Funkot, Gabba, dan Musik Disko Lokal bersama Dea Barandana
Kami berbincang dengan Dea Barandana, seorang selektor dan produser musik, tentang perbedaan skena underground party di Jakarta dan Bali, tren musik yang tidak enak didengar hingga proyeknya untuk album baru White Shoes & The Couples Company.
Words by Ghina Sabrina
Ketika kita hadir dan menonton sebuah DJ set, selain untuk merasakan suasana party, kita juga memiliki ekspektasi tersendiri soal seleksi musik yang ditawarkan oleh mereka yang ada di belakang controller. Jika musik yang dimainkan berhasil mendukung atmosfer pada malam itu, setnya bisa dibilang sukses. Namun, kalau set yang dimainkan berhasil menggugah rasa ingin tahu penonton tentang seleksi musik yang diputar, itu lebih baik lagi.
Aradea Barandana (Dea) adalah seorang produser, selektor, dan sound engineer yang dikenal sebagai salah satu DJ terbaik di Indonesia berkat referensi dan seleksi musiknya yang unik dan luas. Selain telah memikat perhatian Robyn, Grace Jones hingga Gilles Peterson, ia juga merupakan sosok sentral di balik Studio Eksotika. Kami berbincang dengan Dea tentang skena underground party di Bali dan Jakarta, kultur disko lokal, hingga proyek-proyek menarik yang sedang ia kerjakan.
Dea sempat menghabiskan beberapa tahun hidup di Inggris. Melihat besarnya pengaruh musik di sana, dan skenanya yang luas, bagaimana hal ini memengaruhi taste dan wawasan Anda dalam musik?
Sebenarnya, kalau menurut saya sama saja di Jakarta, di Inggris, atau di manapun. Pasti ada komunitas atau ada perorangan yang punya selera musik sama dengan saya. Atau misalnya kota besar kayak London, Tokyo, Paris, jenisnya akan lebih beragam dibanding kota kecil kayak Stockholm atau Amsterdam. Soalnya kota kosmopolitan kan, ada orang dari Mesir, Turki, Thailand, sampai Afrika, jadi influence-nya makin banyak. Sementara kalau kita di Jakarta, mayoritas kita orang Jawa. Jadi otomatis di sana saya banyak belajar tentang Jamaican music karena komunitas Jamaika banyak dan saya kebetulan tinggal dekat tempat mereka. Jadi saya kenal dengan kultur itu. Di sana juga ada orang Caribbean, orang dari Ghana, orang dari Bangladesh, India, Pakistan. Jadi beragam dari jenis musik, makanan dan lain-lain, otomatis referensi makin banyak. Cuman masalah taste sebenernya belajar sendiri, cari sendiri.
Sewaktu di London, Anda menetap di daerah mana?
Ngalamin semua sih, awalnya di West. Wajar sih, saya belum pernah tinggal di sana terus baru pertama kali, otomatis saya nanya orang Indonesia pada tinggal di mana. Orang Indonesia rata-rata pada mau tinggal dekat komunitas Indonesia, Malaysia, atau Thailand. Banyak di West, cuman itu daerah mahal. Saya bayar apartemen harga segini kecil banget, sementara saya di East bisa dapat yang lebih gede. Cuman tempatnya agak rough. Cuman dari situ jadi tahu, “Oh ternyata di sini ada komunitas Jamaica”, terus deket rumah saya ada bar isinya orang berkulit hitam semua. Saya dan teman saya sempat masuk karena tertarik dengan musiknya, tapi pas masuk kami dilihatin orang-orang kayak “Ini orang dari mana?”. Cuman mereka welcoming. Saya di West tidak dapat yang seperti itu.
Anda juga sudah beberapa kali bermain di acara-acara luar, dari Eropa hingga Tokyo, bagaimana respon penonton di tempat-tempat tersebut? Apakah ada kesamaan dalam respon atau malah berbanding terbalik?
