Lomba Produktivitas dan Cancel Culture di Media Sosial bersama Baskara Putra
Kami berbincang dengan Baskara Putra, salah satu kurator buku Open Column 2, tentang lomba produktivitas di masa pandemi, menjadi vulnerable, dan masa depan musik Hindia.
Words by Ghina Sabrina
Foto: Meidiana Tahir
Bagi kebanyakan orang, musik merupakan sebuah platform yang menyediakan ruang baru bagi para pendengarnya. Sedangkan untuk kebanyakan musisi, musik adalah medium untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak bisa mereka utarakan sebelumnya. Bagi Baskara Putra, musik adalah platform yang mengizinkannya untuk melihat secara inward, juga salah satu cara untuk menjaga keseimbangan di dalam dirinya sendiri. Menjadi salah kurator untuk buku cetak kedua kami, Open Column 2, yang berbicara tentang kesehatan mental, kami berbincang dengan Baskara perihal mindfulness dalam media sosial, penggunaan isu kesehatan mental sebagai gimmick, relatability dalam bermusik, hingga tanggapannya tentang tulisan yang telah ia baca untuk buku ini.
Apa itu definisi mental health bagi Anda?
Buat saya, secara subyektif, di saat dibilang kesehatan mentalnya itu baik adalah di mana kita bisa menyeimbangkan keinginan tubuh, kehendak fisik, dengan kehendak batin. Di saat kita harus kerja, kita beneran mau kerja, badan kita kuat untuk keluar dari kasur, dan hati kita mau untuk keluar dari kasur. Keseimbangan buat saya, secara definisi pribadi dan tidak berdasarkan akademik sama sekali, itu mental health. Keseimbangan antara batin dan fisik.
Bagaimana awal munculnya kesadaran bagi Anda untuk membuka perbincangan seputar mental health?
Awalnya saya jarang menceritakan ke orang luar, di luar orang-orang terdekat saya seperti: keluarga, pacar, atau band members yang sudah saya kenal hampir satu dekade. Cuman, saya merasa – saya tidak bisa bilang sembuh ya, karena buat saya there’s no such thing as sembuh dalam konteks ini, adanya sehat atau stabil – benar-benar baru merasa bisa lebih stabil justru di saat saya terbiasa untuk tidak menganggap ini hal yang tabu. Tidak takut untuk bilang, “Gue kayak gini” di depan orang lain. Karena ternyata, apa pun yang dipendam, bottled up feelings, itu tidak baik dan bisa mengganggu keseharian.
Orang-orang kan kadang tidak mau keluar rumah karena alasan seperti lagi flu atau demam. Cuman, di sini kesannya “gak banget” kalau misalnya ada orang yang bilang, “Sorry, gue gak mau keluar rumah, gue lagi gak pengen keluar rumah. Gue lagi sedih, lagi gak bisa ketemu orang.” Kita cuma bisa bilang itu ke teman-teman terdekat doang, kan? Kalo kita bilang itu ke orang lain yang ada di luar lingkungan kita, kesannya malah jadi offensive. Seakan kita tidak mau ketemu mereka. Dan di saat ternyata saya membiasakan untuk bisa lebih terbuka, menganggap itu sebagai hal sehari-hari, ternyata jadi jauh lebih stabil. Karena saya merasa tidak ada yang perlu ditutupi atau dipendam lagi.
Jadi menurut Anda, proses membuka diri itu juga semacam terapi?
Yes, itu kan sebenarnya bisa ditarik ke satu akar masalah yang sangat simpel. Kita cukup berani untuk be vulnerable aja di depan orang lain. Memperlihatkan kalau memang kita sedang tidak baik-baik saja. Dan kadang-kadang buat saya ini jauh lebih susah dilakukan laki-laki terutama di masyarakat seperti sekarang. Gara-gara kita sangat dididik bahwa, “Cowok itu gak boleh gitu, gak laki.” Itu toxic buat saya.
Meanwhile, ada riset yang bilang bahwa lebih banyak laki-laki yang meninggal akibat suicide dibanding perempuan.
Ada semacam tuntutan besar banget dari budaya patriarki yang ditanamkan ke kita dari kecil. Misalnya ada anak kecil jatuh, “Jangan nangis dong, masa anak cowok nangis?” Dan itu terbawa sampai sudah dewasa. Dan jadinya kita secara tidak langsung menjadi generasi cowok-cowok brengsek yang nge-DM cewek dengan kata-kata tidak senonoh. Karena mereka selalu merasa harus membuktikan maskulinitas mereka, dominance mereka. Merembet kan jadinya masalahnya.
Media sosial, walaupun telah menjadi platform untuk bahasan edukatif mengenai mental health juga memiliki dampak buruk pada mental health para penggunanya. Sebagai sosok yang aktif di media sosial, bagaimana Anda melihat hal ini?
