Bagaimana Bepergian Membuka Jalan Bagi Penemuan “Suara Baru” BLOODMOON
Kami menemui Dougy Mandagi di sela-sela kesibukannya dengan proyek musik elektronik terbarunya, BLOODMOON. Ketertarikannya untuk beralih pada musik elektronik tentu tidak sekonyong-konyong muncul seperti wahyu. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami berbincang banyak soal perjalanan dan bagaimana keragaman budaya dari tempat-tempat ia singgah mempengaruhi karir bermusiknya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Setto Lintang
Foto: James Adams
Persinggahan kerap menjadi tempat mendapatkan ilham. Oleh karenanya, banyak “nama-nama besar” melakukan perjalanan dan karyanya kerap dikaitkan dengan tempat ia singgah. Meninggalkan tanah air untuk melanjutkan pendidikan di usia remaja, Dougy Mandagi menemukan rekan bermusiknya–yang kini dikenal sebagai The Temper Trap–di Melbourne, Australia.
Bersama dengan band indie rock-nya tersebut, ia melangkahkan lagi kakinya ke Inggris sebagai bentuk keseriusan berkarir dan memperluas khazanah di industri musik. Negara pencetak musisi legendaris tersebut bukanlah akhir dari persinggahan Dougy. Ia sempat menghabiskan beberapa saat untuk menggarap demo untuk proyek solonya di Afrika Selatan dan melangkahkan kaki lagi ke Berlin, tempat “ajaib” di mana ia memutuskan untuk membuat BLOODMOON.
Kami menemui Dougy Mandagi di waktu senggangnya seusai menggarap music video untuk promo single terbarunya, ‘Deeper‘. Sebelumnya, ia sudah merilis dua single electronic pop-nya yang berjudul ‘Disarm‘ dan ‘All In Place‘. Ketertarikannya untuk beralih pada musik elektronik tentu tidak sekonyong-konyong muncul seperti wahyu. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami berbincang banyak soal perjalanan dan bagaimana keragaman budaya dari tempat-tempat ia singgah mempengaruhi karir bermusiknya.
Kamu cukup sering berpindah-pindah, Melbourne, London, dan terakhir Berlin sebelum kembali ke sini. Apa kesamaan antara negara-negara tersebut? Dan apakah tempat-tempat ini mempengaruhi karir bermusikmu?
Um, yang pasti Melbourne, London, Berlin ya kota-kota negara Barat–so they have that in common. Secara budaya mungkin sangat mirip, ya. Cuaca mirip, makanan mirip.
Kalau aku rasa sih, ketiga tempat ini yang pernah aku tinggalin benar-benar tempat yang kondusif untuk bikin musik, sih. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari tinggal di tempat itu, karena juga banyak juga pemusik-pemusik yang juga tinggal di situ, banyak aliran-aliran musik yang lahirnya di Berlin atau di UK. Banyak aliran musik yang lahir di situ. Berlin juga dengan aliran elektroniknya.
Jadi, benar-benar udah membudaya musik di kedua tempat itu. Jadi ya, inspirasi banyaklah.
Apakah Berlin memberikan semacam personal touch ntuk BLOODMOON?
Kalo aku enggak tinggal di Berlin mungkin enggak ada BLOODMOON. Atau mungkin BLOODMOON akan menjadi proyek aliran yang lain.
Apakah kamu mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru? Sempat mengalami culture shock, mungkin?
Enggak juga. Antara Australia, UK, sama Berlin mirip-mirip, sih. Cuma, yang bikin aku sedikit kaget di Berlin adalah orang-orang Berlin, orang asli Berlin, orang Jerman sana, enggak terlalu ramah. Enggak kayak di Australia. Australia kan orangnya ramah-ramah, murah senyum. Pokoknya hangat lah ya, gampang berteman. Di UK juga lebih ramah, tapi di Berlin benar-benar dingin, hahaha. Bukan karena mereka jahat, tapi memang itu brand mereka. Mereka enggak ada budaya basa-basi. Enggak ada. [Bahkan untuk] small talk yang misalnya baru ketemu. Misalnya lu mau mesen bir di bar gitu, ya. Kalo di UK apa di Australia kan, “Hey man, how you going?,” gitu ya, padahal lu enggak pengen tahu juga sih. Basa-basi banget, kan? Kalo di Berlin enggak ditanggapin yang kayak gitu.
To the point banget ya? Apa orang-orang di skena musiknya seperti itu juga?
Yoi, to the point banget.
