Membahas Relevansi Label di Era Spotify dan Festival Musik Lokal bersama David Karto
Kami membahas soal ekosistem musik independen lokal dan ambisi Synchronize Festival untuk menjadi lebih dari sekadar festival musik dengan co-founder demajors, David Karto.
Words by Ghina Sabrina
Foto: Ardi Widja
Di antara segelintir festival musik yang hadir setiap tahunnya, Synchronize Festival merupakan salah satu dengan konsep yang konsisten mengangkat aspek lokal melalui pemilihan penampil maupun pengalaman konser yang ditawarkan. Diselenggarakan oleh demajors, festival tiga hari ini dimulai sebagai rave party yang kemudian berganti menjadi festival musik yang kini dikenal sebagai ‘lintas genre, lintas generasi’. Kami berbincang dengan co-founder demajors, David Karto, mengenai kondisi ekosistem musik independen, relevansi music label, dan visi Synchronize Festival yang lebih dari sekadar festival musik.
Kiprah Anda di industri musik berawal dari toko piringan hitam yang Anda dirikan pada tahun 2001 lalu. Boleh ceritakan proses bagaimana hal tersebut dapat berlanjut menjadi demajors?
Sebelum demajors berdiri di tahun 2000, saya memulai karir saya di industri musik sebagai seorang professional DJ. Namun, jika ditarik ke beberapa tahun ke belakang lagi, sebetulnya dari zaman saya SD hingga SMA, saya memang sudah punya hobi untuk mengoleksi mulai dari piringan hitam, kaset, dan CD. Memang saya berawal sebagai seorang music enthusiast. Di tahun 2000 itu saya berhenti sebagai DJ dan saya meneruskan dengan membuka toko piringan hitam di Gandaria, di dalam sebuah container. Pada waktu itu, satu medium container kami design untuk dijadikan kantor sekaligus record store. Record store itu berjalan sekitar 3 tahun.
Di tahun 2000-2003, kami melihat bahwa DJ atau pelaku seni di area DJ itu ada yang sudah mulai beralih atau mengalami transisi dari piringan hitam ke CD atau mp3. Pada saat itu, kami tetap berjalan sebagai toko piringan hitam sambil memikirkan kalau kita membuat satu label kecil akan seru bagi teman-teman DIY atau independen yang memang mempunyai pergerakan maupun telah memproduksi karya sendiri. Akhirnya, kami mulai beralih ke sana.
Kebetulan pada waktu itu ada sahabat kami yang baru pulang dari sekolah musik di Amerika, Berklee, dan mereka punya karya yang sudah dikerjakan di bawah nama grup musik Sova yang beranggotakan Andez (Edward Andez) dan Larry (Lawrence Aswin). Akhirnya, kami mulai bekerja sama dengan mereka, dan terus memulai kerja sama dengan beberapa teman-teman band lain hingga sekarang.
Jadi, dari tahun 2000 kami banyak bekerja sama dengan teman-teman musisi independen atau DIY dan kami tidak terbatas hanya pada satu sisi musik ataupun genre. Sova waktu itu kami pastikan berada di jalur elektronik/jazz yang lebih mengarah ke crossover. Lalu, kami bekerja sama dengan Parkdrive, Rieka Roslan dari The Groove, dan kami pun tiba-tiba bertemu dengan Efek Rumah Kaca. Siapa yang tidak tahu Efek Rumah Kaca sekarang? Kami pun terus berkembang, dan akhirnya terus berjalan seperti ini.
Selama 19 tahun terakhir, kami telah banyak bertemu dengan teman-teman musisi, komunitas, dan semua pelaku industri di skenanya. Kami juga banyak berdampingan dalam mengerjakan prosesnya itu, mulai dari record store, label, online radio, hingga membuat program-program off air skala gigs sampai festival.
Demajors telah hadir sejak masa awal industri musik independen muncul ke permukaan, bagaimana Anda melihat realita di mana industri independen sudah bergeser menjadi the new mainstream?
Sebetulnya diskusi ini tidak hanya terjadi di era sekarang, jika kami membicarakan di era belakangan ada beberapa teman-teman yang bekerja sama dengan major label seperti The Upstairs. Apakah mereka bisa dibilang sebagai artis mainstream?