Buat saya, iya betul internet dan media sosial itu dampaknya kadang-kadang buruk sekali untuk kesehatan batin atau mental seseorang. Cuman kita tidak bisa memungkiri kalau dia cuman tools. Pisau, pedang, atau pistol itu kan juga jadi jahat karena penggunanya, kan? Kita juga tidak bisa memungkiri banyak hal-hal yang terjadi karena media sosial. Buat saya, bottom line-nya, it will always come down ke siapa penggunanya, dia melakukan apa di internet dan bagaimana dia menyikapi platform itu dengan baik. Be mindful saja karena apa yang kita omongin, walaupun kesannya ringan, dampaknya itu bisa gede banget buat orang lain.
Saya percaya kalau orang udah pernah ngerasain tidak enaknya pernah diperlakukan seperti itu sama orang di internet, dia tidak bakal melakukan itu ke orang lain kecuali dia sakit. Tidak waras aja. Tidak waras pun kata yang buruk ya, politically incorrect. Kita ngomongin mental health tapi saya bilang tidak waras. Tapi ada saja orang-orang yang ‘beda’, emang dia senang aja nge-troll-in orang di internet. Most people yang saya kenal dan pernah mendapat perlakuan di internet, entah dia sempat salah/gak salah/sebenarnya debatable salah apa tidak, dia mostly menjadi tidak pernah melakukan itu ke orang lain. Dia menjadi lebih mindful dalam menyikapi media sosial.
Buat saya justru, in some ways, hate speech itu jadi lebih kuat dampaknya kalau sudah masuk media sosial dibanding kalau kita mendengar langsung. Karena, pertama, media sosial itu memberikan ilusi kalau kita tidak akan disentuh sama yang diserang karena kita jauh, aman dan ada layar. Mungkin saja mereka memakai akun anonim atau apapun. Dan misalnya kalau kita ketemu langsung, mungkin saja mereka tidak berani untuk menyerang atau ngatain orang lain karena mereka bisa langsung get back. Sebaliknya juga gitu. Sebagai korban atau penerima pesannya juga, kalau di dunia nyata, kan kita bisa langsung clarify apapun yang diomongin. Jadi buat saya, sebenarnya, andilnya sangat besar juga dalam konteks memberikan nama yang buruk bagi media sosial dan internet dalam konteks kesehatan mental – untuk beberapa orang-orang tertentu yang tidak bertanggung jawab menggunakan platform mereka ini.
Lalu bagaimana Anda bisa stay sane di landscape sosial media seperti sekarang?
Media sosial itu platform yang membantu saya dalam membangun hidup dan karir saya sekarang.
Saya sendiri sudah mematikan notifications dari satu setengah tahun yang lalu. Jadi saya baru bisa baca mention itu kalau orang yang me-mention itu yang saya kenal dan follow. Karena mungkin ini memang nature saya yang berbeda secara latar belakang perseorangan aja. Walaupun tidak ada berita yang aneh-aneh, kadang-kadang saya suka merasa overwhelmed dengan, “Aaah banyak banget yang tau gue di internet.” Takut. Seram. Dan dengan saya ngomong gitu pun di media suka disering balik, “Katanya introvert, tapi lo nge-post foto selfie.” Ya beda. Saat kita nge-post foto kita sendiri, it’s with our own consent dan kita emang ingin melakukan itu. That’s different di saat kita di-expose sama orang lain. Itu buat saya argumen yang tidak bisa dipakai untuk nyerang, terutama dalam konteks tadi. Tidak apple-to-apple.
Media sosial itu platform yang membantu saya dalam membangun hidup dan karir saya sekarang. Saya banyak sekali bertemu dengan seniman baru dari sana dan jadi teman dekat sampai sekarang. Cuman di saat yang bersamaan, saya merasa saya harus ada dietnya dalam media sosial. Sama seperti orang yang lagi berusaha punya dietary plan, kalau mereka punya batas kalori, saya juga punya batas itu dengan media sosial. Misalnya, di saat saya sedang menggunakan media sosial dengan sangat intens, dalam seminggu saya berjanji pada diri sendiri kalau minggu depan saya akan seminim itu menyentuhnya.
Buat saya somehow these people yang menggunakan media sosial dengan tidak bertanggung jawab ini seperti data corruption. It spreads. Negativity spreads. Kalau kita kelamaan di media sosial, kita bisa jadi orang kayak gitu juga. Terutama kalau feed kita, termasuk following dan followers kita melakukan itu ke orang lain. Kita jadi ingin ikut-ikutan. “Ah ngatain juga ah. Harmless kok.” Tapi justru itu masalahnya. Satu, harmless, tapi di saat kita sudah melakukan satu hal, kita akan meng-encourage orang lain untuk melakukan hal yang sama dan tiba-tiba tidak terasa sudah 10 comments, terus tiba-tiba sudah 300 hate speech, sudah di-reshare jutaan kali. Dan jadi gunung. Mob mentality saja buat saya. Itu kan sesuatu yang terbukti secara psikologis. Apalagi at this kind of moment, kita semua banyak kerja dari rumah, energi kita lebih banyak habis buat melihat layar. Jadi kita lebih senggol-bacok sekarang kalau melihat berita. Kesannya [berita] langsung masuk ke ranah pribadi kita, padahal sebenarnya juga tidak ada hubungannya sama hidup kita juga. Jadinya buat saya, aura dan ombak negativitasnya itu kuat sekali. Kalau kita kelamaan di situ, takutnya kita akan jadi kayak gitu. Jadi saya merasa kalau saya harus membatasi itu.
