Berbincang dengan Afgan, Isyana Sarasvati, Rendy Pandugo, Dipha Barus dan A. Nayaka Tentang “Heaven”
Berbincang dengan Afgan, Isyana, Rendy, Dipha dan A. Nayaka tentang lirik dengan pesan dari isu-isu sosial hingga kolaborasi teranyar mereka.
Di kancah industri musik Indonesia, nama Afgan, Isyana Sarasvati dan Rendy Pandugo merupakan salah satu yang paling menonjol dari kebanyakan musisi pop lokal lainnya. Masing-masing musisi memiliki gaya bermusik berbeda, mulai dari Afgan yang dikenal dengan suara empuknya, Isyana yang classically-trained, hingga Rendy yang memulai karirnya lewat platform distribusi online. Meski demikian, mereka dapat menghasilkan sebuah kolaborasi yang ternyata memiliki identitas tersendiri dalam bentuk “AIR”. Single pertama “Heaven” pun berhasil melekat di telinga para penggemar mereka. Mereka turut memiliki ide untuk menyajikan trek “Heaven” dalam format berbeda, lalu tercetuslah inisiatif untuk menggaet Dipha Barus untuk membuat remix dari lagu tersebut. Secara spontan, Dipha mengajak rapper A. Nayaka untuk memperkaya trek remix dengan bait-bait rap khas miliknya. Lalu terlahir trek “Heaven” versi terbaru, yang melibatkan 5 musisi bertalenta dalam satu trek lintas genre. Oleh karena itu, kami berbincang dengan Afgan, Isyana, Rendy, Dipha dan A. Nayaka tentang proyek musik yang effortless, lirik dengan pesan dari isu-isu sosial, hingga kolaborasi teranyar mereka.
Walau kalian memiliki gaya bermusik yang berbeda, trek “Heaven” dapat menampilkan keunikan masing-masing musisi. Bagaimana Anda bisa mendapatkan balance tersebut dalam proses pembuatan lagu?
Isyana (I): Pada awalnya kami bisa bilang “Heaven” itu suatu kecelakaan karena memang seharusnya itu produksi mereka berdua namun karena satu dan lain hal akhirnya mereka memanggil saya untuk ice-breaking doang ya? Cuma buat mengobrol.
Afgan (A): Iya, saya sama Rendy itu orangnya sama-sama awkward gitu, jadi kalau baru kenal tidak bisa langsung.
I: Canggung ya? Masih awkward gitu.
A: Sebenarnya mentok sih kami berdua mau buat lagunya seperti bagaimana. Terus menelpon Isyana, “mampir dong ke studio” ya buat mencairkan suasana aja, eh ternyata pas dia datang, mengobrol malah jadi “Heaven”.
I: Pertama awalnya mengobrol, benar-benar seperti catching up aja, sudah lama tidak ketemu. Terus kita masuk studio, jamming, mereka juga belum buat apa-apa sama sekali, setelah jamming ternyata jadilah structure-nya “Heaven”. Dan di situ pun kami belum kepikiran untuk mengkomersilkan itu. Jadi ya sudah buat saja, iseng saja. Terus setelah dibawa ke label kami, akhirnya berpikir, “ini bertiga aja!” Benar juga. Terus akhirnya kami coba membuat liriknya, lalu project ini pun jadi.
A: Jadi walaupun beda-beda style-nya cuma pas disatukan dan dimasukan di studio, ketiganya menyambung saja.
I: Benar-benar tidak ada yang mendominasi satu sama lain.
A: Effortless and fun.
Tapi pada awalnya Rendy dan Afgan memang planning untuk menuliskan lagu bareng?
Rendy (R): Jadi saya memang diminta untuk membuat satu lagu untuk albumnya Afgan yang kemarin, “Dekade”. Ya itu tadi ceritanya, saya sedikit awkward karena belum pernah bertemu dan bekerja dengan Afgan dan tidak tahu mau berbicara apa.
A: Tapi ke-awkward-an itu membawa berkah ya?
R: Iya, membawa berkah.
Kedua trek kalian “Heaven” dan “Feel So Right” menggunakan Bahasa Inggris, apa alasan di balik penggunaannya dan apakah lagu-lagu AIR akan seterusnya menggunakan bahasa tersebut?
A: Tidak direncanakan sih.
I: Benar-benar naturally. Kami membuat lirik bahasa Inggris karena memang pada saat bikin demonya, pas humming lagunya juga keluarnya Inggris. Jadi tidak memaksakan juga, entah harus Inggris atau harus Indonesia. Sama sekali tidak. Kami let it flow aja. Kalau suatu saat kami bikin lagu memang keluarnya lebih enak bahasa Indonesia, kami tidak akan menutup kemungkinan juga.
Seperti apa proses kreatif penulisan lirik AIR? Apakah kalian lebih memilih isu-isu sosial atau pengalaman personal sebagai inspirasi di balik lirik AIR?
A: Sepertinya yang baru itu lumayan tentang isu sosial ya?
I: Iya, tapi lebih banyak dari pengalaman sendiri sih. Karena kalau saya lebih banyak bisa menulis lirik kalau mengalami juga. Dan di “Feels So Right” kami lebih mau encourage people, empower people who are dealing with insecurities, anxiety. Karena kami merasa millennials sekarang harus survive di dunia era digital yang begitu wild, yang jahat dan kadang-kadang orang tidak bisa kontrol untuk komen ke orang lain dan dia juga tidak kenal, tapi bisa menjatuhkan kepercayaan diri orang tersebut. Makanya di “Feels So Right”, kami inginnya selain liriknya juga ingin memotivasi atau empower tapi juga musiknya kami balut lebih danceable dan lebih energizing
A: Motivating lah.
