu ya panggung besar rasanya kaya gimana, tapi sekarang nih, kalian udah ke banyak panggung besar, di berbagai negara. Terus gimana rasanya sekarang?
Widi: Rasanya nggak mau turun dari panggung! Ketemu panggung besar terus penontonnya banyak itu excited banget!
Marsya: Pengen nginep rasanya di panggung. Hahaha
Jadi, kalau misalkan pada teriak “encore!” kalian udah langsung siap berarti, ya, langsung main!
Siti: Iyaa, kita hajar gitu. Kita kalo di atas panggung kayak, “aduh, aduh” gitu padahal sebenernya mah udah persiapan!
Marsya: Udah menggebu-gebu
Harus agak akting dikit ya berarti?
Siti: Iya! Biar agak keliatan gimana gitu, jual mahaal!
Marsya & Widi: Hahahaha
Kalau kalian ada role model nggak dari sisi stage presence? Kan kalau role model dari musik kalian udah banyak ya, sering sebut band-band dari yang jadul sampe yang sekarang. Tapi kalo dari stage presence nih, ada nggak musisi tertentu yang menurut kalian keren banget dalam menguasai panggung dan penontonnya, dan kalian pengen seperti itu?
Marsya: Hm, siapa ya? Kalo aku sih, ada satu band, jadi dia tuh bener-bener menguasai panggung, vokalisnya cewek juga, namanya “Ginger”. Aku sering liat aksi panggungnya dan bener-bener all out gitu dan mereka juga punya komunikasi yang baik sama penonton. Dan aku juga merasa dia tuh menyatu dengan audiensnya. Dan itu aku ngerasain sendiri bahwa itu bukan hal yang gampang untuk dilakukan.
Berarti kalian belom pernah stage diving ya?
Widi: Nggak mau, takut!
Kalau band Indonesia atau musisi Indonesia, ada nggak sih sosok-sosok tertentu yang kalian look-up banget atau yang kalian sekarang lagi suka banget?
Marsya: Musisi Indonesia… Hmm… Aku masih dengerin kayak sebelum-sebelumnya. Kayak misalkan Seringai atau Navicula gitu. Karena, sebenernya dengerin mereka aja tuh nggak tamat-tamat gitu.
Terus kalian dari yang dulu misalkan ngefans sama Gigi gitu, sekarang malah udah bisa ketemu langsung, belajar dan bahkan kolaborasi bareng, itu tuh gimana sih perasaannya? Kayak, ih ini tuh bener nggak sih?
Siti: Iya bener! Aku tuh nggak nyangka banget bisa belajar langsung sama Om Gusti Hendy karena dulu tuh pertama ketemu tuh di mana ya, kita pertama ke acara Gigi. Terus Om Hendy kan main drum apa aja gitu enak banget. Sekarang beliau udah jadi temen sharing. Terus, Om Hendy juga nggak memposisikan diri sebagai senior atau menggurui gitu, tetap memposisikan sebagai teman gitu.
Jadi sebenernya temen-temen kalian tuh keren-keren ya? Beda ya levelnya sama aku! Kalo Marsya sama Widi gimana? Ada nggak sosok-sosok tertentu yang kalian lagi look up to sekarang?
Marsya: Musisi Indonesia masih musisi yang itu-itu aja sih. Paling kalo musisi Indonesia tuh aku suka melihat kemunculan band-band baru justru!
Widi: Paling dulu sih aku inget banget tahun 2018-an lah, eh nggak dulu banget ya berarti?
Siti: Empat tahun yang lalu!
Widi: Eh, iya, empat tahun yang lalu ngefans banget sama bassist Indonesia, salah satunya itu Barry Likumahuwa. Sekarang, alhamdulillah bisa ketemu dan belajar secara langsung dengan beliau. Alhamdulillah sih, seneng banget dan bangga banget.
Apakah kalian berteman juga kayak Siti sama Om Hendy?
Widi: Hahaha masih malu-malu. Apa ya, aku tuh kalo ketemu idola tuh aku kayak… kayak apa ya?
Marsya & Siti: Ngefreeze!
Widi: Iya! Kalo mau ngomong tuh kayak, ah gimana gitu. Nah, tapi aku tuh lebih senengnya itu karena bisa kolaborasi dengan beliau.