Ini berhubungan banget dengan cancel culture yang sekarang lagi banyak terjadi di media sosial juga.
Buat saya cancel culture itu salah satu contoh terbaik mob mentality. Let’s say di beberapa fan base, mereka menggunakan hashtags yang sangat hateful buat menyebarkan materi promosi idol atau band kesukaannya. Saya tahu maksudnya bukan itu, tapi buat agar kelihatan saja kontennya. Cuman, mereka add up to the numbers. Memberi kesan kalau sebanyak ini lho yang benci sama dia dan itu lagi-lagi buat saya seperti melempar bensin ke dalam apinya terus. Sama kayak tadi, kita komen satu – kesannya harmless – tapi itu hanya encourage teman kita untuk ikutan. Dan bertambah banyak saja terus jadinya.
Dan dengan pandemi ini pun membuat orang menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar.
Iya, energinya habis di layar.
Bahasan soal mental health juga kini bisa dianggap sebagai tren atau gimmick semata untuk bisa tetap relevan, bagaimana Anda melihat kecenderungan ini?
Actually banyak sekali omongan itu ke Hindia, tapi setelah itu jadi gede. So it’s weird, kan? Dari single pertama saya udah membahas itu. Dan bahasan ini buat saya pribadi itu sudah diomongin dari zamannya Stevie Wonder masih belajar main piano. Every artist has been talking about mental health since the dawn of times. Filsuf udah membicarakan mental health, tapi kebetulan kita baru punya label yang politically correct dan universally accepted kalau topik ini namanya itu mental health. Jadi kesannya apapun yang diomongin, it’s based on mental health. Buat saya, tidak. Maksudnya, it’s more or less the same as self-love. Semua orang sudah membicarakan soal self-love dari zaman dulu kok. Lukisan-lukisan tertua yang ada di Eropa itu juga udah ngomongin self-love. Tapi zaman dulu belum ada labelnya untuk menyebut hal itu sebagai mental health.
Jadi sekarang, di saat sudah ada labelnya, dan terbukti banyak sekali karya-karya besar yang bisa meledak itu karena ngomongin self-love/mental health, jadi kesannya ini semacam komodifikasi topik. Kesannya dia dijual. Padahal, buat saya, alasan kenapa karya-karya ini besar itu karena karya ini sangat-sangat inward. Dia melihat dulu ke dalam dirinya dan dia tidak berusaha untuk jadi relatable buat orang karena pada akhirnya, we’re just humans. Kalau kita masih homosapiens, seaneh apapun hidup kita, pasti cerita kita bisa menyentuh orang lain dan akan membantu orang lain dengan cerita yang sama. Jadi buat saya, relatability itu adalah akibat, bukan sebab.
Lalu, karena kita bisa melihat sesuatu secara inward, kita membicarakan soal diri sendiri, soal perasaan kita di moment di mana kita sudah punya label untuk topik ini sebagai mental health, dan kebetulan semua yang meledak itu kurang lebih sama bicaranya, jadinya dianggap kita menjual mental health issues atau yang lebih parah lagi mental illness. Sama misalnya seperti ketika ada yang menggunakan self-diagnosis, bahkan bukan keadaan yang clinically-diagnosed sebagai fashion. Saya tidak mengkritik siapa pun yang mengidap apapun karena saya juga punya, tapi kalau ada orang yang bilang “I’m so depressed, I’m so cool” – and it’s been happening for quite some time – saya setuju kalau itu tidak benar. Buat saya, itu justru yang mengkomodifikasi mental health, karena mereka mempromosikan hal yang buruk untuk menjadi suatu outer layer dari karya mereka. Cuman saya tidak mengerti kenapa tiap kali ada sebuah karya yang mempromosikan – dalam konteks tidak langsung – self-love atau mental health dalam konteks yang positif, malah diserang.
Melalui proyek Hindia, Anda menyelipkan pesan-pesan serta realita soal mental health pada lagu yang dirilis. Apa alasan di balik pemilihan Hindia sebagai outlook untuk menyuarakan hal tersebut di banding proyek lainnya?
Karena awalnya saya menciptakan Hindia untuk menulis dan mengkaryakan, dalam bentuk musik, hal-hal yang saya rasakan dan yang tidak bisa ditulis di .Feast karena it’s a bit too personal. At the end of the day, .Feast is a band. Orang bisa menganggap ada frontman-nya, cuman buat saya tidak ada frontman-nya. It’s a band of people, it’s a music group. Di saat saya ingin ngomong satu-dua hal yang mengganggu di dalam hati saya, otak, kepala, dan badan, saya merasa saya harus punya outlet yang pribadi. Yang tidak mengganggu ranah kreativitas .Feast dan saya bisa melakukan apapun yang saya mau dengan apa yang saya rasain. Jadi saya menciptakan Hindia.