Mungkin di 5-6 tahun terakhir saya sudah tidak memikirkan label mainstream, sidestream, atau apapun juga. Tapi, yang tidak bisa dibohongi adalah konteks dalam kita melihat bahwa bagaimana sebuah perusahaan skala besar seperti Musica Studio’s dan Sony, yang memiliki identitas mainstream, bisa mengelola dan mengolah karya-karyanya.
Pastinya mereka berpikir secara pasar yang lebih luas, umum atau yang lebih gampang secara penikmatan. Kalau demajors, FFWD atau Aksara, kami mungkin punya ruang yang lebih fokus dan kami juga mengambil pasar yang lebih kecil. Di sini kami melihat diskusi antara mainstream dan sidestream itu lebih kepada hal-hal yang sifatnya mengarah ke market share ataupun juga target market. Jelas jika berbicara dalam konteks major label, kalian bisa melihat warna musik seperti apa, rasanya seperti apa. Di sini, kami bukan membicarakan soal musik bagus atau jelek, tapi lebih ke selera. Kalau memang seleranya tidak ke arah musik yang seperti itu, ya tidak ada masalah. Tapi mereka juga memiliki banyak pendengar kok, dan sebaliknya juga bagi yang indie.
Seiring perkembangan teknologi, cara orang menikmati musik pun berubah. Sebagai label independen, bagaimana cara demajors merespon terhadap perubahan perilaku konsumen dan bisa dapat terus bertahan?
Saya melihat bahwa sebetulnya apapun itu, maupun rilisan fisik atau digital, ini ‘kan sebetulnya melengkapi satu sama lain.
Kami tidak pernah melawan arus untuk bicara bahwa perkembangan telah terjadi. Kami lihat dari era dulu, mulai dari pita, piringan hitam masuk ke kaset, CD, hingga sekarang, dengan semua platform digital yang sudah ada, kami sadar bahwa itu adalah jalannya. Biar lah semua orang di dalam kehidupannya memilih caranya masing-masing, belum tentu orang di umur 45 sudah memakai Spotify, siapa tahu dia masih mengoleksi piringan hitam. Tapi kami tidak memungkiri juga, mungkin teman-teman yang ada di umur 12 tahun atau para generasi centennial, sewaktu lahir mereka tidak mengenal semua platform rilisan fisik, tapi dari lahir sudah diperkenalkan oleh orang tuanya kepada semua hal digital. Saya melihat bahwa sebetulnya apapun itu, maupun rilisan fisik atau digital, ini kan sebetulnya melengkapi satu sama lain. Sebaliknya juga, apakah yang di umur 45 tidak mendengarkan Spotify? Ya mendengarkan juga, tapi habit-nya mungkin masih membeli rilisan fisik karena itu kebiasaan dia dari lahir hingga sekarang. Sementara itu, anak-anak centennial yang ada di umur 12-15 tahun, waktu mereka menikmati rilisan digital, apakah mereka tidak beli piringan hitam, kaos band, ataupun kasetnya? Kemungkinan besar mereka beli, karena mereka mungkin suka sama band itu.
Kalau kita berbicara soal konsep musik dalam konteks band, kita berbicara rasa
Kalau kita berbicara soal konsep musik dalam konteks band, kita berbicara rasa, artinya pada saat rasanya sudah mulai besar dan semakin gila dan makin menyenangi, apapun akan dicari dan dilakukan – misalnya menonton konser, meet and greet, signing session. Menurut saya, perdebatan mengenai bagaimana keadaan era sekarang ini adalah satu hal yang saling melengkapi. Ini adalah paket lengkap A-Z di mana saya melihat tatanan industri musik sudah menjadi sebuah hal yang paling tinggi di evolusinya. Kita bayangkan dulu, kita mendengarkan musik menggunakan pita, saya sih tidak pernah melewati zaman itu, tapi pasti ada orang yang dari era itu masih mendengarkan musik dengan pita. Saya melihat hal itu sama aja.
Kini musisi sudah bisa mendistribusikan musik mereka secara online menggunakan layanan seperti Spotify dan Bandcamp. Melihat hal ini, apakah label musik masih relevan?
Band-nya ini punya strategi, KPI, atau pemikiran seperti apa dalam berkarya dan bekerja?