Orang-orang yang udah banyak travelling dan terekspos dengan budaya-budaya luar, budaya lain, mungkin enggak, ya. Dan generasi mudanya masih lebih ramah lah. Tapi, yang pasti sih kalau misalnya mau kirim paket gitu terus harus ke kantor pos gitu, kan yang kerja di situ oldschool-oldschool, Berlin tua-tua gitu. Dingin kayak tembok Berlin. Hahaha, itu bikin kaget sih.
Apa yang menjadi pengaruh besar dalam perjalanan bermusikmu? Apa milestone terbesar dalam karir bermusikmu?
Kalau BLOODMOON sih yang pasti milestone-nya adalah waktu gue pindah ke Berlin. Aku memang sebelum pindah ke Berlin juga udah berencana untuk istirahat dulu dari Temper Trap dan bikin proyek baru. Tapi, di bayanganku tuh mau ngeband. Malah mau lebih DIY lagi ngebandnya.
Tapi, karena pindah ke Berlin, jadi aku terekspos dengan musik elektronik. Ke klub, ke Berghain. Yang kayak gitu-gitu. Sebenarnya aku juga tahu lah sedikit musik elektronik dari klub-klub di UK, tapi masih kurang tertarik dengan budaya elektronik.
Terus, kalau di Australia itu juga milestone. Karena waktu aku kecil, masa remaja, ngeband itu kan cuma sebagai iseng-iseng aja. Buat hobi aja sama teman-teman dan sepupu. Pas di Australia, di situlah aku ketemu sama manajer, sama temen-temen Temper Trap. Itu benar-benar milestone: dari suatu hobi menjadi serius dan menjadi pekerjaan–tempat gue memulai karir.
Apakah ada satu musisi spesifik yang jadi influence waktu bikin BLOODMOON?
Pertama kali aku dengerin Moderat, itu lumayan berdampak sih. Aku inget sebelum itu aku udah bikin demo-demo untuk proyek soloku, tapi itu rock semua demonya. Aku ke Afrika Selatan, terus, yang tadinya seharusnya aku lima hari di sana [untuk] tur, malah jadi sebulan lebih karena ketemu beberapa pemusik di sana dan menetap di sana. Mereka juga punya studio dan produser, dan mereka ngajak, “Eh bikin demo aja di sini.”
Udah bikin demo, tapi demonya rock semua. Setelah itu aku balik ke Berlin—enggak tau siapa yang kasih tau tentang Moderat—tapi itu benar-benar bikin aku berpikir kayaknya bagus banget aliran ini jadi aku telusuri lebih jauh lagi.
Ketika berpindah ke negara baru, mana dulu yang terpikirkan: menentukan negaranya karena lo pengen ke sana terus you just expose yourself to whatever you find there, atau llo udah tau kayak, “Oh immediately, I want to learn about electronic music,” gitu misalnya. Kriteria penentuan negaranya dari mana, sih?
Yang pasti sih waktu pindah dari Indonesia ke Melbourne enggak ada rencana untuk jadi pemusik. Aku ke sini, ya, sama dengan anak-anak Indonesia pada umumnya yang pindah ke Melbourne untuk sekolah. Tapi gagal, hahaha.
Waktu pindah ke London itu benar-benar pindah untuk musik. Jadi kita udah sebagai band, Temper Trap, masa-masa awal banget itu kita udah rada jenuh juga dengan Melbourne, dengan scene di Melbourne, susah banget kita mau menerobos. Enggak ada yang mau booking kita untuk main. Ada sih fans, tapi sedikit lah.
Kita memang sudah berencana untuk pindah ke London. Aku malah ngambil pekerjaan ekstra satu lagi—kalau enggak salah sudah ada tiga atau dua pekerjaan—karena mau nabung untuk bisa pindah ke London. Kebetulan waktu itu juga ada label di London yang lirik kita. Akhirnya kita diundang ke London. Long story short, kita sign contract sama mereka dan mereka pindahin kita di London.
Jadi, ya, ke London sih memang benar-benar untuk musik. Karena kita udah tau semua band-band yang kita suka, yang jadi inspirasi kita, semuanya di London atau enggak di New York waktu itu, kan. Ya berhubung beberapa temen-temen band udah pernah ke London, udah pernah lama di London, ya sudah, let’s go to London.
Waktu aku ke Berghain itu pertama kali aku mengalami klub di mana orang tuh ke sana untuk one thing: musik.
Bagaimana dengan Berlin?
Kalo buat Berlin waktu itu, aku sama sekali enggak tertarik dengan musik elektronik. Kan lagi sibuk-sibuknya nge-band, bikin demo juga. Nge-rock. Justru waktu aku pertama kali ke Berlin kayaknya sedikit susah untuk cari orang yang obrolannya bisa masuk. Soal musik, kalau gue ngobrolin band, mereka enggak pernah tau. Tapi, akhirnya diajak sama temen gue, dia DJ juga, diajak ke Berghain pertama kali. Wah, langsung kaget gitu.