More or less mengeluarkan polusi dari dalam diri saya supaya bisa seimbang batin dan fisiknya. Terapi pribadi lah kurang lebih. Saya sih tidak pernah spesifik point out kalau saya mau membicarakan soal mental health atau self-love. Itu semua intinya pengalaman personal. I’ve just been trying to look inwards. Apa yang saya rasakan, yang mengganggu, kesannya kalau tidak saya bicarakan akan terus mengganggu. Maka saya harus memberanikan diri untuk mengekspresikan itu dalam bentuk lagu. Seperti yang saya bilang tadi, saya bisa merasa lebih stabil ketika saya sudah bisa ngomong ke orang apa yang saya rasakan. Saya punya teman-teman untuk membicarakan hal-hal yang sangat detail dan personal, saya punya Hindia untuk bisa mem-broadcast pengalaman yang saya punya dalam diri saya dengan cara yang lebih mass dan umum. Kasarnya gitu.
I’ve just been trying to look inwards.
Saya percaya kalau relatability yang selalu dikaitkan akhir-akhir ini dengan mental health itu suatu akibat, bukan sebab. Orang-orang merasa relate banget sama karya kita karena itu akibatnya. Sebabnya apa? Buat saya ya karena karya-karya serupa itu karena senimannya berhasil membedah untuk melihat dirinya secara inward. Jadi dari awal itu bukan saya memikirkan, “Gimana caranya biar gue relate banget sama orang?” Karena di zaman sekarang, apalagi in this dawn of internet marketing age, itu kan pasti kita juga pernah merasa kalimat-kalimat misalnya, “Gimana caranya marketing campaign ini relate banget sama orang biar viral?” At the end of the day, jenis-jenis campaign yang memang dipikirkan banget itu tidak pernah ada yang viral. It’s just a very natural thing. Selama kita homosapiens dan kita bisa melihat ke dalam diri sendiri, cerita apapun yang kita punya – seaneh apapun – orang akan merasa terhubung dengan itu. Jadi kunci utamanya adalah, your ability to look inward to yourself.
Buat saya, kenapa Hindia bisa dianggap banyak orang berbicara tentang mental health, kebetulan memang saya ada di lingkungan itu – penyintas – tapi tidak pernah saya sebut secara spesifik dan secara gamblang di interview. Sekali saya bilang itu cuma di buku saya sama Pop Hari Ini, dan itu memang karena pembedahan secara mendalam dan saya cukup dekat juga dengan yang mewawancara – Hasief Ardiasyah – dan di buku ini – Open Column 2 – karena memang kebetulan topiknya itu. Tapi saya sendiri tidak pernah merasa itu harus banget saya pampang di depan muka karena saya tidak suka dengan probabilitas di mana cerita saya sebagai seorang penyintas bisa dijual sebagai sebuah materi berita. Dianggap menjadi niche value. Buat saya, orang yang mengerti dan pernah merasakan dan tahu dia pasti pas baca akan tahu sendiri, saat melihat liriknya akan tahu sendiri. Dan lirik-liriknya pun sebenarnya lumayan halus. Cuma ngomongin self-love saja. Saya tidak membahas difabilitas atau disabilitasnya, cuma saya membahas cure yang saya punya untuk diri saya sendiri. Bukan cure bahkan, therapy yang saya punya untuk diri sendiri yang mungkin bisa membantu orang. Jadi fokus saya ke terapinya.
Cuma kebetulan karena belakangan ini topik ini lagi punya label yang politically correct, yang semua orang anggap ini sesuatu yang universally accepted untuk disebut sebagai mental health, dan saya bekerja dan memulai karir saya di masa itu, jadi kesannya saya mencolok banget membahas soal mental health. Yes it speaks about mental health to some extent. Kalian bisa bilang bahwa “Menari dengan Bayangan” itu ngomongin mental health, but it’s not only about that. It’s about life in general. Sama saja seperti bagaimana kita harus bisa bertahan hidup dengan menghindari sakit, kita tidak boleh demam di atas 40°C karena kita akan meninggal, kita harus menjaga kesehatan fisik, kita juga harus bisa menjaga kesehatan batin kita sendiri.
Sebagai musisi yang aktif berkolaborasi dengan musisi lainnya, bagaimana Anda melihat bahasan atau cerita tentang mental health di kalangan musisi baik dalam segi personal maupun dalam berkarya?
Karya apapun, dari seniman apapun, selama topiknya bukan sosial-ekonomi-politik, atau bukan topik cinta, dan bahkan kadang-kadang pun tidak secara eksklusif compartmentalized kaya gitu, pasti ujung-ujungnya ngomongin self-love. Sesuatu yang inward. Buat saya, pada akhirnya, all these songs, artworks, atau apapun yang lahir karena senimannya bisa melihat dirinya secara inward, it speaks the same message with a different language. Cara berbicara saya dan Chia (Fathia Izzati) dalam berbicara tentang self-love itu berbeda walau sebenarnya ngomongin hal yang sama. Pada akhirnya ya kita berbicara soal menjaga diri kita, jaga hati, dan jaga fisik. Atau di saat lagi sedih banget, hancurnya hati, fisik, atau batin. Pada akhirnya selalu ngomongin hal yang sama. Caranya beda karena pengalaman hidupnya berbeda-beda, kan?