Relevan atau tidak relevannya tergantung bagaimana label itu sendiri mempunyai sikap dan bisa berinteraksi dengan semua dinamika yang ada di dalam industrinya. Kalau kami, karena demajors ini sudah dikenal oleh teman-teman di dalam ekosistemnya sebagai salah satu label yang tetap sustain dan tetap mempertahankan rilisan fisik, dan buat teman-teman musisi atau siapapun seniman yang masih ingin mempunyai rilisan fisik ya mereka tetap berdiskusi dengan kami. Jadi, mereka masih mengobrol dan bekerja sama dengan kami.
Sekarang saya melihat kalau mau tidak mau semua menjadi salah satu benda ataupun konten yang menjadikan sebuah proses dari musisi dan band itu sendiri. Kalau mau taruh di platform digital, mereka bisa mendapatkan pendengar dari segmentasi itu, kalau mereka membuat rilisan CD atau berencana untuk membuat piringan hitam, mereka juga menghidupi masyarakat atau pencinta yang di level itu. Sekarang sebetulnya balik lagi ke band-nya. Bandnya ini punya strategi, KPI, atau pemikiran seperti apa dalam berkarya dan bekerja?
Siapa bilang bahwa musik itu bukan bisnis?
Kalau dengan KPI jadi seperti cara kerja di agency ya?
Siapa bilang bahwa musik itu bukan bisnis? Musik itu bisnis. Tapi, memang dalam part tertentu dia tetap berbicara lewat sebuah karya yang bersentuhan dengan area seni atau senimannya. Tapi harus balance kan? How come Stevie Wonder bisa sampai sebesar itu? Karena manajemennya jago banget mengolah semua aset dia dan bagaimana mengangkat publikasi dan publicity-nya. Bisa dilihat juga misalnya Coldplay, Rolling Stones, Michael Jackson dan masih banyak lagi. Bisa dipastikan mereka memiliki karya yang bagus, bisa diterima di semua segmentasi dan bisa mendunia. Tapi selain itu, management mereka juga jago sekali dalam membuat deal dengan segala pihak. Gila, itu kan tidak bisa dipungkiri. Itu yang kira-kira bayangannya how the industry dan karya bisa beririsan.
Dengan aspek distribusi musik sebagai fondasi awal demajors, bagaimana Anda melihat perubahan praktik tersebut semenjak demajors baru dirintis?
Kenapa kami tidak membuat recording label ataupun studio di awal tahun demajors berdiri? Karena, waktu di tahun 2000 itu, untuk membuat sebuah ekosistem studio tidak murah. Lalu, kami meyakini bahwa di tahun itu dan kedepannya, proses rekaman bagi para musisi akan semakin mudah seiring perkembangan teknologi. Kami juga berpikir bahwa lebih baik kami fokus di satu jalur yang menurut saya dapat membantu teman-teman semua untuk menyalurkan karya-karyanya. Kalau recording, it’s another thing and another part dan waktu itu demajors memutuskan untuk tidak menginvestasikan ke sana dan lebih fokus ke membuat jaringan distribusi dan bagaimana kami belajar untuk menyampaikan itu ke masyarakat lebih luar sampai sekarang.
Musisi-musisi yang menjadi roster demajors memiliki karakteristik masing-masing. Apa pertimbangan Anda sebelum memberi kepercayaan pada musisi tersebut untuk dapat Anda sign?
Kami bertemu dengan teman-teman musisi, mengobrol seperti kita sekarang, lalu kami lihat portfolionya dan kami dengarkan musiknya. Akhirnya, saat kami merasa bahwa, “Wah gila, ini asik banget energinya” kami akan diskusi lebih dalam lagi.
Akhir-akhir ini telah bermunculan festival musik baru dengan line up dan konsep yang semakin kreatif. Bagaimana Anda melihat hal ini mencerminkan perkembangan ekosistem musik festival di Indonesia?
Kembali ke target dan kreativitas masing-masing. Apapun konsepnya, yang penting semua bisa menghasilkan dengan baik untuk semua pihak. Mulai dari penyelenggara aman secara bisnis, dari semua penonton, penikmat dan pelaku seninya bisa mendapatkan dampak positif dari adanya festival itu. Tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa ditahan juga dengan semua perkembangan zaman, semua orang di Indonesia sudah dapat mencoba berkreasi dan membuat konsep baru.
