Bagaimana Suara-Suara Itu Sangat Dekat dengan Kita bersama Rani Jambak
Kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Rani Jambak mengenai ekologi, identitas lokal, hingga mengolah soundscape menjadi karya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Yusril Mukav
Foto: Evi Ovtiana
Beberapa waktu lalu, kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang bersama Rani Jambak, seorang komposer dan vokalis yang muncul dari skena kota Medan. Perjalanannya sebagai seorang komposer diawali dengan ketertarikannya pada musik sedari kecil hingga akhirnya memutuskan menjadi komposer dan memproduksi musik.
Sejak tahun 2018, ia memulai kampanye soal ekologi. Dengan tagar #FORMYNATURE, Rani memulai perjalanannya mengungkap suara-suara lokal yang ia dapat dari sekitar lingkungan ia sendiri. Menurut Rani, karya-karya yang ia produksi dari teknik soundscaping telah menangkap banyak fenomena serta cerita yang tersirat di dalamnya ketika suara itu diambil. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut soal kiprahnya di kesenian musik, kami banyak membahas seputar karirnya sebagai musisi, pendapatnya mengenai pentingnya menjaga ekosistem, dan proyek barunya kedepan.
Apa yang menuntun Rani Jambak untuk menjadi komposer atau vokalis?
Menurut saya, ini adalah long life journey. Sebenarnya, saya dari kecil memang suka menyanyi, terus sempat masuk band dan jadi vokalis. Lalu, ketika masuk kuliah S1 di Medan, saya tetap jadi vokalis buat grup sama kawan-kawan. Kemudian, saya meneruskan pendidikan di Australia untuk mengambil jurusan Creative Industries namun lebih tertarik untuk mempelajari produksi musik. Setelah saya balik, baru saya memilih untuk fokus ke ranah composing dan music production.
Saat kuliah, saya jadi menemukan challenge baru, yaitu bagaimana menantang dan membranding diri dalam bermusik. Di sana, saya itu mempelajari produksi musik sehingga secara langsung menantang diri untuk produksi sendiri sampai cara membuat musik dengan software dan lain sebagainya.
Saya mulai membuat kompisisi sendiri itu setelah balik dari Australia. Dari sana, saya menjadi lebih memberanikan diri untuk fokus di ranah ini. Awalnya, memang saya mencoba mulai dari aplikasi atau dari alat push button atau Launchpad, namun kemudian pada waktu tahun 2018 akhir ada ajakan untuk saya ikut festival di Medan bersama kawan-kawan yaitu Medan Soundspective. Dari sana lah saya mengenal ranah soundscape, dan mulai mix lagu baru. Dari awal ketertarikan itu kemudian membuat saya lebih ingin menciptakan karya di ranah soundscape hingga sekarang.
Konsep soundscape itu mengambil suara atau gimana ya secara teknis?
Yang saya pahami dari awal itu soundscape adalah cara untuk menangkap suara alam, atau landscape suara yang ada. Kembali lagi ke acara Medan Soundspective, pada saat itu mereka membuat event yang mereka suara apa saja di Medan. Setelah itu, saya bekerja sama dengan Goethe Institute Singapore untuk mengerjakan proyek Sound of the City. Dari sana, hasil composing saya di Medan Soundspective saya ubah dengan Sound of Medan.
Sejak itu, saya mulai kemudian memahami bahwa soundscape itu bukan perkara suara apa saja yang kita dengar, tetapi cerita di balik suara itu dan fenomena yang terjadi. Karena dengan Sound of Medan, saya mulai memahami suara-suara yang aku tangkap itu sebenarnya sudah ada sejak saya kecil karena saya lahir dan tinggal di Medan. Jika kita dengar secara seksama mengapa suara itu bisa terjadi, maka saya pun akan lebih memahami fenomena apa yang terjadi di balik suara itu.
