Memetakan Kebutuhan Musisi Indonesia Bersama Musisi, Manager Hingga Akademisi
Berbincang dengan Cholil Mahmud, Kartika Jahja hingga Dimas Ario tentang polemik RUU Permusikan dan apa yang bisa diperbaiki oleh pemerintah.
Words by Whiteboard Journal
Dalam sebuah diskusi tentang RUU Permusikan, Marcell Siahaan mengucapkan statement menarik tentang penolakan musisi terhadap rancangan perundangan tersebut, “Buat apa kita merevisi sebuah hal yang sudah salah secara jiwa?”. Pendapat tersebut masuk akal, karena dari kajian lebih lanjut, RUU Permusikan dibuat dengan naskah akademik yang tidak sahih. Hasil akhirnya pun minim faedah, bahkan justru penuh mudharah. Terutama pasal-pasal yang memagari kebebasan berkarya. Untungnya, belakangan ada kesepakatan tercapai antara pihak pengaju dan pihak oposan RUU. Bersama-sama mereka akan mengusahakan supaya RUU ini ditarik dari pengajuan.
Untuk memetakan langkah ke depan yang lebih produktif, kami berbincang dengan musisi, manajer dan sosok-sosok yang termasuk dalam industri musik lokal mengenai apa sebenarnya kebutuhan para musisi kita, dan bagaimana pemerintah bisa membantu mereka untuk maju bersama.
Cholil Mahmud
Musisi
Ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh para musisi ke pemerintah, namun seringkali solusi yang diberikan pemerintah meleset dari masalah. Langkah seperti apa yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini?
Pertama, jika ingin ada penanganan suatu masalah atau perubahan pengaturan terhadap satu bidang biasanya kita minta audiensi, baik itu dengan pemerintah, maupun dengan legislator. Kita sampaikan keluhan kita. Lalu mereka akan memikirkan jalan keluarnya. Setelah itu kita harus selalu melakukan pemantauan akan kinerja mereka untuk memastikan bahwa jalan keluarnya sesuai dengan keluhan kita. Proses pemantauan kinerja pemerintah ini bisa sangat panjang dan melelahkan, oleh karena itu kesadaran warga bahwa pemantauan adalah sebuah keniscayaan dalam proses demokrasi menjadi penting. Politik bagi warga bukan hanya ikut Pemilu 5 tahunan, melainkan berperan aktif memantau jalannya pemerintahan sesuai amanat demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hak Cipta merupakan hal yang sering diperdebatkan di antara musisi, seperti perihal ketentuan meng-cover lagu. Bagaimana Anda melihat persoalan ini dan apakah undang-undang yang ada sudah terimplementasi secara menyeluruh?
Banyak keluhan soal cover-meng-cover ini. Kalau memang UU Hak Cipta belum ‘bunyi,’ sepertinya dibutuhkan peraturan turunan untuk menjalankan UU tersebut. Begitu juga dengan soal-soal lain yang sebenarnya sudah diakomodir di UU Hak Cipta namun pada prakteknya belum jalan. Segera buat peraturan pendukungnya (peraturan pemerintah, perpres, perda provinsi, perda kab/kota)
Perihal performing rights, apa tanggapan Anda mengenai persoalan ini di tengah maraknya musisi yang saling meng-cover musisi lain?
Prinsipnya tetap fairness. Misal, ada artis yang mendapatkan popularitas karena meng-cover lagu orang, maka ia mungkin mendapat dua keuntungan dari meng-cover lagu tersebut, yaitu popularitas (sosial) dan finansial.
Untuk popularitas atau keuntungan sosial, mungkin konsep fairness-nya mesti dipelajari dan disepakati lebih lanjut sama-sama, tapi paling tidak, mungkin spirit yang dibawa oleh penciptanya tidak ditarik bertolak belakang dengan maksud aslinya (kasus keluhan Jerinx terhadap Via Vallen).
Untuk keuntungan finansial, sudah selayaknya ada fairness karena memang itu memungkinkan dilakukan. Penyanyi yang meng-cover harus bisa atau dipaksa (melalui regulasi) untuk membagi keuntungannya. Saya dengar Youtube kantor perwakilan Indonesia (Google) belum bisa memfasilitasi proses monetizing cover-meng-cover lagu ini sesuai UU Hak Cipta. Untuk itu pemerintah/DPR mesti melakukan pemanggilan kepada Youtube/Google Indonesia untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini.