Setiap tempat responnya beda. Balik lagi seperti orang yang mempunyai persepsi yang berbeda. Kalo saya ke Europe, ke Scandinavia, of course orang di sana super civilised. Beda dengan saya ke Brazil, yang tidak ada “rem”-nya. Bisa tidak tahu malu. Ada juga orang yang ekspresif, seperti orang Jepang, orang Latin. Ketika dengar certain things, ekspresinya menjadi beda. Beda-beda sih menurut saya.
Dari pengalaman anda, yang paling seru main di mana?
Sebenernya, experience-nya beda-beda. Di Morocco, di Northern Africa, di Brazil, sama Finland, saya tidak bisa menyamakan. Favorit saya mungkin di Sweden. Saya bisa memilih kalau di Eropa, tapi saya tidak mau dibilang Europe-oriented juga ya. Kalau di Asia saya senang di Jepang, di Jepang pasti seru. Di Korea, Seoul, juga seru. Kalau di Asia dua itu. Kalo Pasifik, mungkin New Zealand. Kalo South America saya pilih Brazil.
Ketika di UK, apakah Anda sempat kerja di tempat yang berhubungan dengan karirnya sekarang?
Jadi saya dulu kerja jadi live sound engineer. Saya sempat menangani konser-konser standar band-band di sana seperti: T in the Park, Kylie Minogue, Coldplay, sampai Roger Waters, you name it. Saya jadi crew saja, cuman masang monitor. Itu awal karir saya di bidang musik. Terus saya sempat kerja jadi asisten di studio buat menangani beberapa album band misalnya Dirty Pretty Things dan beberapa band lain juga, pokoknya band-band indie mediocre.
Ketika akhirnya kembali ke Indonesia, Dea memilih untuk tinggal di Bali. Apa alasan di balik ini? Kemudian bagaimana Anda melihat skena musik di Indonesia ketika baru kembali?
Sebenarnya dari dulu saya tidak ada rencana untuk balik lagi ke sini. Cuman, work permit saya sudah habis, studi saya juga sudah habis, istilahnya kalau mau lanjut mesti involve lawyers, invest uang. Sebenarnya dua tahun lagi saya bisa dapat PR (Permanent Resident), tapi saya harus sekolah lagi. Akhirnya tidak ada pilihan, karena saya tidak ada uang juga, akhirnya pulang.
Ribet di administrasi ya?
Iya, sebenarnya alhamdulillah juga saya sudah balik ke sini. Coba misalnya saya kerja dan mendapatkan PR, dengan situasi Brexit gini pasti semakin ribet. Mending balik sekalian. Dulu sempat rencana mau mortgage rumah dan settle di sana. Kalau tidak, ada second opinion juga yaitu saya mau pindah ke Berlin atau Stockholm. Sempat saya jalankan, cuma sama seperti di UK, saya tidak diterima secara birokrasi sama negaranya.
Jadi pernah tinggal di Berlin dan Stockholm juga?
Di Berlin saya cuman sebentar, sekitar enam bulan. Stockholm juga, mungkin setahun. Saat itu saya sudah mulai on-off Bali-Stockholm.
Memang ada proyek yang dikerjakan atau memilih kota itu untuk kerja?
Saya milh kota itu. Memang waktu itu kebetulan ada kerjaan.
Anda akhirnya balik ke Indonesia dan menjadi lebih sering menetap di Bali. Kenapa anda memilih Bali?
Karena secara scenery, buat tempat tinggal jauh lebih tenang daripada Jakarta. Masih ada unsur pulau. Kantor saya di sana depan pantai. Kalau saya habis meeting, terus suntuk atau kesal, saya bisa bersantai di pasir, menurut saya suatu nilai plus. Dibanding di sini, kelar meeting kena macet.
Sebaliknya anda ke Indonesia, bagaimana anda melihat skena musik ketika balik?
Otak saya cuman cuan oriented, karena saya tahu kalau saya idealis pasti tidak diterima.
