Memusikkan Suara dan Menghidupkan Instrumen bersama Tesla Manaf
Music
04.01.23
Memusikkan Suara dan Menghidupkan Instrumen bersama Tesla Manaf
Dari interpretasinya terhadap musik dan suara, cerita tur di Taiwan, hingga obrolan mengenai alat-alat musik, kami menyempatkan untuk berbincang santai dengan sosok di balik moniker KUNTARI, Tesla Manaf.
Tesla Manaf mengakui bahwa gelarnya sebagai musisi eksperimental baru ia maknai sepenuhnya setelah titel tersebut diberikan kepadanya. Perjalanannya dalam menemukan “visi suaranya” ternyata berhubungan dengan berbagai referensi yang ia terima sedari kecil, sampai-sampai dipengaruhi oleh insiden yang ia alami ketika memasak—yang justru membawanya menuju “visi suara” beliau yang semakin matang dan berkarakter.
Beberapa hari setelah album beliau yang berjudul Larynx dirilis dalam bentuk fisik, kami berkesempatan untuk berbincang-bincang santai—selayaknya nongkrong bersama kawan—dengan Tesla Manaf dengan sejumlah topik-topik seperti interpretasinya terhadap musik, pengalamannya membawa musiknya hingga mancanegara, sampai membahas fenomena sosial yang belakangan ramai dibahas di Twitter.
Dengan rilisnya album fisik di era yang serba digital, apa hal spesial yang dirasakan dengan adanya wujud fisik karya Larynx?
Mungkin karena aku konvensional juga, kali ya? Jadi kayak, rilis album tuh kalau nggak fisik, kesannya kayak… gimana gitu. Mungkin karena umur juga, kali ya? Jadi [harus] ada sesuatu yang dipegang. Sebenarnya, ada juga sih rilisan album yang nggak ada fisiknya kayak Toija, atau [Pararatronic] yang dirilis secara split sama Addictive TV dari Inggris, tahun lalu. Jadi kayak, ada beberapa juga yang nggak dirilis secara fisik sebenarnya.
Cuman, buat aku tuh, punya sesuatu yang bisa disentuh dan bisa jadi bahan koleksi untuk orang lain juga tuh kayak penting banget juga sebenarnya juga untuk jadi library physical. Tapi, biarpun susah, ya, sekarang jualannya juga. Emang agak gampang-gampang-sulit sih, sebenarnya. Jadi, kalau misalnya lagi manggung biasanya tuh, kayak, cepet banget penjualannya. Tapi, kalau misalnya kita sekadar promo di media sosial tuh kadang agak sulit dan jualannya jadi ribet juga. Jadi, agak gampang-gampang-susah sih jualannya.
Bisa dibilang itu juga bagian dari mengabadikan memorabilia itu, ya?
Joyo JF-14 American Sound Overdrive, tidak satu pun yang di atas US$500 (foto: Walmart)
Klon Centaur Professional Overdrive,
tidak ada yang di bawah US$5000 (foto: Amazon)
Joyo JF-14 American Sound Overdrive, tidak satu pun yang di atas US$500 (foto: Walmart)
Klon Centaur Professional Overdrive,
tidak ada yang di bawah US$5000 (foto: Amazon)
Joyo JF-14 American Sound Overdrive, tidak satu pun yang di atas US$500 (foto: Walmart)
Klon Centaur Professional Overdrive,
tidak ada yang di bawah US$5000 (foto: Amazon)
Joyo JF-14 American Sound Overdrive, tidak satu pun yang di atas US$500 (foto: Walmart)
Sekarang, yaa, macam-macam banget pilihannya. Kalau ternyata kita punya Kemper, malah kita jadi nggak suka, gitu? Malah jadi nggak enak main gitarnya? Kenapa kita nggak pakai Joyo yang selama ini kita ternyata nyaman di situ, gitu.
Ini kembali ke komunikasi kita terhadap alat-alat kita itu, ya?
Setuju banget. Itu penting banget menurut aku. Karena, seperti yang Garrin cerita tadi bilang, “sentimental terhadap alat tersebut tidak pernah bisa kita lepas karena itu yang membawa kita menjadi lebih peduli sama apa yang kita punya sekarang,” gitu.