Salah satu contohnya adalah ketika saya merekam suara anak-anak yang mandi di Sungai Deli, tepatnya di daerah Seimati. Kita sama-sama tahu kalau Sungai Deli ini sempat menjadi pusat perekonomian di kota Medan. Namun jika kita lihat dari perspektif sekarang, banyak daerah di pinggiran sungai tersebut dihuni oleh keluarga yang rumahnya tidak mempunyai sanitasi atau kamar mandi. Di daerah tersebut juga sebenarnya adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) atau daerah yang tidak boleh dihuni, namun karena himpitan ekonomi maka banyak sekali keluarga yang tinggal di sekitar sungai itu sehingga menjadi daerah yang sangat kumuh, terdapat kriminal di mana-mana, edukasi juga kurang, satu KK (Kartu Keluarga) bisa berisi sepuluh anak, dan sampah menumpuk sangat banyak. Ketika saya mengambil sample suara di sana, saya terkena cipratan dari anak-anak yang mandi di sungai tersebut, dan saya langsung gatal-gatal karena banyak sekali limbah domestik di sana. Jadi bayangkan saja dengan limbah segitu banyak dan anak-anak sana setiap sore mandi di situ. Akhirnya dengan begitu, saya tidak hanya merekam suara tapi memahami apa yang sedang terjadi. Dan ini adalah salah satu dari sekian banyak suara yang saya rekam di Sound of Medan yang akhirnya mempunyai cerita-cerita tertentu.
Jika kita dengar secara seksama mengapa suara itu bisa terjadi, maka saya pun akan lebih memahami fenomena apa yang terjadi di balik suara itu.
Lalu, bagaimana Rani menggabungkan suara itu sebagai sebuah karya?
Setelah saya merekam suara dan saya produksi di studio, itu menurut saya sudah di ranah ekspresi. Dengan bagaimana saya merekam dan memproduksi itu semua jadi satu, menurut saya tidak ada pakem-pakem yang saklek. Pada akhirnya, komposisi itu sangat personal, dan ekspresi itu sangat personal.
Memang mungkin ada beberapa suara yang tidak pernah saya temukan pada sumber sumber yang saya baca, dan akhirnya saya temukan di ruang-ruang itu. Salah satu contohnya adalah aktivitas berburu babi di Sumatra Barat. Awalnya saya bingung karena yang saya tahu awalnya adalah masyarakat muslim itu jauh banget sama anjing, dan saya juga melihat masyarakat muslim yang ada di Medan juga sangat jauh dengan anjing. Namun di sisi lain, Minangkabau itu dikenal dengan identitas Islamnya yang sangat kuat, bahkan mereka juga mempunyai “Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah”, tapi ternyata mereka mempunyai anjing, dan anjing-anjing itu diajak untuk berburu babi. Pada saat saya merekam di hutan, saya mengira akan mendengarkan suara jangkrik, tapi saya malah mendengarkan suara anjing di mana-mana. Jadi landscape suara yang saya dengarkan adalah suara anjing, itu saya pikir fenomena bunyi yang sangat-sangat menarik, dan secara personal menurut saya ini adalah hal yang unik.
Saya ingin menyampaikan itu dengan karya saya. Ada pemilihan yang menurut saya sangat personal saat masuk ke dalam proses produksi, tidak hanya suara atau fenomena-fenomena yang unik, namun tentang identitas kebudayaan yang juga masuk ke ranah instrumen tradisinya. Jadi bagaimana instrumen-instrumen tradisi itu dapat diproduksi ke dalam ranah elektronik, contohnya seperti suara pupuik kabau yang corak instrumennya ternyata unik ketika dimasukkan ke dalam ranah elektronik.
Apa yang mendasari nama Jambak menjadi nama panggung?
Jambak itu nama suku saya, jadi kalau saya pergi ke beberapa tempat selalu ditanyakan, “Mbak, Jambak kan artinya ditarik rambutnya?” ya saya ketawa saja. Memilih Jambak sebagai nama panggung menjadi sangat politis juga karena awalnya itu dari semangat mencari identitas diri dari Minangkabau.