Pas saya dulu balik ke Indonesia di tahun 2010/2011, mungkin tidak seperti sekarang. Sekarang sudah ada banyak kolektif anak-anak muda dengan pengetahuan yang canggih gara-gara internet. Dulu waktu saya balik, di sini tidak ada apa-apa kecuali Rossi Musik sebelum jadi Mondo. Sisanya, jujur saya jarang main dan tidak kepikiran untuk membuat sesuatu. Otak saya cuman cuan oriented, karena saya tahu kalau saya idealis pasti tidak diterima. Jadi saya mengarah ke teater dan F&B. Karena jika saya cari kerja di Musica Studios atau Aquarius Musikindo pasti saya tidak cocok. Jadi saya tidak terlalu eksplor scene-nya juga.
View this post on Instagram
Anda merupakan sosok di balik Studio Eksotika yang dikenal dengan seleksi musik dan sound system-nya yang distinctive. Apa visi serta cerita dibalik proyek tersebut?
Sebenarnya itu dulu awalnya proyek saya dengan Potato Head. Studio Eksotika awalnya mau jadi recording studio. Jadi semacam tempat produksi musik yang luas, cuman kalau live room-nya tidak dipakai, kita bisa jadikan ruang multifunction yang bisa jadi tempat untuk listening. Di dalamnya itu ada sistem monitoring seperti di studio yang juga bisa jadi tempat untuk minum juga. Ide awalnya itu. Mereka sebenarnya punya modal untuk membiayainya, cuma saya tahan karena tidak mau dibebankan kalau misalnya tidak balik. Jadi kita mencoba untuk bikin pop-up dulu untuk melihat akan seperti apa. Ada tempat kosong di sana yang memang tidak sempurna untuk achieve apa yang saya mau, cuman kalau kita tidak start kita tidak akan tahu. Awalnya kita cuma mau pop-up dua minggu, akhirnya jadi dua tahun. Kita bikin semua dari bahan recycled, itu juga awalnya Potato Head menjadi sustainable. Kita jalanin dengan tempat yang modalnya kecil banget, jadinya gampang banget, cuman akhirnya berkembang. Terus akhirnya diambil balik brand-nya sama Potato Head.
Mungkin mereka melihat potensinya ya akhirnya?
Iya mereka lihat potensinya, dan sebenarnya Studio Eksotika tetap part of mereka cuman diambil sama mereka lagi, terus sekarang jadinya rest in peace.
Sekarang anda masih involved di Potato Head?
Saya lagi sabbatical. Makanya saya lagi di Jakarta, karena saya work from home cuman tidak ada job juga.
View this post on Instagram
Di Potato Head Anda juga bekerja sama dengan sosok-sosok seperti DJ Harvey dan Gilles Peterson untuk mengembangkan program-program mereka, bagaimana upaya kalian untuk mengembangkan ekosistem musik di sana?
Di Bali scene musiknya belum ada. Maksudnya kecil dan intim, karena orangnya dia-dia saja.
Saya tidak sempat mikir malah tentang ke situ. Menurut saya mereka cuman doing what they do anywhere in the world. Kurang tahu juga apa mereka mau bantu scene di Bali atau bagaimana. Sebenarnya menurut saya di Bali scene musiknya belum ada. Maksudnya kecil dan intim, karena orangnya dia-dia saja. Saya bisa bilang tidak ada karena venue saja tidak ada, paling setipe dengan La Brisa doang. Crowd-nya juga in and out karena mostly tourists. Jadi fanbase itu hampir tidak ada. Dance music scene-nya tidak ada, terus scene musik di Bali sebatas Balawan, terus sekarang ada Mas Indra Lesmana, that’s it. Tempat untuk orang rehearse gamelan dan mengekspresikan musik seperti di Barbican, London, itu hampir tidak ada. Tidak ada art center.
Sebenarnya itu salah satu alasan kenapa saya balik, karena saya cuman bisa musik doang sedangkan di Bali tidak ada industri musik. Otomatis tidak bisa cari income. Biasanya saya cari ke luar negeri, tetapi saat ini saya tidak bisa ke luar negeri. Makanya saya decide untuk balik ke Jakarta, di mana industri musiknya masih ada.
Telah lama menetap di Bali, bagaimana Anda melihat perbandingan skena musik underground di Bali dan Jakarta atau bahkan di kota lainnya?
