Membahas Pentingnya Suara Millennial, Apatisme dan Masalah di Partai Politik dengan Tsamara Amany
Berbincang dengan kader partai, Tsamara Amany tentang pelecehan seksual, korupsi dalam partai politik dan pentingnya suara millennial dalam pemilu mendatang.
Words by Ghina Sabrina
Tsamara Amany dikenal sebagai politikus muda yang penuh semangat. Memulai perjalanannya di kantor Gubernur DKI, di usia 22 tahun, Tsamara telah berhasil meraih tempatnya sebagai ketua DPP di Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Melawan stigma bahwa anak muda jaman sekarang tidak peduli dengan politik, Tsamara pun berkiprah dalam dunia politik untuk memperjuangkan etika dan standar idealisme dalam pemerintahan Indonesia. Pada suatu sore, Tsamara meluangkan jadwal penuhnya untuk berbincang dengan Whiteboard Journal tentang perjalanannya sebagai wanita dalam dunia politik, toleransi sampai cara membasmi korupsi di Indonesia.
Sebagai salah satu politisi muda di Indonesia, apa yang membuat Tsamara tertarik untuk terjun ke dunia politik?
Dulu saya pernah magang di Kantor Gubernur DKI Jakarta selama empat sampai lima bulan. Di sana saya melihat banyak kebijakan-kebijakan publik yang baik yang diambil untuk masyarakat. Kebijakan-kebijakan publik itu bisa diambil ketika kita menggunakan politik sebagai sarana. Artinya, yang mengambil kebijakan-kebijakan publik itu kan aktor-aktor politik seperti gubernur, bupati, dan wali kota dan bahkan produk hukum undang-undang itu pun dibuat oleh DPR dan pemerintah. DPR juga merupakan orang partai, pemerintah juga banyak yang orang partai dan lain sebagainya.
Oleh karena itu saya melihat kalau kita memang ingin menjadi aktor politik, ingin mengambil kebijakan publik dan ingin bermanfaat bagi orang banyak dan sarananya adalah kebijakan, itu tidak bisa terhindarkan dari politik. Politik harus kita fungsikan sebagai sarana. Ini yang membuat saya tertarik. Melihat kerja Pak Ahok, ternyata politik itu menjadi sarana untuk mewujudkan tempat yang profesional, tempat yang bersih, betul-betul diabdikan untuk masyarakat. Jadi saya memutuskan untuk terjun ke politik setelah Pilkada Jakarta berakhir.
Tsamara telah aktif di dunia politik bahkan sebelum lulus kuliah, apakah Anda pernah dipandang sebelah mata oleh rekan-rekan politisi lainnya akibat hal ini?
Kalau satu partai tidak pernah. Tapi tentunya di luar partai sering. Kita sering dianggap muda, kurang pengalaman, itu biasa saja sebenarnya. Cuma bagi saya itu tidak begitu penting. Maksudnya, dianggap remeh itu wajar-wajar saja. Yang paling penting itu seberapa mampu kita untuk meyakinkan orang dengan apa yang kita punya, visi-misi kita, program kita, argumentasi kita itu apa.
Dunia politik, bagi generasi millennial, mungkin bukan suatu pilihan yang menarik untuk ditekuni. Bagaimana pendapat Tsamara mengenai hal tersebut?
Memang sih, tapi juga secara bersamaan karena millennial itu tidak tahu apa yang disebut dengan politik. Karena kita menganggap politik itu selama ini cuma perdebatan di televisi kita, menganggap bahwa politik selama ini itu hanya permainan laki-laki, atau permainan orang-orang yang sudah sangat dewasa, orang-orang yang “kelas kakap” istilahnya. Tapi kita justru harus membuat politik itu dipahami oleh millennial.
Bagi saya, politik itu hidup ketika kita main media sosial, ketika kita itu memutuskan misalnya, pusing kita mau kerja apa ya setelah lulus kuliah ini. Soal isu-isu seperti main media sosial aja misalnya, kita main media sosial itu kan kebijakan politik. Politik membolehkan kita untuk itu. Tidak ada produk hukum yang melarang kita main media sosial, tapi kalau ada orang salah omong segala macam sekarang masuk penjara karena itu, itu karena produk hukum yang dikeluarkan dari keputusan politik juga. Undang-undang ITE misalnya. Termasuk jika kita mengharapkan lapangan pekerjaan yang bagus segala macam itu kita butuh sarana politik.