Apa yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah untuk menghasilkan ekosistem musik yang baik?
Mengerti betul apa peran musik di masyarakat saat ini, bagaimana dia tumbuh, berkembang dan dimaknai oleh masing-masing aktor, dan juga harus bisa berimajinasi untuk menangkap kemajuan zaman. Jangan sampai regulasi yang dibuat sangat ketinggalan zaman dan justru mematikan pertumbuhan musik Indonesia.
Apa kira-kira tantangan besar yang akan dihadapi industri musik ke depan, dan bagaimana kesiapan industri kita untuk menghadapinya?
Kemajuan teknologi. Cara kita memproduksi dan mengkonsumsi musik cepat sekali berubah. Jadi kita benar-benar harus cerdas menyikapi kemajuan teknologi, jangan coba-coba menghambatnya, karena pasti akan mati konyol. Cobalah untuk hidup dan menunggangi kemajuan teknologi itu.
Dimas Ario
Kurator Musik
Ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh para musisi ke pemerintah, namun seringkali solusi yang diberikan pemerintah meleset dari masalah. Langkah seperti apa yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini?
Sejalan dengan salah satu poin rekomendasi dari Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, idealnya peran pemerintah bukan hanya menjadi regulator namun juga sebagai fasilitator yang dapat berkolaborasi dengan berbagai sektor yang ada pada ekosistem musik.
Cara pandang pemerintah juga harus diubah bahwa regulasi terbaik adalah dengan mengurangi regulasi. Jika intervensi pemerintah terlalu berlebihan malah bisa menghilangkan potensi dan inovasi yang ada dari praktisi musik. Hal itu yang menjadi salah satu dasar mengapa RUU Permusikan perlu di-drop karena pada hampir keseluruhan pasal yang ada sangat berpotensi untuk menghambat perkembangan musik tanah air yang juga hidup dan digerakan bukan hanya dari pemain besar di industri juga dari komunitas dan masyarakat di akar rumput.
Sementara itu dari sisi praktisi musik juga harus lebih bisa menyatukan suara dan membangun kesadaran kolektif melalui berserikat dan berorganisasi agar suara kita dapat didengar lebih keras. Dengan serius berserikat dan berorganisasi yang berbadan hukum, para praktisi musik dari semua lini masing-masing dapat menentukan regulasinya tersendiri yang dapat mengakomodasi kebutuhan dan permasalahan yang paling relevan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan bersama. Misalnya ada serikat atau organisasi khusus untuk musisi-musisi lepas yang bermain reguler di klub, café atau hotel yang nantinya dapat menentukan standar tarif mereka sendiri sehingga tidak akan ada lagi yang bersedia bekerja di bawah tarif minimum yang sudah ditentukan bersama.
Hak Cipta merupakan hal yang sering diperdebatkan di antara musisi. Bagaimana Anda melihat persoalan ini dan apakah undang-undang yang ada sudah terimplementasi secara menyeluruh?
Di Indonesia sudah memiliki UU Hak Cipta (UUHC) yang beberapa kali mengalami perubahan dari awalnya di tahun 1982, lalu 1987, 1997, 2002 hingga yang paling anyar di tahun 2014. Walau UUHC terus disempurnakan dari tahun ke tahun, penegakan hukum yang lemah membuat UUHC tidak memiliki pengaruh yang signifikan. UUHC no. 28 tahun 2014 juga masih menuai pro kontra khususnya dalam tindakan pelanggaran hak cipta yang kini menerapkan delik aduan yang berarti hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban. Ada juga yang berpendapat bahwa sebaiknya UUHC 2014 menerapkan delik biasa agar perkara pelanggaran dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan.
Bagaimanapun, walaupun UUHC ini sebenarnya mengatur mengenai hak kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, namun banyak pasal yang ada terasa banyak memihak kepada para kreator di bidang musik. Salah satu pasal menarik yang mungkin belum banyak diketahui dan diterapkan oleh para musisi ada pada pasal 30 yang berbunyi:
“Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun”
Pasal ini bisa menguntungkan bagi musisi-musisi tanah air pada era 60an-90an yang sering dikenakan metode flat–play (hanya diberikan uang muka saja tanpa adanya royalti yang jelas) oleh pihak label rekaman. Setelah 25 tahun, para musisi tersebut memiliki hak untuk memiliki master rekaman karya mereka yang awalnya dimiliki oleh label atau bisa juga para musisi dapat negosiasi ulang mengenai besarnya royalti yang akan diterima dengan label rekaman yang bersangkutan.