Menurut saya sama saja sih. Masing-masing ada pemainnya dan ada consumer. Di Jakarta variety-nya lebih banyak karena Ibu Kota. Major label ada, independent label juga ada, banyak tempat-tempat kecil dan venue juga yang bahkan kita tidak tahu. Kalau di daerah, masing-masing punya pemainnya dan ada fanbase-nya. Dulu saya sempat bikin film dokumenter tentang Tarling di Indramayu. Mereka punya scene musik ini, tapi di kampung sebelah tidak tahu ini musik apa. Mereka live well banget, punya fanbase, tapi cuman terkenal di desa itu doang. Di kampung sebelah, Kuningan, tidak tahu mereka siapa. Apalagi kita.
Sama juga kayak di Bali, ada Superman is Dead, Balawan, Dewa Alit, mereka juga ada penonton sendiri. Kata saya sih lebih kecil saja, cuman kalau dibanding di Jakarta, pasti Jakarta lebih besar karena di sini industri. Di sini bisnis yang beneran bisa gila. Di sini masih bisa saya merilis piringan hitam, terus rebutan. Kalau di Bali saya tidak bisa soalnya siapa yang konsumsi itu? Di sini memang lebih besar, cuman lebih susah untuk reach market karena variety yang saking banyaknya.
Lalu, bagaimana Anda melihat fenomena DJ culture dan skena musik elektronik di Indonesia?
Menurut saya masih di-influence dari social media. Misalnya, di luar orang lagi mengambil estetika musik gabba dari tahun ‘90-an yang saya benci karena teror. Orang zaman sekarang karena social media dan internet bisa melihat estetika itu yang kemudian ditiru sama orang sini. Kalau di sana mereka melihat yang hardcore, di sini mereka mereka melihat yang lebih ke funkot misalnya Barakatak. Jadi orang mulai open minded, tapi referensinya masih sama.
Orang zaman sekarang karena social media dan internet bisa melihat estetika itu [gabba] yang kemudian ditiru sama orang sini.
Musik itu bisa menjadi kontinental juga. Dulu ada namanya “Awesome Tapes from Africa”, dia itu orang Amerika – seorang ahli etimologi yang ke Afrika dan koleksi musik Afrika. Lalu dia memperkenalkan musik Afrika ke dance music scene. Semenjak itu banyak sekarang. Di Indonesia jadi banyak kolektif yang seperti itu, terus di Singapura, Jepang, dan Thailand ada juga. Jadi sebenarnya masih melihat referensi yang ada dari media sosial.
Contoh lain misalnya yang sekarang lagi menjamur yaitu orang lagi ingin membuat listening bar kayak di Jepang. Banyak banget orang yang mencoba ngasih saya job untuk membuat listening bar. Sebenarnya waktu saya di Jepang saat umur 20 tahun saya sudah melihat itu, jadi kenapa semua orang baru adapting itu sekarang? Karena dulu tidak ada media sosial. Bagus kok berkembang, saya tidak bilang jelek juga.
Telah muncul akhir-akhir ini tren musik Indonesia yang kembali mengangkat sound lokal ke arus budaya pop. Menurut Anda, sejauh mana tren ini akan bertahan?
Menurut saya yang seperti ini bakal hilang-muncul-hilang. Misalnya orang sudah bosan – saya bukannya negatif tentang hal itu, soalnya menurut saya di kuping itu tidak enak didengarkan. Sesuatu yang kurang enak didengarkan atau annoying dan cuman dilihat dari estetika akan hilang lebih cepat dibanding sesuatu yang memang enak didengar. Kayak Iwan Fals dan Ahmad Dhani, mereka tidak mati kan sampai sekarang? Walaupun sudah masuk penjara dan image-nya berubah, fanbase-nya masih ada. Karena memang any time balik ke mereka, musik mereka masih bisa dinikmati. Nah kalau seperti ini, tidak semua orang bisa menikmati. Oleh karena itu, akan ada saatnya ini akan mati kayak EDM. Sekarang emang siapa yang dengerin musik kayak gitu? Cuma mungkin nanti dalam lima tahun atau sepuluh tahun akan balik lagi.