Sebelum menjadi seperti festival yang dikenal sekarang, Synchronize Festival pada awalnya digelar untuk pecinta musik elektronik. Boleh ceritakan ide awal dari terbentuknya festival tersebut?
Awalnya, di tahun 2000-an itu kami membuat Synchronize sebagai salah satu rave party karena waktu itu eranya memang rave yang terletak di outdoor, mountain area dan scene DJ memang cukup besar di era itu. Akhirnya kita membuat Synchronize Festival ini sebagai rave party di tahun 2000-2002, dan pada tahun 2005 kita mulai pindah ke live band di Entertainment X’nter. Nah, itulah cikal bakal Synchronize Festival yang sekarang.
Masa-masa rave party itu sudah 19 tahun yang lalu tapi walaupun sebuah party, kami menggabungkan unsur-unsur yang sifatnya tidak hanya DJ saja tapi kami mengadakan special show yang menampilkan DJ, Andi Ayunir dari electronic scene, dan ada DKSB – Harry Roesli, jadi kita mengkolaborasikan tiga unsur itu.
Dari rave party, kenapa berpindah ke format Synchronize Fest yang sekarang?
Karena entitas demajorsnya sendiri semakin nyata dari hasil kerja sama kami dengan band-band. Dan sudah jelas warna kami menjadi seperti itu, jadi pada akhirnya kami lebih mengarahkan festivalnya menjadi yang seperti sekarang.
Soal line-up, selain dikenal sebagai festival musik yang menyajikan musisi terbaik tanah air, Synchronize Festival juga selalu mengangkat kembali musisi-musisi dari dekade lama. Bagaimana proses kurasi musisi yang akan tampil di festival ini?
Ucup (Kiki Aulia Ucup) selaku program director dan tim yang menjalankan sisi programming untuk Synchronize memiliki pandangan-pandangan sendiri terhadap bagaimana mereka membuat program atau proses kurasi untuk musisi yang akan tampil. Biasanya mungkin terdiri dari sisi newcomer yang punya potensi, festival darling yang memang kalau dihadirkan di sebuah festival akan membawa masyarakat yang ingin menonton, lalu tentunya band-band yang sedang hits juga.
Sebetulnya, itu hanya menjadi rumusan atau patokan kami untuk bantu memetakan pemain saja, tapi yang paling rumit adalah bagaimana membuat Synchronize menjadi sebuah festival lokal yang bisa menampilkan kelokalannya. Konsep kami kan ada yang namanya ‘lintas genre, lintas generasi’, hal-hal seperti ini yang kadang membuat kami mempertanyakan apakah orang tahu Bob Tutupoli? Ebiet G. Ade? Rhoma Irama? Kalau kita berbicara di skena independen dan membahas Barasuara atau Efek Rumah Kaca, mungkin dari 10 orang, 8 orang akan tahu. Tapi kalau kita menanyakan 10 orang ini tentang sosok-sosok yang saya sebut sebelumnya, mungkin ada yang tidak tahu karena kita sekarang berbicara pada sosok-sosok dengan range umur generasi centennial dan millennial. Namun justru kami di situ bertugas dan mempunyai visi-misi bahwa kami ingin mengkolaborasikan dan menginformasikan secara lebih dalam dan lebih luas lagi kepada pecinta musik Indonesia bahwa we have these. Bahwa bukan hanya itu saja yang kita punya, kita punya masih banyak sekali. Kalau membicarakan nama-nama besar, itu sudah pasti, itu menjadi bunga-bunga dan menjadi sebuah hal yang sifatnya fun.
‘Lintas genre, lintas generasi’ itu buat kami menjadi sebuah mindset kenapa kami membuat Synchronize.
Soal wishlist, apakah Anda memiliki musisi impian yang ingin diajak tampil di Synchronize Festival?
Sebetulnya kalau berbicara seperti itu, saya berpikir untuk mengundang Om Didi Pattirane, tapi waktu kami tanya ternyata Om Didi berada di Amerika dan saya mendengar kabar kalau dia baru terkena serangan stroke. Saya ingin mengembalikan sejarah Didi Pattirane, dia orang Indonesia yang pindah ke Amerika karena ada satu situasi di mana kita mengalami masa pengaburan mengenai hal-hal yang tidak boleh berbau Barat dan lain-lain. Buat saya dia perlu kita dengar ceritanya.