Jadi daripada menyusun rancangan undang-undang musik yang baru, lebih baik mensosialisasikan undang-undang yang telah ada seperti UUHC ini atau juga membuat peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang sudah ada. Selain UUHC, beberapa undang-undang lainnya juga terkait dengan dunia musik, antara lain Undang-Undang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam No. 13 Th. 2018 dan juga Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Th. 2017.
Perihal performing rights, apa tanggapan Anda mengenai persoalan ini di tengah maraknya musisi yang saling meng-cover musisi lain?
Persoalan cover song ini memang kerap jadi polemik. Secara hukum sebenarnya sudah diatur dalam UUHC 2014, yakni tindakan menyanyikan kembali lagu tanpa persetujuan atau lisensi dari musisi bersangkutan akan dikenai sanksi pidana.
Mekanisme izin lisensi yang diperlukan jika mau mendaur ulang lagu sebenarnya tidak hanya membutuhkan hak mengumumkan (performing rights) namun juga membutuhkan hak mekanis (mechanical rights) untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang), dan merekam sebuah komposisi musik. Jika lagu daur ulang tersebut direkam dalam bentuk visual (video, iklan, film) maka membutuhkan juga hak sinkronisasi (synchronization rights).
Penerapannya, pihak yang ingin merekam lagu karya orang lain harus menghubungi dan melakukan perjanjian dengan pemilik hak cipta lagu atau kuasa dari pemilik hak cipta yang diwakili oleh penerbit musik (publisher).
Di Amerika Serikat, proses pengajuan untuk menyanyikan ulang lagu milik orang lain prosesnya bisa lebih mudah, karena bisa dilakukan secara online melalui pihak ketiga yang menyediakan jasa untuk mengurus compulsory mechanical license yang artinya pihak yang ingin mendaur ulang lagu tidak perlu berurusan langsung ke pemilik hak cipta atau penerbit musik. Selama lagu yang ingin didaur ulang terdaftar di Kantor Hak Cipta Amerika Serikat yang memiliki sistem yang terintegrasi.
Di Indonesia sendiri hingga saat ini belum memiliki sistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Sejauh ini setiap penulis lagu harus terdaftar di salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI, KCI atau RAI. LMK melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang memegang kewenangan dari UUHC dalam menyelenggarakan pengaturan, penarikan, penghimpunan, pendistribusian royalti ke para pencipta atau melalui penerbit musik.
Namun yang terjadi sekarang masih banyak musisi khususnya dari ranah independen yang belum terdaftar di LMK atau memiliki penerbit musik. Jadi secara sistem, mereka yang belum terdaftar tidak bisa mendapat royalti performing rights dan mechanical rights yang telah dihimpun oleh LMKN dari berbagai toko digital (YouTube, Spotify) atau tempat publik komersial (café, restoran, hotel, tempat konser musik).
Jadi sembari menunggu sistem pendataan terintegrasi diterapkan di Indonesia, langkah awal yang bisa dilakukan musisi saat ini mendaftarkan karya-karyanya ke salah satu LMK dan juga memiliki penerbit musik yang dapat mengelola karya cipta dari sisi komersial.
Apa yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah untuk menghasilkan ekosistem musik yang baik?
Yang pasti pemerintah harus selalu tanggap terhadap perkembangan musik saat ini. Bagaimana regulasi yang ada harus relevan dengan situasi yang terjadi di lapangan. Seperti contoh, salah satu pasal pada RUU Permusikan masih membahas mengenai membeli produk asli dan anti pembajakan sementara industri musik saat ini berjalan dengan model bisnis menyewa/berlangganan melalui teknologi streaming dan bahkan blockchain.
Pemerintah juga harus lebih banyak melibatkan banyak organisasi atau stakeholder dari berbagai lini dari kecil hingga menengah, tidak hanya dari para pemain besar di industri saja. Dengan begitu, aturan yang dikeluarkan dapat lebih inklusif dan tidak berpihak pada kepentingan golongan tertentu.