Kayak Skrillex sekarang yang sudah hilang.
Iya. Sekarang kan sudah sepi job yang kayak gituan. Sekarang jadinya mengarah ke house yang cheesy gitu.
Tapi menurut Anda model musik yang seperti itu bisa tidak jadi sebuah daya tarik musik Asia ke audiens luar?
Bisa banget, malah sudah jadi daya tarik cuman saya tidak dalamin aja. Ada teman saya kemarin orang Itali bertanya soal funkot, saya jawab kalau saya bukan ahlinya. Mungkin menurut mereka (orang luar), itu musik eksotis.
Mungkin contohnya seperti Gabber Modus Operandi yang sudah sering main di luar.
Iya, cuma untuk mereka saya tidak bisa bilang mereka itu funkot atau gabba ya, kalau menurut saya mereka itu industrial.
Selain itu, belakangan ini juga mulai banyak musisi lokal yang kembali menggunakan estetika musik disko, bagaimana Dea melihat sejarah musik disko dan kultur disko lokal?
Kultur disko lokal zaman dulu saya sendiri belum menemukan, saya cuman dengar-dengar ceritanya. Dulu kita sempat mau bikin yang gaya dancey atau New Wave pada zamannya Candra Darusman dan Fariz RM, yang bisa dipasang di klub. Cuman sayangnya dulu, kata tante saya, kalau dengar musik Indonesia di klub agak parno. Tante saya kan dulu DJ di Ebony, lalu dia cerita orang kalau mabuk dan dengar musik Indonesia pasti minta diganti. Jadi tidak accepted. Sempat pas saya DJ zaman dulu di tahun 2005, saya mau main di mana gitu dan ada tulisannya “dilarang pasang musik Indonesia”. Jadi seperti tidak diterima di klub. Bahkan dulu waktu pertama kali saya di Potato Head sempat pasang lagu Indonesia, dan manajernya mendatangi saya, suruh jangan pasang lagu Indonesia karena katanya ada DJ yang dipecat karena pasang lagu Hanson. Saya bilang, ini lagu Indonesia yang bagus dan bukan Hanson juga (tertawa).
Kalau zaman dulu, kalau saya mendengar plat Indonesia, jarang banget deh kalau bukan Otto Sidharta atau yang eksperimental seperti Harry Roesli, yang lain itu rata-rata pada following juga. Di luar misalnya lagi zaman Studio 54, atau yang a la disco Amerika seperti Bee Gees atau Saturday Night Live, otomatis di sini ada yang mau nge-groove seperti itu. Saya kan suka koleksi musik Indonesia, kalau mendengarkan satu album itu biasanya ada yang pop karena mau coba jualan, terus ada satu trek yang groovy. Jadi dalam satu album dapat semua, ada yang cengeng, ada yang catchy, ada yang groovy. Jarang banget saya menemukan yang eksperimental. Ada sih, tapi mungkin dapat dihitung pakai sepuluh jari. Jadi menurut saya scene disco zaman dulu mungkin tidak ada. Dulu orang yang disco kan mendengarkan Wham!, Bee Gees, Michael Jackson, Giorgio Moroder. Tidak mungkin mereka mendengarkan Chaseiro atau Chrisye. Itu baru sekarang kayaknya.
Sesuatu yang kurang enak didengarkan atau annoying dan cuman dilihat dari estetika akan hilang lebih cepat dibanding sesuatu yang memang enak didengar.
Apakah kita bisa mengeksplorasi musik disko dari roots budaya kita?
Bisa. Soalnya kalau kita lihat, sebenarnya musik disko kita itu pop dengan kick yang four-to-the-floor, sehingga jadi disko padahal gaya dan progresinya pop. Sebenarnya itu kayak city pop, cuman disco. Pop Indonesia itu ada ciri khas-nya, itu yang bisa membedakan sama yang lain.
Sebagai kolektor plat musik Indonesia, ada tidak plat-plat yang Anda tidak sangka itu buatan musisi lokal?