I: Masih sederhana balutan aransemennya tapi pengen memberikan pesan yang lebih dari itu.
Jadi cerita-cerita ini apakah datang dari pengalaman sendiri yang lalu dikemas dalam bentuk lagu?
I: Pasti sih, kalau saya itu dari pengalaman sendiri juga. Apalagi kami bisa disebut so-called public figure yang disorot banyak publik dan melewati ups and downs di kehidupan ini. Kami juga tidak ingin millennials sekarang, walaupun mereka bukan public figure, tapi kena seperti gitu untuk tidak terpengaruh sama hal-hal negatif yang sebenarnya harusnya belum tentu separah itu.
A: Jangan sampai kalian men-judge diri kalian karena omongan orang lain yang belum tentu benar.
Pada satu interview, Afgan menyatakan bahwa “Heaven” bukanlah lagu komersil, apa yang membedakan proses pembuatan lagu komersil dan non-komersil? Dan apakah dengan proyek ini kalian ingin memasuki pasar musik yang berbeda?
I: Kalau saya sih sebenernya bukan memikirkan komersil atau tidak ya. Kami cuma tidak kepikiran buat dirilis secara komersil.
A: Kalau “Feels So Right” memang sudah direncanakan kalau kami mau bikin EP, kalau “Heaven” awalnya memang unplanned aja. Tapi tidak ada bedanya sih pas proses kreatifnya.
I: Tapi kami juga sebagai individu kalau berkarya bebas-bebas aja sih.
R: Tidak berpikir ke arah sana.
A: Pusing kalau mikirin ke situ.
R: Tidak akan ada habisnya sih kalau misalnya memang arahnya ke situ.
A: Saya paling insecure kalau masalah seperti ini. Sebenarnya itu jangan sampai menghalangi kreativitas kita.
R: Saya percaya kalau misalnya lagu ini memang bagus, ya sudah itu bakal bagus.
Apa reaksi Dipha saat pertama kali mendengar trek “Heaven”?
Dipha (D): Lagunya memang ada di playlist saya. Maksudnya, memang lagu yang saya suka. Jadi saat proses remix, saya sebenarnya sudah ada terbayang mau remix seperti apa, vibe-nya seperti bagaimana, lalu chord progression-nya seperti apa.
Pada trek remix “Heaven” yang akan rilis nanti, Anda ikut menggaet A. Nayaka sebagai featuring artist. Nuansa baru apa yang kalian ingin raih lewat remix ini?
D: Biar vibes-nya beda saja. Biar lebih body music and fresh.
Untuk trek remix ini, kira-kira terbayang untuk dimainkan di venue seperti apa?
D: Di festival musik, di klub kecil dan besar, dan di pantai. Bisa dimainkan di semua suasana.
Waktu menggaet A. Nayaka, apakah Anda memberikan direction tertentu untuk perihal lirik?
D: Tidak sih.
Nayaka (AN): It flowed naturally. Saya bikin draft kira-kira sejam, tidak lama setelah itu kita langsung rekam di studio.
D: Serunya buat musik itu kita menawarkan kesempatan orang untuk memberi surprise.
AN: Menurut saya, one of the beauty in music adalah how it flows organically. Dan menurut saya, this project really flows organically. Terdengar juga dari hasilnya.
Inspirasi liriknya dari mana?
AN: Dari perempuan. I mean, paling enak itu menulis something that is based on how you feel. Based on the experiences that you go through. And everybody can relate to love, love songs and love lyrics.
Untuk AIR sendiri, apa reaksi Anda waktu mendengarkan trek remix dari Dipha Barus?
AN: Saya blown away sih. They brought this song into a whole new level. Jadi sesuatu yang baru banget.
R: Fresh.
I: Fresh dan punya karakter sendiri.
A: Lumayan stuck sih.
D: Thanks guys!
Saat mengeluarkan lagu “Heaven”, apakah kalian pernah berpikir untuk trek tersebut di remix oleh seorang DJ seperti Dipha?
R: Satu nama yang popped-up di kita itu Dipha.
A: Kalau “Heaven” mau di-remix ya sama Dipha.
I: Terus yang menjadi PR (Public Relations) itu Afgan.
A: Saya itu yang menjadi PR grup ini, yang menelpon orang. Waktu menelpon Dipha, dia itu sedang berada di Bali, “Diph, mau gak kerjain remix-nya “Heaven?” Jadi, job saya berhasil.
Apakah kalian memiliki arahan tertentu untuk Dipha sewaktu me-remix trek “Heaven”?
A: Terserah sih. Waktu Dipha memiliki ide untuk menambahkan Nayaka, saya langsung – “ini keren banget”, padahal saya sendiri belum mendengar lagunya. Tidak salah sih.
Selain trek “Heaven”, apa kalian memiliki proyek remix lainnya?
I: Bisa saja, tidak menutup kemungkinan. Cuma untuk EP ini, trek remix cuma “Heaven”, sisanya our original songs dan ada satu cover.
Apa rencana selanjutnya untuk AIR, Dipha dan A. Nayaka?
AIR: Kita bertiga itu ingin climax-nya keluar EP, terus setelah itu kita akan kembali ke habitat masing-masing. Mungkin kita pertengahan tahun ini akan mengeluarkan small project.
A: Saya mau membuat konser.
I: Saya mau mulai menjalankan album ketiga.
R: Keluarkan musik.
D: Merilis single.
AN: Berencana untuk ada album sama band saya, Blue Room Boys.
D: Next single-nya Nayaka saya yang produce juga.
A: Kapan keluarnya?
D: Next month.
A: Nanti ajak AIR lah buat remix version-nya!