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Yang pertama, buat saya, yang harus ditekankan adalah semua orang itu punya dimensi kecepatan pikiran, batin, dan fisik yang berbeda dalam menanggapi apapun dalam hidupnya. Kita bisa di satu ruangan yang sama, saling bersin, dan ada yang tiba-tiba jadi flu dan saya tidak karena antibodinya beda. Sama saja. Satu kejadian yang sama, mungkin ada orang yang lagi sedih banget karena tidak dapat kerjaan, tapi ada temannya yang bilang, “Udah, santai aja dulu gue juga gitu. Dulu gue 2 tahun nganggur baru bisa kerja.” Technically benar, tapi orang-orang memprosesnya dengan cara yang berbeda. Dan kita harus bisa normalize membiarkan orang memproses pengalaman hidupnya dengan kecepatan yang berbeda.
Saya tidak against the idea bahwa – terutama buat kawan-kawan yang religius – kalau misalnya ada yang gundah, terus ada orang bilang, “Gak usah ke psikolog/psikiater dulu, coba aja ibadah.” Maybe it would work. Untuk beberapa orang. Buat saya, memberikan saran seperti itu selama kita memberikan saran dengan cara yang respectful itu juga tidak apa-apa. Selama kita tidak scrutinize dengan omongan seperti, “Kamu sih, soalnya gak pernah sholat. Atau gak pernah ke gereja.” Itu baru jadi salah. Yang kedua, jangan paksakan cara kita sendiri. Kita bisa memberi saran, bisa menjadi pendengar, cuma pada akhirnya, yang selalu diingat adalah kita semua memproses semua hal dengan berbeda. Misalnya saja, kita punya 2 kaki, 2 tangan, 2 mata, kita saja bisa memproses virus dengan cara yang berbeda. Makanya sekarang ada orang yang menderita COVID-19 tapi dia tidak menunjukkan symptoms. Dia tidak tahu dia sakit, makanya dia menularkan ke orang lain. Sesuatu yang tangible kayak badan saja memproses sesuatu dengan cara yang berbeda. Bagaimana dengan sesuatu yang tidak bisa kita lihat? Yang ada di dalam diri kita. Itu jauh lebih abstrak. Itu makanya pengalaman hidup itu tidak bisa kita pukul rata. Kita bisa bantu, kita bisa mendengarkan, kita bisa memberikan pengalaman kita – saran – tapi kita kasih dengan cara yang respectful dan jangan dipaksakan.
Kalau semua orang sudah melakukan itu dengan berbagai macam level dan cara yang berbeda-beda, seperti apa yang kita bicarakan beberapa pertanyaan sebelumnya yang soal orang tua membentak anak karena anaknya jatuh dan nangis itu tidak bakal kejadian lagi. Karena dia ingat kalau dia ini anak kecil dan kalau jatuh ya pasti nangis. Karena buat anak kecil, jatuh, atau harus pakai dasi sendiri pas masih SD, atau mengikat tali sepatu sendiri itu big deal. Buat kita tidak, kan? Kita kan bilang ke anaknya, “Ah kamu gitu aja cengeng, ntar kamu rasain tuh pas udah masuk SMA, atau pas udah cari kerja.” Technically, it’s right. Secara teknis, mengikat tali sepatu itu tidak ada apa-apanya dibanding struggling jadi tulang punggung keluarga. Tapi, di momen itu, anak kecil tidak mengerti itu. Dia punya kecepatan yang berbeda. Untuk sesuatu yang sangat berbeda secara tangible bisa dilihat saja kita kadang-kadang masih oblivious. Orang tua/orang dewasa bisa gituin orang yang lebih muda ketika mereka bilang, “Skripsi gak berat kok, ntar tunggu sampe lo jadi first-jobber.” Coba bayangkan sekarang, bagaimana yang sudah seumuran, setara, satu lingkungan, pengalamannya bisa benar-benar mirip banget, dan kita gituin. “Ngapain sih lo di kamar terus? Kenapa sih lo gak mau keluar? Kenapa sih nangis terus?” Buat saya lebih tidak peka lagi saja. Parah banget. Untuk sesuatu yang beda banget saja pengalamannya, kalian tetap bisa mengecilkan diri orang lain, bagaimana untuk sesuatu yang tidak bisa dilihat dan pengalamannya itu tipis bedanya?
Sebagai salah satu kurator buku Open Column 2, bagaimana Anda melihat deretan cerita yang telah dibagi oleh para pembaca di buku ini?
Pas pertama kali saya dengar kalau submisinya banyak, dan untuk saya yang sesama seseorang yang melahirkan karya juga buat dicerna sama banyak orang lain, saya tahu bahwa itu perlu keberanian besar buat membuat apapun itu terlepas daripada akhirnya dalam sudut pandang kesenian bagus apa tidak output-nya. Itupun buat saya worthy of applause sendiri. Makanya saya lebih terkesima lagi, pas sudah menuju submisi terakhir, sudah bagian saringan tahap-tahap terakhir, selain berani, mereka bisa elaborate dengan sangat baik, dan bisa menyentuh pula. It’s no mean feat. To be able to look inward and tell the stories that you have ke orang lain itu tidak gampang.