Minangkabau itu masih menganut garis keturunan ibu, jadi marga saya menurun dari ibu dan nenek saya, yang sama-sama memakai marga Jambak. Nenek saya itu tidak pakai ‘Jambak’ dalam KTP-nya, saya juga tidak tahu kenapa. Kalau orang Batak atau orang Karo itu mayoritas marganya selalu dipakai. Namun saya juga tidak tahu kenapa orang Minang yang bermarga Jambak jarang memakai nama marganya. Ayah saya bermarga Chaniago, namun hanya menyingkat di akhir namanya dengan ‘Chan’, pun saudara-saudaranya juga begitu. Bagi orang yang tidak tahu, mereka sering bertanya kepada saya, kalau apakah bapak saya keturunan Tionghoa? Padahal ‘Chan’ dalam akhir namanya itu singkatan dari Chaniago (tertawa). Maka dari itu, saya mempunyai semangat untuk memperkenalkan marga saya, identitas saya, bahwa saya adalah orang Minangkabau dan saya dari suku Jambak, karena cultural identity sangat penting menurut saya.
Berangkat lewat keingintahuan tentang identitas, pada akhirnya saya melihat bahwa cultural identity sangat penting khususnya karena Indonesia memiliki suku yang sangat beragam. Jadi, sebab awal nama ‘Jambak’ adalah karena saya melihat pentingnya cultural identity itu sendiri, dan pada akhirnya saya nyaman dengan hal tersebut. Walaupun banyak mungkin yang bilang jika nama suku ini lucu, namun sekali lagi nama ini sudah ada dari awal dan saya sangat menghormati leluhur yang memberikan nama itu ke saya. Dan akhir-akhir ini saya baru tahu kalau nama Jambak itu berarti jambu.
Rani juga menjalankan proyek #FORMYNATURE. Bisa ceritakan bagaimana musik dapat berhubungan dengan ekologi?
Proyek itu saya keluarkan pertama kali pada tahun 2018 begitu saya balik dari Australia. Jika dulu itu saya bermain band dengan kawan-kawan, pas saya balik dari Australia saya putuskan untuk solo karir. Di awal karir, saya menutuskan untuk memproduksi karya yang bertemakan kampanye lingkungan #FORMYNATURE. Saya pikir merawat lingkungan itu tidak bisa hanya satu kali perayaan namun hal itu adalah sebuah kebiasaan, jadi akhirnya saya putuskan untuk setidaknya mengeluarkan satu karya atau satu lagu dalam satu tahun.
Setiap tahunnya, saya mengeluarkan lagu yang bertema alam dengan fokus cerita yang berbeda, 2018 tentang sampah plastik, 2019 tentang kebakaran hutan, 2020 saya kemas dengan berkolaborasi bersama seniman-seniman lain dan NGO. Pada tahun itu saya berkolaborasi dengan Orangutan Haven, Evi Ovtiana (videografer) dan Ricky Damanik (desainer) untuk membuat proyek yang mengangkat isu hewan liar, spesifiknya tentang orangutan.
Di tahun 2021, saya mendapatkan funding untuk virtual residency dari Goethe Institute Jerman sehingga saya mendapatkan kesempatan untuk berkolaborasi dengan seniman asli Jerman, atau yang berdomisili di Jerman. Saat itu saya berkolaborasi dengan vokalis berbasis di Berlin Lyra Pramuk untuk membuat lagu berjudul “Restore” yang bertepatan dengan Hari Bumi dengan tema “Restore Our Earth”.