Kita justru harus membuat politik itu dipahami oleh millennial.
Kita butuh untuk mendorong pemerintah, DPR bisa mendorong pemerintah, bagaimana ini investasi sudah berapa yang masuk sehingga berapa banyak lapangan pekerjaan yang terbuka. Apa yang sudah mereka lakukan untuk memberdayakan anak-anak muda di Indonesia, dan lain-lain. Itu kan butuh dorongan politik dari orang-orang yang mempunyai kuasa politik di dalam DPR sana. Kebijakan yang diputuskan oleh keputusan politik oleh Presiden di dalam pemerintahan. Jadi akhirnya, tidak bisa terpisahkan kebutuhan kita itu sangat berkaitan dengan politik.
Ketika kita mencoba untuk menarik diri dari politik, bukan berarti politik tidak mengontrol kehidupan kita sehari hari. Karena politik itu sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Hanya saja kita tidak menganggap itu penting, dan menganggap itu jauh dari kita. Kita menarik diri, tapi bukan berarti dia tidak mengontrol kita. Kalau saya sih tidak mau seperti itu.
Karena apalagi sekarang persentase millennial itu kan 55% di Indonesia, ya. Yang jadi masalah adalah saya tidak suka sekali ketika millennial itu semata-mata dipandang objek saja. Jadi seperti, ”Udahlah kita semua, ayo ini sekarang persentasenya paling besar nih dalam daftar pemilihan kita harus rame-rame jadi millennial supaya mereka nyoblos kita” itu yang saya tidak mau. Sekarang mereka mau kita nyoblos, mereka minta millennial nyoblos mereka, tapi apakah mereka sudah mendengarkan aspirasi millennial? Pernah tidak mereka duduk dan mendengar apa yang kita butuhkan. Atau mereka mendadak sok tahu tentang millennial dan bergaya seperti millennial untuk meraih suara mereka? Itu kan dua hal yang berbeda. Dan juga misalnya kalau kita tanya sama mereka, terutama yang ada di DPR, apakah mereka pernah mengajak para millennial ini terlibat dalam pengambilan keputusan politik di dalam partai? Kalau tidak, ya berarti mereka cuma semata-mata ingin mendapatkan suara millennial tanpa serius memperjuangkan isu-isu millennial.
Ketika kita mencoba untuk menarik diri dari politik, bukan berarti politik tidak mengontrol kehidupan kita sehari hari.
Makanya kalau misalnya kita di PSI atau misalnya saya sendiri secara pribadi fokus kita itu kalau mau mendengarkan aspirasi millennial, ya kita libatkan para millennial di dalam partai. Atau kita bikin FGD dan lain sebagainya. Sama dengan caranya Pak Jokowi. Beliau selalu mengundang orang ke Istana Negara untuk berdiskusi. Karena keputusan politik itu tidak bisa kita ambil dengan kita sok tahu. Tapi harus dengan mendengar, jadi saya tidak mau millennial itu jadi objek terus, mereka harus jadi subjek. Saya mau mereka paling tidak berada dalam proses pengambilan keputusan, didengar suaranya, dan isu-isunya diakomodir sama politisi-politisi kita. Jadi itu yang paling penting. Saya tidak mau jadi millennial sebatas gaya-gayaan. Tidak begitu. Bagi saya jadi millennial itu soal substansi, ada isu di sana. Ada masalah yang mereka butuhkan, kalian perlu mewakili isu mereka. Jadi lebih dari sekedar pakai sneakers saja.
Penggunaan media sosial untuk menyebarluaskan berita hoax menyangkut politik bukanlah hal baru, apalagi jika sudah mendekati waktu Pemilu. Melihat para millennials sebagai pengguna utama media sosial, langkah-langkah seperti apa yang seharusnya diambil untuk memberantas hal tersebut?
Menurut saya simple. Sebenarnya hoax-nya tentu dari segi masyarakat kita kadang memang susah. Karena ini ruang demokrasi jadi kita tidak bisa mengontrol semuanya. Mungkin kalau memang ada sindikat besar seperti Saracen bisa kita bubarkan, tapi kan juga ada individu-individu misalnya yang memang menyebarkan hoax atau pun memproduksi hoax, yang dia bukan bagian dari sindikat apapun. Cara yang paling simple dan paling penting dilakukan adalah contoh dari elit politik. Bagaimana elit politik mencontohkan.