Banyak. Saya kan belajar musik seperti ini dari David Tarigan, terus saya lebih tahu lebih soal yang 70’s. Ketika masuk ke 80’s dan 90’s saya lumayan kaget kok bisa begini di Indonesia. Banyak yang oke ternyata.
Dea juga terlibat dalam proyek musik Zatua bersama Adra Karim, Rafi Muhammad dan Harsya Wahono. Boleh ceritakan tentang proyek ini dan sound apa yang ingin dieksplorasi lewat Zatua?
Sebenarnya kami tidak ada perencanaan atau apa. Itu proyek lumayan spontaneous. Jadi saya memang kerjaannya bikin sketsa, kadang jadi kadang tidak, namanya juga orang bikin lagu. Dan yang tidak selesai itu mungkin karena bosan, terus terpikir untuk ditambah unsur dari Adra soalnya dia komposer sekolah.
Awalnya Zatua rencananya di konser awal seperti superband, ada saya, Adra Karim, Widi Puradiredja, John Navid, dan Ricky Virgana. Akhirnya mereka bailout pas mau latihan karena sibuk dengan band masing-masing. Akhirnya Wahono datang. Dia awalnya mau bantuin saya mengurus sequencer tapi malah main bareng dan akhirnya dia jadi produser. Jadi yang awalnya cuman mau bikin satu plat, akhirnya banyak yang bertanya kapan bikin lagi. Mungkin awal tahun depan kami akan bikin album lagi.
Akibat pandemi, skena underground party terpaksa harus terhenti. Namun bagaimana Anda melihat skena tersebut, terlebih setelah kemunculan unit musik serta venue baru akhir-akhir ini?
Sebelumnya saya cuman ngikut-ngikut saja karena sibuk dengan kerjaan, jadi tidak banyak berpikir ke situ. Banyak yang saya tidak tahu malah. Pas pandemi saya jadi banyak bertukar pikiran dengan dokter dan researcher tentang apa yang akan terjadi. Saya sudah prepare the worst. Saya sudah delapan bulan tidak beli plat. Biasanya saya beli plat online, sekarang di Jakarta saya cuma sebatas mendatangi radio tutup. Jangankan ke skena, untuk latihan nge-DJ atau bikin mix saja sudah jarang banget. Jadi saya tidak melihat ke situ. Saya sekarang cuman bagaimana bisa survive tanpa saya harus perform atau melakukan rutinitas yang biasa. Jadi saya lagi vakum di situ sambil mengerjakan yang lain. Jadi mengenai ini, saya lebih buta lagi. Jadi pas sudah mulai pandemi, saya break dulu karena mungkin saya juga butuh biar refresh ke sesuatu yang lain.
View this post on Instagram
Memang sekarang ada proyek apa saja?
Sekarang lagi ada proyek dengan A Mountain of One dari Inggris. Itu proyeknya Mo Morris, yang dulu punya Vice Indonesia, saya cuma sebagai co-producer. Dia partner-an sama Zeben Jameson, pemain keyboard yang dulu main sama Oasis, The Pretenders, terus proyek ini juga involving The Woodentops, Dip in the Pool, pokoknya lumayan supergroup juga dari mancanegara. Selain itu saya juga lagi mengerjakan album baru White Shoes & The Couples Company yang sudah kelar malah. Single sudah datang, tinggal tunggu cover jadi, Senin ini bisa mulai jual.
Bagaimana Dea bisa involved dengan White Shoes?
Saya kenal Ricky dari zaman SMA. Saya memang dari album sebelumnya juga involved. Dulu saya co-producer mereka, cuman itu salah satu sisi saya yang tidak ketahuan karena saya memang kerja di belakang.
Akhirnya Dea involved dengan album yang baru juga?
Saya di sini full sebagai executive producer dan ada mixing beberapa lagu mereka. Dari segi musik, album itu lumayan jadi proyek tahun ini, dan A Mountain of One juga. Sisanya serabutan.
Kemudian, menurut Anda bagaimana para pelaku di skena musik underground ini tetap bisa berkembang dan berjejaring di masa pandemi?