Mungkin suatu saat bakal nambah alat, misalnya mereka bakal manggung di tempat stadion besar, Wembley Stadium, nah itu penting untuk punya alat-alat yang canggih. Ya, mungkin itu seiring berjalannya waktu mereka bakal harus meng-upgradegear mereka, dan disesuaikan dengan space yang bakal mereka mainin. Tapi, sound-nya, tetap pas mereka main pakai Joyo itu—itu sudah pasti, karena mereka sudah nyaman di situ. Biarpun gear-nya secanggih apapun, itu cuman mendukung, kasarnya, permainan mereka di space yang lebih besar, atau stadium, atau speaker yang lebih canggih, gitu. Tapi, visi sound yang kita punya, itu adalah sound-sound yang kita bentuk saat kita pakai efek Joyo tersebut, yang kita beli dengan harga Rp300.000–600.000-an itu.
Akun Twitter @teslamanaf cukup aktif dalam membuat konten. Melihat fenomena—dan segala kontroversi—musisi-musisi yang aktif di platform tersebut, apakah penggunaan media sosial itu sebenarnya bagian dari marketing ploy untuk musik, atau sebagai medium ekspresi untuk pribadi?
Sebenarnya itu gimmick, sih ya, dan itu nggak masalah banget—seniman itu pasti punya gimmick masing-masing. Entah si Ozzy Osbourne dengan kesatanikannya, entah Cannibal Corpse dengan dengan… kekanibalannya, Alice Cooper dengan makan kelelawar,
Slipknot dengan topengnya, ya?
Slipknot dengan topengnya, gimmick tuh penting banget. Tapi, kita punya pilihan gimmick kita bisa jadi cheesy yang akhirnya menjadi bumerang buat kita sendiri, atau gimmick tersebut bisa nge-push kita ke arah musikal yang kita tuju, gitu. Misalnya kayak, nggak masalah juga sebenarnya misal si artisnya pengen punya akun sosial media tapi isinya pokoknya ngelawak semua, dan mana tau dengan jokes-jokes kayak gitu mereka jadi lebih dikenal dan akhirnya mereka bisa di-hire, bisa dapat banyak panggung, dan akhirnya bisa menyuarakan musik-musiknya mereka di berbagai panggung, gitu.
Yang jadi masalah adalah kalau misalnya kita mengangkat diri kita dengan cara menjatuhkan orang lain. Itu nggak cuman di musik; mau di kesenian apapun, di bidang pekerjaan apapun, kita menjadikan kepala orang lain untuk tumpuan kita untuk menjadi lebih tinggi, itu selalu amat sangat tidak dibenarkan, gitu. Dan itu merupakan cara menuju lebih tinggi dengan cara yang rendah, menurut aku.
Nggak masalah misalnya lagi ada bahasan isu apa dan akhirnya kita ikutin—biarpun kesannya itu kayak poser, lah, kasarnya— itu nggak masalah juga, ya, kalau misalnya kita bisa lebih peduli terhadap sekitar kita, kenapa nggak? Tapi, selama kita tidak menyinggung atau tidak membuat orang lain menjadi kesannya lebih kecil dan kita merasa kita lebih besar, menurut aku itu adalah… tidak hanya bodoh, tapi juga membuat mereka menjadi tidak punya perasaan sama sekali sebagai manusia. Apapun, menurut aku sih sah-sah aja, sih. Yang penting tidak ada orang yang terlukai.
It’s about being civil, ya Mas?
Yes. Yah, sefundamental itu dulu aja, lah. Maksudnya, elu sebelum jadi musisi elu kan manusia. Lu sebelum jadi seniman, kita semua manusia gitu. Waktu balita, lu ngapain sih, pengennya? Cuman main doang, kan? Pengen ketemu sama banyak orang, pengen ngobrol, pengen main selamanya—sampai tua pun kita kayak gitu. Dan, ya, kita sering lupa, sebenarnya. Tapi, karena kita banyak referensi sekitar kita yang membuat kita akhirnya menjadi lebih jahat, itu bahaya banget. Karena itu bakal terrefleksi di keseharian kita nantinya, entah perlakuan kita terhadap waiters, perlakuan kita terhadap sopir kita, misalnya.
Di akun @teslamanaf, ada video ROLI Seaboard dipakai. Untuk aspiring musicians, kira-kira ada rekomendasi rekomendasi MIDI controller atau synthesizer macam Teenage Engineering, yang kira-kira yang orang semestinya harus tahu, kah?