To be able to look inward and tell the stories that you have ke orang lain itu tidak gampang.
Dalam salah satu video yang baru dirilis, Anda merespon perlombaan produktivitas yang kini semakin terasa di masa pandemi ini. Menurut Anda, apakah kecenderungan ini malah sebenarnya memiliki dampak negatif pada mental health kita?
Kadang-kadang kita suka terjebak dengan norma-norma – yang biasanya dalam konteks sehari-hari yang normal itu baik – yang tidak tepat dimasukan ke dalam keadaan/konteks lain. Being productive itu bagus banget kalau emang bisa. Keren. Tetapi, ini kan pandemi. Ini musibah yang melanda tidak cuma orang Indonesia doang, tapi seluruh dunia. Ini sesuatu yang tidak enak. Ini buat saya survival mode. Momen yang sekarang bukannya kita berlomba-lomba bisa bikin apa atau belajar apa. Bagus kalau bisa belajar, dan untuk kalian share pencapaian apa yang dibuat selama pandemi ini pun tidak salah. Tapi jangan sampai kalian kayak, “Ayo dong, gue aja bisa. Masa lo gak?” Lagi-lagi kayak gitu. Jangan pernah menggunakan pengalaman kita sendiri untuk mengukur pengalaman orang lain. Pengalaman kita itu buat saya cuma bisa dipakai buat diperlihatkan ke publik dan terserah orang mau menanggapinya bagaimana. Atau bahkan memberikan konteks moral-sosial-politik-ekonomi ke dalam pengalaman kita, misalnya dengan, “Selama lo rajin, lo bisa kayak gini.” Itu tidak tepat. Orang tua kalian punya uang buat menyekolahkan kalian. Orang lain tidak. Bisa lebih tone-deaf lagi.
Buat saya, perihal gimmick produktivitas yang di-push oleh banyak banget brand pada beberapa bulan kebelakang ini kurang baik. Pemahaman bahwa ‘produktivitas itu baik’ itu tidak salah. Tapi kadang-kadang kesannya adalah yang kayak, “Lo harus melakukan ini biar bisa lebih produktif lagi.” Jadi terdapat indikasi bahwa tidak produktif di masa pandemi itu tidak baik. Karena buat saya, being productive in this pandemic saja sudah privilege sendiri karena tidak semua orang bisa melakukan itu. Ada yang sudah cukup pusing memikirkan bagaimana anak sama istri bisa makan. Ini sudah di momen di mana tim produksi di balik dunia entertainment itu sudah sampai jualan makanan, antar-jemput makanan, dan jadi driver transportasi online cuman buat bertahan. Jadi mereka tidak bisa menambahkan portfolio. Persaingan juga lagi ketat karena pekerjaan juga jadi semakin sedikit dan semuanya online. Jadi buat kita di-push untuk jadi produktif itu tidak tepat. Dan kadang-kadang ketika kita berbicara soal produktivitas di masa pandemi ini selalu dikesankan produktivitas yang mereka maksud adalah yang mengerjakan sesuatu dari rumah, kan? Misalnya belajar bahasa baru. Bahkan untuk kita bisa terkoneksi dengan internet di rumah itu privilege karena banyak orang yang TV kabelnya diputus sama mereka sendiri gara-gara tidak bisa bayar. Di momen ini primary needs seperti bayar air dan listrik lebih diperhatikan dibanding bayar internet dan TV. It’s good kalau kita bisa bikin sesuatu, bisa produktif. Kalau apa yang kita pelajari dan apa yang kita bikin bisa disebar ke orang lain juga untuk dinikmati, itu lebih baik lagi. Tapi jangan menggunakan standar kita untuk bilang ke orang lain kalau mereka harus bisa gitu juga. Itu tone-deaf aja.
Jangan pernah menggunakan pengalaman kita sendiri untuk mengukur pengalaman orang lain.
Namun, jika hyper-productivity ini bisa dianggap sebagai salah satu cara kita untuk tetap relevan di antara banyak sosok-sosok lainnya, sejauh mana Anda melihat hal ini bisa terus dilakukan sebagai seorang creator?