Di Berghain itu pertama kali aku ke klub di mana aku rasa semua orang di dalam klub itu, memang ke situ karena mereka itu benar-benar bagian dari budaya itu dan mereka tau semua DJ yang main. Mereka tahu semua. Mereka tahu lagu-lagunya. Pengetahuan mereka tentang DJ-DJ ini dalam banget. Sedangkan, kalau misalnya kita sebelum itu ke klub Melbourne lah di sini (Jakarta) lah, kebanyakan tujuan orang ke klub itu untuk apa?
Yang cowok untuk nyari cewek yang pasti, kan? Yang cewek males ke klub itu karena penuh cowok, gitu kan?
Cowok berbondong-bondong ke klub itu terus akhirnya, enggak ada cewek. Terus, cowok-cowok doang isinya. Nah, waktu aku ke Berghain itu pertama kali aku mengalami klub di mana orang tuh ke sana untuk one thing: musik. Dan lain-lainnya juga sih, haha. Tapi terutama untuk musik.
Lagu-lagu di EP mendatang bakal kayak dua single sebelumnya atau kita akan mendengarkan yang benar-benar baru?
Yang benar-benar baru. Dua single sebelumnya juga ada, tapi bakalan ada empat—kalau enggak salah—yang belum pernah didengar.
Now you’re currently on a journey with BLOODMOON. Agustus nanti akan merilis EP. Do you think you’ve settled with BLOODMOON already?
“Settled” adalah kata yang berbahaya untuk seorang musisi. Jangan settle! Hahaha
“Settled” adalah kata yang berbahaya untuk seorang musisi.
Sebagai antitesis bagi “settle”, menurutmu apakah lebih memilih adaptasi atau break the walls?
Aku rasa ada waktu untuk dua-duanya. Misalnya, musik yang paling aku suka yang paling membekas, ya, adalah musik-musik dari artist-artist yang break the wall. Kalau yang enggak break the wall, setelah suka lagunya, mungkin seminggu atau dua minggu, habis itu selesai. Ya, kan? Yang benar-benar meninggalkan dan membekas di kehidupan kita, di budaya, di kultur, kan pasti yang break the wall. Tapi, misalnya seperti jaman sekarang semua musik itu dikonsumsi secara digital, ya kita harus juga bisa main dengan zaman. Harus juga bisa mengikuti. Aku banyak sekali temen yang purists gitu, ya, maunya oldschool aja. Ya terserah mereka, sih. Boleh. Tapi kalau mereka ketinggalan, ya, jangan nangis. Gitu, lho. Ada waktu untuk dua-duanya, sih.
Kan kamu bilang musik yang membekas itu yang break the wall. Musik apa yang paling breaking the wall menurutmu?
Wah, susah pertanyaannya. Banyak lah…yang benar-benar breaking the wall, ya, aku inget Nirvana pasti break the wall. Rolling Stones, Elvis, Michael Jackson, Prince. Ya, kan? Dan semua orang itu ngikutin mereka. Suara mereka tuh benar-benar sesuatu yang unik dan baru. Walaupun ya, of course mereka juga comot sini comot sana dari aliran-aliran lain, tapi dikemas sedemikian rupa sehingga si pendengar tuh kayaknya, “Wah gue belum pernah denger hal seperti ini, musik seperti ini.”
Ada gak satu album atau artist spesifik yang bikin kamu pengen ngeband pertama kali?
Green Day’s Dookie, sih. Gokil. Karena gue juga enggak jago-jago amat main musik dan waktu itu aku ngeband sama sepupuku juga, sama temen-temen kampung lah. Kita juga enggak ada yang jago-jago amat. Tapi, dengan adanya band ini kayak menjadi inspirasi bahwa lo tuh enggak harus jago-jago amat. Maksudnya, aku respect musisi yang terampil, ya. Tapi, musik itu enggak cuma soal keterampilan aja. Harus ada jiwanya gitu, lho. Jiwa punk, Dookie. Apa lagi masa-masa umur gue pas banget waktu album itu keluar, kan
Menjadi frontman POC di skena indie-rock Melbourne awal tahun 2000-an yang homogen di Melbourne membuat kamu tampak seperti “outsider”. Apakah menurut kamu identitas merupakan faktor besar dalam proses kreatifmu atau bahkan karir musikmu secara keseluruhan?
