Gabber Modus Operandi: “Ketika tradisi dan teknologi ketemu, ini titik yang paling manis.”
Bagaimana perjalanan kreatif mereka mengadaptasi musik tradisi sekaligus mengeksplorasi narasi surreal khas Garin Nugroho?
Words by Whiteboard Journal
Teks: MM Ridho
Foto: Film Samsara
Duo elektronik Gabber Modus Operandi tidak pernah berhenti menantang diri mereka sendiri. Di tengah kesibukan turnya berkeliling dunia, mereka masih memecah fokusnya untuk mengerjakan megaproyek seperti kolaborasinya bersama Björk, 2022 lalu. Setelahnya, mereka juga tidak menepis tantangan yang hadir di hadapan mereka. Raksasa sinema Garin Nugroho menggandeng mereka untuk mengisi musik dalam proyek film bisunya, yang mengambil Pulau Dewata medio 1920-an sebagai latarnya.
Bagaimana mereka menyesuaikan diri untuk film Samsara yang mencampurkan unsur klasik, fiksi ilmiah, dan tradisi magis khas Bali di awal abad 20 dengan musik mereka yang lekat dengan kemajuan teknologi?
Saling mengisi ruang frekuensi bersama kelompok pemain gamelan Yuganada pimpinan I Wayan Sudirana menjadi titik balik yang ragib bagi eksplorasi bebunyian duo tersebut.
Esplanade Concert Hall, Singapura, sebagai tempat digelarnya cine-concert Samsara menjadi saksi kolaborasi itu menghidupkan masa lalu dan menghadirkan masa depan secara bersamaan. Tapi, bagaimana perjalanan kreatif mereka mengadaptasi musik tradisi sekaligus mengeksplorasi narasi surreal khas ayahanda Kamila Andini tersebut?
Simak obrolan kami dengan Gabber Modus Operandi berikut.
Diskografi Gabber Modus Operandi kan mengusung dan berhasil menerjemahkan konsep “Alay-core” ke bebunyian. Dengan kata lain, konsep dan musik yang kalian bikin selama ini tuh kontemporer. Sedangkan SAMSARA kan mengambil setting di awal abad 20. Gimana prosesnya menyesuaikan ke tema ini? Apakah perlu waktu dan penggarapan ide yang kompleks dan cukup memakan waktu?
Kasimyn: Kalo saya (melihat Samsara) walaupun settingnya lawas tapi sangat kontemporer sih. Jadi, wacana kalo bunyi klasik atau musik klasik yang jadi nafasnya sebenarnya sudah ada sejak awal obrolan. Dan saya melihat ini sebagai film kontemporer, kebetulan aja berlatarklasik.
Ican: Dari awal kita ditawarkan, kita nggak membaca Samsara sebagai sebuah film klasik yang harus digubah. Dalam konsep artistiknya, Samsara sendiri sudah beyond time. Walaupun, acuan narasinya mengacu pada 1930, secara artistik dan aestetik ia produk dari masa depan. Ini jadi selaras dengan Gabber Modus Operandi yang selalu menawarkan bentuk-bentuk alternatif dari masa depan.
Kasimyn: Yang menarik sebenarnya ada obrolan tentang menulis ulang sejarah—walaupun secara fiksi ya. Walaupun dalam sejarah “klasik” adalah tradisi, tapi bagi saya pribadi bentuknya sangat science fiction. Banyak unsur magic atau klenik yang dianggap orang sekarang sebagai fiksi. Samsara sebenarnya campur sari dari semua itu, dan sangat kontemporer.
Nah, gimana sih cara kalian mentranslasikan ide yang kalian serap dari naskah filmnya menjadi bebunyian?