Kalau memang bekerja di industri entertainment yang diharuskan untuk nge-pump up konten – dan ini saya berbicara dalam konteks konten yang baik, yang memang isinya tidak aneh-aneh, tidak dengan sengaja menuai kontroversi – kalau bekerja di dunia itu, kesenian atau hiburan, yang harus mengeluarkan materi baru untuk bisa bertahan, being productive at home, bahkan being hyper-productive at home itu ya cara untuk survive. Karena kalau misalnya, let’s say, ada satu video-maker yang tidak mengedit atau bikin video yang baru selama 6 bulan ke belakang, dia juga tidak bakal bisa ngasih makan anak istri. But you still need to be respectful to others dan tidak mengecilkan pendapat, pengalaman dan latar belakang orang lain. Mungkin yang saya bilang tadi, selalu menciptakan output yang baru di tengah-tengah keadaan ini juga bukan hal yang jelek. Tapi bukan hal yang patut dibanggakan berlebihan di depan orang lain. Maksudnya ya kalau bikin, bikin saja. Sebarin saja. Kalau orang terhibur dan suka dengan konten yang dikeluarkan, it’s good. It’s very good. Tapi bukan berarti bisa merasa lebih keren gara-gara sebagai musisi bisa mengeluarkan lebih banyak single di dalam 4-5 bulan ke belakang dibanding musisi lain. Tidak juga. Faktornya terlalu banyak.
Buat saya, 7 bulan pandemi ini ibaratnya kayak semua yang dipelajari – terutama kalau sudah yang adult ya – di hidup itu dites. Kita dites secara fisik, antibodi kita jelek, ketularan. Dites secara sosial, seberapa dekatnya kita dengan orang-orang terdekat di mana kita tetap bisa merasa terhubung dengan manusia lain di saat dipisah sejauh ini. Kita juga dites secara finansial, seberapa hebat kita melakukan financial planning selama ini sampai kita bisa bertahan dengan uang yang kita punya. Terakhir, kita dites secara mental. Ketika kita terlalu lama di satu tempat, buat saya – mau introvert atau ekstrovert – tidak baik. Dan akan memicu banyak hal lain yang ada di dalam diri kita sendiri, hal-hal baik maupun hal-hal buruk, dan jadi volatile banget. Buat saya, 6 bulan kebelakang itu ultimate test-nya beberapa generasi sekarang ini. Sampai banyak artikel di luar bilang kalau kakek dan kakeknya kakek kita mengalami perang dunia, generasi kita punya COVID-19 pandemic. Walaupun secara pengalaman tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple, kita tidak merasakan rumah kita tiba-tiba dibakar atau kena bom, cuma bagaimanapun juga ini yang kita rasakan. This is what we have right now. Dan kita alami bareng semua orang di dunia ini. Jadi buat saya ini ultimate test dalam semua hal yang pernah dipelajari, termasuk juga bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan mental health kita sendiri.
Cara lain apakah yang menurut Anda mudah dilakukan untuk tetap menjaga mental health, optimisme, dan lainnya di tengah pandemi ini?
Pertama, yang paling penting itu untuk bisa membedakan mana yang bisa men-trigger kita sendiri, mana yang tidak baik buat kita tapi tidak disadari, sama mana yang actually bisa membuat kita menjadi lebih stabil atau membaik kalau kita berinteraksi dengan keadaan atau orang-orang itu sendiri. Banyak sekali pengalaman saya melihat penyintas lain kalau mereka secara tidak sadar terjebak di lingkungan yang membuat mereka semakin parah. Tapi karena sudah dianggap menjadi semacam zona nyaman mereka, misalnya dengan anggapan seperti, “Kalau gue dilepas dari sini, gue gak bakal bisa selamat,” jadi toxic relationship. Buat saya, this kind of toxic relationship itu – apa lagi di keadaan seperti sekarang – tidak cuma berlaku pada sesama manusia. Berlaku juga dengan kita ke gadget, dengan akun kita, dengan pekerjaan kita. Apakah kita tergolong masih yang membuka Word atau Excel sembari tiduran di kasur jam 11 malam? Itu pun buat saya tidak baik. Benar kata Kunto Aji di video yang saya rilis tadi malam, keadaan work from home ini benar-benar masuk ke kepala kita. Sekarang rumah itu kantor, dalam artian kadang-kadang badan kita lupa kalau kasur itu kasur, jadi kita itu sudah tidak mengantuk lagi kalau tiduran karena kita sudah terlalu sering kerja di kamar. Buat saya, kita harus bisa identify mana yang memang bisa membuat kita merasa tidak baik tanpa disadari, atau mungkin kita sadar tapi kecanduan saja. Semua orang at this point kalau lagi ada yang heboh di Twitter sebenarnya harusnya tidak ikutan karena itu tidak baik buat orang lain dan buat kita sendiri juga, tapi kita ikutan karena ada instant gratification-nya, kan? Because it feels good to bash other people. In the long run itu sangat-sangat tidak baik buat diri kita sendiri.
Anda baru saja merilis lagu “Setengah Tahun Ini” yang juga merupakan sebuah refleksi tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi bagi kita semua. Boleh ceritakan lebih lanjut soal lagu penutup “Menari Dalam Bayangan” dan seperti apa bentuk karya yang akan keluar setelah ini?
Yang pasti saya merasa track itu sebagai penutup dari – bahkan bukan cuma albumnya Hindia – chapter 1 karir saya di musik. Makanya single cover-nya itu karangan bunga juga sama kayak album cover .Feast yang pertama. Saya merasa itu kulminasi dari semuanya. Apa saja yang saya pelajari selama saya bangun album pertamanya Hindia, bahkan membangun album pertama dan album keduanya .Feast, itu dites di 6 bulan ini. Seperti yang saya bilang, kita sudah cukup sehat belum untuk melewati pandemi ini? Untuk bisa selamat. Kita tetap bisa sehat tidak secara batin untuk bisa melewati ini? Kita punya support system yang bagus tidak? Teman-teman kita siapa? Semua benar-benar dites secara ekstrim.