Saya tidak mau jadi millennial sebatas gaya-gayaan. Tidak begitu. Bagi saya jadi millennial itu soal substansi, ada isu di sana. Ada masalah yang mereka butuhkan, kalian perlu mewakili isu mereka. Jadi lebih dari sekedar pakai sneakers saja.
Ada seorang tokoh di Amerika sana, namanya John McCain. Terlepas kita mau berdebat soal John McCain dengan sikap-sikap internasionalnya it’s another thing, tapi menurut saya, saya respect sama dia dengan apa yang dia lakukan ketika dia melawan Obama. Ketika ada seorang ibu di kampanyenya berkata, “Saya mau dukung kamu, saya tidak mau mendukung Obama karena Obama itu adalah seorang Arab.” McCain langsung mengambil mic-nya, “Oh no no, ma’am. He’s a decent family man”, McCain lalu menjelaskan bahwa Obama adalah orang baik-baik. Ini yang harus kita teladani. Kandidat atau elit partai politik kita harus berani menentang pendukungnya yang menyebarkan hoax kepada lawan politiknya. Mereka harus berani dalam mengambil sikap, ayo kita berdebat soal ekonomi, soal hukum, soal demokrasi, soal berbagai macam, tapi jangan kita menyebarkan hoax. Dengan begini, masyarakatnya pun terdidik karena perdebatan yang ada adalah tentang program yang mereka rancang. Tapi kalau di atas mereka membahas urusan-urusan yang tidak penting, apalagi ikut menyebarkan hoax tersebut, bawahannya juga akan begitu. Nah yang kayak seperti inilah yang memecah belah.
Saya percaya kalau kita berdebat soal isu lapangan pekerjaan, isu soal pendidikan, isu soal kesehatan, itu tidak akan memecah belah, malah itu akan menyehatkan kita. Tapi ketika itu diisi sama hoax-hoax yang modelnya PKI lah, yang modelnya, “Itu agamanya apa, etnisnya apa?” Habis kita semua.
Kasus pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan hal yang sebenarnya marak terjadi di ruang privat maupun publik. Sebagai seorang politisi yang juga kerap mengalami pelecehan seksual hanya karena status gender, bagaimana Tsamara menanggapi hal tersebut?
Kalau saya pribadi memilih untuk tidak saya menanggapinya. Saya bodo amat. Kalau secara pribadi, saya tidak peduli sama sekali. Saya mau dikatain apapun, pelecehan seksual semacam apapun saya tidak peduli. Cuma memang ini menjadi semacam preseden buruk. Kenapa? Karena kalau orang melihat saya, atau melihat politisi-politisi perempuan pada umumnya, bisa melihat kalau ada politisi perempuan yang masuk ke dalam politik, dia selalu difitnah secara seksual.
Kandidat atau elit partai politik kita harus berani menentang pendukungnya yang menyebarkan hoax kepada lawan politiknya.
Kalau saya sering banget dapat fitnah, “Oh iya nih, baru keluar dari hotel ini lah segala macem.” Selalu ada fitnah-fitnah berbau seksual. Apa itu nanti tidak membuat perempuan-perempuan pada umumnya, “Aduh saya tidak mau masuk dunia politik, ini akan merusak nama baik saya”. Makanya dulu kami pernah sekali melaporkan fitnah sebuah account yang ditujukan kepada Grace Natalie, Ketum PSI, juga kasus saya. Cuma saat itu fitnahnya lebih parah ke Grace yang difitnah katanya selingkuh dengan pak Ahok. Kenapa kita melaporkan, apakah kita baper melaporkan itu? Tidak, kita sama sekali tidak baper, kita udah biasa setiap hari diperlakukan seperti itu. Tapi kita melaporkan ini sebagai bentuk perlawanan. Bahwa kalian tidak perlu khawatir, ini kan fitnah. Justru sebagai perempuan harus solid dan harus melawan hal-hal seperti ini. Dan menurut saya, kita sebagai perempuan itu, orang-orang yang melecehkan kita secara seksual itu kan pada akhirnya hanya ingin kita berhenti. Saya ingin kita itu tidak termakan soal itu, keep going forward saja.
Beberapa waktu lalu, Tsamara sempat menyatakan bahwa perempuan takut berpolitik karena mereka rentan dilecehkan. Apakah hal ini masih berlaku sampai sekarang?