Kasimyn: Mungkin kalo GMO lahir sebagai musisi konvensional yang besar di ranah pop bakal makan waktu ya. api, ini tuh udah parallel dengan apa yang biasanya kami lakukan. Kami bikin notes atau check list dulu: apa elemen-elemen yang nggak bisa dilakukan dalam musik tradisi. Misalnya, bunyi yang sangat besar secara frekuensi—kita kan nggak punya banyak ya. Selain musik tradisional itu sangat analog, banyak ruang-ruang frekuensi yang nggak bisa ditutup. Sebagai contoh, bunyi ledakan mungkin cuma bisa diwakili oleh musik tradisi dengan suara gong, gendang yang sangat besar, atau gamelan jegog di Bali.
Menurut kami, kamu harus membuat struktur dulu tentang bunyi apa saja yang bisa dilakuin. Karena kita tahu, di dalam ranah gamelan klasik, banyak bunyi yang lumayan fix. Kebetulan, bunyi-bunyi yang dimainkan GMO itu kan sintetik (eletronik dan menggunakan teknologi), jadi bisa diolah sefleksibel mungkin. Nah, di situlah aku dan Bli Sudirana mulai mengambil tuning system dari gamelan Yuganada yang dipakai di film Samsara. Jadi, kasarnya teknologi ini jadi “budak”-nya tradisi. Kami reverse nih engineering-nya. Soalnya, biasanya di ranah jazz kontemporer atau “world music” banyak kebutuhan musik tradisi yang harus mengikuti partitur musik kontemporer. Jadi, di sini teknologi digunakan untuk menambal dan meyintesis bunyi yang belum bisa diproduksi dengan alat musik tradisi (dengan segala hormat tentunya), seperti drone atau noise yang dibangun dari laras gamelan Yuganada. Jadi, kalau gamelan bermain lima nada, kami gunakan synthesizer untuk bermain lima nada juga. Kebetulan, teknologi sekarang sudah memungkinkan untuk melakukan hal itu.
Ican: Karena tradisi gamelan bersifat linear dengan agama dan kami juga tinggal di Bali, jadi ada workshop dulu tentang do’s and dont’s bersama ahli seperti dalang. Ada beberapa narasi yang berisi anak Bali pemain gamelan dan meminum arak. Ada hal-hal seperti itu yang jadi proses pengenalan terhadap sebuah bunyi.
Kasimyn: Kami juga ada diskusi tentang empat vokalis: untuk mewakili klasik/”tradisi” dan kontemporer. Jadi, di awal kami berdiskusi dengan Mas Garin Nugroho dan Bli Sudi membuka ruang untuk dua [vokalis] mewakili [musik] klasik/tradisi dan dua [vokalis] lagi untuk mewakili [musik] kontemporer. Jadi, ada empat fungsi vokalis di situ. Ada Ican dan Dinar Rizkianti yang mewakili kontemporer dan fiksi, ada Thaly Titi Kasih sebagai vokalis perempuan yang mewakili tradisi klasik Bali, dan Pak Gusti (I Gusti Putu Sudarta) sebagai dalang/vokalis pria yang bisa menjaga koridor klasiknya. Seperti di “film”, banyak titik yang menjadi kontemporer dan seketika balik menjadi tradisi. Banyak pengulangan-pengulangan yang menyenangkan menurut saya. Kadang-kadang, saya pribadi melihat musik kontemporer ada rute balik ke rumah dan berulang—dan itu menyenangkan.
Perkara dos and don’ts, jadi hambatan?
Ican: Pengenalan dos and don’ts itu kan lebih cenderung pada pengenalan rasa ketimbang ethic. Jadi, nggak ada hambatan sama sekali.