Ini kalau Avengers, sudah kayak di tahap “Endgame“ kali ya. Thanos keluarnya tuh di 6 bulan kebelakang ini. Parah banget. Sudah ada pandemi, terus tiba-tiba banyak banget kesempatan bekerja yang ditarik begitu saja. Hilang puluhan panggung akibat di-postpone. Tiba-tiba ditimpa dengan gonjang-ganjing nasional juga kemarin. Shit show banget. Cuman buat saya, pada akhirnya, it’s weird. Pas saya melihat akhirnya lagunya sudah jadi demonya, saya merasa, “Wow gue berhasil merangkum apa yang terjadi selama bertahun-tahun di hidup gue plus 6 bulan kejadian di belakang dan satu album.” Saya merangkum banyak banget dalam kurun waktu 4 menitan doang. Pas sudah jadi itu, saya melihat lagi isinya apa, dan jadi berpikir lagi saja, ya sudah, hidup memang kayak tai tapi hidup itu bukan novel. Bagaimanapun kita punya – kayak albumnya Pamungkas – this illusion of solipsism, kalau itu nyata, itu cuma ada kita sendiri di dunia ini dan semuanya itu NPC (non-player character) atau bot. Pada akhirnya, bahkan di ilusi itupun you will never have total control over the world. Karena bagaimanapun kita menjaga alam, kecuali kita orang sebesar Jeff Bezos atau Elon Musk, kita tidak akan bisa punya andil yang besar dalam global warming misalnya. Ya itu, hidup bukan novel. Life goes on. Jadi pada akhirnya, ya kita babak belur selama 6 bulan dan mungkin ditambah 1-3 tahun ke belakang, tapi kita tetap harus lanjut saja. Dan itu yang saya rasa, yang saya dapat sendiri, dari lagu itu pas sudah jadi.
Sekarang saya mau istirahat sebentar, mungkin lebih fokus memegang talent-talent di Sun Eater, terus .Feast juga lagi ada proyek besar mendatang, saya akan shift-gear balik ke .Feast dulu. Untuk karyanya Hindia kedepannya seperti apa, mungkin secara musik akan jauh. Demo yang saya kerjakan sih banyak banget dan musiknya sudah jauh dari pop yang sekarang. Dalam artian, saya tidak bisa bilang bukan pop juga karena ada momen di musik Indonesia juga di mana musik Hindia itu bukan musik pop. Selalu patokannya kawan-kawan Lomba Sihir dan Sun Eater itu kalau ngomongin Hindia dan Lomba Sihir adalah satu pertanyaan, “Kita bisa ngebawa pop ke mana habis ini?” Kita selalu berusaha push something new. Push it further saja dengan Hindia dan Lomba Sihir. Jadi secara musik pasti sonically akan patah 180 derajat karena saya merasa that’s the next challenge.
Tapi kalau secara topik, kan sebenarnya “Menari dengan Bayangan” itu mirip-mirip dengan autobiografi, kan? Sangat-sangat personal. Mungkin akan seperti itu juga. Tapi kan “Menari dengan Bayangan” walaupun sama-sama autobiografi mungkin dengan karya-karya ke depan akan ada benang merah yang sangat kuat perihal self-love. Kayak anak kecil yang belajar, “Oh ternyata gue orang timur, gue punya privilege juga tapi gue gak punya privilege ras dan agama karena keluarga gue Kristen.” Tentang album untuk menerima diri sendiri yang seada-adanya saja. Tetapi kalau misalnya nanti album kedepannya bagaimana, ya itu, sebenarnya saya belum bisa ngomong apa. Bukan karena saya belum bisa ngomong karena masih rahasia, tapi karena saya pun belum tahu. Karena buat saya, Hindia itu karya yang sangat personal dan tidak bisa dipaksakan. Kalau saya belum mau ngomong apa-apa, ya saya tidak usah ngomong apa-apa.
Di momen ini, saya merasa tidak ada yang punya urgensi besar untuk saya ekspresikan karena saya percaya kalau dipaksakan, it’s going to be just another album from this one guy yang pernah punya album gede banget aja. Cuman, it’s time. Semua cerita ini perlu waktu inkubasi. Perlu juga dunia dikasih waktu untuk breed cerita baru ke keluarga saya, hidup saya, dan teman-teman saya. Jadi belum tahu kejadiannya apa karena saya tidak bisa membaca masa depan. Jadi saya tidak tahu album ke-2 bisa berbicara tentang apa.
–
Baskara Putra adalah salah satu kurator Open Column 2. Bersama Aan Mansyur dan Fathia Izzati, ia mengkurasi 30 tulisan yang membahas tentang kesehatan mental. Pre-Order buku Open Column 2 sekarang.