Mungkin, itu harus ada justifikasi dengan data, tapi ada fenomena itu. Fenomena bahwa takut. Karena saya sendiri dulu di PSI waktu awal-awal kita ketemu dengan beberapa caleg perempuan, mereka bilang, “Apa tidak bahaya nanti?”. Karena begini, simple saja, kalau saya misalnya ada satu politisi perempuan, dia punya anak, suami, punya orang tua. Artinya yang terdampak dari kegiatan politik itu bukan hanya kita secara pribadi. Ada anak kita, ada suami kita, atau misalnya, ada orang tua kita, ada keluarga di situ. Minimal kalau kita oke, keluarga melihatnya bagaimana? “Udah deh kamu tidak usah di situ, mama tidak kuat liat kamu diperlakukan seperti itu.” Itu kan Indonesian culture. Itu yang akhirnya menjadi hambatan bagi perempuan untuk kemudian maju ke politik.
Justru perempuan-perempuan yang sudah ada di dalam politik itu menunjukkan kalau mereka berani melawan itu. Kalau perempuan itu tidak usah takut, kita saja berani melawan itu.
Salah satu akar masalah kasus korupsi yang kian terjadi di Indonesia adalah melalui adanya ketimpangan antara pembenahan sektor pemilu dan sektor kepartaian. Regulasi yang terdapat pada UU Partai Politik pun secara sistematis membuat partai politik menjadi oligarkis. Apakah seharusnya terdapat pembenahan dalam segi kepengurusan partai untuk memberantas praktik korupsi?
Jadi gini, kita itu selama ini selalu menganggap partai politik itu, karena kita sudah terlampau benci sama partai, kita kemudian tidak menuntut mereka untuk transparan. Menurut saya institusi yang paling penting di republik ini ya partai politik. Kenapa? Karena ini adalah institusi yang memproduksi kader yang nanti kadernya akan menjadi anggota DPR. Anggota DPR di tingkat I, anggota DPR di tingkat kota, yang akan dikirim menjadi gubernur, menjadi bupati, menjadi walikota, menjadi presiden, menjadi menteri. Bayangkan, dan nanti mereka dalam DPR ini akan menentukan bersama-sama dengan pemerintah orang-orang yang akan menjadi hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, hakim-hakim Agung, ketua KPU, Bawaslu. Artinya republik ini sebenarnya dikontrol oleh partai politik. Itulah esensi demokrasi, karena kita harapannya partai politik mewakili aspirasi masyarakat, kan?
Saya percaya kalau kita berdebat soal isu lapangan pekerjaan, isu soal pendidikan, isu soal kesehatan, itu tidak akan memecah belah, malah itu akan menyehatkan kita. Tapi ketika itu diisi sama hoax-hoax yang modelnya PKI lah, yang modelnya, “Itu agamanya apa, etnisnya apa?” Habis kita semua.
Masalahnya, apakah partai politik kita sudah jadi seperti itu? Kan belum. Kalau untuk saya dan itu juga dilakukan di PSI, semuanya itu harus melalui sistem rekrutmen yang transparan. Kenapa partai politik menjadi oligarkis? Karena pemilik modalnya tunggal, yang membiayai partai politik itu biasanya satu orang. Ini tidak boleh, itu harus dibagi rata. Yang harus dilakukan, pembenahan paling mendesak bagi partai politik adalah politik partisipatif. Artinya kalau kamu adalah ketua DPD, atau misalnya ketua PSI Bali, kamu sediakan kantor segala macam, kamu bangun PSI Bali, itu yang kami lakukan. Kantor-kantor kami yang di daerah itu semuanya partisipasi dari ketua-ketua yang ada di sana. Bukan kami biayai. Dan kami tidak menggaji sama sekali. Karena itu, keputusan yang kami ambil itu tidak bisa semena-mena karena kami bukan membiayai partai ini sendiri, ada banyak orang di partai ini dari Sabang sampai Merauke membiayai partai ini bersama. Ketika mengambil keputusan, kami harus rembuk bersama. Secara serius membicarakan itu.