Beda, sih, ya memang feel-nya kalo kolaborasi sama idola tuh, lebih gimana gitu…
VoB: Iyaa
Kira-kira kalian pengen kolaborasi sama siapa sih?
Marsya: Kalau kolaborasi sih, aku sebenernya nggak ada spesifik mau sama siapa. Istilahnya, aku terbuka sama siapapun yang mau kolaborasi sama kita. Tapi emang sejauh ini yang mau kolaborasi sama VoB itu emang lintas genre, kayak misal…
Siti: Papa Buj.
Marsya: Iya! Kayak Dewa Bujana, Superman Is Dead, Om Barry Likumahuwa. Jadi, emang sejauh ini kita justru kolaborasi sama orang-orang yang kita nggak expect untuk kolaborasi sama dia.
Siti: Iya!
Marsya: Jadi, tiba-tiba kolaborasi sama yang senior gitu, atau yang genrenya misalkan “gini” banget (bertolak belakang) gitu sama VoB. Jadi, collab tuh malah jadi kayak kawin banget gitu musiknya. Jadi, kita terbuka sih.
Berarti untuk kolaborasi yang udah terjadi sekarang ini, itu mereka yang approach ke kalian atau kalian pernah reach out untuk collaboration gitu?
Marsya: Kebanyakan sih mereka yang ngajak. Kita kan dulu pengen banget ngerasain kolaborasi sama orkestra gitu, terus tiba-tiba diajak sama Om Erwin Gutawa gitu. Kayak gini aja sih, “oh ternyata kita harus ngomong yang baik-baik!”
Oh, maksudnya omongan itu doa ya?
Marsya: Iya! Omongan itu doa, jadi jangan ngomong yang buruk-buruk. Ngomonglah yang baik-baik.
Kalian pernah berarti ya ngerasa kaya gitu, tiba-tiba ini omongan jaman dulu tiba-tiba kejadian aja gitu?
Siti: Banyak, iya banyak banget
Marsya: Iya kebanyakan kita kayak gitu, semisal kita pengen tur, eh terus tiba-tiba kita tur gitu. Pengen ke Wacken gitu.
Siti: Iya, pengen ke Wacken, sih.
Widi: Terus, alhamdulillah.
Marsya: Iya alhamdulillah, Wackennya menghubungi.
Siti: Iya menghubungi kayak tiba-tiba, “Yuk, main di Wacken!”
Marsya: Wah itu, itu rasanya kaya kesamber petir siang bolong gitu!
Pengen tau deh, kalo kalian di luar negeri gitu, lidah Indonesia itu kan nggak bisa bohong ya… Kalian gimana tuh makannya?
Marsya: Yang penting bawa sambel sih!
Siti: Sama mie instan!
Marsya: Aman! Pokoknya selama ada sambel semua masih bisa dimakanlah. Semisal, ada telur.
Siti: Scrambled egg atau telur rebus gitu. Jadi aku tuh sebenernya sarapannya telur cuma beda bentuk gitu! Cuma beda versi aja.
Jadi kalo di sana scrambled egg, begitu diterima sama VoB tuh jadi telur balado orak-arik gitu ya?
VoB: Iyaa!
Marsya: Ditaburin lagi itu sama cabe bubuk!
Kalian tuh as a group, pengennya dikenang seperti band yang kayak gimana sih? Pengen dikenal sebagai band yang seperti apa?
Marsya: Pengennya sih tadi, seperti yang Siti bilang, pengen jadi band yang punya karya gitu, punya banyak lagu dan punya keberanian untuk bersuara. Kita berharapnya, apapun orang akan mengenal kita kemudian, kita berharapnya kita bisa membuka jalan untuk mimpi-mimpi perempuan lain untuk bisa terlaksana, gitu!
Ada pesan-pesan khusus nggak nih yang pengen kalian sampaikan ke komunitas kalian atau komunitas yang sering kalian perjuangkan dalam musik-musik kalian?
Kita hidup di bumi ini nggak sendiri. Jadi, ya, bersikap manusiawi lah, sebagaimana manusia seharusnya.