Berkenaan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, pada sektor musik pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan afirmatif yakni tindakan sementara untuk memberikan kompensasi kepada kelompok minoritas atau yang selama ini terdiskriminasi. Dalam konteks musik, kebijakan afirmatif mungkin dapat diterapkan dengan membuat aturan yang jelas terhadap musisi jalanan yang secara tidak langsung menjadi corong promosi dari sebuah karya atau terhadap para tenaga ahli pendukung rekaman yang peranannya juga cukup signifikan dalam proses produksi namun selama ini tidak mendapat imbalan atau royalti yang layak.
Apa kira-kira tantangan besar yang akan dihadapi industri musik ke depan, dan bagaimana kesiapan industri kita untuk menghadapinya?
Tantangan besar di masa mendatang adalah kemampuan para praktisi industri musik untuk beradaptasi dengan disrupsi teknologi dan menjadikan teknologi sebagai sebuah peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Seharusnya dengan kemajuan teknologi dapat terus menstimulasi munculnya perusahaan rintisan (startup) pada industri musik. Yang terjadi di Indonesia, banyak startup berdiri dan berkembang di selama 10 tahun terakhir namun tidak banyak yang secara khusus bergerak di bidang musik. Kalaupun ada, umurnya tidak panjang. Apakah itu karena ekosistem musik di Indonesia yang belum mendukung? Atau karena ketatnya regulasi dari pemerintah yang menyulitkan para praktisi startup untuk berinovasi?
Permasalahan industri musik Indonesia selama ini berkutat pada pengelolaan hak cipta dan pendistribusian royalti yang disebabkan pendataan yang belum lengkap dan tidak terintegrasi. Menyikapi hal tersebut, kabarnya pemerintah saat ini sedang menyiapkan sistem pengaturan yang lebih menyeluruh dan transparan yang akan juga terhubung dengan instansi terkait lain untuk saling memastikan valuasi karya dan besaran royalti secara akurat. Kalau sistem ini sudah berjalan, berarti pemerintah telah berhasil merealisasikan amanat UUHC pasal 66 hingga 73 mengenai pendataan hak cipta, tanpa perlu membuat RUU Permusikan yang baru.
Kartika Jahja
Musisi
Ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh para musisi ke pemerintah, namun seringkali solusi yang diberikan pemerintah meleset dari masalah. Langkah seperti apa yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini?
Belajar dari yang terjadi dari RUUP ini adalah stakeholder yang dilibatkan itu hanya dari kalangan tertentu. Jadi aspirasi yang tertampung juga dari kalangan tertentu. Dan itu saya juga baru tahu mempelajari setelah ada kasus RUUP ini bahwa itu sebenarnya bertentangan dengan hukum juga. Kalau membuat undang-undang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang menampung aspirasi dari semua stakeholder yang terlibat. Nah, langkah yang seharusnya diambil adalah ya tidak bisa eksklusif, harus inklusif. Kalau bicara soal musik berarti harus mewakili semua praktisi musik, bukan hanya praktisi yang berada di dalam industri. Begitu juga kalau misalnya mau membicarakan misalnya kekerasan seksual, apa yang sudah dilakukan dalam RUU P-KS itu sudah mewakili korban dari berbagai kalangan melalui riset yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah juga.
Hak Cipta merupakan hal yang sering diperdebatkan di antara musisi, seperti perihal ketentuan meng-cover lagu. Bagaimana Anda melihat persoalan ini dan apakah undang-undang yang ada sudah terimplementasi secara menyeluruh?
Kalau Undang-Undang Hak Cipta ya memang kita masih punya persoalan dan PR besar untuk kesejahteraan seniman, terutama berkaitan dengan hak cipta. Menurut saya kita masih belum mengimplementasikan hak cipta secara maksimal untuk orang-orang yang punya hak intelektual. Tapi seharusnya, itu yang difokuskan, bukan kemudian lantas membuat rencana undang-undang baru yang malah tumpang-tindih dengan Undang-Undang Hak Cipta yang ada.
Perihal performing rights, apa tanggapan Anda mengenai persoalan ini di tengah maraknya musisi yang saling meng-cover musisi lain?
Saya belum kompeten untuk menjawab pertanyaan ini menurut saya.
Apa yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah untuk menghasilkan ekosistem musik yang baik?
Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator, membentuk support system yang baik, memberi fasilitas yang baik, memberi dukungan, supaya praktisi-praktisi budaya – termasuk di dalamnya musik – itu bisa berkarya dan berkompetisi dengan sehat. Misalnya kalau kita ngomongin RUUP lagi ya, ada salah kaprah misalnya dalam pasal no.42 bahwa restoran, hotel, tempat wisata harus memutar lagu-lagu daerah. Nah, menurut saya itu mungkin maksudnya baik supaya musik tradisional itu punya tempat, punya ruang. Tapi kan itu jadi kaya totalitarian banget, jadi mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dimainkan. Nah, kalau misalnya pemerintah memfasilitasi, memberi dukungan yang cukup kepada praktisi musik tradisional, maka musik tradisional juga akan berkembang, bukan dengan memaksa orang untuk memainkannya. Apa yang terjadi dengan misalnya, tekstil tradisional yang sekarang mulai digemari, sudah mulai masuk ke mainstream, sudah mulai masuk ke industri fashion, bahkan sudah digemari sampai ke luar negeri, itu kan bukan karena adanya kewajiban bahwa semua orang harus menggunakan kain tradisional tenun atau batik gitu. Justru kalau misalnya diwajibkan seperti gitu malah tidak terjadi apresiasi lho, karena keharusan yang terjadi malah kaya kita disuruh upacara bendera gitu hari Senin waktu SD, apa terus kita jadi cinta Indonesia? Tidak juga.
Apa kira-kira tantangan besar yang akan dihadapi industri musik ke depan, dan bagaimana kesiapan industri kita untuk menghadapinya?
Menurut saya sih kita harus konteksnya tidak hanya ‘industri’ ya, maksudnya musik tuh kita melihatnya dari sisi komersilnya, industri. Tapi sebenarnya justru menurut saya tantangan yang terbesar adalah menghidupkan musik di luar industri itu sendiri sebagai bagian dari budaya, sebagai bagian dari identitas, dan lain sebagainya itu menurut saya tantangan terbesarnya. Karena sekarang kita melihat musik hanya dari kacamata nilai komersilnya.
Idhar Resmadi
Jurnalis Musik / Dosen
Ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh para musisi ke pemerintah, namun seringkali solusi yang diberikan pemerintah meleset dari masalah. Langkah seperti apa yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini?
Langkah yang semestinya dilakukan tentu saja melibatkan semua stakeholder di dunia musik Indonesia. Skena musik di Indonesia itu beragam dan luas banget, ada musik tradisional, musik industri (major label), musik independen, musik kontemporer, musik klasik, dan masih banyak lagi. Semua skena musik itu punya beragam persoalannya masing-masing. Selama ini yang saya lihat naskah akademik RUU Permusikan ini sangat bias, karena menyempitkan persoalan musik yang ada selama ini. Jika mengambil sudut pandang ekonomi dan kesejahteraan musisi, maka yang perlu diatur adalah tata kelolanya. Jadi seharusnya solusi yang bisa dilakukan pemerintah betul-betul harus paham persoalan yang ada di lapangan dari masing-masing skena musik itu sendiri.
Hak Cipta merupakan hal yang sering diperdebatkan di antara musisi, seperti perihal ketentuan meng-cover lagu. Bagaimana Anda melihat persoalan ini dan apakah undang-undang yang ada sudah terimplementasi secara menyeluruh?
Sebetulnya kelemahan UU HAKI di kita itu penegakannya hukumnya yang masih lemah. UU HAKI harus juga mengikuti perkembangan teknologi. Saat ini seperti mulai maraknya, meng-cover lagu di Youtube atau SoundCloud, pertanyaannya apakah platform orang yang nge-cover itu murni ekspresi atau sudah dimonetisasi,aturan ini kan masih abu-abu. Makanya selama ini UU Haki masih berorientasi industri seperti pembajakan dan lain-lain.
Perihal performing rights, apa tanggapan Anda mengenai persoalan ini di tengah maraknya musisi yang saling meng-cover musisi lain?
Iya ini isu yg mulai ramai, soal performing rights. Di beberapa negara, aturan ini dilakukan sebagai opsi pendapatan artis karena ketika hotel atau cafe memutarkan lagu akan dikenakan royalti. Ini sudah sangat bagus jika aturan ini diimplementasikan. Namun sampai saat ini aturan dan sistematisasi/mekanismenya yang masih agak sulit. Karena masih belum ada mekanisme dan teknologi yang mampu mendeteksi pihak hotel/cafe dalam memutar lagu. Seharusnya memang diiringi dengan sosialisasi agar pihak hotel/cafe/karaoke/bar memiliki inisiatif membayarkan haknya pada musisi atau lembaga terkait.