Yang kedua adalah bagaimana supaya tidak terjadi, orang-orang yang misalnya tidak memiliki kapasitas yang bagus. Anggaplah pengurusnya sudah bagus, di bawah pengurus ada lagi deretan kader yang akan menjadi anggota DPR. Sistem rekrutmen, seharusnya dilakukan oleh tim seleksi independen, kita di PSI melakukan itu. Tim seleksi kita ada Bu Mari Pangestu, Mas Chatib Basri ada Mas Goenawan Mohamad, orang-orang yang punya integritas background-nya jelas. Mereka melakukan rekrutmen secara serius, secara transparan. Meskipun saya ketua DPP misalnya ada bendahara umum segala macam, pengurus di manapun tetap harus memproses itu. Jadi mau di manapun pengurus PSI, kamu tidak bisa langsung dapet tiket nyaleg, kamu harus lolos seleksi dengan tim independen.
Jadi, cara-caranya harus seperti itu. Ketika partai politik membuat sistem rekrutmen yang transparan, mereka menekankan kepada politik partisipatif, kita bisa mencegah yang namanya oligarki. Tapi ketika mereka pemilik modalnya tunggal, pemilik modal ini yang kemudian menentukan siapa-siapanya, akan selesai di situ. Karena itu bukan hanya menjadi oligarki buat saya, tetapi menjadi dinasti dari partai politik. Jadi yang menguasai adalah orang-orang yang memiliki partai dan keluarga itu. Sekarang itu mulai terjadi di Indonesia. Mulai ada dinasti dan lain sebagainya dan itu yang ingin kita lawan.
Berdasarkan survei, masyarakat menganggap DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Apakah Anda setuju dengan hal ini? Dan langkah apa yang harus dilakukan oleh para penerus untuk mengubah persepsi tersebut?
Masalahnya, memang kenyataannya begitu. Dan memang tidak bisa kita pungkiri misalnya 32% dari yang ditangkap KPK sampai 2016 dalam kasus korupsi, menunjukkan bahwa itu adalah kader-kader partai politik. Karena itu, tidak bisa kita pungkiri bahwa partai dan korupsi itu lekat sekali. Bisakah kita menghapus persepsi itu? Apa yang harus kita lakukan bersama DPR? Bagi saya, yang pemain utamanya di sini adalah partai politik. DPR itu akan baik kalau partai politiknya menyelipkan orang-orang yang baik. Ketika sistem rekrutmen partai politik lebih transparan, begitu mereka terpilih masuk ke DPR, orang-orang yang terpilih adalah orang-orang yang bagus, mereka sudah diseleksi oleh tim independen. Orang-orang idealis.
Menurut saya institusi yang paling penting di republik ini ya partai politik.
Kami tidak percaya bahwa idealisme itu tidak akan pernah luntur, idealisme itu perlu dijaga. Makanya perlu dibikin semacam monitoring, semacam watchdog buat DPR. Maka dari itu, sekarang kami menyediakan aplikasi yang isinya nanti anggota-anggota dari PSI harus melaporkan kinerjanya setiap saat. Jadi kamu harus melaporkan kamu itu sudah melakukan apa saja setiap hari. Kunjungan kerja ke mana, apa yang dikerjakan. Reses turun ke mana saja, Rapat Dengar Pendapat sama siapa. Isu kamu terhadap isu-isu penting apa, sikap kamu terhadap undang-undang MD3 apa. Itu harus update setiap saat dan tentu update-nya bukan tulisan melainkan foto dan sebagainya. Itu yang kemudian dievaluasi. Dan aplikasi ini nantinya akan bisa rating, mungkin hampir sama seperti kayak gojek. Jadi kalau kamu kerjanya bagus, rate kamu lima, atau bisa juga rate kamu satu. Ini jadi evaluasi buat partai. Siapapun yang jelek kinerjanya itu bisa dipecat oleh partai. Karena yang berhak memecat anggota DPR itu hanya partai politik. Sekarang kami semua sudah tanda tangan, semacam kayak pakta, perjanjian, kontrak bahwa kita semua dari PSI sepakat bahwa kami siap dipecat jika kami tidak mengikuti aplikasi ini dan jika kami tidak bekerja dengan baik.
Mahkamah Agung (MA) pada akhirnya memperbolehkan eks koruptor untuk menjadi calon anggota legislatif, sebagai salah satu politisi yang vokal terhadap kasus korupsi, bagaimana Anda menanggapi keputusan tersebut?