Kasimyn: Nggak ada yang saklek. Mas Garin juga sangat membebaskan kami. Waktu itu dont’s-nya justru terasa pada karakter Sinta yang seorang foreigner. Dan ketika kita mengolah bunyi yang sangat lokal, bunyi dialognya jadi agak kurang. Akhirnya, saya mencoba untuk menaruh bunyi piano di situ. Dan Mas Garin sempat ragu.Tapi, ketika pianonya di-tuning ke laras Bali, dan akhirnya justru ngasih value kalo ini bunyi yang asing, karena ini semestanya kan gamelan dan bunyi kontemporer yang berorientasi pada gamelan. Jadi, bukan dont’s secara harfiah sih, lebih ke dialog dan saling men-challenge untuk mengeksplorasi bunyi, misalnya pada piano tadi. Ternyata, lumayan masuk untuk ngasih liat titik asing di tempat yang asing pula (karakter Sinta yang asing di semestanya Samsara yang asing). Jadi, itu ngasih ruang lagi ke komposisinya Ali dan Dinar sebagai vokalis. Misalnya, ketika karakternya pecah, ada di titik ketika dia menjadi waras
Apa sih bedanya memproduksi musik untuk album atau show dan buat film, terutama yang punya tema spesifik? Gimana thought process-nya?
Ican: Ya mungkin ada kayak film kan ada pengenalan, ada kerjasama yang dilakukan dengan musisi lain juga. Dan Dan sifatnya juga ini kan cineconcert. Waktu pertama kali ini premier. Sebenarnya ada elemen yang sebenarnya itu GMO secara estetik. Tapi ada batasan pastinya. Mungkin bukan batasan, tapi lebih kayak adaptasi di film itu sendiri. Ada pengenalan karakternya, terus ada timingnya, terus ada di mana batasan kita duduk. Untuk GMO sendiri, itu penambahan estetika, yang ternyata belum pernah kita berada di sana dan jadi masukan.
Kasimyn: Ya, betul. Kita kasarnya submit ke dalam sebuah semesta yang namanya film, di sini, dibanding imajinasi kami berdua tentang musik harus kayak gimana. Kedua, jadi patokan baru sih untuk kami terutama di GMO sendiri—nggak pernah punya project kayak gini.
Ini kayak proyek baru yang butuh thought process baru tapi juga menyenangkan, karena sangat familiar, sangat dekat dengan sekitar kami, tapi juga dilemparnya jauh banget ke depan. Dan itu proses yang jujur aja awal-awal kita masih kayak enggak tahu mau ngapain. Dan pas ditanya ke Bli Sudirana, dia juga nggak tahu mau ngapain. Tapi mungkin karena memang kita sama-sama excited ngerjainnya, kita sudah tahu nih imajinasi, fantasi-fantasinya untuk menghidupkan Bali [pada] 1920 itu gimana tanpa intervensi, misalnya dari Western, dari arsip-arsip. Kita punya hak penuh untuk menghidupkan sebebas mungkin narasinya. Mau diputar, ditulis jadi sejarah, ditulis jadi klasik, ditulis itu science fiction itu terserah kami dan di situlah thought prosesnya berubah. Akhirnya, aku jadi agak dive in lagi.
Biasanya kami bekerja cuma berdua, tiba-tiba harus duduk bareng sama full gamelan ensemble. Sebagai grup besar itu pasti berbeda ya. Jadi mulai cek space juga untuk masing-masing bunyi yang keluar. Misalnya, kayak banyak lagu GMO itu kan udah ngecapture semua range frekuensi. Tapi di sini kita harus berbagi ruang sama gamelan ensemble yang sangat besar frekuensinya.
Dalam treatment produksi musik di film Samsara, apakah ada influence dari musisi/producer tertentu atau sepenuhnya do it your way?
Nggak ada, karena belum ada proyek kayak gini juga yang kami tahu. Jujur aja, kalau dibilang was-was, ya was-was. Mungkin sebelumnya Setan Jawa (2017)sudah melakukan itu dengan konsep yang berbeda. Parameter paling dekat paling Setan Jawa. Tapi, itu juga lumayan berbeda. Jadi, kalau misalnya dibilang ada acuannya, kayaknya nggak ada deh. Banyak improve banget yang terjadi di sini.
Berarti kayak GMO being GMO aja ya?
Ican: Itu juga nggak ada, karena GMO beradaptasi juga dengan Bli Sudirana. Memang semua prosesnya itu proses baru sih. Nggak ada kita dengan cara kita sendiri, karena kan kita juga under direction dari Mas Garin juga. Mungkin, caranya is a Samsara’s way.