Apa yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah untuk menghasilkan ekosistem musik yang baik?
Yang harus dilakukan tentu saja memahami semua persoalan stakeholder musik yang ada. Menurut saya pemerintah yang paling baik bukan hanya regulator (undang-undang, aturan-aturan, dll) tapi juga menjadi fasilitator yang mampu menyediakan gedung konser, akses perizinan untuk penyelenggaraan acara, membuat strategi kebudayaan jangka pendek dan panjang, membuat festival berskala nasional, membangun jaringan wisata musik, menjamin penegakan hukum, dsb.
Apa kira-kira tantangan besar yang akan dihadapi industri musik ke depan, dan bagaimana kesiapan industri kita untuk menghadapinya?
Tantangan paling besar kedepannya, seiring dengan demografi Indonesia yang katanya akan menghadapi bonus demografi dan juga ekonomi kelas menengah yang terus meningkat, tentu saja Indonesia akan menjadi pasar paling menjanjikan. Nah, dengan segala kelebihan di atas saya pikir tantangannya agar kita menjadi bangsa yang produsen dan bukan konsumen. Selain itu perkembangan teknologi digital kedepan juga akan sangat pesat. Industri musik harus terus bergeliat agar tidak obsolete.
Wendi Putranto
Jurnalis Musik / Manager Band
Ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh para musisi ke pemerintah, namun seringkali solusi yang diberikan pemerintah meleset dari masalah. Langkah seperti apa yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini?
Sejujurnya, sejak dulu kala musisi atau para praktisi musik sudah terbiasa hidup mandiri tanpa dukungan nyata dari pemerintah. Terbukti mereka bisa bertahan hidup dan baik-baik saja. Kalau pemerintah ingin melakukan intervensi sebaiknya jangan berupa kontrol terhadap proses kreasi melainkan menjadi fasilitator agar ekosistem ini semakin berkembang. Fasilitasi segala kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan oleh industri musik, diharapkan nantinya hal ini akan kembali pula dalam bentuk penerimaan pajak yang meningkat dari sini bagi pemerintah.
Perihal performing rights, apa tanggapan Anda mengenai persoalan ini di tengah maraknya musisi yang saling meng-cover musisi lain?
Performing rights di Indonesia masih menjadi tantangan besar, khususnya untuk mengutip royalti dari sana. Setiap kita memainkan lagu di depan masyarakat di tempat-tempat komersial maka diwajibkan untuk membayar royalti kepada penciptanya. Sayangnya, peraturan untuk ini masih sering dilanggar oleh para pemilik usaha bisnis seperti hotel, restoran, cafe, televisi, radio. Terkait kasus Via Vallen dengan Jerinx memang seharusnya Via membayar royalti kepada Jerinx setiap membawakan lagu SID di panggung dangdutnya. Cuma memang mekanismenya di sini masih agak rumit. Kalo Payung Teduh dan Hanin Dhiya sebenarnya lebih gampang solusinya. Payung Teduh atau pencipta lagu mereka seharusnya bergabung dengan Lembaga Manajemen Kolektif seperti KCI atau WAMI agar bisa menerima royalti atas lagu mereka yang dimainkan orang lain di berbagai tempat.
Apa yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah untuk menghasilkan ekosistem musik yang baik?
Pemerintah harus bersedia memfasilitasi segala kebutuhan infrastruktur dan regulasi industri bagi ekosistem musik dan berkomitmen penuh untuk melindungi hak cipta para penciptanya dan melakukan penegakan hukum bagi para pelanggarnya.
Apa kira-kira tantangan besar yang akan dihadapi industri musik ke depan, dan bagaimana kesiapan industri kita untuk menghadapinya?
Tantangan terbesar adalah bagaimana industri musik dapat meningkatkan kesejahteraan hidup para senimannya dan mengembangkan ekosistem bisnisnya dengan baik. Era digital seharusnya sangat memungkinkan untuk itu terjadi. Karena permasalahan utama saat ini adalah kesejahteraan hidupnya masih rendah.