View this post on Instagram
Kemudian di tahun ini sebenarnya ada lebih banyak karya daripada sebelumnya, karena awal tahun kemarin saya ada residensi di Festival Semah Bumi, sebuah residensi hasil kerja sama antara documenta fifteen dan Rumah Budaya Sikukeluang di Pematang Kabau, Jambi, yang akhirnya saya bikin pertunjukan dengan judul “Eagle Reflection”. Pertunjukan itu berbicara tentang situasi hutan di Bukit Duabelas dan Suku Anak Dalam. Jadi mereka ini hidupnya nomaden, berpindah-pindah di sekitar Bukit Duabelas itu, namun dengan keadaan hutan yang semakin menciut karena sawit, akhirnya keadaan dari masyarakat adat tersebut untuk mencari makanan semakin sempit juga. Saya akhirnya mewakilkan perasaan atau keadaan dari Suku Anak Dalam itu menjadi refleksi dari hewan-hewan juga, khususnya burung elang, karena pada saat residensi di sana saya juga bekerja sama dengan Collaborative Research Center (CRC) 990. CRC 900 adalah pusat penelitian di sana yang mepelajari tentang Bukit Duabelas, terutama tentang ruang hijau di sana yang tumbuh tanaman satu jenis, terutama sawit. Kita bisa bayangkan burung elang itu bertengger di dahan-dahan pohon yang sangat tinggi, sedangkan pohon sawit itu tidak, sehingga kalau semuanya menjadi sawit maka di mana burung elang akan tinggal? Dan kalau semuanya sawit, bagaimana juga dengan macam-macam hewan di sana? Apakah ada kemungkinan untuk melestarikan bioversity karena sumber makanannya juga tidak ada? Apa yang saya sampaikan di karya saya adalah sebuah refleksi keadaan Suku Anak Dalam yang juga dirasakan oleh hewan-hewan di sekitar Bukit Duabelas.
Dalam tahun ini juga, saya akan berpartisipasi sebagai Musicians in Residence bersama Huddersfield Contemporary Music Festival dan British Council dan membuat kincir air untuk berbicara tentang air. Tentang bagaimana jika kincir air itu dialiri oleh air sungai yang segar adalah pertanda bahwa lingkungan di sekitar air itu masih baik. Untuk ini, kincir air itu merupakan medium penyampai pesan untuk bagaimana menjaga air dan lingkungan. Jadi proyek tentang #FORMYNATURE akan selalu berkembang setiap tahunnya dan mempunyai topik yang berbeda-beda. Dalam proyek ini saya juga selalu berkembang dalam memahami konsep secara teknis produksi karya dan juga konsep dalam menjaga lingkungan.
View this post on Instagram
Lalu bagaimana cara Rani menggabungkan musik dan ekologi itu?
Awal mula kampanye #FORMYNATURE itu dimulai ketika saya masih di Australia. Pada saat itu saya menjungi Museum of Melbourne dimana salah satu pamerannya bercerita tentang clan suku Aborigin bernama Gunditjmara yang mempraktekkan hidup sustainable. Di sana, tertulis teks yang sangat menyentak saya, “You should never take more than you need”. Ini membuat saya berpikir, ternyata manusia sekarang itu semakin banyak uang akan semakin banyak yang dibeli. Pada akhirnya saya mempunyai pikiran seperti ini, bagaimana ya orang-orang dari masa lalu yang tidak punya teknologi seperti sekarang dapat membayangkan apa yang bisa terjadi sekarang yang mengancam hutan dan kehidupan mereka? Dibandingkan dengan kita sekarang yang mempunyai segala macam teknologi, namun tidak kunjung sadar, tahu saja tidak.
Jadi, sebenarnya kampanye #FORMYNATURE adalah sindiran untuk diri saya sendiri. Pada saat itu, sedang heboh-hebohnya ada ikan paus mati yang di dalam perutnya ada enam kilo plastik, makanya di awal kampanye ini saya bercerita tentang sampah plastik. Saya akhirnya sangat miris dengan apa yang saya pahami, karena saya tidak pernah berpikir tentang akhir perjalanan plastik belanja itu bisa sampai mana. Karma itu sebenarnya terjadi, tentang bagaimana kita berperilaku pada alam, maka alam akan mengembalikan ke kita. Contohnya juga tentang mikroplastik yang kita makan akan menjadi sarang penyakit di dalam tubuh kita. Pada akhirnya saya punya urgensi untuk menyampaikan pesan ini, jadi perlu digaris bawahi bahwa kampanye ini bukan untuk menggurui, karena pada dasarnya itu juga sebagai tamparan untuk diri saya sendiri. Akhirnya saya menyadari bahwa ada hal salah yang saya lakukan, maka saya ingin memberikan informasi. Jadi kampanye ini adalah sebuah informasi tentang apa yang terjadi tentang alam dan diri kita, bagi manusia.