Saya menyayangkan keputusan itu. Memang Mahkamah Agung itu memutus sesuai dengan undang-undang, yang saya juga sayangkan bahwa undang-undang itu juga tidak pernah direvisi oleh DPR. Jadi sebenarnya tidak ada sense of crisis dalam persoalan korupsi ini. Padahal orang bencinya setengah mati dengan korupsi. Dan kalau saya secara pribadi melihat PKPU itu, peraturan kalau koruptor boleh nyaleg, sampai KPU mengeluarkan peraturan itu sebenarnya tamparan yang memalukan untuk partai politik yang sudah di dalam parlemen. Karena kalian itu sebenarnya tidak dipercaya bisa memproduksi orang-orang yang bersih semua. Kalau kita tahu, tidak mungkin partai kita mencalonkan seorang caleg yang ternyata adalah seorang mantan koruptor, maka tidak perlu lagi peraturan seperti itu karena itu sudah menjadi common values. Tapi karena partainya tetap mencalonkan mantan koruptor, sudah ada peraturan masih saja bisa dicalonkan semua, malah berbondong-bondong menggugat itu ke Mahkamah Agung tanpa merasa bersalah, maka dikeluarkanlah peraturan itu.
Ketika partai politik membuat sistem rekrutmen yang transparan, mereka menekankan kepada politik partisipatif, kita bisa mencegah yang namanya oligarki.
Saya sangat menyayangkan itu, tapi bagi kami itu balik lagi ke komitmen partai masing-masing. Pada akhirnya lagi-lagi kita tidak bisa lepas dari partai. Mereka yang memberi tiket, kan? Kalau kami di PSI alhamdulillah satu-satunya parpol yang tidak ada mantan koruptor dari tingkat RT, sampai DPRD Kabupaten Kota. Karena bagi kami tidak masuk akal orang yang sudah mengkhianati amanah rakyat itu kita biarkan mencalonkan diri lagi menjadi anggota legislatif. Bisa kita bayangkan saja seperti apa kualitasnya. Kita tidak bakal memberi kesempatan kedua dengan orang yang sudah mengkhianati. Mereka akan selalu berargumen, “Ya kita jangan suudzon, siapa tahu mereka berubah.” Kenapa kita harus berkhusnudzon kepada mantan koruptor, tapi bersuudzon dengan orang-orang yang kompeten? Kenapa kita tidak memberi kesempatan saja dengan orang yang kompeten dan masih bersih dibandingkan dengan mantan koruptor? Jadi logikanya tidak nyambung.
Musim kampanye telah dimulai semenjak tanggal 23 September lalu, apa yang ingin Tsamara sampaikan kepada para generasi millennial yang baru akan menggunakan suaranya untuk pertama kalinya nanti?
Saya pikir kita harus menjadi kekuatan yang signifikan dalam pemilu, artinya jangan tidak vote, kita harus vote dengan cara pergi ke TPS. Kalau di Amerika kan ada campaign ya. Jadi kita harus get out to vote, jadi keluar ke TPS, vote calon yang menurut kita karirnya paling bagus. Nanti politisi ini melihat data juga, kalau mereka melihat signifikan sekali suara millennial. Karena kalau kita memilih untuk apatis, kita menarik diri mereka akan tidak peduli dengan isu-isu millennial. Karena pada dasarnya logika kekuasaan itu tidak peduli kamu golput atau tidak.
DPR itu akan baik kalau partai politiknya menyelipkan orang-orang yang baik.
Karena logika kekuasaan itu pedulinya adalah walaupun tingkat partisipasi pemilu itu tidak terlalu tinggi, yang penting mereka terpilih dan masuk ke dalam parlemen. Itu saya tidak mau lakukan, kita harus vote. Golput itu harus kita tekan dan harus vote kepada partai politik yang paling mewakili isu millennial, dan harus vote caleg yang paham dengan isu-isu millennial dan memperjuangkan itu. Baru nanti orang akan lihat, oke kita harus mendekatkan betul kita harus akomodir. Buat saya kita harus jadi kekuatan yang signifikan dalam pemilu 2019 dan itu paling mudah bisa kita mulai dengan vote, supaya mereka juga melihat.
Hal-hal seperti apa yang ingin Tsamara utamakan di masa mendatang?
Kalau masuk DPR, menurut saya yang saya akan utamakan ada tiga hal: pertama secara fokus saya ingin duduk di Komisi II. Komisi II itu reformasi birokrasi, perizinan, sebenarnya bidang dalam negeri. Di Komisi II itu yang dilakukan selama ini adalah mencegah korupsi. Orang selalu berbicara mencegah korupsi dengan menyalahkan KPK. KPK gagal mencegah korupsi, kok mereka hanya bisa menindak saja. Memang betul pencegahan korupsi itu memang belum efektif, dan penindakannya tidak akan mampu mengembalikan kerugian negara. Tapi, yang harus kita tanyakan kepada DPR yang suka mencibir KPK itu, kamu siapkan sistem apa untuk KPK dalam menyelesaikan persoalan pencegahan korupsi? Tidak ada, kamu hanya mengamuk saja.