Apa yaa yang lucu-lucu ya. Saat ini yang paling populer, alat yang lucu, dan powerful, emang Teenage Engineering, sih, terutama di OP-1, kan. Wah, itu emang powerful banget. Bentuknya aja kayak mainan, putih, gemes gitu, kan? Ya Allah, suaranya itu… Tapi sebenarnya aku udah ngumpulin Teenage Engineering dari tahun 2017, kali ya. Sudah [ngumpulin] lumayan banyak Pocket Operator, berapa biji ya… kayaknya sekitar 4–5 biji, di saat Melodia belum masukin di Indonesia. Itu sudah aku jualin satu-satu karena makin pengen cari alat, tuh, yang lebih simpel dan lebih compact, tapi lebih powerful juga, gitu.
Tapi menurut aku tuh, Seaboard itu adalah sisi populernya dari Continuum. Jadi, Continuum itu sama [seperti Seaboard] bisa glide, bisa slide, segala macam, tapi mereka cuman terkenal di kalangan musisi eksperimental, atau musisi-musisi sound design, dan itu nggak ada yang ngalahin. Lalu, tiba-tiba muncul ROLI dengan design yang cantik, intuitif juga—harganya memang lumayan mahal, sih—cuman itu muncul dengan ke-gimmick-an yang canggih, dan dibawa ke ranah popular dengan di-endorse ke banyak artis, dan sayangnya mereka bangkrut gara-gara terlalu ambisius dengan sisi promosinya itu, gitu. Sedangkan, orang-orang merasa MIDI controller doang dengan harga segitu, kayak; “ah, ini gue buat apa, ya, kalau gue punya juga? Kalau misalnya lu bisa main cielo kayak gitu, ya lebih baik gue nge-hire orang pemain cielo beneran,” kasarnya kayak gitu. Misalnya, kalau orang mikir ke arah microtonal, ke arah drone, atau ke arah musik yang sinematik, ROLI emang udah canggih banget, dibanding Continuum yang harganya lebih mahal, gitu.
Aku rasa, yang paling breakthrough banget sih sementara ini tuh ROLI dan Arturia kali, ya? Arturia juga banyak banget mode dan banyak banget fitur gitu yang ngebuat musisi elektronik itu bisa eksperimen banget, kayak gitu.
Tapi, jalan paling singkat adalah dengan melihat channel YouTube-nya Andrew Huang. Entah kenapa tuh, orang itu tuh bisa ngebungkus semuanya dengan eyecandy banget, serba bright, terus dia pakai baju yang warna-warni, studionya juga amat sangat cantik, gitu. Itu manusia jenius banget. Bayangin, konten-konten se-detailed, berbobot seperti itu bisa dia keluarin dengan seminggu tiga kali, seminggu lima kali—aku nggak ngerti, dia kayaknya sehari punya 80 jam, kayaknya. Tapi, biarpun dia dikasih alat baru, dia bisa memaksimalkan di saat yang bersamaan, juga. Menurut aku tuh channel yang amat sangat berbobot banget, sih, untuk cari alat-alat baru.
Balik lagi dulu aja ya, menjadi manusia sebelum kita jadi seniman.
Adakah pesan-pesan untuk those aspiring musicians?
Mungkin yang tadi sempat kita bahas, ya? Balik lagi dulu aja ya, menjadi manusia sebelum kita jadi seniman. Karena seniman yang bunyinya bisa bertahan sampai ratusan tahun itu adalah musisi yang memanusiakan musik mereka sendiri, menurut aku, ya.
Biarpun nggak semuanya sih, ya? Banyak juga sampai sekarang musisi-musisi asshole yang sampai sekarang juga bisa didenger, banyak banget, gitu! Musisi-musisi klasik asshole yang sampai sekarang musiknya tuh tetap diagungkan, banyak juga sih, sebenarnya. Cuman, dunia alangkah jauh lebih indah kalau misalnya kita nggak berhenti bereksperimen dan kita menjunjung tinggi kebebasan, tapi tidak lupa juga bahwa kebebasan kita dipagari atau dibatasi oleh sisi-sisi humanis itu sendiri—balik lagi ke fundamental kita sebagai manusia. Boleh sebebas apapun, selama kita tidak merugikan atau melukai orang lain, itu menurut aku adalah kebebasan yang paling absolut.