Bagaimana saya menyampaikannya? Yang bisa saya lakukan adalah bermain musik, maka medium yang paling dekat dengan saya adalah dengan musik. Jadi, tentunya saya sampaikan informasi tersebut lewat karya-karya musik.
Selama ini perspektif bahwa distribusi musik populer selalu berakar dari Jakarta, atau Jawa-sentris. Bagaimana pendapat Rani mengenai hal ini?
Memang kita tidak bisa memungkiri jika pusat dari industri musik adalah di ibu kota. Kita lihat seperti ada bakat-bakat dari daerah yang berangkat ke ibu kota menjadi kebanggaan dari daerah tersebut, karena akan lebih dikenal dan lain-lain. Namun, menurut saya dengan sekarang adanya perkembangan teknologi di musik, dan begitu banyak platform untuk kita dapat mendistribusikan karya agar menemukan audience kita sendiri, pada akhirnya semangat lokalitas itu jadi lebih hidup. Kita tak perlu ke mana-mana untuk menjadi seniman dan sekarang sudah bisa berkembang di tempat kita sendiri. Pandemi juga memberikan dampak secara signifikan untuk perkembangan musik-musik di daerah, karena semuanya menjadi serba virtual pada akhirnya membuat pemusik-pemusik di daerah mempunyai recognition.
Kita tak perlu ke mana-mana untuk menjadi seniman dan sekarang sudah bisa berkembang di tempat kita sendiri.
Apa yang saya alami di Joyland Festival lalu membuat saya merasakan kalau, “oh begini yang namanya Indonesia”. Semangat berkarya dari seluruh pelosok dari Indonesia itu menyatu, saling berbagi dan memberikan semangat, jadi distribusi itu sekarang diatur oleh senimannya itu sendiri. Saya rasa sekarang jadi ada lebih banyak cara kita berkembang untuk menjadi seniman profesional. Jika dulu dalam konteks musik kita harus cari label dulu di Jakarta atau harus mati-matian dulu cari kesempatan di Jakarta, sekarang adalah kesempatan baru untuk membuat seniman itu menjadi multitalenta. Bagaimana bisa memproduksi sendiri, menjadi public relations, manger, hingga bagaimana mengemas distribusi dan segala macam. Tapi menurut saya, saat ini saya senang karena akhrinya saya bisa belajar banyak hal sekaligus memberikan semangat untuk kawan-kawan lain bahwa kita bisa menemukan audience kita tanpa harus berpindah-pindah.
Dari musik rani percaya bahwa ia dapat menggambarkan posisi ekologi dan satwa yang terancam akibat lahan sawit “Rani and Mina” (Foto: Evi Ovtiana Archive)
Semakin hari, musik yang mengangkat esensi suara ‘lokal’ semakin banyak hadir di panggung-panggung mainstream. Bagaimana Rani melihat hal ini?
Untuk mengangkat kelokalan kita juga harus melihat materi dari musik itu sendiri, karena tidak bisa dipungkiri dari kelokalan yang kita miliki, banyak konten yang bisa kita kerjakan untuk mengangkat kelokalan itu sendiri.
Beberapa tahun lalu saya juga melihat sebenarnya ada dua pihak yang harus belajar mengapresiasi, yang pertama adalah seniman juga harus mengapresiasi karyanya sendiri. Soal bagaimana cara mengemas dan memberikan akses untuk para pendengarnya, karena percuma juga jika karyanya bagus tapi tidak tahu bagaimana cara mendistribusikannya, yang pada akhirnya kita tidak mengapresiasi karya kita sendiri. Akhirnya kita juga harus belajar bagaimana cara kita memasukkan itu ke platform digital, bagaimana mencetak secara fisik, atau juga mengontak teman-teman untuk mendesain albumnya, jadi menurut saya penting bagi seniman untuk mengapresiasi karyanya sendiri.