Sebenarnya, kalau kata saya, daripada mereka menunggu hingga gig lagi yang kita tidak tahu sampai kapan, ini mungkin saatnya mereka berdiam di rumah, cari referensi dan latihan. Tapi serba salah juga karena tidak bisa gitu terus, orang perlu makan juga dan tidak tahu kondisinya akan seperti apa. Atau yang punya venue kayak Zodiac atau yang di Bandung, saya juga tidak tahu bagaimana sebenarnya financial support mereka. Mereka kan punya target. Cuman sekarang sudah banyak orang yang mulai buka ini-itu. Cuman tidak tahu bakal kayak gimana. Hope for the best saja.
Tapi menariknya akhir-akhir ini juga lagi banyak bermunculan tempat-tempat baru.
Jangankan sekarang. Sebenarnya DJ dan koleksi plat itu kan hobi, sebenarnya pekerjaan saya yang aslinya itu sound engineer dan produser musik. Sound engineer itu kan otomatis saya punya jasa instalasi atau konsultasi gitu kan, ini yang tadinya mati dari bulan Maret, bulan lalu itu sudah mulai ada request. Udah mulai ada klien lagi.
Mungkin karena akhir tahun juga, jadi banyak orang-orang yang buat event pre-recorded.
Itu juga saya kurang mengikuti. Saya sempat melakukannya sekali untuk acara Future Kulture dan menurut saya aneh. Saya mengerti kalau pertandingan bola yang tanpa penonton karena harus menyelesaikan turnamen, band juga tidak masalah kalau diliput, tapi sebagai DJ rasanya awkward main sendiri. Nontonnya di rumah.
Saya ada penampilan lagi sih di bulan Desember, di Goethe-Institut, itu proyek baru lagi bersama Young Amir yang sebenarnya Rafi Muhammad. Jadi semi Zatua, cuma saya bedakan saja namanya dan proyeknya. Kita main live, cuman live stream. Setidaknya dapat pengalaman sebelum pandemi kelar. Band sekali, DJ sekali.
Bagaimana dengan model-model virtual party atau yang pake VR, Anda sempat involved juga tidak?
Sempat. Malah band yang tadi saya sebut, A Mountain of One, saya sebagai pemain bass kan, dan mereka lagi membuat avatar dari Sony pakai VR. Saya bilang kalau begitu saya tidak perlu main kan? Dan memang tidak usah karena semuanya bakal jadi animasi.
Menurut Anda acara-acara seperti bisa sustain?
Kayaknya bisa ya, karena lumayan entertainment. Apalagi jika namanya sudah besar dan makin banyak impact-nya. Misalnya Kendrick Lamar atau musisi lain yang buat sampai mencapai a million dollars. Sebenarnya cuman ingin lihat saja ini orang ngapain, dan ini bisa diakses di internet dengan harga murah. Mereka juga produksinya murah. Sebenarnya bisa ini jadi alternatif, cuman tetap mesti bisa bikin konser fisik. Menurut saya bisa berkembang sih. Jika dunia sampai VR gitu, saya lumayan ngeri sih.
Tapi tidak semua orang bisa merasakan pengalaman yang ditawarkan oleh acara-acara virtual seperti ini karena mungkin juga belum terbiasa.
Itu satu kendala kan. Mereka sudah aim too high, “orang bisa experience ini” tapi ternyata pemirsanya gaptek. Saya juga termasuk yang gaptek.
Lalu, proyek apa yang sedang Anda kerjakan? Dan apakah ada yang akan dirilis dalam waktu dekat?
Saya sebagai session player saja, main bass, synthesizer atau mixing karena saya menyediakan jasa itu. Selain itu, seharusnya tahun ini saya ada satu single proyek solo saya dan dua mini album, cuman karena pandemi jadi postponed hingga belum tahun kapan. Karena kebanyakan buat dance music, jadi dari saya sendiri juga untuk apa kalau tidak ada event-nya terus kalau kita rilis? Itu kan rasanya awkward banget. Kalau White Shoes & The Couples Company kan tidak peduli mau ada pandemi atau tidak, akan saya putar terus platnya.