Marsya: Mungkin pesan dari kita ya kita harus ingat bahwa peran kita di bumi itu bukan cuma hanya bikin bumi ini lebih sempit, tapi juga kita punya beban untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan lebih ramah gitu di bumi kita ini. Ya, bisa dengan mendukung suara orang-orang yang termarginalkan di sekitar kita, terus dengan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama terutama kepedulian terhadap lingkungan.
Karena, kan, kita hidup di bumi ini nggak sendiri. Jadi, ya, bersikap manusiawi lah, sebagaimana manusia seharusnya.
Ada nggak sih komentar positif yang kalian pernah dapetin yang bener-bener membuat kalian merasa kayak, “oh oke, saya sudah menunaikan maksud saya untuk bermusik” mungkin masukan atau komentar yang memvalidasi tujuan kalian gitu?
Marsya: Kita seneng sih kalo kiat dapat pesan, “Wah kita ngeband lagi nih karena kalian!” atau “Terima kasih sudah mewakili kita” atau bahkan ada yang ngomong itu, yang komen itu
Widi: Oh iya! Jadi, ada yang komen kalau sekarang itu dia banyak nerima anter pesanan alat musik ke sekolah-sekolah yang ada di Garut Selatan. Di pelosok, gitu.
Dalam bermusik, kalian banyak membantu lembaga amal dan mendukung lembaga keperempuanan. Itu tuh memang sudah menjadi salah satu objektif kalian dalam bermusik atau itu lebih ke aksi lanjutan dari kesuksesan kalian?
Marsya: Hm, itu mengalir aja sih. Karena kita sebenarnya di awal kita juga nggak ngerti dengan hal-hal seperti itu, kita nggak punya akses untuk ke pengetahuan yang seperti itu. Tapi karena seiring berjalannya waktu, kita main musik, dan ternyata setelah kita punya band kita juga jadi belajar pengetahuan lain termasuk isu-isu perempuan, isu-isu lingkungan, dan kemanusiaan. Dan kita merasa bahwa hal-hal itu urgent untuk disuarakan. Makanya, kita memilih musik sebagai media penyampaian isu-isu tersebut. Karena ya, musik kan punya bahasa tersendiri ya, bahasa yang lebih universal dan bisa menyentuh semua kalangan. Dan nggak terbatas sama apapun, mau usia atau kelas sosial gitu. Jadi, mungkin, pesannya bisa lebih sampai.
Aku penasaran, kalian itu memang selalu nyaman pakai hijab warna hitam atau itu memang ciri khas VoB?
Widi: Paling pede warna hitam!
Marsya: Hahahaha.
Marsya: Karena sebenernya sih kita tuh tiga-tiganya males mikir! Jadi, yaudah deh, yang aman gitu: hitam–kan masuk ke semua warna. Jadi, yaudah deh hitam aja.
Siti: Atau paling warna nude sih yang kalem
Marsya: Iya yang kalem-kalem gitu warnanya
Aku suka merhatiin musik video kalian tuh bagus, terus eye catching gitu. Kalau kalian sendiri tertarik nggak sih sama fashion, aku penasaran deh!
Widi: Suka!
Marsya: Kadang ini sih, suka mix and match baju, eksperimen! Misalkan dipake sama apa gitu. Ada beberapa yang kita pake untuk visit media gitu misalkan
Widi: Biar nggak ketahuan gitu kayak, “idih bajunya itu lagi itu lagi!” Hahaha.
Kalau untuk musik video kalian, semua [diserahkan] ke stylist atau ikut nentuin apa yang kalian mau gitu?
Widi: Ada sih yang biasanya ngarahin gitu.
Marsya: Tapi biasanya kita tetep diskusi bareng-bareng.
Kalian habis (interview) ini ada kegiatan apa nih?
VoB: Tidur hahaha.
Marsya: Kita kan kalau sehari-hari penuh misal ada photoshoot atau latihan atau ada wawancara seperti ini juga jadi waktu malam tuh kita selalu pake untuk istirahat penuh
Aku pernah dengar di salah satu interview kalian bilang ada kesulitan tidur setelah pindah ke Jakarta, itu sekarang masih kah?
Siti: Masih susah!
Marsya: Masih susah sih, tapi paling tidak lelah dalam berusaha untuk tidur.
Siti: Trauma menghadapi malam!