Pihak yang kedua adalah bagaimana masyarakat itu dapat mengapresiasi sebuah karya. Bagaimana kita bisa membawa semangat kelokalan kalau masyarakat lokal tidak bisa mendukung semangat seniman lokalnya? Menurut saya, harus ada sinergi dari para pendengar atau masyarakat lokal, karena saya mengalami sendiri di Medan. Mungkin juga karena ruang-ruang eksploratif musikal itu belum terlalu banyak, jadi pada akhirnya bukannya masyarakat itu menolak, namun masyarakat itu tidak tahu seperti apa musiknya, dan bagaimana menerima suatu hal yang baru tergantung dari bagaiman bentuk masyarakatnya sendiri-sendiri.
Kalau di Medan, mereka itu tidak menolak tapi kadang-kadang judgmental begitu (tertawa). Dari judgement itu akhrinya membuat bibit-bibit yang ingin explore menjadi redup, namun keadaan itu juga dipengaruhi oleh tren yang lagi-lagi ada di Jawa. Jadi menurut saya, di Medan hari ini, ruang-ruang kolaborasi sudah mulai tumbuh, karena dulunya saling sikut, bahkan bukan di bidang yang sama saja saling sikut. Padahal untuk kita dapat membuat suatu ekosistem yang baik antara seniman dengan pendengar, kita harus bersinergi bersama-sama. Jadi akhirnya kembali ke bagaimana kita dapat membawa semangat kelokalan itu sendiri, dan akhirnya itu bukan hanya tugas dari seniman, tapi juga tugas dari masyarakat. Karena menurut saya masyarakat harus bisa mengapresiasi karya dari seniman itu, mau tidak mau seniman-seniman yang muncul dari daerah juga merupakan identitas dari daerah tersebut.
Baru-baru ini Rani tampil sebagai salah satu musisi di Ravepasar. Bagaimana pendapat Rani tentang keberadaan Ravepasar sebagai wadah untuk musisi atau seniman alternatif?
Menurut saya, Ravepasar itu menjadi semangat baru bagi musisi yang masih berkembang. Tidak hanya untuk musisi yang mengembangkan karirnya namun untuk musisi yang ingin mengembangkan musikalitasnya untuk melahirkan karya-karya musik baru. Masyarakat kita cenderung tidak terlalu terbuka dan belum bisa menerima hal-hal yang baru, jadi yang mana yang terkenal, maka itu yang mereka nikmati. Padahal, untuk musisi yang membawa corak baru dalam segi musiknya dapat mengembangkan bidang musik itu sendiri, karena tidak mungkin jika dalam suatu peradaban musiknya itu-itu saja.
Padahal, musim tradisional juga berkembang. Kalau dalam sejarahnya, awal mula manusia mengenal musik itu dari bagian tubuhnya. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan adanya pisau, kapak, dan banyak hal lain yang mereka temukan, akhirnya mereka menggunakan alat-alat itu sebagai sumber bermusik. Maka yang bisa kita sadari adalah musik itu berkembang sejalan dengan peradaban itu sendiri. Karena jika manusia berubah, kebudayaan pun berubah. Maka seni pun akan berkembang juga.
Kehadiran Ravepasar harusnya menjadi ruang utama karena laboratorium atau ide dalam negara yang maju menjadi hal yang sangat utama saat ini, entah dalam laboratorium sains ataupun seni untuk menciptakan suatu hal yang baru.
Masyarakat harus bisa mengapresiasi karya dari seniman itu, mau tidak mau seniman-seniman yang muncul dari daerah juga merupakan identitas dari daerah tersebut.
Adakah proyek lain ke depannya, selain dari residensi-residensi yang akan dilakukan?
Mungkin pekerjaan rumah saya yang paling penting adalah album saya yang belum kelar-kelar (tertawa). Maunya saya rilis pada tahun lalu, namun karena berbagai macam hal jadinya diundur. Sebenarnya juga, saya itu banyak melakukan residensi-residensi yang nanti pada akhirnya semoga hasil dari residensi itu dapat terakumulasi menjadi sebuah karya yang ada di album saya. Semoga album saya bisa selesai akhir tahun ini, dan tahun depan bisa membuat karya baru yang lebih kompleks lagi.