Kalau di scene lain, ingin mengundang Waldjinah. Ia adalah seorang maestro keroncong, dan keroncong adalah salah satu icon musik Indonesia juga. Mungkin kita bertanya, “Apa sih musik Indonesia?” Mungkin keroncong bisa mewakili.
Sebetulnya agak sulit, tapi kami sempat berpikir bagaimana caranya membuat kolaborasi antar musisi-musisi yang pernah jaya di eranya untuk bisa tampil ataupun bisa kami buatkan history-nya. Dan tidak harus tampil di panggung juga, tapi at least mereka bisa direkam dan dijadikan video. Tidak harus bunyi di panggung, tapi bisa juga melalui interview yang dapat menyampaikan bahwa this is a part of Indonesian music history.
Ini adalah tugas yang paling berat karena kami harus mencari datanya dulu. Sebagai salah satu contoh, mungkin tidak ada yang tahu bahwa ada band yang namanya Arulan. Di zaman itu mereka menjadi sebuah combo band yang mengiringi semua penyanyi-penyanyi top papan atas.
‘Lintas genre, lintas generasi’ itu buat kami menjadi sebuah mindset kenapa kami membuat Synchronize. Tidak hanya karena kami ingin sekadar membuat sebuah festival musik tiga hari yang menampilkan band-band, kalau begitu kami bisa suruh teman-teman saja untuk mengerjakannya. Tapi, kami ingin benar-benar menyampaikan suatu pesan dan informasi yang bisa berguna dan menjaga eksistensi Indonesia sendiri dalam ekosistem musiknya.
Sekarang banyak hal yang sudah putus. Kalau kita berbicara dengan teman-teman kelahiran 80-an ke atas, apakah kita bisa bertanya kepada mereka tentang Ebiet G. Ade? Yang jelas-jelas masih hidup dan mungkin masih cukup terdengar karyanya. Terus kita turun ke belakangnya lagi misalkan Bob Tutupoli? Atau kita berbicara lagi misalkan apakah di dunia jazz orang tahu Benny Likumahuwa? Sementara, semua sosok itu punya jam terbang yang bagus di industri musik. Tapi itu bagian dari hal yang sifatnya lebih deep, lebih idealis. Mungkin banyak orang yang tidak memperhatikan di level itu, ada juga orang yang tidak terlalu care dan aware. Makanya, from this movement kami sangat ingin untuk menyampaikan itu.
Musisi internasional tidak jarang diundang sebagai headliner suatu festival musik lokal, boleh ceritakan pengaruh langsung hal ini terhadap band-band lokal yang tampil di acara yang sama?
Pasti masing-masing punya pemikiran dan strategi. Tidak salah. Sah-sah saja dengan semua hal yang sifatnya ada penampil internasional atau band-band luar yang main di Indonesia. Kami cukup terbuka. Saya pikir itu bukanlah sebuah problem. Itu menjadi sebuah hal yang lumrah di seluruh dunia manapun juga untuk membuat hal seperti itu. Ini balik lagi ke sikap dan konsepnya saja.
Apa rencana demajors ke depannya?
Kami sih belum kebayang. Kami mengalir saja sebetulnya. Yang terbaik saja untuk semua ekosistemnya dan bisa memberikan yang lebih baik lagi untuk kedepannya. Tahun depan demajors akan memasuki umur ke 20. Sebetulnya kami memiliki beberapa rencana, tapi dengan semua keadaan dan situasi yang berjalan kami masih belum bisa memastikan karena demajors is not a big company, we are very small. Kami sadar banget akan kemampuan dan keadaan kami, jadi kami membuat semua dengan apa yang kami punya. Secara mimpi, di tahun 2020 banyak banget yang ingin kami lakukan tapi we’ll see. Karena, dengan Synchronize saja tantangannya buat kami itu sudah sangat besar. Tahun ini kami mengundang 138 acts, dan tahun ini juga lebih seru dan makanya kami lebih menjaga saja.
–
Synchronize Festival kembali hadir tahun ini pada tanggal 4-6 Oktober 2019 dengan line-up yang tak kalah menarik, mulai dari Didi Kempot, Killing Me Inside Reunion, Nasida Ria, Raisa, Seringai dan banyak lagi. Dapatkan tiket Anda di sini.