Bagaimana pengalaman kalian mempertunjukkan ini pertama kalinya di cine-concert Samsara di Esplanade Concert Hall, Singapura?
Ican: Surprisingly, di Espalande itu rata rata orang productionnya juga orang-orang yang bisa bahasa Indonesia juga. Jadi lebih gampang. Dan sangat strict, misalnya pas latihan nggak boleh pakai sendal. Susah buat kita. Terus nggak boleh bawa minum ke panggung hal-hal kayak gitu sih.
Tapi kalau untuk showcasenya, ada beberapa pengalaman sebagai performer yang seperti menarik kembali para audiens itu pulang ke rumah di antah-berantah. Ada momen seperti itu: Mengundang para audiens memasuki dunia mistis yang dibangun oleh Samsara. Menurutku elemen yang sangat linear kan dari Southeast Asia. Momen ketika mengundang mereka merasakan dunia mistiknya Samsara itu jadi kayak… Oh, ternyata mereka yang strict tidak membolehkan pakai sandal ketika latihan tuh takjub juga dengan dunia mistik.
Kasimyn: Kalau boleh disimpulkan, sebenarnya kayak nonton wayang kulit dengan konteks kontemporer yang mungkin belum ada sih. Maksud saya, itu ada elektronik musik, panggung besar, konser hall dengan sound system salah satu terbaik di Asia, pemain-pemain gamelan salah satu terbaik di Asia, bahkan engineering di dalam konsep hall Esplanade juga terkenal terbaik. Dan untuk nonton wayang dan semesta fiksi/histori/klasik itu jadi menarik. Menaruh hal-hal yang kadang kadang kita, orang kota atau orang kontemporer, melihatnya ini [hiburan] dari kampung. Terasa banget kalau ini vibenya empowering desa dengan teknologi. Karena, kita ingat waktu itu sampai panik karena H-1 Mas Garin masih minta naikin volume. Misalnya, bunyi gong kalau diamplifikasi dengan benar, itu kursi itu sampai bergetar. Jadi, ada teror tersendiri, yang baru. Walaupun dari hal lampau, di-twist dengan teknologi baru, jadi teror yang baru kan.
Aku rasa yang menarik itu, bikin note baru ketika tradisi dan teknologi ketemu. Ini titik yang paling manis menurut saya.
Berarti selain menghadirkan ulang teror itu di zaman sekarang, kalian juga menghadirkan itu ke berbagai tempat, gitu ya?
Kasimyn:
ya lebih seru karena dihadirkannya bukan di rumah sendiri ya. Jadi mereka kaget, kita juga kaget, semuanya kaget sebenarnya. Sebenarnya jujur aja, aku pribadi sih nggak tahu kalau misalnya impactnya bakal segitu.
Kasimyn kan punya record label, terus memang aktif mengurasi talent-talent dan musisi-musisi lokal. Menurut kamu, siapa musisi atau produser musik Indonesia yang layak dipertimbangkan untuk bikin musik yang khusus untuk film atau jadi penata suaranya?
Kasimyn: Aku pribadi sih, Asep Nayak dari Wamena. Kenapa? Karena sangat segar. Kalau ada film dalam latar apapun tiba-tiba dikasih lagunya Asep mungkin punya kontras baru. Dan dia juga punya cara pandang sangat berbeda, sangat unik terhadap musik. Jadi, menurutku bisa jadi sangat segar.
Sama mungkin satu lagi, t o d sih band dari Makassar. Entah kenapa saya ngefans banget sama musik-musik mereka. Itu menarik banget kalau mereka bisa membuat soundtrack Indonesia. Sama mungkin, non-musisi ya, tapi mungkin Wok the Rock. Bukan karena teman, tapi memang dia punya taste yang oke dan aneh banget untuk itu.
Kalau kalian berkesempatan buat kayak ngerework sebuah musik dan scoring dalam film yang udah ada, kalian berharapnya film apa?
Ican: Evangelion.
Kasimyn: Harimau Tjampa dan Beranak dalam Kubur.