Oleh karena itu, kalau saya masuk ke dalam DPR saya ingin bikin semacam good governance. Namanya undang-undang e-budgeting. Undang-undang e-budgeting ini sudah ada belum? Sudah. Di Jakarta bisa, di Jawa Tengah digunakan, di Bandung dilakukan, di Surabaya dilakukan. Kenapa ini dilakukan? Karena mereka memilih kepala-kepala daerah yang inovatif, yang punya komitmen terhadap anti korupsi. Tapi buat saya, ini tidak boleh hanya sekadar inovasi, ini kewajiban bagi kita untuk menyediakan sistem bagi KPK. Idenya kalau saya masuk ke dalam sana, saya ingin membuat undang-undang e-budgeting ini wajib diakses di seluruh daerah. Artinya seluruh daerah kita anggarannya itu wajib pake e-budgeting. Dari mulai level nasional sampai level daerah. Dan apa sih yang bisa dilakukan dengan e-budgeting ini? Kamu bisa pantau pembahasannya, sampai realisasi anggarannya sampai siapa yang input kalau ada anggaran yang aneh-aneh. Harapannya kita mau membuat semacam command set antara KPK dengan Kemendagri untuk melacak anggaran-anggarannya. Jadi kalau misalnya ada anggaran tidak masuk akal, KPK bisa bilang sama Kemendagri, “Tolong itu ada anggaran yang terindikasi korup, terindikasi fiktif coba Kemendagri tegur gubernurnya, kamu suruh revisi”. Ini kan pencegahan, belum cair itu kerugian negara. Yang orang banyak tidak tahu adalah Kemendagri punya wewenang menolak anggaran daerah. Jadi orang menganggap keputusan gubernur sama DPRD akan sah begitu saja. Tidak. Memang, Kemendagri menghargai biasanya inisiatif daerah. Tapi, kalau dengan cara seperti itu, kita kan bukannya tidak menghargai tapi mencegah masalah korupsi yang sangat sentral dalam demokrasi kita. Jadi penting untuk kita buat semacam command set.
Kenapa kita harus berkhusnudzon kepada mantan koruptor, tapi bersuudzon dengan orang-orang yang kompeten?
Yang kedua, isu yang kita perjuangkan di PSI selama ini adalah, kita ingin membuat link and match antara pendidikan dengan perusahaan. Jadi kita ingin orang sekarang itu satu keluarga satu sarjana. Kita harapannya kalau dalam satu keluarga ada paling tidak satu sarjana, dia bisa menopang kehidupan. Orang bilang, “Tapi sarjana yang nganggur juga banyak.” Karena kadang-kadang tidak ada sistem link and match. Artinya apa? Dia bekerja di area studi yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri hari ini. Kita ingin mendorong orang-orang untuk bekerja di area studi yang sesuai dengan kebutuhan industri, dan kita bisa memproduksi angkatan kerja yang dibutuhkan oleh industri. Artinya di sini harus ada konektivitas antara pemerintah atau DPR sebagai fasilitator yang dapat menghubungkan antara dunia pendidikan kita dengan dunia angkatan kerja. Supaya tidak nganggur, jadi pas. Jangan sampai orang-orang lulus sarjana tapi bingung mau kerja apa.
Tapi ada juga orang-orang yang menekuni bidang studi sesuai dengan passion mereka, bagaimana jika itu situasinya?
Sebenarnya bukan cuma itu, kita juga serius untuk perihal empowerment. Kita juga ingin membuat workshop-workshop empowerment seperti sekarang banyak sekali orang yang ingin menjadi make-up artist, vlogger, segala macam. Juga kita beri insentif bagi para entrepreneur muda untuk masuk dalam program kita. Kita juga berpikir bagaimana hal yang paling basic juga bisa dikerjakan. Karena terkadang memang iya itu mengorbankan passion, tapi i have to work, tidak mungkin juga tidak kerja, kan? Tapi secara bersamaan ya kita dukung, kita kasih insentif bagi para entrepreneur muda, memudahkan perizinan, itu pasti bakal dilakukan juga.