Identitas apa? Identitas warna kulit? Aku sebenarnya enggak terlalu suka ngomong soal politik. Tapi, kalau menurutku pribadi, aku rada menyayangkan bahwa zaman sekarang itu warna kulit itu menjadi hal yang begitu penting buat orang. Yang kayaknya pikiran kita itu benar-benar—enggak tau di Indonesia seperti apa ya, tapi di Australia dan Amerika—menjadi masalah dan pikiran utama mereka. Semua itu ditelusuri balik ke warna kulit gitu.
Waktu aku pertama kali mulai di Melbourne memang banyak orang kulit putih, orang bule yang ngeband. Tapi, mungkin itu karena kebanyakan anak-anak Asia-nya or Indo enggak suka The Strokes, The Rolling Stones. Mereka lebih suka hiphop, yang kayak gitu-gitu. Cenderungnya ke aliran situ. Jadi, aku enggak bisa bilang dengan jujur bahwa waktu itu scene-nya didominasi orang kulit putih karena orang Asia-nya enggak diterima, ya. Enggak gitu juga, sih. Mungkin kitanya, orang Asia, aja yang enggak tertarik dengan aliran musik itu.
Aku ada beberapa teman anak-anak Indo di Melbourne waktu itu, ngobrol sama mereka soal album barunya The Strokes enggak tertarik mereka. Coba kalau ngomongin soal Dr. Dre, atau Snoop, atau apa gitu, masuk. Jadi kita masing-masing suka lengket ke kebudayaan tertentu, ya, atau yang kita suka. Orang kan seleranya beda-beda, sih. Aku enggak pernah ada masalah jadi orang kulit cokelat di Australia. Ya, pasti kalau namanya rasisme pasti ada. Kayaknya mustahil buat diberantas sampai enggak ada dunia ini. Tapi, sejauh ini sih kurasa aku oke-oke aja, sih.
Aku sama sekali enggak pernah di show gitu terus ngeliatin, “Wah, kok ini orang-orang kulit putih semua, ya.” Enggak pernah kepikiran.
Banyak artist-artist Indonesia yang udah mulai go international di usia muda, seperti Rich Brian dan NIKI. Gimana sih pandangan kamu soal orang-orang Indonesia yang go international?
I love it. Aku dukung seratus persen—seribu persen. Iya lah. Banyak orang berbakat, kok. Udah saatnya go international.
Menurut kamu ini satu fenomena enggak, sih? Apa memang kita sebenarnya punya bakat, tapi dulu belum punya exposure yang sebesar ini aja karena belum ada internet dan sebagainya?
Ya, of course. Apa lagi Rich Brian, dia contoh utama. Cuma bikin-bikin video iseng-iseng aja, video-video ngerap—viral. Itu karena apa kalau bukan era digital. Susah lah untuk ngelucu sekaligus bikin lagu. Gue paling suka tuh di YouTube nonton rapper-rapper bikin reaction video ke lagu-lagu Rich Brian. Mereka aja bilang keren.
Apa sih plan kamu sebenarnya dengan BLOODMOON? Akankah ada kolaborasi dengan musisi lainnya?
Don’t have a real plan. Jalanin aja. Kayaknya enggak. Lebih mungkin EP berikutnya, sih.
Kamu pernah berujar dalam sebuah interview bahwa kamu memiliki goals untuk membuat album yang “totally uncompromised.” Apakah kamubakal mewujudkannya dengan BLOODMOON atau proyek lain?
Enggak bisa menafsirkan masa depan. Semoga dengan BLOODMOON. Nanti kita lihat deh.
Jadi, paling dekat yang “totally uncompromised” itu BLOODMOON?
Sejauh ini BLOODMOON. Tapi, aku juga suka bertanya pada diriku: “Apakah memungkinkan bikin sesuatu yang aku buat itu ‘uncompromised’? Apakah itu sesuatu yang mungkin?”
Bisa aja aku bikin musik terus keluarin di Spotify, di Soundcloud—pasti banyak lah orang bikin lagu yang benar-benar seperti apa yang mereka mau. Tapi, kalau yang namanya lu udah berurusan dengan manajer, booking agent, record label, produser, apakah mungkin bikin sesuatu yang benar-benar seratus persen jati diri lu tanpa kompromi? Haha. Mau, sih.
Seberapa leluasanya kamu “being uncompromised” dengan BLOODMOON?
Cukup leluasa. Lebih dari Temper Trap. Tapi, dengan kesukesan datanglah kompromi. Jadi, di satu pihak, siapa yang enggak mau sukses? Di lain pihak, apakah kamu siap untuk menghadapi sebuah kesuksesan? Karena itu ada harganya, gitu, lho.
Single-single BLOODMOON bisa didengarkan di berbagai platform streaming musik favoritmu.